The Raid, beberapa minggu belakangan ini bioskop seluruh
tanah air dipenuhi huru hara massa yang menyerbu film ini. Film lanjutan dari
film ‘Merantau’ ini kembali ‘sukses’, bahkan melebih film pertamanya. Film yang
bergenre laga ini telah mendulang beragam penghargaan bergengsi di kancah
perfilman Internasional. Dalam "The Cadillac People's Choice Award"
untuk kategori Midnight Madness dalam ajang Toronto Internasional Film Festival
2011 (TIIF) yang ke-36. Kemudian di Festival Film Sundance 2012 film ini menjadi
salah satu dari sebelas film seluruh dunia yang terpilih sebagai kategori
"Spotlight" karya yang paling disukai panitia Sundance. Hal ini
dinilai oleh banyak kalangan di tanah air sebagai ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.
Usai menonton film ini, jika kita mencoba menelaah sedikit
lebih berbeda dan berani maka akan muncul beberapa pertanyaan. Apakah benar ini
dikatakan sebagai sebuah kesuksesan film Indonesia?. Jika ia, maka kesuksesan
seperti apakah yang dimaksud?. Lalu apakah benar ini adalah sebuah film ‘Indonesia’?.
The Raid, Film hasil besutan sutradara asing Gareth Huw
Evans ini memang telah meraih berbagai penghargaan internasional. Kata kuncinya
disini adalah ‘penghargaan internasional’. Sebuah penghargaan yang tentu
penilaiannya telah melewati beberapa tahapan yang cukup ‘ketat’. Yang menjadi
perhatian disini adalah para juri yang mengawal tahapan tersebut dan indikator
penilaian yang digunakan.
Kiblat industri perfilman di dunia tidak bisa dielakkan
bahwa dunia barat adalah empunya karena faktor sejarah. Juri yang terlibat
dalam penghargaan-penghargaan internasional seperti di atas, sebagian besar
bahkan mungkin semuanya adalah yang berasal dari negeri empunya tersebut. Sekalipun
ada beberapa yang mungkin berasal dari Asia, tapi tetap saja penilaian kembali
bergantung kepada indikator penilaian yang telah ‘dipaksa’ untuk disepakati. Indikator
penilaian kualitas suatu film disini ya kembali berkiblat pada hal-hal yang
sudah dianggap baik menurut dunia barat.
Singkat kata, jika suatu film berhasil meraih penghargaan
internasional berarti film tersebut telah berhasil memenuhi indikator penilaian
kualitas film yang ‘baik’ sesuai standar para ‘juri’-nya. Hal inilah yang telah
diraih oleh film The Raid.
Film The Raid telah berhasil memenuhi semua indikator ‘baik’
menurut dunia internasional (baca : barat). Dimulai dari ide cerita, film ini
pertama jelas dibesut oleh sutradara asing Gareth Huw Evans yang memaksa
mempelajari Indonesia secara prematur dalam penggarapan filmnya. Ide dan alur cerita
film ini pasti kita rasa sangat akrab dengan banyak film asing, sebut saja salah
satunya film prancis ‘Banliue 13’. Setting,
pengambilan gambar, adegan, trik, dan banyak hal lainnya sangat sukses
menjiplak predikat ‘baik’ menurut dunia
internasional (barat).
Selanjutnya, penggarapan skoring musik film The Raid ini dirilis
di wilayah Amerika Utara, Amerika Latin dan Spanyol. Hal ini melibatkan musisi
papan atas Mike Shinoda, salah satu personil Linkin Park dan Joseph Trapanese
seorang komposer berbakat yang menggarap film Walt Disney Tron:Legacy (2010). Ya,
film ini sangat ‘barat’.
Sebagian besar orang Indonesia yang telah menonton film ini
biasa berkata “filmnya keren banget”.
Label film ‘keren’ itu memang telah terpatri dalam mindset sebagian besar orang Indonesia bahwa adalah film yang mirip
film ‘barat’. Karena memang selama ini industri film kita telah ikut terjajah
juga bersamaan dengan serbuan ‘ulah barat’ lainnya.
Pembelaanya, apakah memang sama sekali tidak ada ciri
Indonesia di film ini?. Ya masih ada, sedikit diselipkan melalui beberapa
adegan kebodohan. Beberapa humor disisipkan di film ini ditengah aksi-aksi laga
yang berlangsung. Humor tersebut berangkat dari perilaku-perilaku bodoh beberapa
pemeran dalam film ini. Seperti respon spontan yang konyol, kalimat dialog yang
lugu, dan pemilihan sikap untuk lebih menyukai bertarung dengan tangan kosong
dibanding senjata serta mengabaikan efisiensi tempo konflik dalam cerita
tersebut. Itulah wajah Indonesia yang ditampilkan dalam film ini.
Belum ada nilai-nilai ke-Indonesiaan yang membanggakan yang
ditampilkan dalam film tersebut. Kesuksesan film ini adalah karena sukses
menjiplak ‘gaya barat’. Maka dari itu film ini belum bisa dinyatakan sebagai
sebuah ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia. Karena seharusnya disini ‘kesuksesan’ film
‘Indonesia’ adalah ketika film tersebut telah berhasil membawa ‘wajah Indonesia’
yang sesungguhnya menjadi diakui oleh dunia.
Film The Raid bukan berarti gagal. Film Indonesia masih
terus belajar mencari gaya dan identitasnya sendiri. The raid adalah salah satu
langkah dan proses menuju hal tersebut. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari
film ini, terutama bagi kru-kru filmnya yang banyak bekerja sama dengan asing dan
tentu juga bagi seluruh insan kreatif perfilman Indonesia.
Semoga film ini menjadi tonggak belajar untuk terus berkarya
menciptakan film-film yang utuh ‘Indonesia’ dan sanggup mendefinisikan arti
dari ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.
Tulisan ini bukan tulisan konservatif yang takut akan dunia
barat. Kita harus akui bahwa memang kita bisa belajar banyak hal dari mereka. Tapi
bukan berarti semua dijiplak demi meraih prestasi yang sesungguhnya besar
kemungkinan hal ini adalah konspirasi penjajahan era baru. Ketika satu film
Indonesia sukses meraih penghargaan internasional, maka film-film lain pun akan
berpatokan kepada film ini. Secara latah, film-film lain mengikuti jejak
film ini. Alhasil semua film semakin akan mengikuti standar ‘barat’. Maka punahlah
nilai-nilai ke-Indonesiaan.
Jangan sampai hal tersebut terjadi. Indonesia masih memiliki
identitas dan standar ‘baik’ sendiri. Film ‘Indonesia’ harus mampu membuktikan
hal ini.
No comments:
Post a Comment