Saturday, August 20, 2011

Pembunuhan di Bulan Suci




Kisah ini terjadi di bulan Ramadhan ketika ane masih duduk di bangku SD gan. Ane kurang inget pasti kelas berapanya. Hari itu, puasa baru jalan setengah hari. Di dapur rumah ane nyokap dan kakak lagi pada bikin kue buat lebaran. Sementara ane, terkapar di atas lantai marmer kamar bonyok ane gan. Ya waktu itu baru kamar bonyok ane yang lantainya pake marmer. Secara, marmer kan dingin gan, jadi ane ya tengkurep disana buat ngobatin perut dan sekujur badan ane yang mendadak jadi lemes banget abis bantuin nyokap dan kakak bikin kue di dapur.

Awalnya ane semangat banget gan bantuin nyokap dan kakak di dapur bikin kue lebaran. Udah kebiasaan soalnya, lumayan bisa jadi alasan buat ane ke bokap. Daripada disuruh bersihin pagar ato halaman ato kerjaan-kerjaan berat lainnya mending ane nyari excuse bantuin nyokap bikin kue di dapur. Kerjaannya ringan dan baunya juga enak, hehe. Itu mindset ane waktu SD gan, jangan digeneralisir sampe sekarang ya. Sekarang InsyaAllah udah gak lagi, amin. Hehe.

Baru beberapa lama ane bantuin di dapur tiba-tiba badan ane jadi lemes dan bawaannya pengen tengkurep biar lemesnya ilang. Jadinya ya ane langsung cabut deh ke kamar bonyok trus tengkurep di marmer bagian deket pintu kamar, biar masi bisa juga nyium bau kue-nya, haha, tetep gak mau rugi. Tapi tiba-tiba ane ngerasa aneh. Ada yang gerak-gerak di kaki ane dan makin lama kayak jalan makin ke atas. Trus ane pun berdiri dan langsung ngeliat ke kaki dan sontak ane pun teriak “sipasaaaaaaan!!!”. Pasti pada bingung yaa itu bahasa planet mana?. Sipasan itu Bahasa Minang yang artinya Kelabang atau lipan gan. Ya sipasan berukuran segede spidol whiteboard bertualang di kaki kanan ane gan.

Waktu ane berdiri dan teriak sekalian ane juga gak lupa buat memberikan pukulan spontan ke sipasan tersebut dan ia pun melayang dan mendarat di lantai. Ane pun langsung meluncur dalam kecepatan tinggi melanggar rambu-rambu menuju dapur. Disana ane melaporkan berita kejadian perkara kepada mereka yang lagi pada adem ayem. Mereka pun langsung bertindak dengan membawa sejumlah peralatan tempur menuju TKP. Beberapa saat kemudian di TKP kemudian terjadi pertempuran tanpa perlawanan. Hujan pukulan tongkat sapu, sepatu, dan berbagai benda keras lainnya pun menginvasi kelangsungan hidup sipasan tadi yang ternyata belum sempat kabur dari TKP. Tak ayal dalam beberapa saat sipasan itu pun menemui ajalnya. Inna ilaihi wa inna ilaihi rajiun.

Seluruh pasukan pun menarik napas lega usai memenangi pertempuran itu. Sebuah ancaman bahaya telah berhasil ditumbangkan. Para pasukan pun kembali ke dapur dan kembali normal ; bikin kue lebaran. Sementara ane, ditugasi untuk membuang jenazah musuh ke luar wilayah pertahanan. Ane mengangkat jenazah itu dengan perasaan dilema antara dosa dan puas terhindar dari bahaya. Tapi ketika itu ane lebih berat ke kepuasan karena alhamdulillah kagak digigit. Usai membuang jenazah itu ane pun gak berani lagi tengkurep disana. Baru itu hikmah yang ane dapet waktu itu.

Tapi sekitar sepuluh tahun kemudian waktu ane lagi kehabisan kesibukan dan nyoba buat nyari kesibukan. Ane pun ngebuka info lomba bulan Agustus di laptop ane dan ane nemuin lomba nulis kisah ramadhan serambi FH UI. Beberapa menit mikir, akhirnya ane nemuin hikmah selanjutnya dari kisah di atas sehingga akhirnya ane ngikutin tu kisah ke ntu lomba. Hikmah selanjutnya adalah jangan suka ngeles, jangan manja ama puasa, jangan tidur dan males-malesan, dan yang paling utama adalah jaga hawa nafsu termasuk nafsu membunuh binatang. Ini kisah ramadhan ane, ente gimana gan?

Tulisan ini berhasil meraih juara favorit dalam Lomba Menulis Kisah Ramadhan Serambi FH UI.

Tuesday, August 16, 2011

Sudahi Perih Ini : Nyanyian untuk Kaum Kapitalis



Kajian Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan di Indonesia

Renungan 66 Tahun “Kemerdekaan?”

Apa yang harus
Ku lakukan lagi bila kau tak lagi tau diri
Karena aku hanya negara berkembang
Yang tak kau anggap
Aku tlah coba untuk memahamimu
Tapi kau tak peduli
Cukup sudah Kau mengurasi alamku lagi
Serpihan perih ini
Akan membawa mati
Aku mencoba
Membagikan segala yang telah aku punya
Namun semuanya hanya sia-sia percuma
Aku tlah coba untuk bernegosiasi
Tapi kau mengingkari
Sampai kapan Bisa membuatmu mengerti
Membuat aku bermakna
Di hatimu di matamu..wahai kaum kapitalis


Kutipan lagu di atas merupakan gubahan dari lagu dari Grup Band D’Massiv yang diubah untuk menunjukkan suara hati amanah konstitusi bangsa kita yang menginginkan kembali sumber daya alam dan kekayaan yang kita miliki untuk kembali ke pangkuan kita. Selama ini sumber daya alam dan kekayaan yang kita miliki begitu banyak keuntungannya hanya dirasakan oleh kaum kapitalis ; korporasi asing dan para oknum yang durhaka terhadap ibu pertiwi. Mungin lagu di atas bisa kita jadikan nyanyian kedua setelah Indonesia Raya nanti ketika merayakan hari lahir republik kita.

Tepat tanggal 17 Agustus 2011 ini negeri kita genap berusia 66 tahun. Hal itu berarti bahwa Indonesia kita telah meraih kemerdekaannya semenjak 66 tahun yang lalu. Namun sejatinya, bangsa kita belum meraih kebebasan dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Selama puluhan tahun, Indonesia kita terjebak dalam sistem pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi. Melalui kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia kita telah lepas kendali dalam pengelolaan sumber daya pertambangan yang dimilikinya.

Semua kita pasti sepakat bahwasanya negara kita adalah pemilik sumber daya alam yang begitu kaya. Namun hanya saja pada saat mengelolanya negara kita telah berbuat khilaf yang menyebabkan kita sangat dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing yang dengan leluasa melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menguasai, mengeksploitasi, dan menguras sumber daya tersebut dengan target produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.

Namun, betapa sangat disayangkan bangsa kita bergeming. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan justru mendukung penguasaan sumber daya oleh asing. Sebut saja, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal memberi jalan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai dan menjajah perekonomian kita, termasuk penguasaan sumber daya pertambangan kita. Atau seperti pada kasus penambangan di hutan lindung yang semula dilarang, seperti tercantum dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah kita dibolehkan kembali dengan menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004 sehingganya penambangan di hutan lindung itu pun kembali berlanjut.

Amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945 telah dengan begitu lantang menyuarakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam negara harus diperuntukkan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara (minerba), dan serta pengelolaan sumber daya air.

Fakta-Fakta Penjajahan Kapitalis


Kasus kekalahan Pertamina di Blok Gas Semai V, Ekploitasi Blok Natuna D-Alpha, Penggelembungan Cost Recovery oleh Chevron Pacific Indonesia, Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitong, dan berbagai fakta dan data lain akan dipaparkan disini untuk menyadarkan kita bagaimana permasalahan pertambangan sumber daya alam di bangsa kita yang begitu memprihatinkan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan kontemplasi bagi pemerintah kita dan pemimpin bangsa kita untuk selanjutnya mengambil langkah dan kebijakan strategis dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Fakta saat ini yang semakin memburuk yaitu cadangan sumber daya alam kita kian menipis, sementara korporasi swasta dan asing terus mengurasnya. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan pemerintah, DPR, dan semua kalangan dapat memperhitungkan kerugian negara yang semakin besar jika tidak segera melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam adalah hal mendesak yang harus segera dilakukan pemerintah.

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus segera diperbaiki. Dalam kasus Blok Semai V misalnya, pemerintah seharusnya menunujukkan keberpihakannya kepada Pertamina. Jika pemerintah konsisten terhadap amanat konstitusi, maka pemerintah seharusnya membatalkan penyerahan ekploitasi migas kepada Blok Semai V kepada Hess dan kemudian menyerahkannya kepada Pertamina. Pemerintah seharusnya bersungguh-sungguh mementingkan optimalisasi pendapatan negara dan berkomitmen menjaga ketahanan energi nasional.

Contoh permasalahan berikutnya yaitu masalah Blok Natuna D-Alpha. Seharusnya pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis, termasuk untuk menetapkan calon mitra Pertamina dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Pertamina sebagai BUMN di bidang migas harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai operator dalam ekploitasi Blok Natuna D-Alpha. Pemerintah perlu mengoptimalkan peranan tim koordinasi pengelolaan Blok Natuna D-Alpha yang diketuai oleh Mantan Wakil Direktur Pertamina Iin Arifin Takhyan.

Beranjak ke gugusan kepulauan Nusa Tenggara, permasalahan Tambang emas batu hijau di Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu Newmont juga menuai kontroversi. Putusan arbitrase sebenarnya membuka peluang bagi negara untuk segera memiliki saham NNT melalui BUMN dan BUMD. Pasalnya, arbitrase telah memerintahkan agar NNT segera menjalankan kewajiban divestasi dalam tempo 180 hari setelah keputusan sidang arbitrase. Sayangnya, tekad untuk menguasai saham-saham pertambangan tersebut pupus setelah adanya putusan pemerintah dengan dukungan DPR yang telah menunjuk Pemda NTB sebagai pemimpin dalam pembelian saham NNT.

Proses divestasi dalam kontrak karya merupakan langkah terencana untuk mewujudkan kedaulatan bangsa melalui pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki. Namun tujuan divestasi akan gagal terlaksana jika saham yang didivestasi tidak sepenuhnya dikuasai negara atau daerah karena di-“kerjasamakan” dengan pihak swasta atau asing. Dalam kasus tambang emas batu hijau, gagasan besar agar negara dapat menguasai kembali saham-saham pertambangan yang strategis justru dihambat oleh para oknum pejabat dan pengusaha di negeri ini.

Padahal pemerintah pusat dan daerah melalui BUMN dan BUMD seharusnya dapat bersinergi dalam penguasaan saham divestasi NNT, mengingat penguasaan saham mayoritas NNT akan membuka kesempatan penguasaan saham tambang oleh negara maupun daerah. Kerjasama ini juga diyakini akan meningkatkan nilai keuntungan bagi negara dan daerah pada akhirnya memberikan nilai manfaat secara maksimal bagi kepentingan pembangunan nasional.

Jika kita beralih pada kasus PSC PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), kita dapat merekomendasikan kepada pemerintah melalui BP Migas bahwa seharusnya negara segera mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang berlangsug di PSC. BP Migas perlu memperkuat pengawasan dan pengendalian serta evaluasi atas kegiatan kontraktor migas. Tujuannya adalah untuk menjaga kepentingan negara dalam merancang dan melaksanakan sistem pengendalian yang lebih baik secara konsisten. BP Migas juga perlu mengkaji ulang kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan PT CPI yang telah dan akan berpotensi merugikan negara di waktu yang akan datang.

Sejalan dengan hal diatas, penggelembungan cost recovery dan berbagai praktik korupsi oleh CPI sudah demikian terang benderang untuk segera diusut, karena memang sudah merupakan temuan hasil audit BPK. Disamping CPI, oknum-oknum lain termasuk pejabat negara yang mempunyai hubungan kerja dengan CPI dalam menjalankan konspirasi ini juga sudah sangat mendesak untuk dituntut. Mereka antara lain berada di Pertamina-BPPKA, MCTN, NN, dsb. Kita meminta KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menyidik mereka yang telah melakukan penyelewengan yang berpotensi merugikan negara sekitar Rp 14,44 triliun.

Terkait Blok Tangguh, sudah sepatutnya pemerintah melakukan renegosiasi kontrak dengan mengajukan opsi-opsi yang menguntungkan Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menolak klausul-klausul kontrak yang justru merugikan. Salah satu klausul dalam kontrak tangguh yang harus dinegosiasi kembali adalah formulasi penentuan harga gas tangguh yang sebelumnya dipatok secara flat pada harga US$ 3,38 per mmbtu. Pemerintah harus mengajukan formula baru penjualan gas tangguh yang disesuaikan dengan fluktuasi harga minyak dunia.

Sebagai negara bermartabat tentunya Indonesia sangat menghargai asas pada pacta sunt servanda yang menegaskan kewajiban para pihak untuk menghormati dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakati. Namun sebagai negara yang berdaulat, tentunya kita juga harus mengedepankan kepentingan nasional dan memegang azas keadilan. Jangan sampai sebuah kontrak yang telah disepakati keberadaannya justru menganggu ketertiban umum salah satu negara.

Bangsa kita seharusnya dapat menentukan nasibnya sendiri dan memiliki kebebasan untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, jika dalam pengelolaan sumber daya kita mengundang negara lain atau pun korporasi asing, maka kerjasama yang dikembangkan haruslah kerjasama yang saling menguntungkan.

Jadi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seharusnya membawa keuntungan bagi bangsa ini selaku pemilik sumber daya alam. Demikian juga halnya dengan kebijakan DMO pada eksplotasi migas Blok Cepu. Pemerintah perlu meninjau ulang pemberian izin penangguhan pelaksanaan DMO holiday pada saat puncak produksi kepada operator Blok Cepu ; Exxon Mobil. Jangan sampai akibat adanya tekanan dari kontraktor asing, negara dan rakyat menderita kerugian besar seperti dalam kasus tersebut.

Beberapa kasus pertambangan umum lainnya yaitu kasus Inco dan Freeport yang telah banyak menciderai hak asasi manusia, menambah angka kemiskinan, dan serta memperuncing kesenjangan sosial. Dalam kasus Freeport di Papua, hal ini juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Suku-suku anak dalam pun terusik eksistensinya dengan kehadiran korporasi asing yang menjarah tempat tinggal mereka. Hutan lindung dan lingkungan juga menjadi wadah limbah pertambangan. Kasus pertambangan umum seperti Inco dan Freeport telah memunculkan bahaya sosial yang laten dan mendasar.

Pada dasarnya, Indonesia kita sangat dirugikan oleh kontrak karya yang dibuat bersama korporasi asing. Oleh karena itu dalam kasus Freeport dan Inco, kita merekomendasikan agar Indonesia kita mengupayakan renegosiasi kontrak karya. Hal ini merupakan salah satu jalan untuk mencapai perbaikan nasib bangsa kita. Bangsa kita berpeluang memperoleh penghasilan lebih besar dari sumber daya pertambangan yang dimilikinya. Itu sangat pasti.

Saat ini telah banyak kontrak pertambangan di tanah air yang keberadaannya sudah tidak sesuai dengan dinamika politik dan iklim investasi. Akibatnya, keberadaaan kontrak-kontrak tersebut justru merugikan kepentingan nasional. Sayangnya, pemerintah justru seringkali tampak ragu untuk merenegosiasi kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan tersebut.

Pemerintah sering beralasan bahwa kita harus menghormati azas pacta sun servanda yang menegaskan dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakati. Namun di sisi lain, pemerintah sering kali lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa sebuah perjanjian tidak boleh mengganggu kepentingan nasional dan ketertiban umum suatu negara. Kadang-kadang sejumlah pejabat negara berperilaku seperti orang yang kalah sebelum bertanding atau bersikap malas untuk berjuang secara optimal untuk renegosiasi kontrak.

Kita Bukan Bangsa Pelayan

Kedaulatan ekonomi, politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, serta pendidikan harus sepenuhnya berada di tangan bangsa kita sendiri. Sebuah bangsa memang harus membuka diri dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain, hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam pergaulan antar bangsa dan negara di era globalisasi ini. Akan tetapi, semua itu harus dilakukan dalam kesetaraan, kesederajatan, kesejajaran, dan dibangun atas dasar saling menguntungkan. Bangsa kita tidak boleh lagi sekadar menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentigan-kepentingan korporasi-korporasi besar yang bertindak sebagai majikan.

Beberapa proses divestasi perusahaan tambang asing seringkali hanya menguntungkan kelompok-kelompok usaha yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, seperti yang sedang berlangsung pada saham NNT. Dengan kekuatan lobinya, kelompok ini mudah meyakinkan dan mengajak pejabat negara, di pusat dan daerah untuk “bekerjasama” guna mencapai tujuan pribadinya. Sungguh ironis jika pemerintah masih saja mengulangi kesalahan yang terjadi dalam proses divestasi Freeport, Inco, KPC, atau Blok Cepu yang semuanya telah menguntungkan A Latif, Bakrie atau Bob Hasan. Pemerintah harus mengakhiri perilaku KKN ini.

Renegosiasi Kontrak : Harga Mati

Kita tentu berharap pemerintah dapat segera bertindak dalam mengatasi permasalahan pengelolaan pertambangan yang mendesak ini. Pemerintah harus segera kembali mempelajari dan menelaah seluruh kontrak kerja sama (KKS) atau pun kontrak production sharing (KPS) di bidang migas, serta kontrak karya (KK) di bidang non migas secara jujur dan rasional serta bemartabat. Renegosiasi terhadap semua KKS/KPS dan KK yang jelas-jelas merugikan kepentingan bangsa kita serta mengancam keberlanjutan sumber daya alam kita harus segera dilakukan.

Konsep pembangunan berkelanjutan pun harus dikedepankan dengan memelihara kelestarian lingkungan kita. Maka pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan-kegiatan korporasi asing yang terlihat nyata merusak lingkungan selama menambang sumber daya alam kita. Perusakan lingkungan yang dilakukan korporasi asing merupakan utang lingkungan. Seluruh pajak, royalti, dan pembagian keuntungan yang diperoleh Indonesia kita melalui korporasi asing niscaya tidak akan cukup untuk membangun kembali lingkungan yang telah rusak total. Maka penanganan kasus ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan pemerintah.

Dengan demikian, kepemimpinan baru diharapkan dapat segera mengkampanyekan pentingnya menancapkan kembali tekad kemandirian nasional. Seluruh elemen bangsa kita harus disadarkan bahwa bangsa Indonesia kita adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Setelah merdeka lebih dari enam dasawarsa, bangsa kita harus mampu mandiri mengurus diri sendiri dan sumber daya alam yang dimiliki secara holistik dan bermartabat. Tulisan ini diharapkan dapat berfungsi untuk memulai dengan langkah pertama guna mewujudkan tekad kemandirian bangsa di bidang pengelolaan sumber daya alam.

Mahasiswa, sebagai insan berpendidikan yang selama ini seharusnya peduli terhadap hal ini harus mampu menentukan sikap detik ini usai mengetahui fakta ini. Apapun disiplin ilmunya hal ini tetap merupakan suatu yang vital dalam mewujudkan kemandirian bangsa. Segeralah selesaikan studi anda, bekali diri secara optimal, dan segera masuk ke dalam sistem tersebut untuk dapat merubahnya secara maksimal.

Fakta hari ini adalah dobrakan sistem dari luar berupa aksi propaganda media massa dan turun jalan maupun bentukan dobrakan dari luar lainnya telah terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Maka dari itu mendobrak sistem dari dalam, mengubah kebijakan, dan menjaga konsistensi anti kapitalis adalah solusi yang paling ideal untuk saat ini untuk mewujudkan kemandirian bangsa kita dalam pengelolaan sumber daya alam kita.

“Saintis (ilmuwan) Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini. Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara.” (Tan Malaka)

Sumber Referensi
Batubara, Marwan. 2009. Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menuju Negara Berdaulat. Jakarta: KPK-N.
Chord d'Masiv Sudahi Perih Ini, Author : ChordFrenzy.com

Tulisan ini diikutsertakan dalam Olimpiade Ilmiah Mahasiswa UI 2011

Pelaku Sejarah (Kami)




Untuk Orang Tua Terhebat Kami..

Tidak ada yang pernah tahu akan isi hati terdalammu
Namun begitu
Kami terlalu yakin dengan keyakinan kami
Begitu banyak kisah luar biasa yang bersemangat memperjuangkan keyakinan itu

Berangkat dari janji setiamu dalam ikatan suci ladang amal
Kami selaku titipan Tuhan pun kau lahirkan penuh keikhlasan
Waktu, harta, tahta, dan sejumlah pengorbanan tak terhitung pun kau hadiahkan tanpa pamrih
Tuhan, budi pekerti, dan berbagai bekal kehidupan pun kau tanamkan mengakar di diri kami

Kami pun beranjak dewasa
Ilmu yang bersinergi bersama lingkungan di sekitar kami pun mulai bergejolak
Menyatu padu dan bertabrakan dengan sintesa bekal yang kau beri
Perbedaan pendapat, konflik, dialektika, dan berbagai dinamika lain bereaksi di istana kami
Sebuah istana keilmuan, kebijaksanaan, dan kecerdasan mengagumkan

Raihan prestasi, sanjungan, nama baik, dan pujian pun tercipta bagi kami
Semua itu..bagi kami tak lain hanyalah titipan nikmat
Yang seharusnya diberikan padamu
Pelaku sejarah kami sesungguhnya
Orang tua terhebat se alam semesta..


Puisi ini diikutsertakan dalam Sayembara Puisi Forum Sastra Bumi Pertiwi 2011 dan dibukukan dalam Buku Antologi Puisi 'Kutukan Negeri Rantau'

Tuesday, August 9, 2011

Konsep dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan Kampus Ramah Lingkungan Di Indonesia



Permasalahan lingkungan di Indonesia yang begitu kompleks dan riskan tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan parsial. Hal ini memerlukan instrumen pengelolaan lingkungan yang terintegrasi dan sekuensial sifatnya. Konsep pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah instrumen yang tepat untuk hal ini. PT dalam memenuhi janji tri dharmanya merupakan pilar yang paling kokoh bagi instrumen tersebut.
Dengan merekomendasikan kepada pemerintah untuk segera membentuk payung hukum atas konsep ini sebagai revisi dari UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, maka PT akan melakukan sinergisasi pergerakan dalam mengimplementasikan konsep ini. Konsep ini dimulai dengan penetapan indikator kampus ramah lingkungan dan penetapan strategi pembangunannya.


Indikatornya meliputi efisiensi penggunaan kertas sebagai kebutuhan pokok pengajaran, efisiensi pengelolaan sampah dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, efisiensi penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau dan estetika (landscape), efisiensi penggunaan listrik, efisiensi penggunaan Air, efisiensi pemakaian sumber daya alam, dan upaya kontribusi pengurangan pemanasan global. Sedangkan strategi pembangunannya meliputi tahap konsolidasi, tahap rehabilitasi lahan, tahap implementasi, dan tahap pengembangan dan pengelolaan


Pemerintah sebagai pemangku kebijakan sangat diharapkan sekali kepekaannya terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia. Maka dari itu perumusan segera payung hukum terhadap konsep pembangunan berkelanjutan kampus ramah lingkungan di Indonesia akan menjadi solusi terbaik bagi lingkungan hidup Indonesia maupun PT di Indonesia.
Kata Kunci : Perguruan tinggi (PT), Kampus Ramah lingkungan,Pembangunan berkelanjutan

Abstrak Karya Tulis ini diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Katulistiwa yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Kontradiksi Hutan dan Kota



Hutan dan Kota adalah dua kutub isu yang selalu menggelitik didalam fenomena pembangunan dewasa ini, karena hutan mempunyai ekspresi kearah konservasi, sedangkan kota ekspresinya berupa ekspansi. Keduanya ternyata merentangkan benang merah dalam pembangunan yang berkesinambungan, antara jawaban atas tuntutan dan tantangan ruang serta waktu yang dihadapi. Agar makna dan tujuan pengembangan hutan kota memiliki persepsi positif di kalangan masyarakat, baik di DKI Jakarta maupun provinsi lain di Indonesia. Salah satu embanan tugas bagi pengelolanya adalah menyampaikan informasi pentingnya hutan kota, karena merupakan langkah cerdas membangun peradaban yang cinta lingkungan.

Abstrak Karya Tulis Ilmiah ini meraih peringkat 8 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Hutan Indonesia yang diadakan oleh BEM FMIPA UNP (Universitas Negeri Padang)

Sinergisasi Mitigasi Bencana



“Bukan lautan, tapi kolam susu”(Koes Plus)

Penggalan lirik lagu diatas mungkin perlu ditambahkan dengan kata ‘beracun’. Karena ternyata lautan kita terkadang juga dapat mematikan disebabkan potensi bencana didalamnya. Berbicara potensi bencana di Indonesia sudah sangat sering dibahas. Melangkah kepada solusi berarti kita harus benar-benar memikirkan dan merencanakan strategi mitigasi bencana.
“Sinergi dibutuhkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat hingga dunia internasional dalam mitigasi bencana”, ucap Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional Syamsul Maarif terkait ASEAN Regional Forum Disaster Relief Exercise (ARF DiREx) di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 14 – 19 Maret 2011 lalu. Solusi ini bercermin kepada kesuksesan Jepang dalam mitigasi bencananya yang diatur dalam konstitusinya. Hal ini memang solusi yang sangat ideal.
Namun pada pelaksanaannya kita terkendala oleh permasalahan dari tiap unsur terkait diatas.
Dana penanggulangan bencana yang dianggarkan pemerintah pusat hanya Rp250 miliar untuk tahun 2010. Tahun ini anggaran meningkat menjadi Rp663 miliar untuk seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu Jepang memiliki pesawat dan teknologi tinggi lainnya yang bernilai ratusan triliun rupiah untuk menanggulangi bencana.
Pada tataran pemerintah daerah (pemda), manajemen penanganan bencana alam yang tidak antisipatif masih sering terjadi. Contohnya pada akhir 2007 dan awal 2008 ketika banjir besar di Kabupaten Bojonegoro. Pemda kebingungan mencari dana karena keuangan di APBD tinggal Rp300 juta dan sebagian besar APBD habis untuk Pilkada. Dari kalangan ilmuwan, para ahli Indonesia telah membuat pemetaan kawasan rawan bencana. Mereka membuat pengelompokan daerah tidak berpenghuni, boleh bercocok tanam, dan daerah mana saja yang boleh berpenghuni. Sayangnya, sosialisasi hal ini dan kesadaran dari masyarakat kita masih sangat rendah.
Berbagai permasalahan diataslah yang akhirnya mengakibatkan sinergisitas yang diharapkan tak kunjung terwujud. Pemerintah pusat seharusnya memandang mitigasi sebagai investasi bukanlah cost. Begitu juga dengan pemda seharusnya memiliki manajemen keuangan yang lebih baik, terutama untuk daerah yang memiliki potensi bencana lebih besar. Terkait masyarakat, dalam UU 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana yang terjadi tidak bisa dibebankan kepada pemerintah seluruhnya. Masyarakat juga harus bisa mencerdaskan diri sendiri. Maka dari itu seharusnya masyarakat memiliki kesadaran lebih dalam hal mitigasi bencana
Jika semua perbaikan diatas telah tercapai maka kita dapat memulai langkah sinergisasi. Dimulai dengan koordinasi berbagai organisasi atau lembaga yang terlibat di lapangan harus bersifat proaktif. Koordinasi harus terpusat pada lembaga yang berwenang dan ditunjuk sehingga tidak saling menunggu. Dalam menjalankan misi ini tentu kita harus memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang rapi.
Imam A Sadisun dari Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan dasar dari SOP mitigasi bencana. Pertama yaitu kita harus mendefinisikan jenis aktifitas yang akan dilakukan dalam kondisi darurat. Kedua, menetapkan tolak ukur penilaian suatu pencapaian aktifitas. Ketiga, menyusun antisipasi faktor-faktor yang paling berisiko. Keempat, membangun jaringan dalam melakukan pertolongan darurat. Kemudian melakukan estimasi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan masing-masing aktifitas. Terakhir adalah membuat jadwal seluruh kegiatan yang diperlukan selama kondisi darurat dengan cermat dan sistematis.

I love my superhero



Ibnu Budiman, it’s my name which is given by my beloved parents. I come from a great family in Indonesia. I have amazing parents, four brothers and one sisters which is also amazing. Both of my parents is civil servants. My father is police and now he was retired. Meanwhile my mother is teacher. They both come from poor family and start their marriage with limited economic capabilities. Their salary is not enough for their family needs. Therefore they have to search any loan from another source for fund their family needs. They never give up to struggle for future of their children. In their opinion, the most important thing for their children is education. My father once said ‘you have to reach higher education than us’.

When I was child my parents is very diligent to teach me anything ; reading, writing, etc. Therefore I could read before entering school. My parents also was very selective in choose school for their children, include for me. My school is located quite far from my house because there’s no best school near of my house. In 1995 my father was pension from his work and in 1998 my country was stricken economic crisis. Condition of our financial deteriorated because our needs increased, so that my father must work again. He became security guard during five years, but then he stopped because bad condition inside and after that he tried to be enterpreneur.

He hired a fish farms. My third brother and I became his assistant. I spent half of my elementary school time in that fish farms. In place, we must take a bath in river. Every morning in school day I never take a bath because I could’nt take a bath with cool water and I also feared because the river still dark in dawn. I also rarely watched TV because in that fish farms we got electricity only in night. Entertainment for me was nature ; fishpond, river, dog, and papaya trees. It so different with my friends in school who had TV, nintendo, play station, bike, etc. But it all never make me give up to keep spirit. I got many achievement in school and I succeed to enter the most favorite junior high school in my province.

Our fish farms ended when I was in last year in elementary school because we was aggrieved by landowner. After that, my father chose to be cadger in traditional market and like before ; I also became his assistant. It continued until I entered junior high school. Majority of student in my new school derived from rich family. I felt ashamed with my condition. Before and after school I must help my father became cadger. I was so afraid if my friends knew about this, moreover my school is located near of that traditional market. This fact make my performance was’nt stable in school and finally I was failed to get best score. I just could continue to private school in my town, it so different with my school before.

I regretted my mistake. I should’nt ashamed to help my father became cadger. I should be proud to him. He was so amazing, although he has been old but he never give up to struggle for his family. Forgive me dad. I redeemed all of my mistake with improve my performance in senior high school. I succeed to become overall winner in my school in fifth semester. I succeed to lead our class to become overall winner in school art show. Afterwards, my last achievement in senior high school made our family became so proud. I was received in University of Indonesia (UI) ; the best university in my country.

I became more and more developing when I was in university. So many motivation and inspiration which made me to be more and more diligent. I was active in many organization. I became a Chairperson in Minangkabau Student Association of UI, Founder of Nusantara Association, Head of Information and Communication In Natural Sains and Mathematic Student Organization Association of Indonesia, Head of Public Relations in Student Study Group of UI, and Deputy of Public Relation in Student Excecutive Organization of Faculty Natural Sains and Mathematic UI. I succeed to become one of delegation UI in student exchange program in University of Malaya ; Malaysia.

Success is not only happen in my self but it also happen in our brothers and sister. My first brother became a general manager of Takadeli Company which had many branch in cities of Indonesia. My second brother became a consultant of information technology in big company in Indonesia. My third brother became successful enterpreneur. My sister became a smart accountant. It’s all because of you ; our superhero ; our parents. I love you.

This essay was sent in International Essay Contest which Organized by The Goi Peace Foundation and UNESCO

Maroko [Jangan] Belajar Demokrasi dari Indonesia



Hubungan Persahabatan RI-Maroko merupakan salah satu bentuk hubungan internasional yang sejatinya mencakup rentang isu yang luas, dari globalisasi dan dampak-dampaknya terhadap masyarakat-masyarakat dan kedaulatan negara sampai kelestrarian ekologis, penggunaan energi, nasionalisme, perkembangan ekonomi, budaya, pendidikan, keselamatan umat manusia, hak-hak asasi manusia, dan berbagai bidang lainnya. Sebagian besar hal di atas sesungguhnya telah dilakukan oleh kedua negara yang menjalin hubungan cukup baik selama 51 tahun hingga disebut sebagai “Akh Syaqiq” (Saudara kandung). Konon kisahnya di masa lalu hubungan kedua negara ini begitu indah.

Namun jika berbicara tentang masa lalu maka membuat saya ingat akan sebuah film yang berjudul “Back To the Future”. Film tersebut berpesan agar kita jangan pernah terpaku pada masa lalu karena kita hidup saat ini. Lakukan yang terbaik saat ini demi masa depan. Biarlah masa depan tetap menjadi misteri dan lakukan yang terbaik saat ini, karena apa yang kita lakukan saat ini akan berkontribusi untuk masa depan kita. Masa lalu merupakan sebuah kenyataan hidup yang menjadi pengalaman penuh arti. Jadikan ia sebagai pembelajaran dan perbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan pada masa lalu, ya tentunya bukan dengan kembali ke masa lalu, namun dengan melakukan perbaikan pada saat ini.
Pertanyaan pertamanya adalah “apa perbaikan yang bisa kita lakukan saat ini?”. Sistem politik, ia adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem ini melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem tersebut yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap di antara elemen-elemen pembentuknya. Hal ini berarti sistem ini berpengaruh besar terhadap banyak aspek kehidupan dalam suatu negara. Hal inilah perbaikan yang akan kita lakukan. Demokrasi, ia merupakan sistem politik yang sama-sama dianut oleh kedua negara. Namun disini terdapat sedikit perbedaan dalam pencapaian penerapannya.

Pasca reformasi, pelaksanaan demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini diungkapkan Presiden SBY saat berbicara pada forum World Movement for Democracy (WMD) di Jakarta pada bulan April 2010 lalu. Ia menyatakan bahwa praktik demokrasi di Indonesia menunjukkan perkembangan positif dengan segala dinamikanya. Terselenggaranya pemilu di berbagai tingkat pemerintahan, terwujudnya kebebasan pers, dan berbagai pencapaian lain merupakan wujud kemajuan demokrasi di Indonesia. Namun ternyata fakta hari ini tentang berbagai kemajuan tersebut menimbulkan dampak negatif dan berbagai resiko yang cukup fatal nantinya.

Pemilu di Indonesia yang berdasarkan pada suara terbanyak rakyat ini nantinya bisa berakibat fatal jika suara terbanyak itu ternyata jatuh pada orang yang salah. Hal ini bisa saja terjadi mengingat money politic yang sangat marak di Indonesia. SBY pun juga menyatakan bahwa ada dua faktor penghambat demokrasi yang belum tuntas, yaitu politik uang dan politik ketergantungan. Hal selanjutnya yaitu terkait kebebasan pers yang sangat bebas. Media di Indonesia saat ini sebagian besar telah sarat akan kepentingan politik pemilik media. Banyak sekali media partisan yang tumbuh bahkan menjadi besar.

Lukas Luwarso, mantan Direktur Eksekutif Dewan Pers menyatakan bahwa kebebasan pers yang sangat longgar saat ini tidak hanya menumbuhkan ratusan penerbit baru. Akan tetapi, juga menimbulkan kebebasan pers yang anarkis. Kebebasan pers telah menghadirkan secara telanjang segala keruwetan dan kekacauan. Publik bisa menjadi leluasa membaca dan menyaksikan pola tingkah figur publik. Serta, hampir tidak ada lagi rahasia atau privasi. Tabloid-tabloid yang sangat sarat berita dan foto pornografi sangat marak. Judul-judulnya pun sensasional, menakutkan dan bahkan menggemparkan (scare headline). Berita-berita yang ditampilkan sebagian besar media cenderung selalu menekan pemerintahan.

Fakta-fakta di atas berdampak pada kekacauan pola pikir masyarakat. Kisruh politik dan berbagai kekacauan di negeri ini yang selalu digembar-gemborkan di media membuat sebagian besar masyarakat merasa muak dan pesimis akan kemajuan negerinya, hal ini juga yang memicu semakin meningkatnya brain drain di Indonesia. Hal ini juga berdampak pada lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena ketidak-stabilan politik dalam negeri yang didramatisir media. Semua fakta di atas menimbulkan dilema tentang demokrasi di Indonesia. Pertanyaan keduanya adalah “apakah seperti ini demokrasi yang Indonesia inginkan?”.

Sedangkan di lain sisi Maroko saat ini justru tengah gencar untuk menerapkan praktik-praktik demokrasi di negaranya. Bahkan Wakil Menteri Luar Negeri Maroko Latifa Akherbach menyatakan ingin belajar demokrasi dari Indonesia. Hal itu disampaikan Latifa Akherbach dalam resepsi peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia- Maroko tahun 2010 lalu di Rabat. Hal ini sangat ironi sekali jika kita memperhatikan dampak-dampak demokrasi di atas. Hal yang sama juga bisa terjadi pada Maroko dan bahkan mungkin bisa berdampak lebih parah.

Dampak lebih parah tersebut dipicu oleh Konstitusi Maroko yang mengatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan semua hukum harus berkesesuaian dengan syariah. Sedangkan faktanya antara Islam dan Demokrasi memiliki beberapa nilai yang cukup bertentangan. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya “Demokrasi Sistem Kufur” menyatakan bahwa ada kontradiksi antara Demokrasi dengan Islam. Hal tersebut dibagi menjadi lima unsur. Pertama adalah sumber kemunculan, sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW.

Yang kedua yaitu Aqidah. Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Sedangkan Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Yang ketiga yaitu pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan. Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri. Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat.
Keempat yaitu prinsip mayoritas. Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Terakhir yaitu kebebasan. Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu: Kebebasan beragama (freedom of religion), Kebebasan berpendapat (fredom of speech), Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership) dan Kebebasan bertingkah laku (personal freedom). Sedangkan dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Fakta-fakta ini pun melahirkan pertanyaan ketiga yaitu “apakah Demokrasi seperti Indonesia tepat diterapkan di Maroko mengingat Maroko adalah negara Islam?”.

Ketiga pertanyaan di atas sesungguhnya saling terkait satu sama lain. Untuk menjawab pertanyaan pertama maka kita harus menjawab pertanyaan kedua dan ketiga terlebih dahulu. Demokrasi yang diinginkan oleh rakyat di Indonesia tentu bukanlah seperti yang menimbulkan dampak seperti sekarang. Indonesia perlu mengevaluasi dan menata ulang sistem demokrasinya. Indonesia harus belajar dari banyak negara maju. Datuk Fuad Ibrahim dari Kementrian Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia pernah mengungkapkan Indonesia membutuhkan Guided Democration.

Sedangkan untuk Maroko, hal ini cukup serius mengingat hal ini sangat bertentangan dengan konstitusi negaranya. Maroko harus bisa belajar dari evaluasi pelaksanaan demokrasi di Indonesia dan negara Islam lain. Hubungan baik yang terjalin antar kedua negara seharusnya memperhatikan permasalahan ini. Kedua negara dapat saling mengevaluasi dan merumuskan sistem politik seperti apa yang tepat untuk diterapkan di kedua negara. Apakah demokrasi memang jawaban yang tepat?. Jika ia, maka demokrasi seperti apa yang dimaksud?. Kedua negara harus menemukan jawaban dari permasalahan ini demi akselerasi kemajuan kedua negara.

Daftar Pustaka
http://pewarta-indonesia.com/kolom-pewarta/indonesia-maroko/5228-51-tahun-hubungan-qakh-syaqiqq-indonesia-maroko-35s.html
http://islam-download.net/contoh-contoh/contoh-hubungan-internasional-indonesia.html
http://wal-ashri.blogspot.com/2009/05/masa-lalu-masa-kini-masa-depan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik
http://www.citydirectory.co.id/news/item/indonesian-democratic-post-reformation-
http://suara-santri.tripod.com/files/nasional/nasional5.htm
http://www.antaranews.com/berita/1277171547/maroko-ingin-belajar-demokrasi-dan-islam-dari-indonesia
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/kementerian-pendidikan-maroko-hapus-nuansa-islam-dari-buku-buku-sekolah.htm
http://ekonomipolitikislam.blogspot.com/2009/04/demokrasi-sistem-kufur.html

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Hubungan Indonesia Maroko yang diselenggarakan oleh PPWI Indonesia.

Masalah SDM dan Demokrasi di Negeriku



Saya dibesarkan di sebuah organisasi yang dianggap berpaham primordial oleh sebagian besar orang, terutama sivitas akademika di kampus saya. Ikatan Mahasiswa Minang Universitas Indonesia (Imami UI), begitulah nama organisasi tersebut. Sebagai satu-satunya perwakilan dari SMA saya di UI membuat saya harus mencari wadah yang bisa menghantarkan saya ke jejaring yang lebih luas. Imami UI menjawab kebutuhan saya tersebut paling awal sehingganya saya akhirnya mulai aktif di organisasi tersebut. Organisasi ini juga sebenarnya yang dulu telah membantu menetapkan pilihan saya untuk berkuliah di UI. Mereka dulu pernah datang ke kelas saya di SMA membangkitkan motivasi saya dan membagi banyak informasi tentang UI. Mereka memiliki sebuah kegiatan yang sangat bermanfaat dan baru saya sadari setelah saya jauh berkecimpung di dalamnya.

Di awal bergabung, yang saya rasakan memang sebagian besar organisasi tersebut banyak memiliki kegiatan yang bersifat kekeluargaan. Memang terkadang agak primordial, namun sebenarnya ini kembali kepada perspektif masing-masing. Namun klimaks manfaat yang saya nyatakan di atas dirasakan ketika kegiatan ‘Kampus Goes to Kampuang (KGTK) 7’ di tahun 2010, ini merupakan kelanjutan dari kegiatan yang dulu membantu menghantarkan saya ke UI. Kegiatan ini ternyata telah berlangsung dari tahun 2003 dan terus mengalami perkembangan. KGTK 7 saat itu terdiri dari konten acara lomba fotografi, roadshow ke berbagai SMA/sederajat di Sumatera Barat : Sumbar (ketika itu saya belum tahu berapa jumlah sekolah yang dikunjungi), Try Out (TO) SNMPTN se Sumbar, Workshop Gempa Sumbar, Studi Islam dan Adat (Silat), dan Bedah Kampus UI. Kesan saya setelah terlibat dalam kepanitiaan acara tersebut adalah betapa banyaknya pengalaman luar biasa yang bermanfaat bukan saja buat saya namun juga bagi para peserta acara yang didapatkan.

Pada tahun selanjutnya kegiatan tersebut kembali dilanjutkan dan saya kali ini bertanggung jawab penuh terhadap keseluruhan acara tersebut karena saya diamanahkan menjadi Ketua Umum Imami UI ketika itu. KGTK 8 saat itu terdiri dari konten acara yang sebagian besar hampir sama dengan KGTK sebelumnya kecuali acara ‘Minangkabau Culture Festival (MCF)’ yang merupakan konten baru. KGTK 8 melibatkan 112 SMA/sederajat di Sumatera Barat yang terdiri dari kami bagi menjadi 16 daerah kerja dalam tiap konten acaranya. Suatu kondisi darurat ketika itu mengharuskan saya untuk mengurus seorang diri Kabupaten Pasaman Barat (Pasaman), lima jam dari kota Padang. Petualangan pun dimulai.
Setelah mendapat izin dari orang tua di sore Hari Rabu itu saya berangkat ke Pasaman Barat dengan bus. Sekitar jam sembilan malam saya sampai di Kecamatan Simpang 4 yang merupakan capital kabupaten tersebut. Saya bermalam di rumah kenalan ayah saya yang sangat berjasa besar dalam kisah ini. Malam itu juga saya segera ditunjukkan rute-rute menuju tempat yang akan saya tuju esok harinya yaitu SMA 1 Pasaman, Kantor Bupati Pasbar, dan Kantor Dinas Pendidikan (Dispen) setempat. Esok paginya saya pun dipinjamkan sebuah motor yang saya kemudikan dengan modal ‘keyakinan’.

Sekitar pukul setengah sembilan saya pun berangkat bersama ‘Basmalah’. Tujuan pertama yaitu Kantor Bupati untuk memberikan surat pemberitahuan kegiatan dan permohonan dana. Tapi ternyata ia dan seperangkat jabatan dibawahnya semua berhalangan untuk ditemui. Akhirnya saya memutuskan untuk lanjut ke Kantor Dispen untuk meminta surat rekomendasi kegiatan dan disana saya juga tidak dapat menemui Kepala Dispen-nya. Selanjutnya saya menuju SMA 1 Pasaman untuk negosiasi kegiatan dan Alhamdulillah kepala sekolahnya sangat bersahabat. Saya pun dipersilahkan esoknya untuk sosialisasi ke tiap ruang kelas XII dan menyelenggarakan TO disana.

Usai itu saya kembali lagi ke Kantor Bupati dan syukurlah saya berhasil menemui Sekretaris Daerah dan dia merespon baik terhadap kegiatan ini meskipun tidak bisa memberikan bantuan dana. Setelah itu saya lanjut lagi ke Kantor Dispen dan kembali bersyukur dapat menemui Kepala Dispen. Meskipun responnya kurang baik tapi akhirnya saya sukses mendapatkan surat rekomendasi kegiatan. Disana saya mendapat informasi dari salah seorang pegawai disana bahwa jumlah siswa SMA yang lanjut ke Perguruan Tinggi tak lebih dari 30 %. Betapa rendahnya tingkat pendidikan disini. Esok paginya saya pun menjajal delapan kelas dengan segudang motivasi dan informasi dan siang harinya menyelenggarakan TO bersama staf dadakan saya para siswa yang aktif. Para guru tidak mau membantu mengawas karena tidak dibayar.

Hari ketiga, saya lanjut ke SMA Lambah Malintang yang ditempuh dalam satu jam perjalanan dari penginapan saya. Ternyata sekolah tersebut tak merespon dengan baik dan saya gagal beramal disana. Tiga hari luar biasa dan pengalaman lainnya yang begitu banyak di KGTK 8 tersebut memberikan saya salah satu kunci kemajuan negeri ini. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM), hal inilah yang mesti digalakkan untuk mendongkrak indeks pembangunan manusia Indonesia yang terdampar di posisi 111 dari 182 negara (AntaraNews, 2010). Dunia pendidikan adalah media yang paling efektif untuk itu.

Maka dari itu akhirnya saya mencoba menyebarkan gerakan ini ke berbagai organisasi sejenis yang ada di UI. Ada sekitar tiga puluhan organisasi mahasiswa daerah yang ada di UI yang aktif. Kami pun mencoba menggagas Paguyuban Nusantara UI yang fokus pada pemberdayaan di bidang pendidikan, sosial, dan budaya. Visi dari gerakan ini adalah membantu menyukseskan akselerasi otonomi daerah di Indonesia. Melihat kepada Malaysia yang cukup sukses dengan sistem federalismenya membangkitkan kemajuan tiap state-nya dan demokrasi disana bukanlah seperti di Indonesia melainkan guided democration maka lahirlah pertanyaan ‘Apakah hal ini mungkin diterapkan di Indonesia guna mendorong lahirnya kebangkitan ?’.

Tulisan ini lulus dalam seleksi peserta Pertemuan Jaringan Demokrasi antar Universitas di Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia

Menekan Brain Drain Sumbar


Optimalisasi Peranan Organisasi Minangkabau Rantau Sebagai Upaya Akselerasi Otonomi Daerah Sumatera Barat Dan Menekan Laju Brain Drain Suku Minangkabau

Pola migrasi masyarakat Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat (Sumbar) setiap tahun menunjukkan tren kenaikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 menunjukkan migrasi keluar Sumbar mendekati angka satu juta jiwa. Migrasi tersebut itu pun sudah menjadi sebuah brain drain karena sebagian besar mereka merupakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Ini dibuktikan dengan jumlah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang berasal dari Sumbar mencapai angka 200 orang setiap tahunnya dan terus mengalami kenaikan. Meskipun dalam ajaran adat sebenarnya mereka diwajibkan untuk kembali ke kampung halaman, namun karena berbagai faktor sebagian besar diantara mereka tidak pernah kembali. Ini dibuktikan oleh migrasi netto Sumbar di tahun 2005 dari data BPS sejumlah minus 620.858.

Sementara itu dilain sisi program otonomi daerah yang digalakkan setelah reformasi belum banyak mengalami kemajuan karena rendahnya kualitas SDM yang mengelola. Yang dihasilkan malah berbagai kasus korupsi di berbagai daerah seperti di Padang tahun 2006, Padang Panjang, Pariaman, dan berbagai wilayah lain. Maka dari itu untuk menciptakan akselerasi otonomi daerah dan menekan laju brain drain yang terjadi di Sumatera Barat sangat dibutuhkan sekali SDM-SDM yang handal dan berkualitas untuk dapat mengelola otonomi daerah tersebut.

Keberadaan organisasi minang rantau yang menjamur hampir di seluruh Indonesia bahkan dunia memiliki potensi besar untuk menjawab permasalahan di atas. Ada begitu banyak organisasi tersebut, di Jabodetabek saja bahkan mencapai sekitar 200 organisasi. Namun belum semuanya mampu berjalan dengan baik atau bahkan mati. Hal ini diakibatkan kurangnya koordinasi antar mereka dan perhatian dari pemerintah provinsi (pemprov). Padahal semua memiliki tujuan yang sama yaitu memajukan nagari untuk negeri.

Maka dari itu dibutuhkan sebuah gerakan bersama antar semua organisasi tersebut bekerja sama dengan pemprov maupun organisasi minang lain yang ada di Sumbar. Tahapan pertama dimulai dengan langkah konsolidasi terlebih dahulu yang dikelola oleh pemprov. Pada mubes tersebutlah ditentukan rancangan yang mengatur tahapan-tahapan selanjutnya.
Tahapan kedua yaitu melakukan kajian terhadap apa saja permasalahan strategis yang ada di daerah. Permasalahan tersebut dikaji secara komprehensif dan diurut menggunakan skala prioritas mana yang dianggap paling penting dan mendesak.

Setelah usai mengkaji permasalahan tersebut maka hasilnya akan dapat digunakan untuk masuk ke tahapan selanjutnya yaitu penyatuan visi. Berdasarkan kepada rumusan permasalahan yang ada di daerah tadi maka dapat disatukan sebuah visi bersama yang akan menjadi sasaran utama dari pergerakan ini. Dari visi tersebut kita mengurai tahapan selanjutnya yaitu penetapan target. Penetapan target ini tentu berdasarkan skala prioritas yang telah disusun di tahapan kedua tadi. Target-target yang dibuat harus realistis dan terukur.

Tahapan keempat dilanjutkan dengan pembagian peran.Penetapan target tadi menjadi landasan utama dalam pembagian peran. Setiap target yang telah ditetapkan harus memiliki penanggung jawab.Setelah semuanya selesai maka yang jauh lebih penting dari semua hal yang bersifat perencanaan di atas adalah implementasinya. Bagaimana gerakan akselerasi otonomi daerah ini dapat terwujud tentunya yang paling penting dibutuhkan adalah konsistensi terhadap komitmen dari semua pihak yang terlibat. Konsistensi terhadap komitmen adalah kunci keberhasilan dari apa pun jenis gerakan.

Gerakan akselerasi otonomi daerah ini tentu memiliki peluang dan tantangan dalam implementasinya. Peluangnya adalah banyaknya jumlah organisasi minang rantau tersebut dan adanya perhatian terhadap mereka mekipun belum besar dan menyeluruh. Selain itu potensi alam, laut, pariwisata, dan berbagai sektor lainnnya di Sumbar juga sangat potensial untuk dikembangkan. Dibutuhkan banyak tenaga ahli yang terampil dan kreatif untuk mampu mengekplorasi semua itu. Adapun tantangan yang dihadapi adalah karakter orang Minang yang egaliter dan agak susak untuk diatur. Sehingganya untuk menyatukan ratusan jumlah organisasi tersebut ke dalam satu gerakan bersama tentu cukup sulit. Namun bukan berarti hal ini tidak mungkin bisa dilakukan. Dengan pendekatan personal yang konsisten dan kesabaran serta konsistensi terhadap komitmen tadi maka semua itu tidak akan lagi jadi masalah.

Gerakan akselerasi otonomi daerah ini harus memiliki perhatian utama di bidang pendidikan. Karena bidang ini merupakan sektor sentral yang sangat berpengaruh besar terhadap masa depan bangsa. Brain drain muncul dimulai dari sektor pendidikan, ketika kualitas pendidikan di Sumbar dirasa kurang berkualitas bagi mereka para pelajar maka akhirnya mereka lebih memilih untuk menikmati pendidikan yang lebih baik di luar Sumbar.

Maka dari itu gerakan ini harus secepat mungkin memberikan perhatian besar di bidang pendidikan di Sumbar. Melalui hal ini kita dapat memperbaiki sistem yang menentukan kualitas pendidikan nantinya. Dengan begitu maka akan tercipta sistem pendidikan yang lebih baik dan para pelajar pun tidak perlu lagi jauh-jauh mencari pendidikan yang berkualitas. Akhinya laju brain drain pun dapat ditekan dan mereka juga memiliki peluang dan kesempatan lebih besar untuk ikut serta dalam gerakan akselerasi otonomi daerah.

Abstrak Karya Tulis Ilmiah ini meraih peringkat 9 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional Geografi yang diselenggarakan oleh Undhiksa (Universitas Pendidikan Ganesha) Bali.

Galau Masa SMA



April 2009
‘Ternyata hanya mimpi’ ucapku ketika bangun. Aku bermimpi bahwa aku lulus di program studi Geografi dalam sebuah ujian masuk suatu perguruan tinggi. Ujian yang berlangsung beberapa bulan yang lalu. Aku mencoba sejenak berpikir bahwa dulu sebelumnya aku juga pernah bermimpi bahwa aku menjadi juara kelas. Besoknya ternyata aku memang benar juara kelas. Aku berharap semoga kali ini kejadian serupa kembali terulang. Amin.

Hari itu tepat adalah hari pengumuman kelulusan ujian masuk tersebut. Sebenarnya pengumumannya telah keluar di internet sejak tepat tengah malam tadi saat aku bermimpi. Namun karena keterbatasan teknologi yang aku punya dan keinginanku untuk melihatnya bersama teman-teman yang lain memaksaku untuk menunda rasa penasaranku akan kebenaran mimpi itu hingga siang. Sebenarnya alasan yang kedua hanya excuse-ku saja untuk menutupi alasan pertama. Maklum, saat itu ketika SMA aku masih belum terlalu percaya diri dengan kenyataan hidupku yang belum bisa merasa ‘cukup’.

Kebetulan di hari bersamaan itu aku juga punya agenda untuk mengikuti try out ujian masuk perguruan tinggi yang diadakan oleh suatu organisasi mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di luar provinsiku, Sumatera Barat. Aku pun berangkat cukup pagi bersama motor teman dan menikmati terselamatkannya uang ongkos angkot-ku pagi ini. Sesampai disana terlihat sudah cukup ramai tapi tentu aku belum terlambat karena acara belum dimulai. Di negeri ini memang keterlambatan itu relatif teman, tergantung kepada pihak kedua yang menilai. Dalam konteks ini meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan dimana menurut informasi sebelumnya seharusnya acara telah dimulai tapi dikarenakan panitia belum memulai acara hingga pukul tersebut itu berarti aku belum terlambat teman.

Setelah menitipkan motor kepada alam dan meminta perlindungan Tuhan demi keamanannya maka setelah itu kami : aku dan teman-teman berjalan menuju kursi tanpa meja. Ya disinilah aku akan ujian, sebuah aula yang benar-benar multifungsi. Bisa digunakan untuk olahraga, pagelaran kesenian, konser musik, kuliah umum, dan hingga latihan paduan suara. Arsitektur benar-benar hebat dan hemat. Mudah-mudahan try out ini hanya untuk ujiannya saja, tidak termasuk kondisi tempatnya juga. Tidak terbayang olehku jika nanti ketika ujian sebenarnnya aku juga harus duduk di lantai dan menjadikan kursi sebagai meja untuk alas lembar jawabannku agar bisa menghitamkan bulatan-bulatan itu dengan baik.
Ujian pun dimulai dengan keterlambatan sekitar tiga puluh menit dari jadwal semula. Aku berjuang hingga akhir dan akhirnya berakhir pada sekitar pukul dua belas. Tapi masih ada sesi kedua setelah istirahat siang kami pun dipersilahkan untuk keluar dari ruangan terlebih dahulu untuk menanggung nasib masing-masing untuk shalat dan makan siang. Kami pun mulai menyusun strategi langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Sampai akhirnya pada keputusan kami akan shalat terlebih dahulu. Betapa bijaksananya kami.

Usai shalat kami lanjut pada strategi kedua yaitu menjajah warung internet (warnet) untuk menemukan nasib kami yang berada di dalamnya terkait pengumuman kelulusan yang telah disebarkan dari tengah malamya. Satu komputer kami keroyok bersama-sama dalam keadaan hati penuh gejolak tanda tanya. Satu per satu temanku mulai mengetikkan identitasnya hingga keluar hasilnya berupa ucapan ‘maaf anda belum diterima’. Jawaban yang sangat miris dan mengesalkan. Kenapa hanya itu dan tidak ada ucapan nasihat yang menyuruh untuk mencoba kembali?, ya sudahlah aku coba ber-husnudzan mungkin operatornya tidak bisa berbasa-basi dan sedang dikejar batas waktu.

Sampailah akhirnya pada giliranku, aku membaca basmalah terlebih dahulu sebelum menyerahkan identitasku pada keyboard komputer itu. Sesaat kemudian muncul halaman layar yang berbeda dengan sebelumnya seperti ketika teman-temanku yang lain melakukan hal yang sama. Tertulis disana ‘selamat anda diterima di program studi geografi’. Sontak seluruh tubuhku bersorak mengucap syukur. Mimpiku kembali menjadi nyata. Alhamdulillah dan sujud syukur pun kulakukan di dalam kotak sempit sebelah komputer dalam kamar warnet itu. Teman-temanku pun tak berhenti mengucapkan selamat dan tentunya berbonus minta traktiran.

Semua strategi yang telah kami susun pun akhirnya berubah total. Tujuan selanjutnya pun berubah menjadi Bakso Tenis, sebuah kafe di pusat kota. Selamat tinggal try out, kami pun berangkat. Dalam perjalanan aku tak henti mengucap syukur dan kebahagiaanku tak terbendung hingga kau memberi tahu banyak orang lewat SMS. Ketika itu aku langsung ingat akan dia : Ririn, seorang wanita yang setahun ini berpengaruh cukup besar dalam hidupku. Teman-temanku menyebut kami ‘pacaran’. Ya sudah aku setuju saja.

Beberapa hari yang lalu kami kembali bertengkar. Kehidupan kami sudah akrab dengan pertengkaran semenjak kebohongannya terungkap olehku. Bagiku kebohongan itu sangat menyakitkan dan membuatku sangat susah untuk kembali percaya kepadanya. Ditambah lagi hubungan kami juga tidak mendapat restu dari orang tuanya dan teman-temannya. Ya semakin terjallah jalan yang harus kami hadapi. Pertengkaran kami tidak jauh dari alasan kecemburuan berazaskan dugaan karena kepercayaanku yang memang sudah sangat tipis padanya, atau bahkan sudah tidak ada.
Aku akhirnya memberi tahu dia tentang berita kelulusanku dan aku mengajaknya bertemu di tempat yang sama dimana aku men-traktir teman-temanku. Ketika aku tengah makan bersama teman-temanku dia pun datang dan tentu karena kondisi kami yang pasca bertengkar sehingganya raut wajahnya tidak lagi manis bagiku begitu juga baginya. Dia datang dengan ekspresi dingin membuatnya terlihat semakin tidak menarik bagiku. Aku pun menghampirinya sebentar dan meninggalkan teman-temanku bersama teriakan-teriakan menggoda mereka mengiringiku menuju tempat dia duduk. Aku menemani dia memesan makanan dan bercerita sedikit tentang kelulusanku. Wajahnya belum bisa tersenyum ikhlas berbahagia.

Setelah makanannya habis dan cukup puas menertawakanku bersama dia teman-temanku pun pulang terlebih dahulu meninggalkan kami. Tentunya ya sambil terus melanjutkan menggodaku bersama dia. Mereka pun lenyap dan tinggal kami berdua di meja itu menatapi makanan masing-masing. Sekumpulan orang disekitar kami pun seolah-olah diam. Sepi kali suasana tatkala itu. Aku mencoba mencari bahan pembicaraan dan kupikir dia pun melakukan hal yang sama. Dalam pikiranku yang ada adalah bagaimana kelanjutan hubungan kami setelah ini karena aku tentu pasti akan berada sangat jauh darinya : berbeda kota.

Kuyakin dia pun juga pasti memikirkan hal ini lebih dalam dariku. Namun tak satu pun dari kami yang berani membahas hal ini. Kami pun mencoba mencari topik lain yang ringan seputar berita kelulusan teman-teman yang lain. Hingga akhirnya topik dan makanan pun habis kami kemudian keluar dari kafe itu dan berangkat menuju tempat les. Dia ada jadwal les sore itu. Ketika meninggalkannya di tempat les wajahnya kosong, begitu juga dengan wajahku. Ya kami memang ternyata memikirkan hal yang sama tadi.

Hari demi hari berlalu seiring pertengkaran rutin kami yang selalu terjadi karena azas tidak percaya. Sampai akhirnya kami pada hari dimana jarak memisahkan kami. Ujian akhir sekolah telah usai dan aku tidak ikut les persiapan untuk ujian masuk perguruan tinggi nasional karena aku telah memutuskan untuk mengambil geografi di perguruan tinggi Jakarta itu. Ada sekitar dua bulan libur yang kumiliki menjelang hari pendaftaran ulang di Bulan Juli nanti. Keluargaku menganjurkan aku untuk pergi ke tempat nenek dan membantu paman disana berpetualang di ladang nenekku di bukit. Ya aku pikir ini menantang sehingga aku pun mengikutinya.

Sebelum aku berangkat ke tempat nenek aku pun memutuskan untuk bertemu terlebih dahulu dengannya. Kami pun bertemu dan seperti biasa wajahnya dan wajahku dingin. Kami semakin sulit untuk menikmati hubungan ini karena pertengkaran yang terlalu akrab dengan kami. Aku memberi tahu padanya bahwa aku akan menghabiskan masa liburan ini di tempat nenek. Dia masih tetap diam dengan wajah yang sedikit cemas. ‘Kapan kamu balik?’, dia pun bertanya. ‘Mungkin sebelum pengumuman kelulusan’, ujarku dingin. Kami kembali beku, dingin, dan diam.

Sesaat kemudian mulutku bergetar ‘ini adalah masa percobaan untuk kita, kita mencoba untuk menjalani hubungan jarak jauh. Jika kita berhasil maka ini bisa menjadi pertanda baik bagi kita, namun jika gagal..’, aku pun tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Dia pun menjawab ‘ya sudah, mari kita coba. Semoga berhasil’, nadanya kurang optimis. Percakapan itu menutup pertemuan kami saat itu. Kami pun terpisah dalam hati nan dilema.

Minggu pertama aku berada di tempat nenek, seperti biasa kami masih saja tetap disajikan pertengkaran dengan alasan klasik : cemburu tak beralasan karena tidak percaya. Malam demi malam yang aku lalui disana tidak berjalan dengan baik, aku pun sering susah tidur dan kesepian disana. Pertengkaran kami setiap hari mengalami peningkatan kadar hingga menuju istilah ‘putus’ dan akhirnya sehari setelahnya kembali damai dengan tangisan-tangisan yang mulai terdengar mombosankan. Betapa kejamnya aku mengabaikan tangisan wanita. Tapi memang apa yang dilakukannya padaku sangat menyakitkan hingga membuat aku tak mampu tegar : meneteskan air mata, aku tidak mau sebut itu menangis.

Hari demi hari suasana batinku semakin tidak tenang, hubungan ini sangat tidak nyaman bagiku karena hanya menghasilakn pertengkaran hampir setiap harinya. Sampai akhirnya kami pada titik dimana ketika bertengkar dan sampai pada kata ‘putus’. Titik, ya memang putus tanpa ada damai lagi seperti biasanya. Emosi kami berdua memang telah sama-sama memuncak. Dia tidak lagi menangis memohon untuk kembali seperti biasanya. Melainkan sebaliknya dia malah menghujani aku dengan beragam makian yang tentu membuatku semakin naik pitam.

Beberapa hari kemudian ternyata dia kembali menghubungiku dan ternyata kembali pada ritual lama. Dia memohonku untuk kembali dan aku tentu sudah cukup muak dengan semua itu. Aku pun tidak bisa menerimanya lagi meskipun dia terus memohon. Namun kali ini tidak seperti biasanya yang dia memohon dengan sangat emosional. Setelah aku menolak beberapa kali dia pun menyatakan kalimat bijaksana ‘ya sudah, semoga kita bisa tetap menjadi teman baik’. Aku pun kaget mendengar kalimat tersebut, antara kagum, bahagia, sedih, dan merasa bersalah serta menyesal.

Sesungguhnya aku pun masih mencintainya meskipun segudang benciku padanya karena kebohongannya. Sepuluh bulan bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan dan dihapus begitu saja. Terlalu banyak kisah manis bersamanya yang pernah tercipta meskipun juga banyak bertengkarnya. Aku terdiam, tidak menjawab apa-apa seusai dia mengucapkan hal itu di ujung sana dan menutup telepon. Aku terhenyak dan aku tak tau apa yang terjadi dengan dia disana.

Beberapa hari kemudian aku pun disuruh pulang oleh ayah karena ia sakit. Aku pun kembali ke rumah diiringi lambaian tangan kerabatku di tempat nenek. Pengalaman bertualang yang luar bisa di bukit dan kisah tragis percintaan, hal itulah yang mengisi liburanku hingga saat tersebut. Setelah sampai di rumah hari-hariku diisi dengan membantu orang tua di rumah. Aku pun merasa ada yang hilang. HP –ku sekarang menjadi sepi, tidak ada lagi SMS seperti biasanya membanjiri. Aku pun tak tahan dan memutuskan untuk kembali bertemu dengannya. Kami pun bertemu dan…kami tak kuasa menahan ketidak-tegaran itu. Ya kami menangis dalam pelukan raga.

Sesungguhnya kami berdua masih memiliki perasaan yang sama, hanya saja keadaan kami sekarang tidak mendukung untuk keberlanjutan hubungan kami. Ya memang inilah jalan yang terbaik untuk kami. Aku tidak mau terus menerus menyiksa dia dengan rasa bersalah karena tuduhanku yang selalu memicu pertengkaran karena tidak percaya akan ucapannya. Aku pun tidak mau membuat mimpinya menjadi hancur karena belajarnya tersiksa karena pertengkaran kami.

Kami pun juga tidak bisa jauh karena terbiasa dekat, hanya berjarak beberapa meter dari kursinya hingga kursiku. Ya kami satu kelas dan sulit untuk berada dalam keadaan berbeda pulau. Semua alasan itu memutuskan kami untuk mengambil kesimpulan ‘kejarlah mimpi kita masing-masing, jika nanti saatnya Tuhan tahu yang terbaik bagi kita’.

Juli 2009
‘Selamat Jalan, aku akan menunggumu’, tulisan itu terpapar di layar HP ku sesaat sebelum keberangkatanku ke Jakarta.

Mei 2011
Aku pun tersenyum ketika mengakhiri tulisan diatas. Betapa galaunya hatiku dulu. :D

Cerpen ini diikutsertakan dalam Pena Merah Competition 2011

embrio kisah..



untaian spekulasi menuai embrio kisah..
mencapai titik awal kopulasi makna…
meskipun hutan opini perlahan tajam menggelapkan titian takdir..
cahaya itu lebih intensif menjerat..

fiksi Tuhan tlah menunggu..

Padang Kota Tercinta..Padang Kota Terlunta..

Rabu, 30 September 2009. Hari itu tidak ada pertanda aneh yang atau pun semacam isyarat asing yang menyelimutiku. Sampai akhirnya ketika magrib menjelang aku beranjak dari perpustakaan kampus kuning itu aku terhenti sejenak ketika melewati bagian registrasi. Sebuah televisi tua yang bertengger di atas sebuah lemari menyiarkan liputan berita tentang kepanikan yang terjadi di Kota Padang Sumatera Barat. Ya beberapa jam yang lalu sekitar pukul empat sore telah terjadi gempa bumi berskala 7,9 skala richter yang mengguncang Kota Padang dan Pariaman di Sumatera Barat.

Hanya baru itu sepenggal berita yang kudapatkan dari liputan berita di televisi tadi. Dadaku pun bergemuruh, segudang kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti pikiranku saat itu. Tiga hari yang lalu aku baru saja meninggalkan kota itu melanjutkan mimpi-mimpi perubahanku. Namun hari ini aku mendengar berita kehancuran kota kelahiranku itu. Orang-orang tercinta yang kumiliki menetap di kota itu. Kedua orang tuaku, adik kandungku, sahabat-sahabat terbaikku, dan sejuta kenanganku telah larut bersama kota itu.

Aku pun melanjutkan perjalanan dari perpustakaan itu menuju halte bus kampus untuk segera pulang ke asrama tempatku menetap. Sepanjang perjalanan pikiranku pun diselimuti berbagai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada mereka : orang-orang tercintaku. Aku pun mencoba menghubungi mereka melalui handphone, namun ternyata gempa bumi tersebut telah merusak koneksi operator banyak provider sehingga aku pun belum dapat menghubungi mereka.

Aku tidak menyerah, aku mencoba menghubungi kakakku yang berada di Batam. Ternyata ia telah berhasil menghubungi orang tuaku melalui salah satu provider handphone yang koneksinya masih baik. Alhamdulillah ternyata mereka semua dalam keadaan selamat, hanya saja kondisi rumahku dihiasi berbagai retakan cukup parah di berbagai sisi. Pikiranku pun sedikit mulai tenang sambil terus berharap dampak dari bencana yang terjadi tidak terlalu parah.

Di atas bus kampus yang aku naiki beberapa orang mulai terdengar membicarakan gempa bumi yang terjadi. Berbagai berita simpang siur terus menyebar di bus itu. Aku masih tetap diam mencoba mengumpulkan informasi dari mereka. Sesampai di asrama aku pun langsung menghampiri kamar teman-temanku yang berasal dari satu daerah. Ternyata mereka telah berkumpul di salah satu kamar dan sedang sibuk mencoba menghubungi keluarga masing-masing. Suasana kamar itu diliputi kecemasan dan ketakutan, ini tergambar dari raut wajah mereka yang biasanya riang dan ceria kali ini sangat bertolak belakang.

Kami pun memulai perbincangan dengan bertukar informasi tentang kondisi terakhir yang diketahui tentang kota kelahiran kami itu. Usai itu aku bertolak ke kamarku dan mengukir perasaanku dalam tulisan.

Peradaban yang menawan..
Kehidupan yang mapan..
Nyawa-nyawa yang merasa aman..
Jiwa-jiwa yang terkubur oleh kesombongan..
Raga-raga yang tersesat dalam khayalan..

Tersentak
Terhenyak..
Oleh tarian gerak..
Hitungan detik yang berdetak..
Peradaban luluh lantak..
Kehidupan terkoyak..
Nyawa-nyawa terserak..
Raga-raga bersorak..

Teriakan ketakutan..
Suara kecemasan..
Jeritan..tangisan..
Terakumulasi sejalan dengan..

Konstruksi yang takluk..
Fondasi yang ambruk..
Arsitektur yang terpuruk..
Serta..puing yang remuk..
Menuai fakta terburuk..

Jasad terbentang tersurat..
Nafas lenyap tersirat..
Darah merambat..
Perlahan bereaksi..menjadi..mayat..
Nurani tersayat..

Semua seakan tidak berharga..
Ratusan..bahkan ribuan..melayang percuma..
Jutaan..bahkan miliaran..rupiah sirna..

Tiada lagi yang menawan..
Habis sudah kemapanan..
Terkikis rasa aman..
Tamatlah kesombongan..
Berakhir juga khayalan..

Hanya dalam sesaat masa..sekejap mata..

Azab atau peringatan…
Mari kita renungkan…

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI)

Pelangi Merah Putih

Merah putih..Titian masa silam menuai cipta dalam rasa beriring karsa..
Akumulasi tetesan ide menguap menaklukkan kebuntuan asa..
Menyatu padu dalam satu daya upaya..
Demi konstruksi cinta untuk bangsa..

Merah putih..Menatap nanar wahana peradaban..
Menyusun sakral rentetan tradisi adopsi kebiasaan..
Membangun vital radar emulsi pemikiran..
Melingkupi teguh kejayaan maupun jeritan kelaparan..

Merah putih..kombinasi simbolis dari pengabdian..
Terikat lepas dalam denyutan kebersamaan..
Terangkum luas dalam fakta perbedaan..
Variatif aneka linear pertidaksamaan…
Begitu mewarnai asupan makna multidimensi negeri perjuangan..

Merah putih..bukan hanya merah dan putih..
Jingga..kuning..hijau..nila..biru..ungu..etalase jernih..

Depok, 10 November 2010 : Catatan Singkat ‘Team Buiding’ BPH IMAMI UI 2010-2011

Awan mendung menyambut kedatangan kereta tua buangan mantan negara imperialis (sekarang sesungguhnya masih-hanya saja impilisit) itu di stasiun penuh derita. Kulihat wajah-wajah mereka yang sama dan membosankan namun dalam edisi yang baru menyusuri tepian stasiun dengan aroma kelelahan dalam kepuasan. Mudah-mudahan dugaanku benar. Dua puluh tujuh jam sebelumnya aku berjalan menuju stasiun keberangkatan menuju pusat eksekusi dengan perasaan gundah mencoba untuk optimis akan hasil yang tercipta esok hari.

Aku terus memikirkan dan merangkai diksi apa saja yang akan ku-untai nanti malam. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengintegrasikan kemampuan menyusun pidato dengan proses basa-basi (lebih tepat disebut kepedulian).

Sesampai di tujuan, bersama akumulasi rasa lelah selama perjalanan aku masih terus berlanjut dalam dua sisi ; berusaha keras mencairkan suasana dan memenuhi tuntutan pikiran. Hingga saatnya waktu eksekusi itupun dimulai aku masih bergulat bersama kedua sisi itu. Aku dan mereka awalnya tidak pernah saling mengenal hingga aku menginjakkan kaki di kampus semi-liberal yang dulu tidak pernah ada dalam kumpulan mimpiku. Bahkan sampai aku dan mereka sudah terlibat dalam suatu wadah pengabdian (sebagian orang menganggap hal ini kolot-tapi kuyakin mereka yang berkata seperti itu masih dalam proses pematangan), aku masih belum saling mengenal dengan mereka. Inilah kekhilafanku dalam wadah ini yang memicu munculnya lembaran ini.

Aku memutuskan untuk bergabung dalam wadah ini awalnya karena kegelisahanku atas sejumlah fakta yang kuharap fiksi yang tengah berkembang dan berpotensi merusak dan menghancurkan wadah ini. Disamping itu alasan lain yang mendorongku untuk hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan sejumlah para penguasa di negeri ini ; ambisi akan kekuasaan dan popularitas. Dalam usiaku yang berada dalam tahap proses, sejumlah pengaruh yang silih berganti memprovokasi kegalauanku memaksaku memiliki ambisi itu. Namun syukurlah Tuhan menyelamatkanku. Ambisi menyesatkan yang begitu besar diawal akhirnya tumbang ditengah perjalananku. Fakta yang kuharap fiksi itu ternyata berdampak jauh lebih buruk daripada yang kukira, tradisi yang berjalan selama ini mengisyaratkan titik kehancuran di suatu paralaks ambiguitas. Banyak urgensi yang harus diperjuangkan secara optimal, mengingat luasnya lautan potensi yang tersedia dan sangat membutuhkan respon yang cepat. Urgensi itu dianalogikan sebagai sebuah siklus dinamis yang dalam setiap periode tertentu terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia. Semangat ini diharapkan mampu diperjuangkan oleh wadah-wadah lain yang berada dalam koridor yang sama (amin).

Dengan berjuta gebrakan ide konstruktif (konon disebut kontribusi) sebagai hasil tanggapan atas urgensi-urgensi yang mengepung pikiranku aku bergerak cepat menyalurkan semua pengaruh itu untuk dapat terealisasikan secara optimal melalui mereka. Hari demi hari wilayah teritorial pemikiranku semakin terjajah oleh segala akselerasi semangat kontribusi itu. Namun budaya kerja perfeksionis yang telah merasuki karakter diriku semenjak dini itu membuatku melupakan suatu urgensi yang ternyata jauh lebih penting dari sejumlah urgensi diatas. Aku telah melupakan kondisi mereka, mengabaikan kesanggupan mereka, dan tidak mempedulikan sinyal kelelahan mereka mengikuti mimpi-mimpiku (untuk negeri ini). Maafkan aku teman..aku terlalu mencintai mimpi-mimpi perubahan itu untuk menjadi nyata, hingga lupa akan kenyataan untuk mencintaimu.

Sesungguhnya hatiku mengecam semua tradisi primitif yang menuhankan penguasa itu. Hal ini sangat melawan arus inovasi dan dinamisasi. Hal ini jugalah yang akhirnya merubah stigmaku untuk menjadikan wadah ini untuk lebih profesional dan meredam bahkan tanpa kusadari aku telah berupaya meniadakan azas kekeluargaan yang mengakari berdirinya wadah ini. Maafkan aku saudaraku..aku telah salah menginterpretasi hal ini..aku terlalu menjauhi budaya itu, hingga akhirnya aku membudayakan untuk menjauhimu.

Malam ini bersama mereka aku menyadari wadah ini merupakan sebuah kompleksitas media aktualisasi diri. Aku harus menemukan formula yang tepat untuk mengkombinasikan azas kekeluargaan dalam persamaan identitas dan azas profesional demi kinerja yang optimal dalam mencapai tujuan yang maksimal yang terangkum dalam mimpi perubahan itu. Sekilas hal ini terlihat sangat mustahil karena keduanya sangat bertolak-belakang dalam sejumlah pengalaman. Untuk bisa bersifat profesional maka biasanya kita harus mengesampingkan semua alasan kekeluargaan. Pertanyaannya adalah ‘mengapa aku memaksakan azas profesional dalam wadah yang berdiri atas azas kekeluargaan ini?’. Negeri ini bukanlah negeri maju dan aku sangat mengharapkan kontradiksinya segera tercipta. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan pergerakan yang dinamis dari segala pihak, hal inilah yang sedang aku usung ditengah kebobrokan sebagian besar birokrat di negeri ini yang sulit sekali untuk diharapkan. Dalam waktu yang terbatas aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyentuh perubahan itu. Dibutuhkan langkah taktis yang efektif untuk mencapai mimpi itu tanpa melupakan identitas kekeluargaan tadi. Penanaman azas profesional adalah salah satu jawabannya.

Aku masih belum menemukan formula itu hingga gelap malam diselimuti tawa canda, tangis, dan segala keluh-kesah mereka dalam kepingan makna yang mulai memberikan aku petunjuk akan jawabannya. Malam ini aku putuskan untuk menghentikan perjuangan berpikir, menyisakan tenaga untuk esok yang kuharap akan melengkapi petunjuk jawaban yang sudah mulai dapat kucerna.

Tuhan mendengar doaku, pagi ini kunci-kunci jawaban itu mulai terkuak. Sudah lebih dari setahun aku mengenal mereka, dan lebih dari lima bulan (seharusnya) aku dekat dengan mereka baru kali ini aku merasakan kebersamaan bersama mereka. Wadah ini bukan milikmu seorang wahai diriku, ada kamu, mereka, dan saudara-saudaramu yang mencintainya.

Sakato bakontribusi!