Menjelang Sidang Paripurna DPR terkait keputusan kenaikan
BBM bersubsidi yang diundur menjadi Jumat (30/3), aksi unjuk rasa menolak
kenaikan BBM oleh berbagai elemen masyarakat pun semakin bergejolak. Mulai dari
mahasiswa, buruh, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga bahkan kepala daerah
yang mewakili kepentingan parpol masin-masing pun ikut turut serta turun ke
jalan. Jenis aksi unjuk rasa yang dilakukan juga beraneka unik. Mulai dari aksi
damai berupa aksi mogok makan dan shalat gaib, hingga aksi anarkis perang batu
dengan aparat keamanan.
Hampir semua dari aksi unjuk rasa menolak kenaikan BBM
tersebut memiliki alasan demi melindungi rakyat kecil. ‘Melindung rakyat
kecil’, sebuah argumen yang selalu dijadikan tameng. Ketika BBM naik maka
membuat kebutuhan pokok meningkat dan menyebabkan rakyat kecil menderita
kelaparan. Argumen klise normatif ini yang selalu diorasikan di sebagian besar
aksi unjuk rasa menolak kenaikan BBM.
Jika kita mencoba mengkaji lebih jauh, argumen ini sungguh
sebenarnya terbalik. Membiarkan harga BBM tetap, sesungguhnya adalah langkah membodohi
rakyat. Ada empat alasan untuk hal ini.
Pertama, harga BBM di Indonesia merupakan harga termurah
ketujuh di dunia. Rakyat Indonesia tidak banyak yang tahu tentang hal ini.
Mereka pun bahkan menganggap harga ini masih mahal. Dengan harga tersebut,
telah membuat rakyat manja dan tidak banyak yang memikirkan tentang
diversifikasi energi. Padahal cadangan minyak dunia semakin berkurang dan
harganya pun berpotensi untuk terus meningkat. Jika keadaan ini dibiarkan maka
masa depan sumber energi di Indonesia akan menjadi suram. Seharusnya rakyat
tahu tentang hal ini dan dengan giat memikirkan energi alternatif pengganti
BBM.
Kedua, subsidi BBM yang memakan 12 % dari APBN selama ini
terbukti telah salah sasaran. Hal ini dikarenakan lebih dari 50 % dampak dari
subsidi BBM justru dirasakan oleh penduduk kelas menengah ke atas yang tingkat
kebutuhannya lebih tinggi. Rakyat kecil seharusnya tahu tentang ini dan
menuntut 12 % APBN tersebut dialihkan untuk program lain yang secara langsung
memberi dampak pemberdayaan terhadap mereka.
Ketiga, kenaikan BBM dapat mengalihkan masyarakat lebih
banyak untuk menggunakan moda transportasi umum. Orang-orang yang hidup dari
jasa transportasi umum ini sebagian besar padahal adalah rakyat kecil. Hal ini
tentu akan menguntungkan secara langsung bagi mereka karena dapat meningkatkan
pendapatannya.
Keempat, kenaikan BBM meningkatkan harga kebutuhan barang
terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat produksi. Hal ini tentu dapat
memicu perusahaan pemilik produk untuk membuka pabrik-pabrik baru di daerah
tersebut. Otomatis hal ini akan membuka lapangan pekerjaan baru yang jelas juga
akan menguntungkan rakyat kecil.
Berdasarkan keempat alasan di atas, maka apakah masih
relevan argumen aksi unjuk rasa menolak kenaikan BBM benar bertujuan untuk
‘melindungi rakyat kecil’ atau justru melindungi ‘kebodohan’ rakyat kecil. Mari
berpandangan jauh ke depan demi Indonesia yang lebih cerdas.
No comments:
Post a Comment