Wednesday, September 21, 2011

Antara ‘Penting’ dan ‘Kepentingan’





“UI memiliki visi yang besar, yaitu ingin membangun peradaban”

Kalimat di atas berulang kali ditegaskan dalam presentasi seputar profil Universitas Indonesia (UI) di kegiatan mahasiswa baru UI 2011 oleh Gumilar Rusliwa Soemantri, Sang Rektor UI yang akhir-akhir ini menjadi kalem. Padahal saat presentasi ketika itu di hadapan lebih kurang 6000 mahasiswa baru sang rektor begitu percaya diri dan optimis menyampaikan sejumlah mimpi-mimpi besar UI berupa sejumlah proyek pembangunan yang fantastis. “Semua itu terjadi dari tahun 2007-2012”, ujar sang rektor berapi-api ketika itu. Hal ini menyiratkan dengan sangat jelas bahwa kalimat itu adalah diksi lain dari kalimat “semua itu karena saya dan (mungkin) pilihlah saya kembali untuk periode berikutnya”.

Hanya berselang lebih kurang sekitar tiga minggu setelah presentasi itu sang rektor lalu tiba-tiba berubah menjadi kalem. Sang rektor muncul di media massa dengan nada kalimat yang sangat santun sekali, sangat berbanding terbalik jika dibandingkan dengan nada-nada setiap kalimatnya ketika presentasi tiga minggu sebelumnya. “Saya meminta maaf”, ujar sang rektor di media massa terkait masalah kontroversi pemberian gelar doktor honoris causa terhadap Raja Arab Saudi. Masalah yang disebut sebagai puncak gunung es berbagai permasalahan di UI ini pun kini telah berhasil menyemburkan berbagai permasalahan (kebohongan) lain ke permukaan. Sang rektor pun berada dalam status awas. Inilah akibat dari kekhilafan sang rektor yang gagal memisahkan antara ‘penting’nya menjaga amanah mencapai visi UI dengan ‘kepentingan’ menjaga citra melalui kebohongan.

Lima hari setelah lebaran, Senin (05/09) segenap sivitas akademika UI berkumpul di FE UI untuk mengadakan kegiatan yang diberi nama Orasi Ilmiah dari Prof. Emil Salim (Guru Besar UI). Orasi ilmiah tersebut membahas seputar gunung es berbagai permasalahan di UI yang disepakati ketika itu diakibatkan oleh sistem tata kelola UI yang kurang baik. Sejumlah tokoh besar di UI pun juga angkat bicara ketika itu menyumbangkan pemikiran (kampanye)-nya. Hadir ketika itu beberapa Dekan Fakultas, para guru besar, ketua lembaga-lembaga mahasiswa, dan perwakilan dari paguyuban pekerja.

Beberapa hari sebelumnya Thamrin Tamagola (Dosen FISIP UI) yang paling gencar membuka aib UI di media berucap labil “he must go out”, tujunya untuk sang rektor. Tak lama setelah itu, berbagai tokoh pun juga ikut bermunculan berebut menjadi dewa penyelamat atas kisruh yang terjadi di UI. Hingga akhirnya muncul desas-desus bahwa semua alur kisruh tersebut telah diskenariokan oleh oknum-oknum tertentu demi mencapai kepentingannya. Tak mau ketinggalan juga, oknum mahasiswa yang mungkin tidak mengetahui skenario tersebut juga ikut mengambil peran berebut kepentingan di dalamnya.

Tidak ada seorang pun yang saat ini cukup tahu isi hati sejumlah tokoh atau oknum tersebut. Yang pasti berbagai atribut bertuliskan ‘save UI’ saat ini bertebaran di UI. Apakah segala daya upaya yang mereka lakukan memang murni dan tulus sesuai dengan tulisan di atribut-atribut itu?. Ataukah memang benar semua hanya demi kepentingan mengejar ambisi pribadi?. Belajarlah dari pengalaman sang rektor.

Inilah potret kaburnya batasan antara hal penting dan pentingnya sebuah kepentingan hari ini. Padahal tokoh masa lalu kita adalah mereka yang memiliki kompetensi, kedekatan dengan rakyat, dan minim kepentingan pribadi. Sangat berbeda dengan saat ini dimana para tokoh mengalami defisit integritas dan kesederhanaan serta dibanjiri kepentingan.

Saturday, September 10, 2011

Padamu Negeri


Sabtu, 15 Januari 2011
Pasaman Barat

“Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, namun ternyata mereka belum cukup bisa menerima”, gumamku dalam hati sembari berusaha untuk terus ikhlas. Bus yang aku tumpangi masih berjalan cukup pelan karena muatannya yang belum terlalu penuh. Aku mencoba memutar kepalaku untuk mengamati manusia-manusia di sekelilingku. “Apakah mereka semua juga turut serta bersalah terhadap hal itu?”, aku terus bertanya-tanya dalam hati yang ternyata memang belum sanggup untuk ikhlas. Aku menarik nafas panjang dan kemudian melempar pandanganku ke arah jendela bus. Aku mencoba menikmati pemandangan bentang alam yang tersedia di sepanjang jalan untuk mengikhlaskan hatiku.

Rabu, 12 Januari 2011
Padang

“Sudahlah, tidak mungkin!, biarkan saja yang satu itu!”, ujar Yoga. Dia adalah rekanku dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Minang Universitas Indonesia (Imami UI). Imami UI memiliki kegiatan rutin di Sumatera Barat setiap bulan Januari sejak tahun 2003. Kegiatan yang merupakan rangkaian berbagai acara itu dikenal dengan nama “Kampus Goes to Kampuang (KGTK)”. Kegiatan ini adalah berupa sebuah gerakan membangun negeri yang sasaran utamanya adalah para pelaku pendidikan di Sumatera Barat (Sumbar). Rangkaian acaranya selalu mengalami perkembangan setiap tahun.

Pada tahun 2011, rekanku Yoga Tamala yang akrab disapa Yoga diamanahkan sebagai Project Officer (PO) dari KGTK 8. KGTK 8 memiliki rangkaian kegiatan yang terdiri dari Lomba Desain dan Fotografi, Roadshow ke 112 SMA, Simulasi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Studi Islam dan Adat (SILAT), Bedah Kampus UI, dan Minangkabau Culture Festival (MCF). Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan selama sebulan penuh di bulan Januari, bertepatan dengan libur kuliah semester ganjil kami. Untuk mengoptimalkan kinerja maka kami membuat sistem pembagian wilayah Sumbar menjadi 16 wilayah yang masing-masingnya memiliki tim di tiap wilayahnya.

Siang itu kami berdebat tentang bagaimana nasib wilayah Pasaman Barat yang mengalami masalah sumber daya manusia (SDM). Koordinator wilayahnya yang merupakan satu-satunya orang yang diharapkan mampu menggerakkan wilayah itu ternyata belum melakukan Roadshow ke SMA di wilayahnya karena dia masih berada di UI untuk kepentingan lain. Padahal Roadshow adalah rangkaian yang sangat penting dalam kegiatan ini. Roadshow memberikan motivasi, inspirasi, serta informasi tentang pendidikan tinggi dan juga memberikan info tentang rangkaian kegiatan yang lain. Hal ini tentu turut mempengaruhi keberlangsungan rangkaian kegiatan tersebut.

“Tidak apa-apa, kalau begitu biar aku saja sendiri yang pergi”, ujarku menjawab kepesimisian Yoga. Tadi pagi Yoga baru datang dari tanah kelahirannya di Maninjau, sementara aku memang lahir disini, di Padang kota tercinta. Hari ini agenda Yoga adalah menyelesaikan segala masalah birokrasi demi kesuksesan acara dan siangnya dia akan berangkat ke wilayah Solok Selatan yang juga mengalami kekurangan SDM. SDM disana hanya berjumlah dua orang dan keduanya adalah wanita. Sementara itu wakil PO yaitu Iqbal bersama dengan Ichwan sebagai salah satu tim inti juga dalam kepanitiaan KGTK 8 tersebut akan berangkat ke wilayah Dhamasraya untuk membantu masalah yang sama, kekurangan SDM.

Teman-teman panitia yang lain yang aku coba ajak untuk menemaniku ke Pasaman Barat semuanya kompak menjawab “maaf, silahkan, hati-hati ya disana. Disini juga banyak amanah”. Aku mencoba kembali memandang ke arah Yoga berharap mendapatkan solusi, tapi ternyata kepesimisannya tadi bercampur dengan bad mood sehingga jangankan solusi sinyal baik pun tidak aku dapatkan dari wajahnya. Akhirnya aku membulatkan tekad “ya sudah. Bismillah, ini akan jadi pengalaman luar biasa untukku. Aku bertanggung sepenuhnya terhadap keseluruhan acara ini. Kami telah mencantumkan di berbagai media publikasi bahwa kegiatan kami akan dilaksanakan di 16 wilayah di Sumbar. Jika Pasaman Barat tidak jadi, berarti kami telah membohongi banyak orang yang telah melihat dan membaca publikasi tersebut. Maka dari itu aku akan segera kesana untuk bertanggung jawab. Selain itu wilayah ini sangat minim memiliki mahasiswa di UI, aku berharap adanya peningkatan nilai pendidikan yang terjadi disana”, hatiku telah membuat sebuah komitmen.

Aku pun bergegas meninggalkan basecamp dan pulang menuju rumah untuk mengambil beberapa baju ganti untuk disana nanti. Di rumah aku bertemu dengan ayah dan menyampaikan keputusan yang kuambil. Ayah pun segera bertindak cepat. Dia langsung menghubungi temannya yang ada di Pasaman Barat dan memberitahu bahwa aku akan kesana dan menumpang menginap beberapa hari disana. Dari akhir pembicaraannya terlihat seperti teman ayahku yang disana menyambut baik kedatanganku. Ayah pun memberikan nomor handphone temannya tersebut dan mengantarkanku kembali ke basecamp. Dalam kegiatan ini kami menggunakan sebuah rumah milik salah satu teman panitia yang bersedia dipinjamkan sebagai kantor kami selama sebulan, inilah yang kemudian kami sebut sebagai basecamp.

Setelah sekitar dua puluh lima menit perjalanan aku pun sampai di basecamp. Ayah berpesan untuk berhati-hati disana dan seperti biasa, ayah terhebat di dunia itu selalu berpesan “jagalah shalat”. Dari basecamp aku diantar oleh teman panitia menuju bus yang akan menuju Pasaman Barat. Barang bawaanku menjadi sangat banyak karena aku harus membawa langsung kelengkapan untuk Simulasi SNMPTN yaitu soal-soal dan lembar jawabannya. Semua dikemas dalam lima kardus berukuran seperti kardus air mineral gelas. Setelah menaikkan semua barang bawaanku ke dalam bus, aku membeli beberapa potong kue untuk cemilan selama di perjalanan. Usai itu aku beranjak ke dalam bus dan menunggu penuhnya bus itu bersama dengan lamunanku. “Apakah nanti yang akan terjadi disana?, aku berharap yang terbaik”, doaku dalam hati.

Pasaman Barat

Bus melaju dalam kecepatan yang cukup cepat dan seperti biasa, aku tidak pernah cukup nyaman berada dalam bus. Aku sering merasa agak pusing karena berbagai aroma di sekitarku dan tidur menjadi solusi paling praktis untuk masalah ini. Dalam tidur aku berharap ketika bangun aku sudah sampai. Setelah sekitar lima jam perjalanan alhamdulillah akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Disana telah menunggu teman ayahku bersama motornya. Namun ternyata setelah melihat banyaknya barang bawaanku dia kembali pulang untuk mengganti motornya dengan mobil. Aku baru pertama kali bertemu dengannya dan ia terlihat cukup baik, namanya adalah Uda Fahmi.

Mobil itu berkelok ke arah kanan dan terlihat sebuah rumah yang cukup sederhana. Kami berhenti disana dan aku dipersilahkan untuk masuk ke rumahnya oleh Uda Fahmi. Keluarga Uda Fahmi cukup ramah terhadapku, aku dipinjamkan sebuah kamar yang cukup nyaman untuk ditempati selama aku disini. “Jadi bagaimana rencana perjalananmu selama disini?”, tanya Uda Fahmi padaku usai makan. “Besok atau hari pertama aku rencananya akan mengurus birokrasi dulu da. Aku akan ke Kantor Bupati untuk audiensi dengan Bupati dan sekaligus mengajukan permohonan dana. Setelah itu akan lanjut ke Kantor Dinas Pendidikan setempat untuk meneruskan surat rekomendasi kegiatan yang dari Dinas Pendidikan Provinsi agar melahirkan surat rekomendasi baru yang dari daerah setempat. Kemudian terakhir aku akan menuju dua SMA yang aku jadikan target Roadshow dan Simulasi SNMPTN, yaitu SMA 1 Pasaman dan SMA 1 Lambah Malintang”, jawabku terhadap Uda Fahmi.

Uda Fahmi bertindak cerdas, malam itu juga aku langsung diajak jalan-jalan untuk mengenalkan padaku dimana saja lokasi dari objek-objek yang akan aku tuju tadi. Ternyata cukup mudah menghafal jalan-jalan disini, karena jalan utamanya tidak banyak. Setelah aku merasa cukup yakin telah hafal jalan-jalan tersebut maka kami pun segera kembali pulang. Sebelum tidur aku menyiapkan kelengkapan surat-surat yang akan dibawa besok. “Alhamdulillah, semua telah siap. Mudah-mudahan besok berjalan lancar. Amin”, doaku sebelum merebahkan diri di kasur baruku itu.

Kamis, 13 Januari 2011

Kilauan mentari pagi memaksa menembus sela-sela dinding kayu kamar tersebut dan akhirnya kilauan itu berhasil menyorot mataku, aku pun terbangun. Tema musik pedesaan yang sudah lama tak kudengar pun mengalun harmoni ketika aku membuka jendela kamar. Aku segera bersiap-siap untuk memulai petualangan hari ini. Semua amunisi pun kembali aku periksa kelengkapannya. Aku juga dihadiahkan oleh Uda Fahmi sebuah sepeda motor Kharisma yang berumur setengah baya sebagai tungganganku nanti dalam berkelana. Aku memanggil motor itu ‘honda’.

Usai sarapan pagi yang sangat khas masakan asli Padang, aku pun segera menuju honda dan mengumpulkan segenap keyakinan untuk menungganginya. Sebenarnya aku belum terlalu lancar menggunakan sepeda motor, apalagi non-automatic seperti honda ini. Namun Bismillah menjadi modal utama keyakinanku ketika mulai menungganginya. Dengan sedikit gemetar di awal yang semakin lama memudar dan berubah menjadi percaya diri aku berhasil menjinakkan honda.

Sebelum menuju Kantor Bupati aku terlebih dahulu berhenti di sebuah warnet untuk nge-print surat-surat yang diperlukan. Wanita yang melayani di warnet tersebut cukup bersahabat. Sembari menunggu printing selesai ia bertanya tentang surat-surat yang aku print. Aku menjelaskan apa adanya dan dia terlihat cukup kaget sekaligus takjub. Setelah surat-surat tersebut beres, aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan juga memohon doa untuk kelancaran kegiatan.

Sekitar pukul sembilan aku sampai di Kantor Bupati yang cukup luas itu. Sepertinya pembangunannya masih belum selesai, karena lahan parkir dan halaman bagian depannya terlihat belum tertata cukup baik. Aku masuk melalui sisi kanan gedung tersebut karena parkirannya berada di sisi itu. Aku menyusuri lorong menuju lobi utama. “Mohon maaf pak, mau nanya, bagian humasnya sebelah mana ya?”, aku bertanya ke satpam yang ada di lobi utama. Satpam itu pun kemudian menunjukkan padaku ruangan yang dimaksud.

Aku memasuki ruang tersebut dan menjumpai sekitar delapan sampai sembilan orang karyawan berpakaian seragam dalam posisi cukup acak. Aku pun bingung harus bertanya kepada siapa terlebih dahulu. “Karyawan sebanyak ini apakah pembagian tugasnya berjalan optimal?. Sebagian besar dari mereka terlihat hanya duduk santai bersama-sama dan ditemani gadget masing-masing”, kesalku dalam hati. Kemudian sebagian dari mereka menoleh ke arahku dan bertanya “ada apa dek?”. Aku bergerak mendekati sumber suara tersebut dan menyatakan tujuan kedatanganku. “Maaf bu, saya dari Imami UI ingin mengadakan audiensi dengan Bupati terkait kegiatan kami yang akan diadakan disini”, ujarku sopan memulai percakapan. “Maaf dek, Bupatinya sedang keluar kota. Mungkin baru pulang hari Senin. Silahkan tinggalkan saja dulu suratnya, nanti kami akan proses”, jawab karyawan itu.

Aku pun mulai memutar otak. Targetku adalah Hari Sabtu semua kegiatan disini sudah harus selesai karena minggunya aku harus membantu kegiatan selanjutnya di Padang. Jika keadaannya seperti ini maka aku harus memikirkan rencana lain. Aku pun kemudian mengikuti prosedur yang berlaku disana dan segera meninggalkan ruangan tersebut. Aku kembali menuju lobi utama dan mencoba menebak dimana ruangan Bupatinya. Pandanganku tertuju ke lantai dua, disana aku melihat banyak orang-orang berpakaian cukup rapi lalu lalang melewati tangga yang cukup elegan. Aku memastikan disanalah ruangan para petinggi itu. Aku tidak mau bertanya pada satpam karena aku yakin mereka pasti tidak akan mengijinkanku naik kesana.

Sesampai di lantai dua aku langsung menemui tulisan ‘Bupati’ terpahat di kayu warna hitam di depan sebuah ruangan yang terlihat cukup ramai. Aku tidak cukup yakin dengan jawaban para karyawan di ruangan humas tadi. Aku mendekati ruangan tersebut dan bertanya kepada seorang wanita yang duduk di belakang meja yang kuduga sebagai sekretarisnya. “Permisi bu, saya dari Imami UI ingin mengadakan audiensi dengan Bapak Bupati”, ujarku. “Maaf bapak sedang keluar kota”, jawabnya. “OK fine, berarti target selanjutnya adalah wakil bupati”, hatiku bersepakat. Di sebelah ruangan bupati aku menemukan ruangan wakil bupati. Aku pun melakukan hal yang sama seperti di ruangan sebelumnya. “Maaf, bapak sedang berada diluar hingga sore nanti”, ujar karyawan di ruangan itu.

Aku tidak patah arang. Aku melanjutkan ke ruangan sebelahnya lagi. Disana aku menemukan ruangan ‘Sekretaris Daerah’ (Sekda). Hal yang sama kembali aku lakukan. “Maaf, bapak sedang keluar. Kemungkinan nanti siang baru kembali”, ujar karyawan disana. “Ok kalau begitu nanti siang bisa bu?”, ujarku bersemangat. “Mudah-mudahan bisa”, jawabnya. Secuil harapan pun mulai muncul. Namun aku tidak berhenti sampai disitu. Aku memutar haluan menuju sisi kiri lantai dua tersebut. Disana aku menemukan ruang ‘Asisten I’. Jawaban dari hal yang sama yang aku lakukan adalah “Maaf, bapak sedang diperiksa BPK. Belum tahu akan selesai kapan”. Tinggal satu ruangan utama lagi yang belum aku masuki di lantai dua itu yaitu ruangan ‘asisten II’. Jawaban dari ruangan itu adalah “Maaf, bapak sedang ada tamu dan belum tahu sampai kapan”.

Semua upaya tersebut aku lakukan untuk dapat mengkomunikasikan secara langsung kegiatan kami terhadap mereka. Mengharapkan kepedulian mereka terhadap masalah pendidikan di daerah mereka. Namun ternyata pagi itu aku membawa tangan hampa keluar dari ruangan itu. Tidak apa-apa, aku tetap fokus pada tujuan utama ‘meningkatkan nilai pendidikan yang ada disana’. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju destinasi kedua : Dinas Pendidikan. Jalanan lurus yang cukup panjang dan sepi mengarahkanku ke kantor tersebut. Sesampai disana ternyata Kepala Dinas Pendidikan tidak berada di tempat. Karyawan disana menjelaskan bahwa beliau tengah keluar dan aku diminta untuk kembali lagi sekitar jam tiga.

“Tetap semangat!!”, teriakku dalam hati sambil melanjutkan perjalanan menuju SMA 1 Pasaman. Sekolah tersebut berada tidak jauh dari Kantor Bupati tadi. Aku menemui kepala sekolahnya dan menyatakan maksud dan tujuanku “Saya berharap dapat melakukan Roadshow besok pagi ke kelas-kelas dan siangnya langsung mengadakan Simulasi SNMPTN-nya pak, karena waktu saya cukup terbatas disini dan kondisinya juga cukup darurat.” Sang Bapak menyambut cukup baik permohonanku. Beliau memberikan izin terhadapku dan menyerahkanku kepada Pak Budi, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kemahasiswaan. Beliau cukup membantu ketika itu. Aku meminta untuk dapat bertemu dengan Ketua OSIS disana untuk dapat menjelaskan tentang kegiatan SILAT yang memang ditujukan bagi para ketua OSIS SMA se Sumbar. Aku berhasil menemuinya dan ia terlihat cukup tertarik. Ia mengenalkan namanya ‘Arif’.

Tidak terasa, waktu pun sudah menunjukkan jam satu siang. Aku pun memutuskan untuk Shalat Zuhur terlebih dahulu. Usai itu aku melanjutkan perjalanan kembali menuju Kantor Bupati untuk menagih janji karyawan di ruangan Sekda tadi. Sesampai disana, sang karyawan tadi menyatakan bahwa Bapak Sekda belum datang dan masih di jalan. Aku disuruh menunggu disana hingga Bapak Sekda datang. Ada sekitar empat puluh lima menit aku menunggu disana. Akhirnya ia datang dan kesempatan itu pun datang. “Kegiatan ini bertujuan untuk memberika pencerdasan kepada para siswa SMA khususnya siswa tahun terakhir untuk mulai memikirkan masa depan mereka dari sekarang pak. Kami memberikan gambaran tentang tantangan masa depan dan solusi untuk mengatasinya. Melalui dunia pendidikan tinggi dapat tercipta SDM-SDM yang berkualitas yang mampu mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Secara khususnya kami menawarkan UI sebagai salah satu opsi terbaik melanjutkan pendidikan. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana meningkatkan motivasi mereka untuk dapat melanjutkan pendidikan setelah SMA”, ujarku antusias.

“Kami menyambut baik kontribusi kalian. Memang animo siswa-siswa disini sangat kurang terhadap dunia pendidikan tinggi. Kualitas pendidikan disini bisa dikatakan sangat kurang. Semoga kegiatan ini dapat menjadi solusi terhadap permasalahan ini dan berkembang setiap tahunnya”, apresiasi dari Bapak Sekda terhadap penjelasanku. Aku pun beralih kepada bahasan tentang permohonan dana untuk kegiatan. Bapak Sekda kemudian menggoreskan tanda persetujuan di sebuah kertas yang menyatakan perintah untuk memberikan bantuan dana. Kebahagiaanku semakin meningkat. Aku disuruh mengantarkan kertas itu ke sebuah ruangan di lantai satu. Disana aku mendapatkan jawaban dari karyawan disana “nanti akan kami proses. Anggaran baru akan cair di bulan ke empat. Nanti kami akan hubungi lagi”. Sontak kebahagiaanku yang tadi meningkat grafiknya kembali turun. Beberapa saat aku merenung, hingga aku mencoba ikhlas bahwa aku sudah berusaha maksimal. Yang penting aku telah sukses menyampaikan kepada petinggi itu bahwa pemuda-pemuda negeri ini sangat peduli terhadap masa depan bangsa ini.

Usai dari Kantor Bupati aku menuju destinasi terakhir hari ini, yaitu kembali ke Kantor Dinas Pendidikan. Disana akhirnya aku berhasil menemui Kepala Dinas Pendidikan. Namun ternyata ekspektasi awalku untuk mendapatkan respon yang lebih baik lagi menjadi buyar. Aku hanya mendapatkan ekspresi datar dari Sang Kepala Dinas. Beliau menyuruhku ke lantai bawah untuk mengantarkan bukti persetujuan darinya agar bisa mendapatkan surat rekomendasi. Di lantai bawah aku bertemu dengan seorang bapak yang cukup ramah. Sambil menunggu surat tersebut selesai beliau bercerita banyak tentang kondisi pendidikan di Pasaman Barat dan juga tentang keluarganya. “Animo anak-anak SMA disini terhadap kuliah sangat kecil. Tidak lebih dari 30% siswa SMA yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bagi mereka dunia kerja jauh lebih menarik ketika selepas tamat dari SMA. Potensi perkebunan sawit yang luas itu sangat menggoda mereka”,ujar bapak tersebut panjang lebar.

“Padahal sebagian besar mereka hanya bekerja menjadi penambang atau pembantu di perkebunan milik orang lain. Mereka seharusnya bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada itu. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mereka menyebabkan mereka hanya mendapat sebagian kecil hasilnya saja” tambah sang bapak makin bersemangat. Tiba-tiba seorang karyawan lain disana datang mengantarkan surat rekomendasi yang ternyata sudah selesai. Aku pun pamit terhadap bapak tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih atas uraiannya yang menjadi bahan kajian baru bagiku.

Matahari semakin condong ke barat dan waktu sudah menunjukkan jam empat sore. Langit terlihat mendung dan perlahan rintik hujan pun mulai mengiringi. Aku lupa ternyata aku belum makan siang. Karena rintik hujan semakin bersemangat menghujani tanah aku pun memutuskan untuk berhenti dulu untuk menjawab tuntutan perutku. Sekitar pukul enam aku sampai di rumah Uda Fahmi dalam kondisi sebagian tubuh yang basah karena hujan ternyata tidak kunjung berhenti. Usai makan malam bersama aku bersama Uda Fahmi sedikit bercerita tentang petualanganku seharian tadi. Kemudian setelah itu aku izin pamit menuju kamar dan berkompromi dengan otot-ototku yang memaksa untuk beristirahat. “Alhamdulillah hari ini aku telah mendapatkan banyak pengalaman berharga dan semoga hari esok jauh lebih baik. Amin”, doaku menyusul menutup mata.

Jumat, 14 Januari 2011

Hari ini agendaku adalah seharian full di SMA 1 Pasaman. Dari pagi hingga siang aku meneror setiap lokal kelas XII dengan berbagi informasi, motivasi, dan inspirasi seputar pendidikan. Kemudian dari setelah jum’atan hingga sore aku menjajal mereka dengan soal-soal Simulasi SNMPTN. Tepat pukul delapan pagi aku telah sampai di sekolah tersebut. Aku melapor kepada Bapak Kepala Sekolah dan kemudian seperti kemaren aku kembali diserahkan bersama Pak Budi. Pak Budi pun memberitahuku posisi delapan lokal kelas XII ; empat kelas IPS, tiga kelas IPA, dan satu kelas unggulan. Bismillah, aku pun menyiapkan mental dan suara untuk berorasi ria di depan mereka.

Strategiku adalah dengan memulai dari kelas IPS paling ujung atau yang bernomor paling besar ; XII IPS IV. Kemudian berurut hingga nomor urut terkecil, dilanjutkan dengan kelas IPA dengan cara yang sama, dan terakhir finish di kelas unggulan. Tujuannya adalah agar suaraku habis atau serak di kelas unggulan yang suasananya relatif lebih tenang. Target pertama mulai aku masuki. Aku memperhatikan wajah-wajah mereka yang bingung. Setelah memohon izin kepada guru yang tengah mengajar, aku pun mulai berorasi. “Saya punya beberapa pertanyaan untuk kalian, mohon untuk dijawab. Siapa diantara kalian disini yang sudah memiliki rencana setelah sekolah ini akan melanjutkan kemana?”, ujarku setelah berkenalan. Tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu beberapa suara pun terdengar menjawab “kuliah, nikah, kerja” dan beberapa jawaban lainnya yang terdengar samar-samar.

“Zaman sekarang, tantangan masa depan kalian adalah globalisasi. Apa itu globalisasi?. Nanti saingan kalian dalam dunia kerja bukan saja sesama kalian saja, tapi juga orang-orang dari luar negeri yang tentu saja bisa jadi jauh lebih hebat dari kita. Maka dari itu kalian harus mempersiapkan semua itu dari sekarang. Selepas dari SMA ini kalian harus kuliah!. Itu harga mati karena kalian telah memilih SMA, bukan SMK yang memiliki keterampilan yang spesifik dan bisa menjadi bekal dalam persaingan dunia kerja. Di SMA apa yang kalian pelajari masih ilmu dasar, belum berbentuk keterampilan atau teori yang lebih spesifik. Di pendidikan tinggilah kalian bisa mendapatkan semua itu. Ada banyak perguruan tinggi di negeri ini. Kalian boleh memilih apapun yang kalian suka, tapi tentu jangan lupa perhatikan kualitasnya” jelasku melanjutkan orasi.

Sebagian siswa di kelas itu terlihat mendengarkan dengan seksama dan sebagian lagi ada yang terlihat berupaya memahami penjelasanku. Aku terus melanjutkan uraian dengan mengenalkan kepada mereka pilihan-pilihan kampus yang ada dan bagaimana cara masuknya. Sebagian dari mereka masih banyak yang tidak kenal dengan SNMPTN. Hal ini sangat memprihatinkan, bagaimana mereka memang tidak ada niat untuk melanjutkan pendidikan dan pasrah kepada takdir setelah tamat dari sekolah.

Pada akhir penjelasan aku mengajak mereka untuk ikut serta dalam Simulasi SNMPTN agar mereka dapat mengenal bagaimana sebenarnya bentuk tes untuk masuk perguruan tinggi itu. Karena seluruh mereka yang ada di kelas itu belum pernah menjumpai soal-soal SNMPTN sebelumnya. Beberapa kondisi yang sama juga aku jumpai di beberapa kelas-kelas berikutnya. Namun semakin lama kualitas siswa yang aku temui cenderung membaik. Sesuai dugaanku dalam strategi tadi. Tujuh kelas telah berhasil aku jelajahi, hingga akhirnya sampai aku pada kelas terakhir ; kelas unggulan.

Kelas itu tampak berbeda dibanding kelas-kelas yang lain yang telah aku masuki tadi. Kelas itu jauh lebih rapi dan bersih. Bangkunya disusun terpisah masing-masing satu bersama mejanya. Konon kata Pak Budi kelas ini memang andalan dari sekolah ini. Mereka yang berada disini itu telah diseleksi dan mendapatkan pembinaan ekstra serta tinggal di asrama khusus. Ketika aku mulai berorasi disana seisi kelas tampak khidmat mendengarkan. Aku melihat wajah-wajah serius dan haus informasi dari mereka semua yang sangat khusyuk menyimak setiap detil penjelasanku. Ketika diberi kesempatan bertanya sontak hampir seisi kelas semua mengajukan pertanyaan. Aku dihantam bertubi-tubi pertanyaan hingga akhirnya waktunya tak mencukupi karena waktu Shalat Jumat sudah hampir datang.

Usai Shalat Jumat aku kembali ke rumah Uda Fahmi untuk menjemput kelengkapan Simulasi SNMPTN ; soal-soal dan lembar jawabannya. Aku ditemani oleh empat orang siswa disana yang cukup bersahabat. Mereka juga ikut bersemangat menemaniku menggopong lima kardus kertas-kertas itu bersama honda. Sekitar pukul setengah dua aku sampai kembali di sekolah untuk memulai Simulasi SNMPTN. Aku menemui Pak Budi dan bertanya kepadanya tentang bantuan pengawas ujian dari para guru disana yang awalnnya dijanjikan oleh Bapak Kepala Sekolah. Namun ternyata terjadi kesalahpahaman disini. Pak Budi menjelaskan bahwa para guru meminta bayaran atau mereka menyebutnya dengan uang transport dan makan siang untuk jasa tersebut. “Maaf pak sebelumnya, kami tidak menyediakan anggaran untuk hal itu. Kalau begitu biarlah saya berusaha semampunya. Terima kasih pak”, jawabku menyambut penjelasan Pak Budi.

Setelah memohon ijin ke Pak Budi untuk melakukannya sendiri, aku beranjak ke arah tumpukan soal dan lembar jawaban. Dalam hati aku bergumam “aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran para guru itu. Tidak tahukah mereka bahwa kami melakukan semua kegiatan ini sama sekali tidak bertujuan untuk mencari keuntungan materi. Semua yang kami lakukan ini adalah murni semata-mata demi bakti kami terhadap negeri ini. Kami hanya ingin melihat negeri ini lebih adil, makmur, dan sejahtera. Kami yakin bahwa pemuda dapat melakukan itu semua, maka dari itu kami mulai mencerdaskan generasi mudanya. Tapi mengapa mereka bersikap seperti ini?. Sudah begitu buta kah mata mereka terhadap nilai suatu kebenaran. Inilah salah satu potret guru yang dulu pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini”.

Pak Budi memberikanku sebuah ruangan untuk mendistribusikan soal dan lembar jawaban tadi. Aku pun menyuruh mereka menunggu di ruangan mereka masing-masing dan ketua kelas masing-masingnya kupanggil untuk menemuiku di ruangan tadi. Para ketua kelasnya pun aku brifing terlebih dahulu mengenai pembagian soal dan cara pengerjaannya. Kemudian melalui mereka aku mendistribusikan soal-soal dan lembar jawaban tadi. Aku cukup ngos-ngosan melayani berbagai pertanyaan mereka seputar cara pengerjaan. Aku memaklumi bagi sebagian besar mereka ini adalah hal yang baru. Dalam kelelahanku aku tersenyum puas melihat antusiasme mereka.

Setelah selesai mendistribusikan soal ke semua kelas, aku mulai patroli ke kelas-kelas untuk mengecek kondisi mereka jika ada hal yang kurang dimengerti dalam cara pengerjaan. Aku memperhatikan wajah-wajah mereka yang terlihat berpikir keras menghadapi soal-soal tersebut. Aku salut melihat semangat mereka. Usai berpatroli di kelas-kelas aku pun kembali ke ruangan tadi dan duduk sejenak mengisi perutku dengan beberapa snack yang tadi telah aku persiapkan sebagai pengganti makan siang. Sekitar satu jam kemudian beberapa siswa tampak telah selesai mengerjakan soal. Sebagian dari mereka sambil tersenyum berkata kepadaku “soalnya susah sekali kak. Kita butuh persiapan lebih lagi sepertinya”. “Terus latihan”, ujarku membalas senyumnya.

Aku kemudian menghampiri kelas-kelas yang telah usai sembari mengumpulkan lembar jawaban mereka. Beberapa siswa yang belum cukup puas untuk bertanya ketika di kelas tadi melanjutkan keingintahuannya ketika itu. Aku kembali dihujani banyak pertanyaan-pertanyaan yang mencerminkan semangat mereka. Usai aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mereka pun mengucapkan terima kasih sembari mencium tanganku. Aku terharu meresapi ketulusan mereka. Sekitar pukul lima sore akhirnya semua berhasil dibersihkan bersama bantuan beberapa siswa yang luar biasa itu. Usai pamit dan mohon izin terhadap warga sekolah itu, aku pun kembali menuju rumah Uda Fahmi. Hari ini adalah hari paling luar biasa dalam hidupku.

Sabtu, 15 Januari 2011

SMA 1 Lambah Malintang berada cukup jauh dari rumah Uda Fahmi. Harus menempuh sekitar empat puluh lima menit perjalanan untuk dapat menjangkau lokasi sekolah tersebut. Aku pun berangkat lebih pagi menggunakan motor dan kelengkapan Simulasi SNMPTN aku titipkan lewat angkot yang lewat di depan sekolah itu. Dalam perencanaan aku berharap dapat melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan di sekolah sebelumnya. Paginya aku Roadshow dan siangnya Simulasi SNMPTN. Aku sampai disana sekitar pukul sembilan pagi. Aku langsung bergegas menuju ruang kepala sekolahnya dan ternyata beliau tidak di tempat. Aku pun terpaksa berhadapan dengan para wakil kepala sekolahnya.

Ternyata rencana awalku pun menjadi berantakan. Sang Bapak Wakil Kepala Sekolah menolak permohonanku. Beliau menyuruhku untuk kembali kesana Hari Senin. Beliau beralasan tidak bisa memutuskan tanpa kepala sekolah, tidak bisa mendadak, bagi hasil untuk sekolah tidak jelas, dan berbagai alasan lain pun dilontarkan beliau untuk menolak soal-soal dan lembar jawaban yang telah datang di sekolah itu. Aku mencoba mencari jalan keluar. Untung saja tiba-tiba Romi, koordinator wilayah itu menelponku dan menanyakan kondisi di wilayahnya. Aku pun memberitahu semuanya. Romi menyatakan bahwa ia akan segera sampai di Pasaman Barat hari ini. Aku pun segera kembali menghadap Bapak Wakil Kepala Sekolah dan memberitahukan bahwa nanti hari Senin Romi akan datang kesini sesuai keinginannya.

Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Aku pun menyusuri jalanan kembali dari sekolah itu menuju rumah Uda Fahmi bersama si honda. Sesampai di rumah, aku segera memohon ijin untuk pamit kepada keluarga Uda Fahmi untuk kembali ke Padang. Tak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya aku ucapkan kepada keluarga sederhana yang baik hati itu. Uda Fahmi mengantarkanku hingga naik ke dalam bus. Kami pun berpisah. Terima kasih Uda Fahmi.

“Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, namun ternyata mereka belum cukup bisa menerima”, gumamku dalam hati sembari berusaha untuk terus ikhlas. Bus yang aku tumpangi masih berjalan cukup pelan karena muatannya yang belum terlalu penuh. Aku mencoba memutar kepalaku untuk mengamati manusia-manusia di sekelilingku. “Apakah mereka semua juga turut serta bersalah terhadap hal itu?”, aku terus bertanya-tanya dalam hati yang ternyata memang belum sanggup untuk ikhlas. Aku menarik nafas panjang dan kemudian melempar pandanganku ke arah jendela bus. Aku mencoba menikmati pemandangan bentang alam yang tersedia di sepanjang jalan untuk mengikhlaskan hatiku.

Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami


Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerita Pendek Pemuda 2011 oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI