Saturday, May 25, 2013

(Belum) X Factor “Indonesia”




X Factor Indonesia pun usai dan Fatin juaranya. Program TV yang merupakan adopsi dari Amerika Serikat (AS) dan puluhan negara lain (yang mengikuti) ini sepertinya menyusul kesuksesan pendahulunya, Indonesian Idol. Rating stasiun TV penayang program ini pun (kembali) melesat berkat keberhasilan (racikan) program ini meraih perhatian jutaan pasang mata. Semua tentang penilaian yang terkait program ini, sangat dominan berujung pada kata ‘sukses’. Lalu seberapa ‘utuh’ sesungguhnya kata ‘sukses’ tersebut melekat dalam program ini ?.

Friday, May 17, 2013

Pe(ndidik)an Kompetensi dan Karakter



Isu demi isu terus bergulir kian dinamis dan sebagian besarnya adalah masalah negeri ini. Jika ditarik jauh penyebab dari semuanya, maka kemudian sebab tersebut terhempas di kata ‘pendidikan’. Beberapa waktu yang lalu, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali berlalu. Tak berbeda seperti setiap tahunnya dan tahun-tahun sebelumnya, rutinitas seremonial itu berlalu diiringi berbagai refleksi terhadap kondisi kekinian dunia pendidikan tanah air. Yang sedikit berbeda ialah hadirnya pro kontra Kurikulum 2013 serta diikuti dengan macetnya pelaksanaan ujian nasional (UN) yang semakin menambah cerca terhadap pemangku kebijakan (pemerintah).

Berhentilah memaki kegelapan dan mulailah menyalakan lilin, ungkapan bijak ini sering dilontarkan dimana-mana untuk menghentikan arus cercaan yang bertubi-tubi (terutama terhadap pemerintah). Hal ini ada benarnya, namun bukan juga berarti sebagai alat justifikasi bagi pemerintah dalam berkilah menutupi kekurangannya. Pemerintah harusnya belajar mendengar berbagai refleksi yang muncul di setiap peringatan hardiknas. Memahami dan lalu kemudian mengolah hal tersebut menjadi sebuah rekomendasi berharga terhadap perbaikan kondisi dunia pendidikan negeri ini.

Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik, kalimat bijak ini yang kemudian menjadi dorongan Anies Baswedan dan kawan-kawan turut serta menyalakan lilin membantu pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan bangsa, melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Substansi pendidikan mestinya dipahami secara utuh oleh setiap manusia terdidik di bangsa ini.

Evolusi Kata ‘Pe(ndidik)an’

Kata pendidikan yang berasal dari kata dasar ‘didik’ atau dalam Bahasa Jawa menjadi ‘ndidik’, memiliki hakikat mendasar. Paula Freire menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan, yang berujung pada kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Sementara  H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual dan emosional dari kemanusiaan manusia.

Kerumitan definisi di atas kemudian coba disederhanakan dan ditransformasikan ke dalam kondisi ke-Indonesiaan oleh Ki Hajar Dewantara, Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusia-kan manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalamnya, pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humannes).

Konsep di atas kemudian semakin disempurnakan oleh Erie Sudewo bahwa dalam mendidik (pendidikan) ini ada dua hal utama yang menjadi elemen utama, yaitu adalah karakter dan kompetensi.

Revolusi Pe(ndidik)an Indonesia

Jika kata pendidikan di atas mengalami proses evolusi, maka sebaliknya realisasi dari substansi kata tersebut yang tertuang dalam sistem pendidikan di Indonesia, justru ber-revolusi ; berubah sangat cepat.

Tahun 1947, dibuat sistem pertama yaitu rencana pelajaran (leer plan). Setelah tiga tahun, lalu lahir kurikulum pendidikan tahun 1950. Dua tahun kemudian lalu disempurnakan lagi menjadi Rencana Pelajaran Terurai (RPT). RPT ini selanjutnya dikenal dengan Kurikulum 1952. Selanjutnya di tahun 1964 dikembangkan Rencana Pendidikan yang ditekankan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan pendidik-an moral. Rencana Pendidikan ini akhirnya menjadi kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum 1964.

Pada tahun 1968 muncul lagi kurikulum baru, Kurikulum 1968. Lahirnya kurikulum ini sangat berbau politis karena dianggap sebagai peninggalan Orde Lama yang dianggap berbau komunis. Setelah Kurikulum 1968 dianggap “out of date” maka dikembang-kan Kurikulum 1975 yang menekankan pentingnya pelaksanaan pendidikan secara lebih efisien dan efektif.

Sembilan tahun kemudian lahir Kurikulum 1984 yang menekankan pentingnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Sepuluh tahun berikutnya muncul lagi kurikulum pendidikan baru yang kemudian kita kenal dengan sebutan Kurikulum 1994. Munculnya kurikulum baru ini merupakan upaya untuk memadukan pendekatan pada kurikulum-kurikulum yang sebelumnya.

Kurikulum 1994 pun kemudian kembali dirasa memiliki banyak kekurangan. Pemerintah pun kemudian menyempurnakan kurikulum baru, Kurikulum 2004. Kurikulum ini memiliki tujuan pembelajaran yang langsung mengarah pada jenis kompetensi apa yang harus dikuasai anak didik. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004.

Ketika KBK belum tuntas dijalankan oleh sekolah dan madrasah, bahkan belum layak diukur hasil penerapannya di lapangan karena baru tiga tahun dijalankan, pemerintah memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007. KTSP menyerahkan pada para guru dengan ragam karakter dan kompetensi dalam merancang kurikulum pendidikan di sekolah masing-masing. Hal ini kemudian membuat sistem menjadi lebih tidak beraturan, dikarenakan output guru yang dihasilkan dari sistem pendidikan sebelumnya memiliki ragam karakter dan kompetensi. Kemudian juga hingga sekarang masih banyak sekolah di daerah “remote” yang ternyata belum sepenuhnya familiar dengan KTSP. Dalam kondisi seperti ini tiba-tiba hadir lagi kurikulum 2013.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pergantian kurikulum di Indonesia selama ini tidak selalu didasarkan pada tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pun tuntutan kebutuhan ragam masyarakat Indonesia, tetapi ternyata karena banyak pertimbangan permainan kepentingan.

Perkawinan Karakter dan Kompetensi

Menyikapi kaburnya arah pendidikan Indonesia dari berubah-ubahnya kurikulum di atas, maka beberapa tahun belakangan mulai gencar wacana tentang konsep pendidikan karakter yang dianggap bisa menjadi solusi. Dalam rancangan kurikulum 2013, banyak sikap kontra dengan argumen bahwa para guru di Indonesia belum siap untuk konsep yang ditawarkan. Kualitas guru di Indonesia dianggap masih rendah, baik secara karakter maupun kompetensi.

Sehingga seharusnya konsep pendidikan karakter telah dimulai dari sistem pendidikan keguruan. Pendidikan Karakter tak sekedar memasukkan “informasi tentang sikap” ke dalam mata pelajaran, seperti jujur, hormat, cinta tanah air, dan lain – lain atau membahas contoh – contoh sikapnya serta diakhiri dengan tes standar pilihan ganda atau pertanyaan – pertanyaan tertulis.

Kunci pendidikan karakter adalah Role Model, teladan dari orang terdekat siswa, dalam konteks ini adalah guru. Percuma diajarkan bersih kalau gurunya masih buang sampah sembarangan dan berlaku curang seperti memberikan kunci jawaban saat UN. Jadi seharusnya, pemerintah menyiapkan dulu peningkatan kuliatas karakter dan kompetensi guru sedari dini.

Usai itu, barulah kemudian dalam kurikulum pendidikan bagi siswa diterapkan sistem yang selaras, yaitu kurikulum kompetensi berbasis karakter. Sebelumnya telah ada KBK, namun hanya berbasis kompetensi, sehingga kemudian dirasa ada yang kurang dari kurikulum tersebut. Maka karakter-lah jawabannya. Karakter layaknya fondasi dan kompetensi ialah bangunan yang berdiri di atas kompetensi tersebut.

“Tidak perlu menjadi hebat hingga kau terlihat baik, cukuplah menjadi baik maka perlahan kau akan hebat”

Friday, May 3, 2013

Gerakan Peretas Batas


Sumber : http://di.dk/globalleadershipacademy/newsandarticles/insights/pages/theglobalmanagersboundaryspanningrole.aspx


Jamaah ‘Cilik’ Tabligh

HMI, sebuah akronim yang samar-sayup terdengar dahulunya ketika penulis masih duduk di bangku sekolah menengah. Entah dimana akronim itu pernah didengar, tidak ada ingatan persis yang muncul hingga detik tulisan ini mengalir. Tapi yang pasti nama ini pernah bersuara di pikiran penulis sekitar enam tahun yang lalu.

Tumbuh kembang di lingkungan sekolah umum negeri milik pemerintah, membuat penulis tidak terlalu banyak bersentuhan dengan ragam pemikiran Islam. Meskipun dahulunya ketika masih sekolah dasar (SD) penulis bercita-cita ingin masuk salah satu pondok pesantren di Tanah Jawa dan ternyata kandas karena kekurangan dana, namun cita-cita mempelajari Islam lebih jauh ternyata tidak berlanjut di sekolah menengah karena ditebus oleh godaan masa remaja yang tak kuat menahan serangan globalisasi.

Meskipun demikian, selain di sekolah formal, lingkungan keluarga penulis cukup membantu untuk mengenal Islam secara lebih menurut Kitab Fadhilah Amal yang disusun oleh Muhammad Zakariya al-Kandhlawi. Sejak sekitar usia 10 tahun penulis berkenalan dengan sekumpulan bapak-bapak berjubah dan bersorban yang rutin pengajian setiap kamis malam di sebuah masjid, kemudian jumat paginya mereka berangkat berkelompok-kelompok menyebar ke berbagai daerah untuk ‘berdakwah’ dalam rentang waktu tertentu. Pada akhirnya penulis mengetahui mereka menamakan kelompoknya dengan nama “Jamaah Tabligh”.

Ya penulis ikut bergabung dengan jamaah ini semenjak SD karena ikut bersama ayah yang tertarik untuk bergabung dengan mereka ketika itu. Setiap malam di rumah kami pun berkumpul untuk membaca dan mempelajari kitab yang disebutkan di atas. Kitab tersebut hampir menjadi tuntunan utama mengalahkan Al Qur’an bagi kami ketika itu, karena porsi waktu membacanya yang melebih waktu memahami Al Qur’an. Rutinitas setiap malam ini disebut dengan “Ta’lim”.

Pertemuan pengajian rutin mingguan di masjid (baca : markas) yang telah ditetapkan pun juga penulis ikuti dahulu bersama dengan ayah. Hingga sampai dakwah ke daerah-daerah dengan menginap di mesjid pun penulis lakoni dulu ketika SD. Semangat keislaman ketika itu yang dimiliki penulis terseret sudah ke dalam aliran pemikiran Jamaah Tabligh. Hal ini juga yang mendorong keingingan untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren ketika itu.

Memasuki sekolah menengah pertama hingga tingkat atas, pengetahuan Islam penulis masih didominasi oleh pemikiran Jamaah Tabligh bersama Fadhilah Amal-nya. Meskipun ketika di SMA penulis sempat mengikuti kegiatan organisasi Rohis, namun tetap saja tidak banyak pemikiran keislaman yang menggugah yang didapatan disana dikarenakan memang kualitas sumber daya manusia yang ada disana relatif rendah dan mereka juga bagian dari Jamaah Tabligh.

Sehigganya, hingga SMA usai tidak banyak pergolakan pemikiran Islam yang berkecamuk di pemikirian penulis. HMI pun cuma terdengar samar-sayup, seperti yang dijelaskan di atas.

Pesantren Tarbiyah UI

Awal masuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI), penulis serasa masuk ke dalam area pesantren. Bagaikan kota santri, hampir setiap orang yang ditemui disana terlihat begitu santun dan islami (menurut pemahaman Islam penulis ketika itu). Para lelaki dengan baju koko dan celana bahan yang panjangnya tidak melebihi mata kaki mendominasi mewakili potret lelaki disana. Di sela percakapan mereka, terdengar mereka saling memanggil dengan kata “ane-ente-akhi”. Di sudut yang lain para perempuan berjilbab besar pun juga berkumpul sesamanya dan terdengar panggilan “ukhti”.

Bagi penulis ketika itu, suasana kampus tersebut terasa begitu damai. Maka tak heran juga terdengar sebutan-sebutan dari luar yang menyebut FMIPA UI sebagai pesantren-nya UI. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di FMIPA UI pun tak lepas dari unsur-unsur keislaman, simbol-simbol Islam bertebaran dimana-mana, bahkan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) disana hingga Himpunan setiap jurusan memiliki bidang khusus yang mengurusi kerohanian Islam para anggota organisasinya.

Lingkungan fakultas tersebut sangat Islam, ditanamkan melalui simbol-simbol hingga kegiatan-kegiatan. Namun dibalik semua identitas keislaman fakultas tersebut, ada sebagian kecil kelompok mahasiswa yang kurang senang dengan gaya-gaya keislaman tersebut. Mereka bukan saja non-muslim, namun juga para muslim. Mereka menilai para lelaki dan wanita yang lekat dengan simbol-simbol Islam tersebut bersifat ekslusif. Tidak membumi bersama mereka. bertindak seolah membenci golongan mereka. Hal ini dilihat dari gaya pergaulan para “akhi-ukhti” tersebut yang terbatas di kelompok mereka saja, hingga akhirnya keluar istilah “anak mushola”.

Anak mushola bagi penulis ketika itu tak jauh berbeda dengan para anak rohis di SMA dahulu, mulai dari simbol-simbolnya hingga perilakunya. Penulis menganggap tidak banyak perbedaan, sampai akhirnya penulis membaca sebuah artikel terbitan badan otonom pers mahasiswa di kampus yang mengangkat judul “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia”.

Dalam artikel tersebut akhirnya penulis mengetahui bahwa sekumpulan anak mushola yang ditemui di lingkungan kampus dan juga anak rohis di SMA tersebut memiliki sebuah jejaring besar yang memiliki sebuah visi pergerakan. Dalam artikel itu mereka disebut dengan istilah “anak tarbiyah”. Mereka tersebar hampir di seluruh kampus besar di Indonesia dan bahkan juga SMA-SMA. Dimulai dari organisasi rohis SMA, mereka mulai menanamkan pemahaman keislaman menurut mereka berdasar tokoh-tokoh Hassan Al Banna, Sayyid Quttub, dan Gerakan Ikhwanul Muslimin lainnya yang berawal dari Turki.

Selepas tamat dari SMA, para alumni rohis ini diberikan sebuah surat pengantar untuk diantarkan ke cabang mereka di dekat kampus si anak. Mereka disini telah disebut sebagai kader. Masuk di dunia kampus, mereka pun bergabung di lembaga-lembaga dakwah yang ada di kampus-kampus. Lalu di tahun kedua di kampus, kader-kader terbaik mereka disebar untuk menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan lain dan juga posisi-posisi strategis lain di kampus. Gerakan bawah tanah mereka sangat rapi dan cantik terlihat dari luar.

Dengan menggunakan  sistem mentoring atau liqo’ para kader tarbiyah ini didoktrin tentang Islam menurut pemahaman para tokoh Ikhwanul Muslimin. Mereka berpolitik, hal ini tidak terbantahkan karena dibuktikan dengan kecondongan salah satu partai politik (parpol) kepada golongan mereka.

Sistem dan alur kaderisasi serta pembinaan yang mereka lakukan sangat rapi dan bersih terlihat dari luar. Meskipun di dalamnya mereka bahkan juga menggunakan strategi tokoh boneka untuk dapat memenangkan hukum demokrasi. Bagi mereka, hal ini dihalalkan karena demi kemaslahatan umat menurut mereka.

Usai mengenal dan mengetahui seputar gerakan politik tarbiyah tersebut, penulis mulai sedikit paham dengan ragam warna pergerakan dan pemikiran Islam. Setelah itu juga, penulis sedikit mulai tahu bahwa HMI adalah lawan dari tarbiyah.

Ahmad Wahib

Berawal dari sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan di kampus. Awalnya penulis tidak terlalu paham dengan apa buku itu hingga siapa itu penulisnya. Penulis hanya ingin mengisi kegiatan dengan hal bermanfaat tatkala masih bersama status mahasiswa baru di kampus. Dalam bedah buku tersebut si pembicara berkoar-koar tentang kekagumannya akan pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib, penulis dari buku yang dibedah : “Pembaharuan tanpa Apologia”.

Ketika mendengarkan seminar tersebut, penulis belum terlalu paham siapa itu Ahmad Wahib dan apa sebenarnya isi dari bukunya tersebut sehingga para pembicara di acara itu mengagung-agungkan dia. Namun demikian, rasa penasaran memaksa penulis ketika itu untuk membaca dan memahami isi buku tersebut hingga tuntas.

Usai membaca buku tersebut itulah akhirnya penulis paham mengapa si pembicara mengagumi pemikiran Ahmad Wahib. Wahib ialah seorang pemuda cerdas yang bergulat dengan pemikiran-pemikiran keislamannya sejak muda. Dulu ia tergabung di HMI, dan di tengah jalan ia memutuskan untuk keluar karena merasa ada yang salah dengan HMI dan ia merasa sudah tidak lagi cocok.

Buku “Pembaharuan tanpa Apologia” tersebut adalah kumpulan dari catatan-catatan harian Wahib yang ditanggapi dengan tulisan-tulisan lain oleh para penulis lainnya. Dalam catatan-catatan hariannya, Wahib menyatakan kegundahan, keresahan, dan berbagai pertanyaan tak terjawabnya kepada Tuhan. Wahib menyuarakan refleksinya akan relatifitas kebenaran-kebenaran yang memaksa.

Wahib juga banyak bercerita seputar perjuangannya di HMI. Ia memperjuangkan netralitas dan keobjektifan berpikir dan bertindak di tubuh HMI kala itu. Namun di sisi lain ternyata sebagian pihak melihat usaha Wahib ini tidak ideal menurut mereka. Pihak tersebut menekankan bahwa HMI harus berpolitik agar dapat memaksimalkan pengaruhnya. Wahib menentang hal ini dan ternyata perjuangannya tidak berhasil meraih banyak massa yang mendukungnya. Alhasil Wahib pun akhirnya lebih memilih untuk mundur dari HMI dan melanjutkan kebebasan berpikirnya yang out of the box.

Beberapa kutipan pemikiran Wahib yang populer yaitu :

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. (Catatan Harian 16 Agustus 1970)

Mengenal Wahib dan pemikirannya serta sedikit keterangan tentang HMI ketika itu, membuat penulis memiliki keinginan lebih untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal tersebut. HMI berhasil melahirkan pemikir revolusioner Islam yang luar biasa seperti Wahib. Namun HMI hari ini, kondisinya sepertinya sangat jauh dari kemungkinan lahirnya Wahib-Wahib berikutnya. HMI di mata publik, terutama sebagian besar mahasiswa saat ini, kalah kepercayaan dibanding Tarbiyah.

Islam Rahmatan lil Alamin

Salah satu ajaran Al Qur’an yang banyak dikutip oleh berbagai ulama yaitu kata kunci “Islam sebagai Rahmatan lil Alamin atau rahmat bagi seluruh alam”. Penulis sangat setuju akan hal ini bahwa Islam  memang merupakan rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam, baik bagi seluruh makhluk hidupnya maupun benda matinya. Ketika Islam memang bersifat seperti ini berarti Islam memang dapat diterima oleh semua manusia. Lalu wajah Islam seperti apa yang dapat diterima oleh semua manusia yang dilahirkan dan berkembang dalam keyakinan yang berbeda-beda ?

Ketika bergabung dengan Jamaah Tabligh Islam dipahami sangat simbolis dan kurang kontekstual. Dalam Kitab Fadhilah Amal yang dijadikan pegangan inti jamaah banyak dijelaskan hadist nabi terkait fadhilah tiap jenis ibadah ; fadhilas shalat, puasa, dzikir, dan lain lain. Pemahaman akan hadist nabi dipraktekkan secara telanjang atau tanpa mempertimbangkan relevansi dengan kondisi kekinian zaman.

Konsep dakwah yang dilakukan dengan metode menginap di mesjid-mesjid dan melakukan ceramah ke warga-warga sekitar menurut Jamaah Tabligh sangat meniru konsep yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dulu. Konsep ini banyak menuai protes dan kecurigaan dari masyarakat, sehingganya tidak sedikit warga yang akhirnya menuding jamaah ini sebagai aliran sesat.

Kemudian dari gaya hidup termasuk gaya berpakaian. Jamaah ini biasa menggunakan pakaian seperti jubah dan kepala ditutupi sorban. Lalu mereka juga membiasakan menggunakan siwak yang biasa digunakan Nabi Muhammad SAW untuk menggosok gigi. Dari contoh-contoh ini bisa dilihat bagaimana mereka memahami sunnah Rasulullah SAW kurang kontekstual. Terjadi distorsi pemahaman antara nilai Islam dengan budaya arab.

Gaya berpakaian yang diajarkan Islam sesungguhnya adalah menutupi aurat, karena aurat dapat memicu nafsu manusia yang dekat dengan kejahatan. Banyak jenis pakaian yang seharusnya dapat menutupi aurat, namun Jamaah tabligh tidak menangkap pemahaman tersebut. Bagi mereka semua hal apapun yang ada di diri Nabi Muhammad SAW adalah hal yang baik dan semuanya harus diikuti.

Pemahaman yang sama juga mendasari mereka menggunaan siwak. Padahal kondisi saat ini akibat perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan telah ditemukannya benda lain yang mampu menggantika fungsi siwak tanpa mengurangi nilainya. Nilainya adalah mampu membersihkan gigi. Namun lagi-lagi bagi Jamaah Tabligh mereka kurang cerdas memahami nilai-nilai dibalik semua yang ada di diri Nabi Muhammad. Alhasil pemahaman mereka terhadap Islam pun menjadi terbatas pada simbol dan praktek syariat.

Pemahaman Islam seperti di atas sulit untuk diterima oleh semua manusia, karena dinilai tidak logis, primitif, dan mistis. Akhirnya penulis menilai jalan dakwah Islam yang ditempuh mereka masih perlu dicerdaskan lagi.

Selanjutnya, penulis melirik ke gerakan tarbiyah. Secara pemahaman Islam sebenarnya tidak banyak yang berbeda antara tarbiyah dengan Jamaah tabligh yang sama-sama terbatas pada simbol dan praktek syariat. Namun sedikit lebih progresif, gerakan ini bergerak lebih rapi, cantik, dan masif. Tarbiyah mengkader para pemuda-pemuda dengan strategi politik yang taktis. Sehingga hal inilah yang membuat mereka berkembang pesat.

Hanya saja sayang pemahaman Islam mereka yang minim nilai filosofis dan juga gaya pergaulan yang ekslusif membuat mereka masih belum bisa diterima oleh semua kalangan. Islam mereka belum bisa bersifat universal. Kesolidan internal mereka yang luar bisa membuat mereka tumbuh menjadi kelompok yang angkuh dan mengklaim semua golongan diluar mereka adalah kafir dan bahkan disebut sebagai musuh Allah.

Beberapa kalangan menyebut mereka sebagai kelompok konservatif. Mereka sangat antipati dengan ilmu-ilmu asing dan istilah liberal, bagi mereka ilmu-ilmu dan pemikiran liberal sebagai ancaman bagi keaslian Islam. Tarbiyah cenderung menutup diri dari pengaruh pemikiran asing. Para kader mereka bahkan dilarang membaca buku-buku yang mereka anggap liberal. Hal ini pun membuat kader-kader mereka miskin pengetahuan umum dan cenderung buta akan pemahaman-pemahaman filosofis.

Gaya konservatif tarbiyah ini pun akhirnya tidak disetujui oleh penulis karena menyebabkan gerakan ini akan stagnan dan tidak berkembang. Sehingga semakin sulit untuk dapat berbaur dengan dunia luar, apalagi untuk dapat diterima oleh seluruh kalangan.

Setelah merasa tarbiyah pun belum mampu mewakili wajah Islam yang me-rahmatan lil alamin. Penulis pun mencoba mengenal HMI lebih jauh. Usai mengenal dan memahami pemikiran Wahib, penulis melanjutkan pengembaraan mengenal tokoh besar HMI lainnya seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur), ideologi HMI, dan juga mengamati kondisi kekinian HMI.

Melalui pemikiran Wahib penulis menemukan bagaimana Wahib menempatkan Islam secara objektif dan memiliki toleransi yang besar terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selanjutnya Cak Nur juga menyatakan bahwa Islam adalah kumpulan nilai-nilai universal yang maknanya dapat memberikan petunjuk kepada seluruh manusia. Disini penulis merasa bahwa pemahaman-pemahaman ini mulai menjawab bahwa Islam yang seperti inilah yang dapat benar-benar menjadi rahmatan lil alamin.

Selanjutnya, dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI juga ditekankan bahwa pemahaman akan Islam seharusnya adalah paham akan esensi dari tiap perintah yang tertera dalam Al Qur’an maupun hadits. Jika dianalogikan Islam sebagai gelas berisi air, maka yang paling penting adalah airnya. Airnya inilah yang seharusnya dipahami umat sebagai tujuan mereka, bukan gelasnya. Air tersebutlah yang sebenarnya mengandung nilai-nilai universal yang me-rahmatan lil alamin.

Kondisi kekinian umat Islam saat ini terutama di Indonesia banyak yang tidak menyadari akan hal ini. Jamaah tabligh dan tarbiyah terjebak dalam pemahaman pentingnya gelas. Pada hakikatnya gelas juga penting sesungguhnya, namun bukan itu tujuannya, tujuannya adalah air. Salah satu contoh keterbatasan pemahaman umat Islam saat ini yaitu ketika membaca Al Qur’an. Banyak umat Islam Indonesia membaca Al Qur’an tanpa memahami tafsirnya. Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa membaca huruf arab Al Qur’an dapat memberikan banyak faedah. Padahal sesunggunya faedah yang dimaksud adalah ketika kita memahami tafsirnya dan dapat mengamalkan hikmah ayat-ayat Al Qur’an tersebut.

HMI di awal berdirinya melalui para tokoh-tokoh yang mereka lahirkan dan dalam buku-buku teks pemikiran keislamannya berjuang mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Hal inilah yang menyebabkan kecendrungan berpikir penulis akhirnya mengarah kepada kelompok ini.

Kemunduran HMI

Berbagai pandangan sinis dan miring tentang HMI hari ini bertebaran dimana-mana. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh, mengingat memang kondisi HMI hari ini tidak lagi seperti masa kejayaannya di awal berdiri hingga era Cak Nur dahulu. Bahkan kemunduran HMI ini pun diakui oleh Cak Nur. HMI hari ini sudah hampir kehilangan arah. Perjuangan mereka hanya terbatas di ruang-ruang kelas latihan kepemimpinan (LK) dan konspirasi politik.

Sejumlah kader HMI hari ini bisa dilihat kualitasnya yang sangat jauh dibawah para tokoh-tokoh terdahulunya. Sebagian besar mereka larut dalam romantisme masa lalu kejayaan dan kebesaran nama alumni-alumni mereka. Mereka hanya bisa bercerita dan merasa bangga akan raihan alumni-alumni mereka tanpa berupaya bercermin diri apa yang telah mereka raih dan lakukan demi peradaban.

Jika kita berkunjung ke tempat-tempat pelatihan pengkaderan HMI, disana kita akan temui asap-asap rokok mengepul dimana-mana, sejumlah pria bertindik anting dengan obrolah angkuh sok pintar mencaci maki golongan lain, dan gaya malas lain lainnya. Itulah mereka potret sebagian besar kader HMI hari ini. Jika mungkin dahulu orang-orang seperti ini disebut sebagai oknum atau bagian kecil yang buruk dari HMI, namun hari  ini para oknum ini sudah hampir dominan. Sehingganya merekalah yang hari ini akhirnya mewakili wajah HMI.

Para kader hari ini telah terjebak dalam kebebasan berpikir yang tidak lagi kontekstual dengan kebutuhan zaman. Mereka terlalu banyak berwacana, berdiskusi, euforia kebencian terhadap kelompok lain, dan merasa angkuh dengan ilmu yang belum seberapa. Hingga akhirnya lupa akan cita-cita utama menjadi insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Sebagian besar alasan mereka bergabung di HMI, jawabannya adalah jaringan. Para alumni HMI yang telah tersebar dimana-mana mereka anggap sebagai peluang mereka untuk mudah menjajal karir politis. Itulah sebagian besar kader pragmatis yang ada di HMI hari ini. Niat mereka bergabung di HMI awalnya sudah sangat berbeda dengan para tokoh terdahulu yang bergabung karena memang ingin belajar dan mengabdi bersama membangun peradaban Islam dan Indonesia.

Semua kondisi buruk kader HMI di atas saat ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa. Karenanya pandangan terhadap HMI pun menjadi tidak lagi baik di kampus-kampus. HMI dipandang sebagai kelompok yang terkenal mengacau dan membuat kerusuhan di kampus-kampus. HMI tidak lagi dikenal sebagai pencipta ide-ide dan pemikiran brilian seperti dahulunya.

Penurunan kualitas kader HMI ini sekarang dimanfaatkan oleh tarbiyah yang berhasil mendominasi kampus-kampus besar di Indonesia. Meskipun baru berdiri sejak reformasi dengan nama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), namun ekspansi mereka berlaju cepat karena politik mereka yang rapi, cantik, dan elegan.

Pemetaan kekuatan kelompok-kelompok mahasiswa hari ini menggambarkan bahwa KAMMI menguasai hampir semua kampus besar di Indonesia. Sementara HMI hanya ada di beberapa kampus kecil dan itu pun tidak terlalu kuat. Kemudian diluar kedua ini, ada beberapa kelompok lain seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan lain lain. Kelompok-kelompok lain ini kekuatannya dibawah KAMMI dan HMI.

KAMMI dengan pemahaman Islam konservatifnya hari ini telah besar dan memiliki basis massa yang cukup besar serta mereka juga memiliki sistem tata kelola organisasi dan pengkaderan yang sangat rapi. Sementara HMI dengan pemahaman Islam moderatnya mengalami penurunan kualitas kader dan basis massa sangat rapuh. Sistem tata kelola organisasi dan pengkaderannya pun masih jauh dari manajemen yang baik.

Penulis pun sempat memiliki keraguan untuk memilih jalan pengabdian di antara dua kelompok besar di atas. Ketika bergabung dengan KAMMI maka hal yang harus dirubah disana adalah pemahaman akan Islam yang konservatif untuk menjadi lebih terbuka dan dinamis. Hal ini adalah sesuatu yang berat, mengingat pemahaman tersebut sudah berkembang pesat di selutuh basis massa.

Sementara di HMI sebenarnya pemahaman Islam ideal yang rahmatan lil alamin telah mereka dapat serap. Namun hal ini masih terbatas di ranah teoritis, belum menjalar ke area praksis dalam wujud ibadah dan tindakan nyata pengabdian yang bermanfaat bagi peradaban. Selain itu tata kelola organisasi pun masih butuh banyak pembenahan dalam tubuh HMI.

Pilihan akhirnya adalah mengubah pemahaman manusia atau menyempurnakan pemahaman manusia dan memperbaiki tata kelola organisasi. Dengan semua pertimbangan visiblitas rasional akhirnya penulis lebih memilih pilihan kedua, karena mengubah pemahaman yang telah hampir mendarah daging adalah cukup sulit dalam waktu yang terbatas dan juga tidak bisa dilakukan seorang diri. Bersama HMI penulis berharap mampu menjawab tantangan tersebut.

Gerakan Peretas Batas

Pergerakan mahasiswa ini dianggap mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan musuh bersama dan juga arogansi tiap golongan mahasiswa yang semakin tinggi. Yang menjadi musuh saat ini bagi mahasiswa adalah bangsa mereka sendiri. Kelompok lain di luar mereka itulah yang saat ini dianggap sebagai lawan politik.

Hal yang sama juga terjadi di HMI. HMI bersama PMII, GMNI dan lain-lain saat ini berupaya mengalahkan dominasi besar KAMMI di kampus-kampus besar di Indonesia. Inilah pergeseran cita-cita yang terjadi saat ini. Tidak lagi kepentingan umat atau rakyat yang lebih diperjuangkan, melainkan kepentingan golongan masing-masing. Resistensi antar golongan sekarang menjadi semakin kuat.

Untuk menjawab tantangan ini maka sekarang dibutuhkan Boundary Spanner atau peretas batas. Orang-orang yang tidak terikat pada kepentingan masing-masing golongan dan namun tidak bersikap resisten terhadap keberadaan golongan-golongan tersebut. Mereka justru berupaya meminimalisir kepentingan golongan pada setiap golongan dan membuka jalan komunikasi kerjasama antar golongan. Sehingga pada akhirnya setiap golongan yang ada dapat lebih membuka diri dan kembali pada tujuan utama membangun bangsa, bukan membangun golongan masing-masing atau pun klaim kebenaran masing-masing.

Menjadi peretas batas inilah yang seharusnya diperankan oleh HMI saat ini. Menjadi para pemimpin politik kreatif yang berintegritas. Indonesia dan Islam saat ini butuh para peretas batas ini sebagai pilar-pilar muda pembangun masa depan peradaban. Menjaga keutuhan bhineka tunggal ika dan menyongsong kebangkitan garuda dan Islam yang sesungguhnya.

Untuk menjadi gerakan peretas batas, ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh HMI saat ini. Para kader HMI saat ini sebagian besarnya seringkali berujar menyatakan bahwa KAMMI merupakan kelompok yang ekslusif dikarenakan gaya berpakaian mereka yang seragam dengan celana bahan dan baju kokonya. Namun di sisi lain sebenarnya mereka pun juga tidak kalah ekslusif dengan wacana dan bahasa orasi mereka yang tidak membumi. Kemudian keengganan mereka untuk berbaur dengan kelompok lain, khususnya KAMMI juga bisa disebut sebagai ekslusifisme.

Pertama, meniadakan tindakan ekslusif dan membaur bersama untuk menyelipkan pemikiran Islam sebagai kumpulan nilai universal, hal inilah yang seharusnya diilakukan oleh HMI. Kembali pada cita-cita ideal untuk menjadi insan pengabdi, bukan insan angkuh yang pragmatis egois.

Selanjutnya kedua yaitu memahami nilai-nilai Islam yang universal secara kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini. banyak sekali kita temukan saat ini kader-kader HMI yang merokok. Hal ini memang merupakan hal kecil, namun substansial. Rokok memiliki bahaya dan kerugian yang tidak  terbantahkan lagi. Andaikan dana yang dikeluarkan untuk rokok oleh para kader HMI dikumpulkan selama setahun maka dananya sudah bisa digunakan untuk kegiatan sosial yang jauh lebih bermanfaat dan nyata kontribusinya.

Rokok adalah salah satu contoh kasus bagaimana seharusnya para kader HMI mengamalkan nilai-nilai Islam yang universal secara kontekstual. Masih banyak contoh kasus lain yang hadir di tengah kader HMI saat ini, seperti gaya hidup lainnya dan juga dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang lebih mementingkan popularitas dibanding nilai yang dibawa.

Kemudian yang ketiga yaitu gerakan yang berjalan saat ini harus lebih terbuka dan bersih. Jangan menggunakan politik bawah tanah dan kotor. Katakan dan buktikan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, sekalipun itu kepentingan golongan, negara, maupun agama. Integritas, hal ini penting ditanamkan dalam setiap kader HMI.

Lalu yang terakhir yaitu merapikan kembali sistem tata kelola organisasi dan pengkaderan. Manajemen yang dilakukan oleh HMI terkait hal ini terlihat sangat kurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan bertebaran dan tidak terurusnya para kader HMI saat ini sehingganya kualitas mereka pun menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemahaman ilmu yang diajarkan di LK dan seharusnya diamalkan dalam realisasi kontribusi nyata akhirnya hanya tinggal wacana. HMI perlu banyak berbenah demi untuk menyelamatkan keberlanjutan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, bukan demi kepentingan masa depan HMI.

Layaknya, pemahaman akan Islam yang diajarkan di Nilai Dasar Perjuangan I, dalam analogi gelas dan air ; yang lebih penting adalah air. Gelas juga penting, tapi itu bukan tujuan, tujuannya adalah air. Seperti itu juga lah seharusnya HMI idealnya menurut penulis. HMI hanyalah gelas, airnya adalah masa depan peradaban. Menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil alamin yang mampu membangun peradaban dunia secara umum dan Indonesia secara khusus.

Jika pemahaman di atas telah bisa diterima oleh para kader HMI. Maka kita akan menyongsong tak lama lagi sebagai gerakan peretas batas antar golongan. Mewujudkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Pustaka

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 1, 2010

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 2, 2010

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 3, 2011

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 4, 2011

Fadhilah Amal, Muhammad Zakariya al-Kandhlawi,

Ahmad Wahib, Pembaharuan tanpa Apologia, 2009

id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zakariya_al-Kandhlawi

http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Wahib

Tulisan ini meraih Juara II dalam Lomba Karya Tulis Milad HMI ke 66