Wednesday, October 31, 2012

Gerakan Mahasiswa : Berani atau Nekat ?



“Keberanian harus di atas pengetahuan” ??

Begitulah kutipan dari pernyataan salah seorang aktifis mahasiswa, yang kemudian juga turut di-amin­-kan oleh sejumlah aktifis mahasiswa lainnya di sebuah forum mahasiswa. Mereka menyetujui bahwa sikap berani adalah yang terpenting dimiliki seorang perwakilan mahasiswa, atau istilah lainnya disebut tukang gertak, dan soal pengetahuan, itu masalah nanti.

Refleksi dari kutipan di atas, jika ditarik hubungkan dengan sejumlah permasalahan pergerakan mahasiswa di Indonesia saat ini, seolah merajut benang merah akar penyebab permasahan tersebut. Mari perlahan, kita coba rajut dengan keterbukaan berfikir dan keikhlasan belajar.

Keberanian atau Nekat ?
Ada sejumlah definisi tentang ‘keberanian’. Julius A Cartage menyatakan bahwa "Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa". Kemudian Dawson Peter Amstrong berujar “Berani bukanlah siap menghunus pedang, tetapi siap memasukkan pedang ke sarungnya". Lalu, Aristotle menyatakan bahwa, “The conquering of fear is the beginning of wisdom”.

Keberanian, haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran. Keberanian bukan berarti asal maju tanpa menghitung risiko, tapi keberanian adalah semua tindakan strategis yang telah terhitung secara akurat sebelum melangkah ke tindakan yang lebih jauh.

Keberanian tidak sama dengan nekat atau asal maju, yang tanpa memahami dan mengetahui permasalahan secara utuh, tapi keberanian ialah sebuah sikap atau karakter yang didukung oleh pengetahuan yang mumpuni. Bila keberanian bermakna nekat atau asal berani, maka sesungguhnya itu adalah kebutaan dalam memaknai keberanian secara benar dan tepat. Keberanian harus memiliki landasan, manfaat, tujuan, dan perencanaan yang matang. Kemudian, sejatinya keberanian diikuti dengan keinginan untuk terus belajar dan mencari kebenaran, bukan pembenaran.

Kembali pada studi kasus mahasiswa di atas, apa yang dinyatakan dalam kutipannya adalah lebih kepada nekat, bukan keberanian. Karena disana ada pemisahan antara keberanian dan pengetahuan.
Jika kita coba menelaah pergerakan mahasiswa hari ini, maka belum banyak kita temukan pergerakan yang berbasis keberanian sebagaimana pemahaman sesungguhnya di atas. Kata ‘pergerakan’ masih dimaknai oleh sebagian besar mahasiswa, dekat dengan aksi demonstrasi atau aksi-aksi sensasional yang bersifat perlawanan vertikal. Hal ini sepertinya masih dipengaruhi oleh euforia aksi senior mereka saat reformasi 1998.

Banyak yang berpendapat bahwa pergerakan dengan pemahaman dan pendekatan lama tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan. Apalagi, modal yang digunakan adalah nekat, maka itu hampir sama dengan bunuh diri. Lalu bagaimana pemahaman dan pendekatan seharusnya yang relevan dengan kondisi kekinian saat ini ?.

Pengetahuan : Modal Dasar
Gordon (1994 : 50) mendefinisikan pengetahuan (knowledge) sebagai dasar kebenaran atau fakta yang harus diketahui dan diterapkan dalam pekerjaan. Selanjutnya menurut Nadler (1986 : .62),  pengetahuan adalah proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar, tujuannya untuk mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan. 

Merujuk kepada beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah keberanian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.

Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.
Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa, modal pengetahuan seharusnya menjadi basis atau modal utama.

Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.

Sebagian kelompok mahasiswa saat ini telah melakukan dan berupaya memaksimalkan pemahaman dan pendekatan berbasis pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka masih sebagian kecil dan sebagian besarnya masih bermodal jumlah massa dan nekat.

Lalu bagaimana dengan sebagian besar mereka yang masih belum berbasis pengetahuan tersebut ?. Apa yang menjadi hambatan bagi mereka ditengah arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Iptek) saat ini ?.

Bahaya Laten Konservatif
“Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”-Tan Malaka
Begitulah himbauan bagi para manusia Indonesia dari seorang Tan Malaka, pemikir terbaik bangsa yang pertama kali menulis konsep tentang Republik Indonesia dan berhasil menghidupkan akal sehat orang timur melalui karya fenomenalnya : Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog).

Himbauan di atas sangat tepat bagi kelompok mahasiswa yang bersikap konservatif. Konservatif adalah sebuah sikap resisten atau ketertutupan terhadap hal-hal baru. Sikap ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, karena salah satu tujuannya adalah menjaga identitas atau karakter asli dari keyakinan yang positif. Namun sikap ini menjadi bodoh ketika dilakukan secara berlebihan. Sehingga memunculkan benteng terhadap gagasan-gagasan baru yang sesungguhnya benar.

Hal ini akhirnya membuat mereka terkungkung dalam kesempitan cara pandang, sementara di luar benteng mereka ilmu pengetahuan terus berkembang. Doktrin kebenaran bagi mereka seolah kaku, statis, dan tidak dinamis. Sifat kritis yang lahir, tumbuh secara tidak seimbang. Hanya mengkritik keluar, namun jarang menggugat ke dalam ; apa yang telah diyakini selama ini. Alhasil kedangkalan pemaknaan terhadap urgensi pengetahuan pun membuat mereka bergerak dengan mengabaikan modal dasar ; pengetahuan.

Penyebab munculnya sikap konservatif ini tentu beralasan. Munculnya sejumlah gerakan yang berupaya menyebarkan paham pemikiran dan ideologi mereka di Indonesia adalah salah satu alasannya. Mahasiswa sebagai generasi masa depan tentu disini menjadi sasaran strategis. Hal ini kemudian dilakukan melalu berbagai metode, sehingga akhirnya berhasil mencuci otak para mahasiswa dan membunuh daya kritis mereka melalui indoktrinasi.

Indoktrinasi yang berlangsung secara terus menerus membuat mereka semakin kerdil. Mereka terkurung dalam kesempitan doktrin, merasa menjadi yang paling benar dan yang lain adalah salah. Yang salah dianggap sebagai musuh dan tidak bisa dipercaya. Kelebihan pengetahuan dan keunggulan lainnya yang dimiliki oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka. Sehingganya, jalan apapun kemudian dihalalkan untuk memusnahkan ancaman-ancaman yang membahayakan tersebut, demi memuluskan jalan meraih kekuasaan politik. Mereka menjadi buta, bodoh, pecundang, dan tanpa integritas.

Inilah bahaya laten dari paham konservatif yang berkembang dan menjadi hambatan dari berkembangnya gerakan mahasiswa yang berbasis pengetahuan.

Konsisten Belajar : Memupuk Keberanian
Gerakan mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian zaman adalah, sebuah gerakan yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang dinamis. Bukan sebuah gerakan nekat dan konservatif yang kuno, klasik, dan tidak berkembang serta tidak relevan dengan kebutuhan zaman.

Sikap konservatif yang merebak ini memang cukup dilematis. Di satu sisi hal ini sebagai pertahanan terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, di sisi lain hambatan untuk maju dan berkembang. Kompleks memang, karena terkait dengan relatifitas asumsi kebenaran, konspirasi perang pemikiran, dan benturan serta distorsi budaya yang terjadi antara keyakinan dan kepercayaan.

Namun tentu dengan terus menerus belajar memperluas pengetahuan, maka kita seharusnya mampu menarik garis batas dimana kita harus bersikap konservatif dan dimana tidak bersikap demikian.

Kata ‘konsisten’ pun dalam konteks ini harus dipahami dengan benar. Konsisten bukan berarti statis dan bertahan dengan prinsip lama secara terus-menerus. Namun konsisten seharusnya diterapkan dalam upaya belajar memperluas pengetahuan secara terus menerus. Sehingganya, ketika kita menemukan hal baru yang tidak relevan dengan prinsip lama kita dan dirasa lebih benar, maka bukan sebuah kesalahan jika kita merubah prinsip lama tersebut dan beralih ke hal yang baru.

Konsistensi untuk terus belajar, hal inilah yang semestinya ditanamkan dalam setiap roh pergerakan mahasiswa saat ini. Bukan mengedepankan emosi brutal tanpa intelektual. Konsistensi belajar tersebutlah yang akan terus memperluas wawasan pengetahuan mereka, sehingga akhirnya mampu bersikap berani yang ideal. Karena tantangan masa depan kita adalah kompetisi intelektual, ide, gagasan, dan inovasi. Semua hal tersebut berbasis kepada ilmu pengetahuan.


Tulisan ini dimuat di Suara Mahasiswa 17/10/2012
http://suaramahasiswa.com/?ForceFlash=true#/blog/KOLOM-Gerakan-Mahasiswa-Berani-atau-Nekat-.html
Dibukukan dalam Buku "Bunga Rampai Gerakan Mahasiswa, 2012"
Meraih Peringkat 4 dalam Lomba Esai Nasional Polgov Days UGM 2012
http://polgov.16mb.com/pengumuman-lomba-essay/

PKM (Bukan!) untuk PIMNAS!


Awalnya tulisan ini ingin diberi judul “PKM (Bukan Sekedar) untuk PIMNAS”, namun mengingat sudah terlalu jauhnya sebagian besar kita tersesat dalam paradigma yang berkembang saat ini, sehingganya perlu penegasan lebih ekstra bahwa PKM seharusnya bukan berorientasi untuk PIMNAS.

Hakikat PKM dan Pimnas

PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa) adalah sebuah program dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendiknas yang berawal dari tahun 1997. Saat itu program ini bernama Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi (PBKPT). Program ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara teori yang diperoleh mahasiswa dengan realita kebutuhan masyarakat dan munculnya tuntutan masyarakat atas mutu lulusan perguruan tinggi yang mandiri dan siap mengantisipasi arah pengembangan bangsa. Sehingganya dengan program ini diharapkan dapat memacu mahasiswa untuk melahirkan ide dan inovasi karya yang optimal dan tepat sasaran untuk masyarakat.

Dalam perkembangannya, PBKPT terus mengalami perubahan hingga akhirnya menjadi saat ini dengan nama PKM. Ada dua jenis PKM, yaitu PKM-Kegiatan dan PKM-Karya Tulis. PKM-Kegiatan terbagi lagi menjadi lima jenis, yaitu ; PKM Kewirausahaan, PKM Pengabdian Masyarakat, PKM Penelitian, PKM Penerapan Teknologi, dan PKM Karsacipta. Kemudian juga PKM-Karya Tulis terbagi ke dalam dua jenis, yaitu ; PKM Gagasan Tertulis dan PKM Artikel Ilmiah.

Melalui program PKM Dikti mendorong mahasiswa untuk berkarya. Dikti memberikan bantuan pendanaan bagi setiap usulan proposal yang dinilai layak. Kemudian dalam proses berjalannya, keberlangsungan program yang didanai tersebut dievaluasi oleh Dikti sebagai fungsi mekanisme kontrol. Lalu program yang telah berjalan optimal kemudian diberikan apresiasi untuk tampil di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas). Di Pimnas, sejumlah karya-karya mahasiswa yang inovatif dipertunjukkan untuk saling memberikan inspirasi bagi semua khalayak. Selanjutnya di akhir acara Pimnas, diberikan predikat juara sebagai apresiasi terhadap karya yang terbaik dari sejumlah yang dipertunjukkan tersebut. Dengan apresiasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan semangat berkarya bagi para mahasiswa yang menyaksikan.

Usai kegiatan Pimnas, Dikti mengharapkan program tersebut dapat terus berjalan secara mandiri dan tentu memberi kebermanfaatan yang berkelanjutan bagi masyarakat.

Begitulah hakikat sesungguhnya bagaimana memaknai proses PKM dan Pimnas. Namun kenyataan hari ini, terlihat sangat berbeda. PKM lebih dimaknai sebagai ajang kompetisi, dan Pimnas sebagai medan pertarungan gengsi antar kampus atau perguruan tinggi di Indonesia.

Disorientasi

Kompetisi, dalam sudut pandang keilmuan sosiologi istilah ini dipahami sebagai sebuah persaingan antar individu atau kelompok untuk menjadi yang terbaik. Dalam pemahaman lainnya, kompetisi dipahami sebagai sebuah bentuk pusaran. Sang "pemenang" adalah pusat orbitnya, sementara "peserta lainnya" akan berputar mengelilinginya. Tidak ada istilah "kalah-menang" di sini, karena kewajiban sang "pemenang" adalah membagi ilmunya, membagi pengalamannya, menebar energi positifnya, kepada siapa saja yang mengorbit di sekelilingnya. Sedangkan kewajiban "peserta lainnya" adalah membuka diri untuk menyerap energi, menyerap ilmu, menyerap pengalaman dari sang pusat orbit, sang "pemenang". Inilah sebuah bentuk sinergi.

Namun pemahaman di atas kurang populer berkembang. Sehingga dewasa ini kata kompetisi lebih populer sebagai sebuah drama yang selalu melahirkan "Pemenang" sekaligus mencetak sekumpulan "Orang Kalah". Sebagai konsekuensinya, "Pemenang" akan ditafsirkan sebagai sosok yang menjulang di puncak kejayaan, yang akan dipandang dengan wajah menengadah oleh kaum "terkalahkan". Dalam drama kompetisi tersebut juga tidak jarang terjadi tumpang-tindih yang relatif kejam.

Dalam konteks PKM, program ini tidak seharusnya dimaknai sebagai kompetisi menurut pemahaman populer di atas, karena tujuannya jelas berbeda. PKM bertujuan menghasilkan karya yang memberi kebermanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat adalah sasaran utamanya, bukan Pimnas. Namun fakta yang terjadi hari ini adalah Pimnas sebagai tujuan dari PKM. Masyarakat kemudian hanya menjadi alat untuk menuju Pimnas. Terjadi disorientasi yang menyebabkan akhirnya PKM dimaknai sebagai sebuah kompetisi menurut pemahaman populer di atas.

Disorientasi yang terjadi kemudian melahirkan turunan-turunan berupa tindakan atau cara-cara yang memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah lahirnya sejumlah gerakan-gerakan emosional salah kaprah yang membabi-buta dalam pemenangan PKM-nya untuk dapat lolos ke Pimnas. Berbagai cara pun lalu dihalalkan. Hal ini sangat membunuh integritas yang seharusnya dimiliki oleh seorang intelektual. Kemudian juga hal ini menyebabkan peniadaan hakikat dan esensi PKM yang sesungguhnya mengedepankan nilai kebermanfaatan. Yang dikedepankan justru berubah menjadi pragmatisme nafsu kemenangan.

Setelah berhasil meloloskan PKM ke Pimnas. Disorientasi pun terus berlanjut. Pimnas kemudian hadir dalam sebagai medan pertarungan gengsi antar kampus. Kemenangan di Pimnas pun akhirnya menjadi segalanya. Hasil akhir berupa total nilai dan urutan peringkat, menjadi sebuah refleksi kampus terbaik. Sang pemenang pun merasa jumawa dan si kalah berusaha menyembunyikan muka malunya. Pertarungan berakhir dan peserta pun kembali ke kampus masing-masing menyiapkan strategi baru untuk merebut kemenangan di tahun berikutnya.

Begitulah setiap tahun Pimnas berlangsung dan dimaknai oleh sebagian besar kita. Masyarakat yang hanya dijadikan alat tersebut akhirnya berakhir ketika Pimnas. Setelah Pimnas, tidak banyak yang kembali ke masyarakat dan berusaha melanjutkan programnya secara mandiri. Jelas sudah, telah terjadi disorientasi dalam pemaknaan PKM dan Pimnas.

Pimnas pada hakikatnya hanyalah ajang apresiasi yang seharusnya dipahami cuma sebatas efek samping dari karya yang telah menuai kebermanfaatan bagi masyarakat. Bukanlah ajang mencari kemenangan semu. Kemenangan sesungguhnya adalah program yang diinisiasi tersebut dapat terus berkelanjutan memberi kebermanfaatan.

Tobat

Tobat, mungkin kata inilah yang paling tegas dan tepat untuk menghimbau seluruh kalangan sivitas akademika yang terlibat dalam PKM dan Pimnas untuk kembali pada hakikat sesungguhnya PKM dan Pimnas. Mahasiswa sebagai pelaku, dosen sebagai pembimbing, dan perguruan tinggi sebagai sistem pendorong, harus sinergis bertekad untuk memaknai PKM sebagai alat untuk berkarya dan masyarakat sebagai tujuan utamanya. Kemudian Pimnas hanyalah ajang apresiasi untuk saling menebar inspirasi.

Dikti juga diharapkan bisa memberikan evaluasi terhadap sistem yang telah dibuat selama ini. Keberlanjutan PKM usai Pimnas untuk menjadi sebuah program kebermanfaatan yang berkelanjutan perlu menjadi perhatian selanjutnya.


“Aku kira dan bagiku itulah kesadaran sejarah. Sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai.”
― Soe Hok Gie

Jindabyne, 23 September 2012. < 10˚ C

Tulisan ini dimuat di Okezone.com 02 Oktober 2012

(Latar Belakang) Pendidikan Polisi

KPK terdesak, sekelompok polisi membabi-buta, Kapolri gagu, Presiden hanya memantau, dan rakyat tumpah ruah bersorak riuh.

Kondisi inilah yang terjadi di Jumat (5/10) malam lalu, sekelompok Intel Polri mengepung KPK dan mendadak hendak menangkap penyidik KPK Novel Baswedan atas tuduhan kasus 8 tahun silam.

Kembali terjadi tamparan bagi penegakan hukum di Indonesia. Polri diduga melakukan kriminalisasi terhadap penyidik KPK untuk menghambat pengusutan kasus simulator SIM yang menjerat Irjenpol Djoko Susilo. Sebuah tindakan pengecut dan tidak berintegritas dari sekelompok oknum Polri yang semakin mencoreng kredibilitas Polri sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia.

Mengapa Polri bersikap demikian?. Jika kita mencoba membongkar lebih jauh lagi ke dasar penyebabnya, maka akan ditemukan di kata “kualitas sumber daya manusia (SDM)”. Polri sesungguhnya telah berupaya terus berbenah diri dari sejumlah perbaikan sistem. Mulai dari pembuatan blueprint program perbaikan internal yang meliputi perbaikan mental institusi, pelayanan masyarakat, bebas korupsi dan pungli, hingga keberanian untuk mengusut aib sendiri.

Namun disamping itu, tentu juga dibutuhkan dorongan luar untuk menyempurnakan upaya tersebut. Dorongan itu adalah kesadaran sejumlah pihak terutama pemuda, untuk memperbaiki dari dalam sistem. Selama ini banyak pemuda yang hanya bisa bersorak dari luar sistem, mengkritik, mengecam, dan menuntut berbagai hal dari Polri, namun nyaris tiada yang mampu memberi solusi paling kongkrit, yaitu ikut berjuang bersama di dalam sistem.

Sekarang lihatlah siapa saja pemuda bangsa yang saat ini berjuang dari dalam sistem. Komjen Nanan Sukarna (Wakapolri) menyatakan bahwa peningkatan sumber daya manusia di kepolisian belum tuntas. Tingkat pendidikan polisi di lapangan umumnya rendah, 350 ribu orang polisi di lapangan ialah hasil pendidikan Bintara, belum mengenyam pendidikan tinggi.

Dalam buku 'Progression of Motivate and Professional Value' disebutkan bahwa motivasi terbesar sebagian besar pemuda menjadi polisi adalah  crossical motivation ; motivasi jalan pintas. Cara cepat memperoleh pekerjaan dengan penghasilan layak tanpa syarat pendidikan tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong maraknya metode suap dalam tes masuk polisi. Hingga muncul ungkapan “kurang tes, tambahin tas”.

Berawal dari proses yang salah di awal, sehingganya output yang dihasilkan pun turut berpengaruh. Mulai dari kasus simulator SIM hingga pengepungan KPK adalah multiplier effect-nya.

Satjipto Rahardjo (2002) menyatakan bahwa pendidikan merupakan sarana strategis menyiapkan SDM polisi yang bertugas sarat dengan muatan perubahan. Pendidikan polisi memerlukan sikap dasar ‘sadar perubahan’. Hal ini dapat diperoleh dari proses belajar di pendidikan tinggi. Ambil contoh Polisi di AS, mereka terus didukung untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena diyakini dengan standar kualitas intelek yang tinggi dapat meningkatkan kepekaan mereka terhadap warga negara, bertindak lebih adil, jujur, dan berintegritas.

Saat ini terdapat 4,8 juta pemuda Indonesia yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Namun sangat sedikit dari mereka yang berminat menjadi polisi. Sudah saatnya para pemuda berkualitas bangsa ini mampu menjawab persoalan ini dengan berjuang dari dalam sistem. Demi mendorong penegakan hukum di Indonesia.

 Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 26 Oktober 2012

Tuesday, October 30, 2012

Mahasiswa dan Partai Politik



Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan" - Soe Hok Gie

Begitulah kutipan dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang hingga kini terus menginspirasi. Dalam kutipan tersebut Gie menegaskan sikapnya yang ketika itu digoyang oleh banyak godaan agar dia menghentikan upayanya menyuarakan kebenaran. Dalam buku yang sama Gie juga menggambarkan bagaimana beberapa orang rekan mahasiswanya akhirnya juga tunduk pada godaan tersebut dan menyerah dalam perjuangan menyuarakan kebenaran.

Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa, mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu. Jargon-jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan kurang ampuh. Buktinya sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang terbukti akhirnya berada di bawah komando kekuatan yang lebih besar berwujud partai politik (parpol).

Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.

Namun harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan tersebut berbentuk underbow yang menyatakan independen, namun sejumlah studi telah membuktikan bahwa mereka memang benar terkait. Nahdatul Ulama yang dulu sempat menjadi parpol dekat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Kemudian HMI dekat dengan Golkar.

Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang PKS) yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil terbentuklah sejumlah kelompok-kelompok idealogis mahasiswa yang secara tidak langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan semakin erat dan kelompok-kelompok tersebut itu pun semakin berkembang menjadi ladang kaderisasi parpol terkait.

Akhirnya yang terjadi justru persaingan antar kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang cerdas pun perlahan meredup dan sirna.

Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar “Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata”.

Wahai mahasiswa, sekarang semua sudah terjadi. Anggaplah ini sebagai seni berdemokrasi. Namun jangan sampai terlarut dan terlena. Ingatlah tugas utama menyuarakan aspirasi rakyat. Beban moral seorang intelektual.

Jadikan parpol cukup sebagai alat mencapai tugas utama tersebut. Jangan sampai buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol kekuasaan. Ingat yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan pembenaran

Mari serap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Lalu olah dengan kekayaan ilmu pengetahuan. Ciptakan karya nyata yang optimal.

Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 26 September 2012