Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Tuesday, August 4, 2015

Pantai Melayu Airnya Biru


 
Pantai Melayu Pagi Hari
Di Tanjung Katung airnya biru
Disitulah tempat mencuci mata
Duduk sekampung lagikan rindu
Inikan pula jauh di mata

Tak hanya di Tanjung Katung, hingga ke Selat Malaka di Kepulauan Riau pun airnya tak kalah biru. Pantun gurindam di atas semakin merdu dilagukan bersama orang-orang terdekat, jika anda berkunjung ke Pantai Melayu di ujung Kota Batam, Kepulauan Riau. 

Dari Bandara Hang Nadim Batam, anda bisa menggunakan taksi menuju pantai nan landai tersebut. Sepanjang jalanannya yang lurus dan berbukit, di kiri kanan anda akan ditemani oleh landscape yang tak kalah menarik, mulai dari hutan kota, hunian modern, sensasi urban, perkebunan naga, hingga bentang perairan nan tentram. Dan bagian terpentingnya adalah anda juga akan melalui empat Jembatan Barelang, ikon populer Kota Batam. Jembatan ini menghubungkan pulau-pulau di Provinsi Kepulauan Riau yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru.

Tuesday, June 2, 2015

Negeri Kabut



You know what is the best decision I ever made? I came to visit my friend and inadvertent met her on that Thursday. You know what is the best time in my life? when I was with her in a week.

You know what I do really worry today? when she knows nothing about those all.

I write this to let she knows and hope I would have another chance to see her eyes smile from her cheeks.

Thursday, February 19, 2015

Kompas, Tolong Hentikan Info Penipuan Lowongan Kerja

Tampak Depan Perusahaan (astridjalatamagold.blogspot.com)

Saya pembaca Koran Kompas, dan pernah mendaftar untuk info lowongan kerja yang diiklankan di Kompas. Ketika itu saya membaca ada iklan lowongan pekerjaan untuk posisi data entry dengan penghasilan mencapai USD 800 per minggu-nya. Iklan semacam ini ketika itu tak cuma satu, namun ada beberapa dengan sedikit variasinya, yakni dengan penghasilan agak sedikit berbeda dan alamat kontak yang berbeda.

Saturday, September 14, 2013

improvisasi intuisi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGz-79M_8xaOux-dGFGjkuGtMY2lW86BP7QHkegvSDyCl47ef7i5dByqOsygd9F1pQGV5rE_N_UeSN_xKXiRH6BT5mCHCH2hC9qkC69cS1x93QkmIIb3-cjO7xktg6i3kUCVflIpZErLPZ/s320/intuisi.jpg

namun konsistensi itu....
mesti...harus..berdiri tegar bersama keangkuhannya..
dipagari benteng keyakinan...
dilapisi membran doa...
menatap nanar menuju bayangan harapan..
melangkah pasti menembus keputusasaan....

Saturday, September 10, 2011

Padamu Negeri


Sabtu, 15 Januari 2011
Pasaman Barat

“Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, namun ternyata mereka belum cukup bisa menerima”, gumamku dalam hati sembari berusaha untuk terus ikhlas. Bus yang aku tumpangi masih berjalan cukup pelan karena muatannya yang belum terlalu penuh. Aku mencoba memutar kepalaku untuk mengamati manusia-manusia di sekelilingku. “Apakah mereka semua juga turut serta bersalah terhadap hal itu?”, aku terus bertanya-tanya dalam hati yang ternyata memang belum sanggup untuk ikhlas. Aku menarik nafas panjang dan kemudian melempar pandanganku ke arah jendela bus. Aku mencoba menikmati pemandangan bentang alam yang tersedia di sepanjang jalan untuk mengikhlaskan hatiku.

Rabu, 12 Januari 2011
Padang

“Sudahlah, tidak mungkin!, biarkan saja yang satu itu!”, ujar Yoga. Dia adalah rekanku dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Minang Universitas Indonesia (Imami UI). Imami UI memiliki kegiatan rutin di Sumatera Barat setiap bulan Januari sejak tahun 2003. Kegiatan yang merupakan rangkaian berbagai acara itu dikenal dengan nama “Kampus Goes to Kampuang (KGTK)”. Kegiatan ini adalah berupa sebuah gerakan membangun negeri yang sasaran utamanya adalah para pelaku pendidikan di Sumatera Barat (Sumbar). Rangkaian acaranya selalu mengalami perkembangan setiap tahun.

Pada tahun 2011, rekanku Yoga Tamala yang akrab disapa Yoga diamanahkan sebagai Project Officer (PO) dari KGTK 8. KGTK 8 memiliki rangkaian kegiatan yang terdiri dari Lomba Desain dan Fotografi, Roadshow ke 112 SMA, Simulasi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Studi Islam dan Adat (SILAT), Bedah Kampus UI, dan Minangkabau Culture Festival (MCF). Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan selama sebulan penuh di bulan Januari, bertepatan dengan libur kuliah semester ganjil kami. Untuk mengoptimalkan kinerja maka kami membuat sistem pembagian wilayah Sumbar menjadi 16 wilayah yang masing-masingnya memiliki tim di tiap wilayahnya.

Siang itu kami berdebat tentang bagaimana nasib wilayah Pasaman Barat yang mengalami masalah sumber daya manusia (SDM). Koordinator wilayahnya yang merupakan satu-satunya orang yang diharapkan mampu menggerakkan wilayah itu ternyata belum melakukan Roadshow ke SMA di wilayahnya karena dia masih berada di UI untuk kepentingan lain. Padahal Roadshow adalah rangkaian yang sangat penting dalam kegiatan ini. Roadshow memberikan motivasi, inspirasi, serta informasi tentang pendidikan tinggi dan juga memberikan info tentang rangkaian kegiatan yang lain. Hal ini tentu turut mempengaruhi keberlangsungan rangkaian kegiatan tersebut.

“Tidak apa-apa, kalau begitu biar aku saja sendiri yang pergi”, ujarku menjawab kepesimisian Yoga. Tadi pagi Yoga baru datang dari tanah kelahirannya di Maninjau, sementara aku memang lahir disini, di Padang kota tercinta. Hari ini agenda Yoga adalah menyelesaikan segala masalah birokrasi demi kesuksesan acara dan siangnya dia akan berangkat ke wilayah Solok Selatan yang juga mengalami kekurangan SDM. SDM disana hanya berjumlah dua orang dan keduanya adalah wanita. Sementara itu wakil PO yaitu Iqbal bersama dengan Ichwan sebagai salah satu tim inti juga dalam kepanitiaan KGTK 8 tersebut akan berangkat ke wilayah Dhamasraya untuk membantu masalah yang sama, kekurangan SDM.

Teman-teman panitia yang lain yang aku coba ajak untuk menemaniku ke Pasaman Barat semuanya kompak menjawab “maaf, silahkan, hati-hati ya disana. Disini juga banyak amanah”. Aku mencoba kembali memandang ke arah Yoga berharap mendapatkan solusi, tapi ternyata kepesimisannya tadi bercampur dengan bad mood sehingga jangankan solusi sinyal baik pun tidak aku dapatkan dari wajahnya. Akhirnya aku membulatkan tekad “ya sudah. Bismillah, ini akan jadi pengalaman luar biasa untukku. Aku bertanggung sepenuhnya terhadap keseluruhan acara ini. Kami telah mencantumkan di berbagai media publikasi bahwa kegiatan kami akan dilaksanakan di 16 wilayah di Sumbar. Jika Pasaman Barat tidak jadi, berarti kami telah membohongi banyak orang yang telah melihat dan membaca publikasi tersebut. Maka dari itu aku akan segera kesana untuk bertanggung jawab. Selain itu wilayah ini sangat minim memiliki mahasiswa di UI, aku berharap adanya peningkatan nilai pendidikan yang terjadi disana”, hatiku telah membuat sebuah komitmen.

Aku pun bergegas meninggalkan basecamp dan pulang menuju rumah untuk mengambil beberapa baju ganti untuk disana nanti. Di rumah aku bertemu dengan ayah dan menyampaikan keputusan yang kuambil. Ayah pun segera bertindak cepat. Dia langsung menghubungi temannya yang ada di Pasaman Barat dan memberitahu bahwa aku akan kesana dan menumpang menginap beberapa hari disana. Dari akhir pembicaraannya terlihat seperti teman ayahku yang disana menyambut baik kedatanganku. Ayah pun memberikan nomor handphone temannya tersebut dan mengantarkanku kembali ke basecamp. Dalam kegiatan ini kami menggunakan sebuah rumah milik salah satu teman panitia yang bersedia dipinjamkan sebagai kantor kami selama sebulan, inilah yang kemudian kami sebut sebagai basecamp.

Setelah sekitar dua puluh lima menit perjalanan aku pun sampai di basecamp. Ayah berpesan untuk berhati-hati disana dan seperti biasa, ayah terhebat di dunia itu selalu berpesan “jagalah shalat”. Dari basecamp aku diantar oleh teman panitia menuju bus yang akan menuju Pasaman Barat. Barang bawaanku menjadi sangat banyak karena aku harus membawa langsung kelengkapan untuk Simulasi SNMPTN yaitu soal-soal dan lembar jawabannya. Semua dikemas dalam lima kardus berukuran seperti kardus air mineral gelas. Setelah menaikkan semua barang bawaanku ke dalam bus, aku membeli beberapa potong kue untuk cemilan selama di perjalanan. Usai itu aku beranjak ke dalam bus dan menunggu penuhnya bus itu bersama dengan lamunanku. “Apakah nanti yang akan terjadi disana?, aku berharap yang terbaik”, doaku dalam hati.

Pasaman Barat

Bus melaju dalam kecepatan yang cukup cepat dan seperti biasa, aku tidak pernah cukup nyaman berada dalam bus. Aku sering merasa agak pusing karena berbagai aroma di sekitarku dan tidur menjadi solusi paling praktis untuk masalah ini. Dalam tidur aku berharap ketika bangun aku sudah sampai. Setelah sekitar lima jam perjalanan alhamdulillah akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Disana telah menunggu teman ayahku bersama motornya. Namun ternyata setelah melihat banyaknya barang bawaanku dia kembali pulang untuk mengganti motornya dengan mobil. Aku baru pertama kali bertemu dengannya dan ia terlihat cukup baik, namanya adalah Uda Fahmi.

Mobil itu berkelok ke arah kanan dan terlihat sebuah rumah yang cukup sederhana. Kami berhenti disana dan aku dipersilahkan untuk masuk ke rumahnya oleh Uda Fahmi. Keluarga Uda Fahmi cukup ramah terhadapku, aku dipinjamkan sebuah kamar yang cukup nyaman untuk ditempati selama aku disini. “Jadi bagaimana rencana perjalananmu selama disini?”, tanya Uda Fahmi padaku usai makan. “Besok atau hari pertama aku rencananya akan mengurus birokrasi dulu da. Aku akan ke Kantor Bupati untuk audiensi dengan Bupati dan sekaligus mengajukan permohonan dana. Setelah itu akan lanjut ke Kantor Dinas Pendidikan setempat untuk meneruskan surat rekomendasi kegiatan yang dari Dinas Pendidikan Provinsi agar melahirkan surat rekomendasi baru yang dari daerah setempat. Kemudian terakhir aku akan menuju dua SMA yang aku jadikan target Roadshow dan Simulasi SNMPTN, yaitu SMA 1 Pasaman dan SMA 1 Lambah Malintang”, jawabku terhadap Uda Fahmi.

Uda Fahmi bertindak cerdas, malam itu juga aku langsung diajak jalan-jalan untuk mengenalkan padaku dimana saja lokasi dari objek-objek yang akan aku tuju tadi. Ternyata cukup mudah menghafal jalan-jalan disini, karena jalan utamanya tidak banyak. Setelah aku merasa cukup yakin telah hafal jalan-jalan tersebut maka kami pun segera kembali pulang. Sebelum tidur aku menyiapkan kelengkapan surat-surat yang akan dibawa besok. “Alhamdulillah, semua telah siap. Mudah-mudahan besok berjalan lancar. Amin”, doaku sebelum merebahkan diri di kasur baruku itu.

Kamis, 13 Januari 2011

Kilauan mentari pagi memaksa menembus sela-sela dinding kayu kamar tersebut dan akhirnya kilauan itu berhasil menyorot mataku, aku pun terbangun. Tema musik pedesaan yang sudah lama tak kudengar pun mengalun harmoni ketika aku membuka jendela kamar. Aku segera bersiap-siap untuk memulai petualangan hari ini. Semua amunisi pun kembali aku periksa kelengkapannya. Aku juga dihadiahkan oleh Uda Fahmi sebuah sepeda motor Kharisma yang berumur setengah baya sebagai tungganganku nanti dalam berkelana. Aku memanggil motor itu ‘honda’.

Usai sarapan pagi yang sangat khas masakan asli Padang, aku pun segera menuju honda dan mengumpulkan segenap keyakinan untuk menungganginya. Sebenarnya aku belum terlalu lancar menggunakan sepeda motor, apalagi non-automatic seperti honda ini. Namun Bismillah menjadi modal utama keyakinanku ketika mulai menungganginya. Dengan sedikit gemetar di awal yang semakin lama memudar dan berubah menjadi percaya diri aku berhasil menjinakkan honda.

Sebelum menuju Kantor Bupati aku terlebih dahulu berhenti di sebuah warnet untuk nge-print surat-surat yang diperlukan. Wanita yang melayani di warnet tersebut cukup bersahabat. Sembari menunggu printing selesai ia bertanya tentang surat-surat yang aku print. Aku menjelaskan apa adanya dan dia terlihat cukup kaget sekaligus takjub. Setelah surat-surat tersebut beres, aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan juga memohon doa untuk kelancaran kegiatan.

Sekitar pukul sembilan aku sampai di Kantor Bupati yang cukup luas itu. Sepertinya pembangunannya masih belum selesai, karena lahan parkir dan halaman bagian depannya terlihat belum tertata cukup baik. Aku masuk melalui sisi kanan gedung tersebut karena parkirannya berada di sisi itu. Aku menyusuri lorong menuju lobi utama. “Mohon maaf pak, mau nanya, bagian humasnya sebelah mana ya?”, aku bertanya ke satpam yang ada di lobi utama. Satpam itu pun kemudian menunjukkan padaku ruangan yang dimaksud.

Aku memasuki ruang tersebut dan menjumpai sekitar delapan sampai sembilan orang karyawan berpakaian seragam dalam posisi cukup acak. Aku pun bingung harus bertanya kepada siapa terlebih dahulu. “Karyawan sebanyak ini apakah pembagian tugasnya berjalan optimal?. Sebagian besar dari mereka terlihat hanya duduk santai bersama-sama dan ditemani gadget masing-masing”, kesalku dalam hati. Kemudian sebagian dari mereka menoleh ke arahku dan bertanya “ada apa dek?”. Aku bergerak mendekati sumber suara tersebut dan menyatakan tujuan kedatanganku. “Maaf bu, saya dari Imami UI ingin mengadakan audiensi dengan Bupati terkait kegiatan kami yang akan diadakan disini”, ujarku sopan memulai percakapan. “Maaf dek, Bupatinya sedang keluar kota. Mungkin baru pulang hari Senin. Silahkan tinggalkan saja dulu suratnya, nanti kami akan proses”, jawab karyawan itu.

Aku pun mulai memutar otak. Targetku adalah Hari Sabtu semua kegiatan disini sudah harus selesai karena minggunya aku harus membantu kegiatan selanjutnya di Padang. Jika keadaannya seperti ini maka aku harus memikirkan rencana lain. Aku pun kemudian mengikuti prosedur yang berlaku disana dan segera meninggalkan ruangan tersebut. Aku kembali menuju lobi utama dan mencoba menebak dimana ruangan Bupatinya. Pandanganku tertuju ke lantai dua, disana aku melihat banyak orang-orang berpakaian cukup rapi lalu lalang melewati tangga yang cukup elegan. Aku memastikan disanalah ruangan para petinggi itu. Aku tidak mau bertanya pada satpam karena aku yakin mereka pasti tidak akan mengijinkanku naik kesana.

Sesampai di lantai dua aku langsung menemui tulisan ‘Bupati’ terpahat di kayu warna hitam di depan sebuah ruangan yang terlihat cukup ramai. Aku tidak cukup yakin dengan jawaban para karyawan di ruangan humas tadi. Aku mendekati ruangan tersebut dan bertanya kepada seorang wanita yang duduk di belakang meja yang kuduga sebagai sekretarisnya. “Permisi bu, saya dari Imami UI ingin mengadakan audiensi dengan Bapak Bupati”, ujarku. “Maaf bapak sedang keluar kota”, jawabnya. “OK fine, berarti target selanjutnya adalah wakil bupati”, hatiku bersepakat. Di sebelah ruangan bupati aku menemukan ruangan wakil bupati. Aku pun melakukan hal yang sama seperti di ruangan sebelumnya. “Maaf, bapak sedang berada diluar hingga sore nanti”, ujar karyawan di ruangan itu.

Aku tidak patah arang. Aku melanjutkan ke ruangan sebelahnya lagi. Disana aku menemukan ruangan ‘Sekretaris Daerah’ (Sekda). Hal yang sama kembali aku lakukan. “Maaf, bapak sedang keluar. Kemungkinan nanti siang baru kembali”, ujar karyawan disana. “Ok kalau begitu nanti siang bisa bu?”, ujarku bersemangat. “Mudah-mudahan bisa”, jawabnya. Secuil harapan pun mulai muncul. Namun aku tidak berhenti sampai disitu. Aku memutar haluan menuju sisi kiri lantai dua tersebut. Disana aku menemukan ruang ‘Asisten I’. Jawaban dari hal yang sama yang aku lakukan adalah “Maaf, bapak sedang diperiksa BPK. Belum tahu akan selesai kapan”. Tinggal satu ruangan utama lagi yang belum aku masuki di lantai dua itu yaitu ruangan ‘asisten II’. Jawaban dari ruangan itu adalah “Maaf, bapak sedang ada tamu dan belum tahu sampai kapan”.

Semua upaya tersebut aku lakukan untuk dapat mengkomunikasikan secara langsung kegiatan kami terhadap mereka. Mengharapkan kepedulian mereka terhadap masalah pendidikan di daerah mereka. Namun ternyata pagi itu aku membawa tangan hampa keluar dari ruangan itu. Tidak apa-apa, aku tetap fokus pada tujuan utama ‘meningkatkan nilai pendidikan yang ada disana’. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju destinasi kedua : Dinas Pendidikan. Jalanan lurus yang cukup panjang dan sepi mengarahkanku ke kantor tersebut. Sesampai disana ternyata Kepala Dinas Pendidikan tidak berada di tempat. Karyawan disana menjelaskan bahwa beliau tengah keluar dan aku diminta untuk kembali lagi sekitar jam tiga.

“Tetap semangat!!”, teriakku dalam hati sambil melanjutkan perjalanan menuju SMA 1 Pasaman. Sekolah tersebut berada tidak jauh dari Kantor Bupati tadi. Aku menemui kepala sekolahnya dan menyatakan maksud dan tujuanku “Saya berharap dapat melakukan Roadshow besok pagi ke kelas-kelas dan siangnya langsung mengadakan Simulasi SNMPTN-nya pak, karena waktu saya cukup terbatas disini dan kondisinya juga cukup darurat.” Sang Bapak menyambut cukup baik permohonanku. Beliau memberikan izin terhadapku dan menyerahkanku kepada Pak Budi, Wakil Kepala Sekolah Bagian Kemahasiswaan. Beliau cukup membantu ketika itu. Aku meminta untuk dapat bertemu dengan Ketua OSIS disana untuk dapat menjelaskan tentang kegiatan SILAT yang memang ditujukan bagi para ketua OSIS SMA se Sumbar. Aku berhasil menemuinya dan ia terlihat cukup tertarik. Ia mengenalkan namanya ‘Arif’.

Tidak terasa, waktu pun sudah menunjukkan jam satu siang. Aku pun memutuskan untuk Shalat Zuhur terlebih dahulu. Usai itu aku melanjutkan perjalanan kembali menuju Kantor Bupati untuk menagih janji karyawan di ruangan Sekda tadi. Sesampai disana, sang karyawan tadi menyatakan bahwa Bapak Sekda belum datang dan masih di jalan. Aku disuruh menunggu disana hingga Bapak Sekda datang. Ada sekitar empat puluh lima menit aku menunggu disana. Akhirnya ia datang dan kesempatan itu pun datang. “Kegiatan ini bertujuan untuk memberika pencerdasan kepada para siswa SMA khususnya siswa tahun terakhir untuk mulai memikirkan masa depan mereka dari sekarang pak. Kami memberikan gambaran tentang tantangan masa depan dan solusi untuk mengatasinya. Melalui dunia pendidikan tinggi dapat tercipta SDM-SDM yang berkualitas yang mampu mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Secara khususnya kami menawarkan UI sebagai salah satu opsi terbaik melanjutkan pendidikan. Namun yang jauh lebih penting adalah bagaimana meningkatkan motivasi mereka untuk dapat melanjutkan pendidikan setelah SMA”, ujarku antusias.

“Kami menyambut baik kontribusi kalian. Memang animo siswa-siswa disini sangat kurang terhadap dunia pendidikan tinggi. Kualitas pendidikan disini bisa dikatakan sangat kurang. Semoga kegiatan ini dapat menjadi solusi terhadap permasalahan ini dan berkembang setiap tahunnya”, apresiasi dari Bapak Sekda terhadap penjelasanku. Aku pun beralih kepada bahasan tentang permohonan dana untuk kegiatan. Bapak Sekda kemudian menggoreskan tanda persetujuan di sebuah kertas yang menyatakan perintah untuk memberikan bantuan dana. Kebahagiaanku semakin meningkat. Aku disuruh mengantarkan kertas itu ke sebuah ruangan di lantai satu. Disana aku mendapatkan jawaban dari karyawan disana “nanti akan kami proses. Anggaran baru akan cair di bulan ke empat. Nanti kami akan hubungi lagi”. Sontak kebahagiaanku yang tadi meningkat grafiknya kembali turun. Beberapa saat aku merenung, hingga aku mencoba ikhlas bahwa aku sudah berusaha maksimal. Yang penting aku telah sukses menyampaikan kepada petinggi itu bahwa pemuda-pemuda negeri ini sangat peduli terhadap masa depan bangsa ini.

Usai dari Kantor Bupati aku menuju destinasi terakhir hari ini, yaitu kembali ke Kantor Dinas Pendidikan. Disana akhirnya aku berhasil menemui Kepala Dinas Pendidikan. Namun ternyata ekspektasi awalku untuk mendapatkan respon yang lebih baik lagi menjadi buyar. Aku hanya mendapatkan ekspresi datar dari Sang Kepala Dinas. Beliau menyuruhku ke lantai bawah untuk mengantarkan bukti persetujuan darinya agar bisa mendapatkan surat rekomendasi. Di lantai bawah aku bertemu dengan seorang bapak yang cukup ramah. Sambil menunggu surat tersebut selesai beliau bercerita banyak tentang kondisi pendidikan di Pasaman Barat dan juga tentang keluarganya. “Animo anak-anak SMA disini terhadap kuliah sangat kecil. Tidak lebih dari 30% siswa SMA yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bagi mereka dunia kerja jauh lebih menarik ketika selepas tamat dari SMA. Potensi perkebunan sawit yang luas itu sangat menggoda mereka”,ujar bapak tersebut panjang lebar.

“Padahal sebagian besar mereka hanya bekerja menjadi penambang atau pembantu di perkebunan milik orang lain. Mereka seharusnya bisa mendapatkan sesuatu yang jauh lebih baik daripada itu. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan mereka menyebabkan mereka hanya mendapat sebagian kecil hasilnya saja” tambah sang bapak makin bersemangat. Tiba-tiba seorang karyawan lain disana datang mengantarkan surat rekomendasi yang ternyata sudah selesai. Aku pun pamit terhadap bapak tersebut dan mengucapkan banyak terima kasih atas uraiannya yang menjadi bahan kajian baru bagiku.

Matahari semakin condong ke barat dan waktu sudah menunjukkan jam empat sore. Langit terlihat mendung dan perlahan rintik hujan pun mulai mengiringi. Aku lupa ternyata aku belum makan siang. Karena rintik hujan semakin bersemangat menghujani tanah aku pun memutuskan untuk berhenti dulu untuk menjawab tuntutan perutku. Sekitar pukul enam aku sampai di rumah Uda Fahmi dalam kondisi sebagian tubuh yang basah karena hujan ternyata tidak kunjung berhenti. Usai makan malam bersama aku bersama Uda Fahmi sedikit bercerita tentang petualanganku seharian tadi. Kemudian setelah itu aku izin pamit menuju kamar dan berkompromi dengan otot-ototku yang memaksa untuk beristirahat. “Alhamdulillah hari ini aku telah mendapatkan banyak pengalaman berharga dan semoga hari esok jauh lebih baik. Amin”, doaku menyusul menutup mata.

Jumat, 14 Januari 2011

Hari ini agendaku adalah seharian full di SMA 1 Pasaman. Dari pagi hingga siang aku meneror setiap lokal kelas XII dengan berbagi informasi, motivasi, dan inspirasi seputar pendidikan. Kemudian dari setelah jum’atan hingga sore aku menjajal mereka dengan soal-soal Simulasi SNMPTN. Tepat pukul delapan pagi aku telah sampai di sekolah tersebut. Aku melapor kepada Bapak Kepala Sekolah dan kemudian seperti kemaren aku kembali diserahkan bersama Pak Budi. Pak Budi pun memberitahuku posisi delapan lokal kelas XII ; empat kelas IPS, tiga kelas IPA, dan satu kelas unggulan. Bismillah, aku pun menyiapkan mental dan suara untuk berorasi ria di depan mereka.

Strategiku adalah dengan memulai dari kelas IPS paling ujung atau yang bernomor paling besar ; XII IPS IV. Kemudian berurut hingga nomor urut terkecil, dilanjutkan dengan kelas IPA dengan cara yang sama, dan terakhir finish di kelas unggulan. Tujuannya adalah agar suaraku habis atau serak di kelas unggulan yang suasananya relatif lebih tenang. Target pertama mulai aku masuki. Aku memperhatikan wajah-wajah mereka yang bingung. Setelah memohon izin kepada guru yang tengah mengajar, aku pun mulai berorasi. “Saya punya beberapa pertanyaan untuk kalian, mohon untuk dijawab. Siapa diantara kalian disini yang sudah memiliki rencana setelah sekolah ini akan melanjutkan kemana?”, ujarku setelah berkenalan. Tanpa mengacungkan tangan terlebih dahulu beberapa suara pun terdengar menjawab “kuliah, nikah, kerja” dan beberapa jawaban lainnya yang terdengar samar-samar.

“Zaman sekarang, tantangan masa depan kalian adalah globalisasi. Apa itu globalisasi?. Nanti saingan kalian dalam dunia kerja bukan saja sesama kalian saja, tapi juga orang-orang dari luar negeri yang tentu saja bisa jadi jauh lebih hebat dari kita. Maka dari itu kalian harus mempersiapkan semua itu dari sekarang. Selepas dari SMA ini kalian harus kuliah!. Itu harga mati karena kalian telah memilih SMA, bukan SMK yang memiliki keterampilan yang spesifik dan bisa menjadi bekal dalam persaingan dunia kerja. Di SMA apa yang kalian pelajari masih ilmu dasar, belum berbentuk keterampilan atau teori yang lebih spesifik. Di pendidikan tinggilah kalian bisa mendapatkan semua itu. Ada banyak perguruan tinggi di negeri ini. Kalian boleh memilih apapun yang kalian suka, tapi tentu jangan lupa perhatikan kualitasnya” jelasku melanjutkan orasi.

Sebagian siswa di kelas itu terlihat mendengarkan dengan seksama dan sebagian lagi ada yang terlihat berupaya memahami penjelasanku. Aku terus melanjutkan uraian dengan mengenalkan kepada mereka pilihan-pilihan kampus yang ada dan bagaimana cara masuknya. Sebagian dari mereka masih banyak yang tidak kenal dengan SNMPTN. Hal ini sangat memprihatinkan, bagaimana mereka memang tidak ada niat untuk melanjutkan pendidikan dan pasrah kepada takdir setelah tamat dari sekolah.

Pada akhir penjelasan aku mengajak mereka untuk ikut serta dalam Simulasi SNMPTN agar mereka dapat mengenal bagaimana sebenarnya bentuk tes untuk masuk perguruan tinggi itu. Karena seluruh mereka yang ada di kelas itu belum pernah menjumpai soal-soal SNMPTN sebelumnya. Beberapa kondisi yang sama juga aku jumpai di beberapa kelas-kelas berikutnya. Namun semakin lama kualitas siswa yang aku temui cenderung membaik. Sesuai dugaanku dalam strategi tadi. Tujuh kelas telah berhasil aku jelajahi, hingga akhirnya sampai aku pada kelas terakhir ; kelas unggulan.

Kelas itu tampak berbeda dibanding kelas-kelas yang lain yang telah aku masuki tadi. Kelas itu jauh lebih rapi dan bersih. Bangkunya disusun terpisah masing-masing satu bersama mejanya. Konon kata Pak Budi kelas ini memang andalan dari sekolah ini. Mereka yang berada disini itu telah diseleksi dan mendapatkan pembinaan ekstra serta tinggal di asrama khusus. Ketika aku mulai berorasi disana seisi kelas tampak khidmat mendengarkan. Aku melihat wajah-wajah serius dan haus informasi dari mereka semua yang sangat khusyuk menyimak setiap detil penjelasanku. Ketika diberi kesempatan bertanya sontak hampir seisi kelas semua mengajukan pertanyaan. Aku dihantam bertubi-tubi pertanyaan hingga akhirnya waktunya tak mencukupi karena waktu Shalat Jumat sudah hampir datang.

Usai Shalat Jumat aku kembali ke rumah Uda Fahmi untuk menjemput kelengkapan Simulasi SNMPTN ; soal-soal dan lembar jawabannya. Aku ditemani oleh empat orang siswa disana yang cukup bersahabat. Mereka juga ikut bersemangat menemaniku menggopong lima kardus kertas-kertas itu bersama honda. Sekitar pukul setengah dua aku sampai kembali di sekolah untuk memulai Simulasi SNMPTN. Aku menemui Pak Budi dan bertanya kepadanya tentang bantuan pengawas ujian dari para guru disana yang awalnnya dijanjikan oleh Bapak Kepala Sekolah. Namun ternyata terjadi kesalahpahaman disini. Pak Budi menjelaskan bahwa para guru meminta bayaran atau mereka menyebutnya dengan uang transport dan makan siang untuk jasa tersebut. “Maaf pak sebelumnya, kami tidak menyediakan anggaran untuk hal itu. Kalau begitu biarlah saya berusaha semampunya. Terima kasih pak”, jawabku menyambut penjelasan Pak Budi.

Setelah memohon ijin ke Pak Budi untuk melakukannya sendiri, aku beranjak ke arah tumpukan soal dan lembar jawaban. Dalam hati aku bergumam “aku tidak mengerti apa yang ada di pikiran para guru itu. Tidak tahukah mereka bahwa kami melakukan semua kegiatan ini sama sekali tidak bertujuan untuk mencari keuntungan materi. Semua yang kami lakukan ini adalah murni semata-mata demi bakti kami terhadap negeri ini. Kami hanya ingin melihat negeri ini lebih adil, makmur, dan sejahtera. Kami yakin bahwa pemuda dapat melakukan itu semua, maka dari itu kami mulai mencerdaskan generasi mudanya. Tapi mengapa mereka bersikap seperti ini?. Sudah begitu buta kah mata mereka terhadap nilai suatu kebenaran. Inilah salah satu potret guru yang dulu pahlawan tanpa tanda jasa di negeri ini”.

Pak Budi memberikanku sebuah ruangan untuk mendistribusikan soal dan lembar jawaban tadi. Aku pun menyuruh mereka menunggu di ruangan mereka masing-masing dan ketua kelas masing-masingnya kupanggil untuk menemuiku di ruangan tadi. Para ketua kelasnya pun aku brifing terlebih dahulu mengenai pembagian soal dan cara pengerjaannya. Kemudian melalui mereka aku mendistribusikan soal-soal dan lembar jawaban tadi. Aku cukup ngos-ngosan melayani berbagai pertanyaan mereka seputar cara pengerjaan. Aku memaklumi bagi sebagian besar mereka ini adalah hal yang baru. Dalam kelelahanku aku tersenyum puas melihat antusiasme mereka.

Setelah selesai mendistribusikan soal ke semua kelas, aku mulai patroli ke kelas-kelas untuk mengecek kondisi mereka jika ada hal yang kurang dimengerti dalam cara pengerjaan. Aku memperhatikan wajah-wajah mereka yang terlihat berpikir keras menghadapi soal-soal tersebut. Aku salut melihat semangat mereka. Usai berpatroli di kelas-kelas aku pun kembali ke ruangan tadi dan duduk sejenak mengisi perutku dengan beberapa snack yang tadi telah aku persiapkan sebagai pengganti makan siang. Sekitar satu jam kemudian beberapa siswa tampak telah selesai mengerjakan soal. Sebagian dari mereka sambil tersenyum berkata kepadaku “soalnya susah sekali kak. Kita butuh persiapan lebih lagi sepertinya”. “Terus latihan”, ujarku membalas senyumnya.

Aku kemudian menghampiri kelas-kelas yang telah usai sembari mengumpulkan lembar jawaban mereka. Beberapa siswa yang belum cukup puas untuk bertanya ketika di kelas tadi melanjutkan keingintahuannya ketika itu. Aku kembali dihujani banyak pertanyaan-pertanyaan yang mencerminkan semangat mereka. Usai aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu mereka pun mengucapkan terima kasih sembari mencium tanganku. Aku terharu meresapi ketulusan mereka. Sekitar pukul lima sore akhirnya semua berhasil dibersihkan bersama bantuan beberapa siswa yang luar biasa itu. Usai pamit dan mohon izin terhadap warga sekolah itu, aku pun kembali menuju rumah Uda Fahmi. Hari ini adalah hari paling luar biasa dalam hidupku.

Sabtu, 15 Januari 2011

SMA 1 Lambah Malintang berada cukup jauh dari rumah Uda Fahmi. Harus menempuh sekitar empat puluh lima menit perjalanan untuk dapat menjangkau lokasi sekolah tersebut. Aku pun berangkat lebih pagi menggunakan motor dan kelengkapan Simulasi SNMPTN aku titipkan lewat angkot yang lewat di depan sekolah itu. Dalam perencanaan aku berharap dapat melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan di sekolah sebelumnya. Paginya aku Roadshow dan siangnya Simulasi SNMPTN. Aku sampai disana sekitar pukul sembilan pagi. Aku langsung bergegas menuju ruang kepala sekolahnya dan ternyata beliau tidak di tempat. Aku pun terpaksa berhadapan dengan para wakil kepala sekolahnya.

Ternyata rencana awalku pun menjadi berantakan. Sang Bapak Wakil Kepala Sekolah menolak permohonanku. Beliau menyuruhku untuk kembali kesana Hari Senin. Beliau beralasan tidak bisa memutuskan tanpa kepala sekolah, tidak bisa mendadak, bagi hasil untuk sekolah tidak jelas, dan berbagai alasan lain pun dilontarkan beliau untuk menolak soal-soal dan lembar jawaban yang telah datang di sekolah itu. Aku mencoba mencari jalan keluar. Untung saja tiba-tiba Romi, koordinator wilayah itu menelponku dan menanyakan kondisi di wilayahnya. Aku pun memberitahu semuanya. Romi menyatakan bahwa ia akan segera sampai di Pasaman Barat hari ini. Aku pun segera kembali menghadap Bapak Wakil Kepala Sekolah dan memberitahukan bahwa nanti hari Senin Romi akan datang kesini sesuai keinginannya.

Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Aku pun menyusuri jalanan kembali dari sekolah itu menuju rumah Uda Fahmi bersama si honda. Sesampai di rumah, aku segera memohon ijin untuk pamit kepada keluarga Uda Fahmi untuk kembali ke Padang. Tak lupa terima kasih yang sebesar-besarnya aku ucapkan kepada keluarga sederhana yang baik hati itu. Uda Fahmi mengantarkanku hingga naik ke dalam bus. Kami pun berpisah. Terima kasih Uda Fahmi.

“Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik, namun ternyata mereka belum cukup bisa menerima”, gumamku dalam hati sembari berusaha untuk terus ikhlas. Bus yang aku tumpangi masih berjalan cukup pelan karena muatannya yang belum terlalu penuh. Aku mencoba memutar kepalaku untuk mengamati manusia-manusia di sekelilingku. “Apakah mereka semua juga turut serta bersalah terhadap hal itu?”, aku terus bertanya-tanya dalam hati yang ternyata memang belum sanggup untuk ikhlas. Aku menarik nafas panjang dan kemudian melempar pandanganku ke arah jendela bus. Aku mencoba menikmati pemandangan bentang alam yang tersedia di sepanjang jalan untuk mengikhlaskan hatiku.

Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami


Cerpen ini diikutsertakan dalam Lomba Cipta Cerita Pendek Pemuda 2011 oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) RI

Saturday, August 20, 2011

Pembunuhan di Bulan Suci




Kisah ini terjadi di bulan Ramadhan ketika ane masih duduk di bangku SD gan. Ane kurang inget pasti kelas berapanya. Hari itu, puasa baru jalan setengah hari. Di dapur rumah ane nyokap dan kakak lagi pada bikin kue buat lebaran. Sementara ane, terkapar di atas lantai marmer kamar bonyok ane gan. Ya waktu itu baru kamar bonyok ane yang lantainya pake marmer. Secara, marmer kan dingin gan, jadi ane ya tengkurep disana buat ngobatin perut dan sekujur badan ane yang mendadak jadi lemes banget abis bantuin nyokap dan kakak bikin kue di dapur.

Awalnya ane semangat banget gan bantuin nyokap dan kakak di dapur bikin kue lebaran. Udah kebiasaan soalnya, lumayan bisa jadi alasan buat ane ke bokap. Daripada disuruh bersihin pagar ato halaman ato kerjaan-kerjaan berat lainnya mending ane nyari excuse bantuin nyokap bikin kue di dapur. Kerjaannya ringan dan baunya juga enak, hehe. Itu mindset ane waktu SD gan, jangan digeneralisir sampe sekarang ya. Sekarang InsyaAllah udah gak lagi, amin. Hehe.

Baru beberapa lama ane bantuin di dapur tiba-tiba badan ane jadi lemes dan bawaannya pengen tengkurep biar lemesnya ilang. Jadinya ya ane langsung cabut deh ke kamar bonyok trus tengkurep di marmer bagian deket pintu kamar, biar masi bisa juga nyium bau kue-nya, haha, tetep gak mau rugi. Tapi tiba-tiba ane ngerasa aneh. Ada yang gerak-gerak di kaki ane dan makin lama kayak jalan makin ke atas. Trus ane pun berdiri dan langsung ngeliat ke kaki dan sontak ane pun teriak “sipasaaaaaaan!!!”. Pasti pada bingung yaa itu bahasa planet mana?. Sipasan itu Bahasa Minang yang artinya Kelabang atau lipan gan. Ya sipasan berukuran segede spidol whiteboard bertualang di kaki kanan ane gan.

Waktu ane berdiri dan teriak sekalian ane juga gak lupa buat memberikan pukulan spontan ke sipasan tersebut dan ia pun melayang dan mendarat di lantai. Ane pun langsung meluncur dalam kecepatan tinggi melanggar rambu-rambu menuju dapur. Disana ane melaporkan berita kejadian perkara kepada mereka yang lagi pada adem ayem. Mereka pun langsung bertindak dengan membawa sejumlah peralatan tempur menuju TKP. Beberapa saat kemudian di TKP kemudian terjadi pertempuran tanpa perlawanan. Hujan pukulan tongkat sapu, sepatu, dan berbagai benda keras lainnya pun menginvasi kelangsungan hidup sipasan tadi yang ternyata belum sempat kabur dari TKP. Tak ayal dalam beberapa saat sipasan itu pun menemui ajalnya. Inna ilaihi wa inna ilaihi rajiun.

Seluruh pasukan pun menarik napas lega usai memenangi pertempuran itu. Sebuah ancaman bahaya telah berhasil ditumbangkan. Para pasukan pun kembali ke dapur dan kembali normal ; bikin kue lebaran. Sementara ane, ditugasi untuk membuang jenazah musuh ke luar wilayah pertahanan. Ane mengangkat jenazah itu dengan perasaan dilema antara dosa dan puas terhindar dari bahaya. Tapi ketika itu ane lebih berat ke kepuasan karena alhamdulillah kagak digigit. Usai membuang jenazah itu ane pun gak berani lagi tengkurep disana. Baru itu hikmah yang ane dapet waktu itu.

Tapi sekitar sepuluh tahun kemudian waktu ane lagi kehabisan kesibukan dan nyoba buat nyari kesibukan. Ane pun ngebuka info lomba bulan Agustus di laptop ane dan ane nemuin lomba nulis kisah ramadhan serambi FH UI. Beberapa menit mikir, akhirnya ane nemuin hikmah selanjutnya dari kisah di atas sehingga akhirnya ane ngikutin tu kisah ke ntu lomba. Hikmah selanjutnya adalah jangan suka ngeles, jangan manja ama puasa, jangan tidur dan males-malesan, dan yang paling utama adalah jaga hawa nafsu termasuk nafsu membunuh binatang. Ini kisah ramadhan ane, ente gimana gan?

Tulisan ini berhasil meraih juara favorit dalam Lomba Menulis Kisah Ramadhan Serambi FH UI.

Tuesday, August 9, 2011

I love my superhero



Ibnu Budiman, it’s my name which is given by my beloved parents. I come from a great family in Indonesia. I have amazing parents, four brothers and one sisters which is also amazing. Both of my parents is civil servants. My father is police and now he was retired. Meanwhile my mother is teacher. They both come from poor family and start their marriage with limited economic capabilities. Their salary is not enough for their family needs. Therefore they have to search any loan from another source for fund their family needs. They never give up to struggle for future of their children. In their opinion, the most important thing for their children is education. My father once said ‘you have to reach higher education than us’.

When I was child my parents is very diligent to teach me anything ; reading, writing, etc. Therefore I could read before entering school. My parents also was very selective in choose school for their children, include for me. My school is located quite far from my house because there’s no best school near of my house. In 1995 my father was pension from his work and in 1998 my country was stricken economic crisis. Condition of our financial deteriorated because our needs increased, so that my father must work again. He became security guard during five years, but then he stopped because bad condition inside and after that he tried to be enterpreneur.

He hired a fish farms. My third brother and I became his assistant. I spent half of my elementary school time in that fish farms. In place, we must take a bath in river. Every morning in school day I never take a bath because I could’nt take a bath with cool water and I also feared because the river still dark in dawn. I also rarely watched TV because in that fish farms we got electricity only in night. Entertainment for me was nature ; fishpond, river, dog, and papaya trees. It so different with my friends in school who had TV, nintendo, play station, bike, etc. But it all never make me give up to keep spirit. I got many achievement in school and I succeed to enter the most favorite junior high school in my province.

Our fish farms ended when I was in last year in elementary school because we was aggrieved by landowner. After that, my father chose to be cadger in traditional market and like before ; I also became his assistant. It continued until I entered junior high school. Majority of student in my new school derived from rich family. I felt ashamed with my condition. Before and after school I must help my father became cadger. I was so afraid if my friends knew about this, moreover my school is located near of that traditional market. This fact make my performance was’nt stable in school and finally I was failed to get best score. I just could continue to private school in my town, it so different with my school before.

I regretted my mistake. I should’nt ashamed to help my father became cadger. I should be proud to him. He was so amazing, although he has been old but he never give up to struggle for his family. Forgive me dad. I redeemed all of my mistake with improve my performance in senior high school. I succeed to become overall winner in my school in fifth semester. I succeed to lead our class to become overall winner in school art show. Afterwards, my last achievement in senior high school made our family became so proud. I was received in University of Indonesia (UI) ; the best university in my country.

I became more and more developing when I was in university. So many motivation and inspiration which made me to be more and more diligent. I was active in many organization. I became a Chairperson in Minangkabau Student Association of UI, Founder of Nusantara Association, Head of Information and Communication In Natural Sains and Mathematic Student Organization Association of Indonesia, Head of Public Relations in Student Study Group of UI, and Deputy of Public Relation in Student Excecutive Organization of Faculty Natural Sains and Mathematic UI. I succeed to become one of delegation UI in student exchange program in University of Malaya ; Malaysia.

Success is not only happen in my self but it also happen in our brothers and sister. My first brother became a general manager of Takadeli Company which had many branch in cities of Indonesia. My second brother became a consultant of information technology in big company in Indonesia. My third brother became successful enterpreneur. My sister became a smart accountant. It’s all because of you ; our superhero ; our parents. I love you.

This essay was sent in International Essay Contest which Organized by The Goi Peace Foundation and UNESCO

Galau Masa SMA



April 2009
‘Ternyata hanya mimpi’ ucapku ketika bangun. Aku bermimpi bahwa aku lulus di program studi Geografi dalam sebuah ujian masuk suatu perguruan tinggi. Ujian yang berlangsung beberapa bulan yang lalu. Aku mencoba sejenak berpikir bahwa dulu sebelumnya aku juga pernah bermimpi bahwa aku menjadi juara kelas. Besoknya ternyata aku memang benar juara kelas. Aku berharap semoga kali ini kejadian serupa kembali terulang. Amin.

Hari itu tepat adalah hari pengumuman kelulusan ujian masuk tersebut. Sebenarnya pengumumannya telah keluar di internet sejak tepat tengah malam tadi saat aku bermimpi. Namun karena keterbatasan teknologi yang aku punya dan keinginanku untuk melihatnya bersama teman-teman yang lain memaksaku untuk menunda rasa penasaranku akan kebenaran mimpi itu hingga siang. Sebenarnya alasan yang kedua hanya excuse-ku saja untuk menutupi alasan pertama. Maklum, saat itu ketika SMA aku masih belum terlalu percaya diri dengan kenyataan hidupku yang belum bisa merasa ‘cukup’.

Kebetulan di hari bersamaan itu aku juga punya agenda untuk mengikuti try out ujian masuk perguruan tinggi yang diadakan oleh suatu organisasi mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di luar provinsiku, Sumatera Barat. Aku pun berangkat cukup pagi bersama motor teman dan menikmati terselamatkannya uang ongkos angkot-ku pagi ini. Sesampai disana terlihat sudah cukup ramai tapi tentu aku belum terlambat karena acara belum dimulai. Di negeri ini memang keterlambatan itu relatif teman, tergantung kepada pihak kedua yang menilai. Dalam konteks ini meskipun waktu sudah menunjukkan pukul delapan dimana menurut informasi sebelumnya seharusnya acara telah dimulai tapi dikarenakan panitia belum memulai acara hingga pukul tersebut itu berarti aku belum terlambat teman.

Setelah menitipkan motor kepada alam dan meminta perlindungan Tuhan demi keamanannya maka setelah itu kami : aku dan teman-teman berjalan menuju kursi tanpa meja. Ya disinilah aku akan ujian, sebuah aula yang benar-benar multifungsi. Bisa digunakan untuk olahraga, pagelaran kesenian, konser musik, kuliah umum, dan hingga latihan paduan suara. Arsitektur benar-benar hebat dan hemat. Mudah-mudahan try out ini hanya untuk ujiannya saja, tidak termasuk kondisi tempatnya juga. Tidak terbayang olehku jika nanti ketika ujian sebenarnnya aku juga harus duduk di lantai dan menjadikan kursi sebagai meja untuk alas lembar jawabannku agar bisa menghitamkan bulatan-bulatan itu dengan baik.
Ujian pun dimulai dengan keterlambatan sekitar tiga puluh menit dari jadwal semula. Aku berjuang hingga akhir dan akhirnya berakhir pada sekitar pukul dua belas. Tapi masih ada sesi kedua setelah istirahat siang kami pun dipersilahkan untuk keluar dari ruangan terlebih dahulu untuk menanggung nasib masing-masing untuk shalat dan makan siang. Kami pun mulai menyusun strategi langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. Sampai akhirnya pada keputusan kami akan shalat terlebih dahulu. Betapa bijaksananya kami.

Usai shalat kami lanjut pada strategi kedua yaitu menjajah warung internet (warnet) untuk menemukan nasib kami yang berada di dalamnya terkait pengumuman kelulusan yang telah disebarkan dari tengah malamya. Satu komputer kami keroyok bersama-sama dalam keadaan hati penuh gejolak tanda tanya. Satu per satu temanku mulai mengetikkan identitasnya hingga keluar hasilnya berupa ucapan ‘maaf anda belum diterima’. Jawaban yang sangat miris dan mengesalkan. Kenapa hanya itu dan tidak ada ucapan nasihat yang menyuruh untuk mencoba kembali?, ya sudahlah aku coba ber-husnudzan mungkin operatornya tidak bisa berbasa-basi dan sedang dikejar batas waktu.

Sampailah akhirnya pada giliranku, aku membaca basmalah terlebih dahulu sebelum menyerahkan identitasku pada keyboard komputer itu. Sesaat kemudian muncul halaman layar yang berbeda dengan sebelumnya seperti ketika teman-temanku yang lain melakukan hal yang sama. Tertulis disana ‘selamat anda diterima di program studi geografi’. Sontak seluruh tubuhku bersorak mengucap syukur. Mimpiku kembali menjadi nyata. Alhamdulillah dan sujud syukur pun kulakukan di dalam kotak sempit sebelah komputer dalam kamar warnet itu. Teman-temanku pun tak berhenti mengucapkan selamat dan tentunya berbonus minta traktiran.

Semua strategi yang telah kami susun pun akhirnya berubah total. Tujuan selanjutnya pun berubah menjadi Bakso Tenis, sebuah kafe di pusat kota. Selamat tinggal try out, kami pun berangkat. Dalam perjalanan aku tak henti mengucap syukur dan kebahagiaanku tak terbendung hingga kau memberi tahu banyak orang lewat SMS. Ketika itu aku langsung ingat akan dia : Ririn, seorang wanita yang setahun ini berpengaruh cukup besar dalam hidupku. Teman-temanku menyebut kami ‘pacaran’. Ya sudah aku setuju saja.

Beberapa hari yang lalu kami kembali bertengkar. Kehidupan kami sudah akrab dengan pertengkaran semenjak kebohongannya terungkap olehku. Bagiku kebohongan itu sangat menyakitkan dan membuatku sangat susah untuk kembali percaya kepadanya. Ditambah lagi hubungan kami juga tidak mendapat restu dari orang tuanya dan teman-temannya. Ya semakin terjallah jalan yang harus kami hadapi. Pertengkaran kami tidak jauh dari alasan kecemburuan berazaskan dugaan karena kepercayaanku yang memang sudah sangat tipis padanya, atau bahkan sudah tidak ada.
Aku akhirnya memberi tahu dia tentang berita kelulusanku dan aku mengajaknya bertemu di tempat yang sama dimana aku men-traktir teman-temanku. Ketika aku tengah makan bersama teman-temanku dia pun datang dan tentu karena kondisi kami yang pasca bertengkar sehingganya raut wajahnya tidak lagi manis bagiku begitu juga baginya. Dia datang dengan ekspresi dingin membuatnya terlihat semakin tidak menarik bagiku. Aku pun menghampirinya sebentar dan meninggalkan teman-temanku bersama teriakan-teriakan menggoda mereka mengiringiku menuju tempat dia duduk. Aku menemani dia memesan makanan dan bercerita sedikit tentang kelulusanku. Wajahnya belum bisa tersenyum ikhlas berbahagia.

Setelah makanannya habis dan cukup puas menertawakanku bersama dia teman-temanku pun pulang terlebih dahulu meninggalkan kami. Tentunya ya sambil terus melanjutkan menggodaku bersama dia. Mereka pun lenyap dan tinggal kami berdua di meja itu menatapi makanan masing-masing. Sekumpulan orang disekitar kami pun seolah-olah diam. Sepi kali suasana tatkala itu. Aku mencoba mencari bahan pembicaraan dan kupikir dia pun melakukan hal yang sama. Dalam pikiranku yang ada adalah bagaimana kelanjutan hubungan kami setelah ini karena aku tentu pasti akan berada sangat jauh darinya : berbeda kota.

Kuyakin dia pun juga pasti memikirkan hal ini lebih dalam dariku. Namun tak satu pun dari kami yang berani membahas hal ini. Kami pun mencoba mencari topik lain yang ringan seputar berita kelulusan teman-teman yang lain. Hingga akhirnya topik dan makanan pun habis kami kemudian keluar dari kafe itu dan berangkat menuju tempat les. Dia ada jadwal les sore itu. Ketika meninggalkannya di tempat les wajahnya kosong, begitu juga dengan wajahku. Ya kami memang ternyata memikirkan hal yang sama tadi.

Hari demi hari berlalu seiring pertengkaran rutin kami yang selalu terjadi karena azas tidak percaya. Sampai akhirnya kami pada hari dimana jarak memisahkan kami. Ujian akhir sekolah telah usai dan aku tidak ikut les persiapan untuk ujian masuk perguruan tinggi nasional karena aku telah memutuskan untuk mengambil geografi di perguruan tinggi Jakarta itu. Ada sekitar dua bulan libur yang kumiliki menjelang hari pendaftaran ulang di Bulan Juli nanti. Keluargaku menganjurkan aku untuk pergi ke tempat nenek dan membantu paman disana berpetualang di ladang nenekku di bukit. Ya aku pikir ini menantang sehingga aku pun mengikutinya.

Sebelum aku berangkat ke tempat nenek aku pun memutuskan untuk bertemu terlebih dahulu dengannya. Kami pun bertemu dan seperti biasa wajahnya dan wajahku dingin. Kami semakin sulit untuk menikmati hubungan ini karena pertengkaran yang terlalu akrab dengan kami. Aku memberi tahu padanya bahwa aku akan menghabiskan masa liburan ini di tempat nenek. Dia masih tetap diam dengan wajah yang sedikit cemas. ‘Kapan kamu balik?’, dia pun bertanya. ‘Mungkin sebelum pengumuman kelulusan’, ujarku dingin. Kami kembali beku, dingin, dan diam.

Sesaat kemudian mulutku bergetar ‘ini adalah masa percobaan untuk kita, kita mencoba untuk menjalani hubungan jarak jauh. Jika kita berhasil maka ini bisa menjadi pertanda baik bagi kita, namun jika gagal..’, aku pun tidak bisa melanjutkan kalimat itu. Dia pun menjawab ‘ya sudah, mari kita coba. Semoga berhasil’, nadanya kurang optimis. Percakapan itu menutup pertemuan kami saat itu. Kami pun terpisah dalam hati nan dilema.

Minggu pertama aku berada di tempat nenek, seperti biasa kami masih saja tetap disajikan pertengkaran dengan alasan klasik : cemburu tak beralasan karena tidak percaya. Malam demi malam yang aku lalui disana tidak berjalan dengan baik, aku pun sering susah tidur dan kesepian disana. Pertengkaran kami setiap hari mengalami peningkatan kadar hingga menuju istilah ‘putus’ dan akhirnya sehari setelahnya kembali damai dengan tangisan-tangisan yang mulai terdengar mombosankan. Betapa kejamnya aku mengabaikan tangisan wanita. Tapi memang apa yang dilakukannya padaku sangat menyakitkan hingga membuat aku tak mampu tegar : meneteskan air mata, aku tidak mau sebut itu menangis.

Hari demi hari suasana batinku semakin tidak tenang, hubungan ini sangat tidak nyaman bagiku karena hanya menghasilakn pertengkaran hampir setiap harinya. Sampai akhirnya kami pada titik dimana ketika bertengkar dan sampai pada kata ‘putus’. Titik, ya memang putus tanpa ada damai lagi seperti biasanya. Emosi kami berdua memang telah sama-sama memuncak. Dia tidak lagi menangis memohon untuk kembali seperti biasanya. Melainkan sebaliknya dia malah menghujani aku dengan beragam makian yang tentu membuatku semakin naik pitam.

Beberapa hari kemudian ternyata dia kembali menghubungiku dan ternyata kembali pada ritual lama. Dia memohonku untuk kembali dan aku tentu sudah cukup muak dengan semua itu. Aku pun tidak bisa menerimanya lagi meskipun dia terus memohon. Namun kali ini tidak seperti biasanya yang dia memohon dengan sangat emosional. Setelah aku menolak beberapa kali dia pun menyatakan kalimat bijaksana ‘ya sudah, semoga kita bisa tetap menjadi teman baik’. Aku pun kaget mendengar kalimat tersebut, antara kagum, bahagia, sedih, dan merasa bersalah serta menyesal.

Sesungguhnya aku pun masih mencintainya meskipun segudang benciku padanya karena kebohongannya. Sepuluh bulan bukanlah waktu yang singkat untuk dilupakan dan dihapus begitu saja. Terlalu banyak kisah manis bersamanya yang pernah tercipta meskipun juga banyak bertengkarnya. Aku terdiam, tidak menjawab apa-apa seusai dia mengucapkan hal itu di ujung sana dan menutup telepon. Aku terhenyak dan aku tak tau apa yang terjadi dengan dia disana.

Beberapa hari kemudian aku pun disuruh pulang oleh ayah karena ia sakit. Aku pun kembali ke rumah diiringi lambaian tangan kerabatku di tempat nenek. Pengalaman bertualang yang luar bisa di bukit dan kisah tragis percintaan, hal itulah yang mengisi liburanku hingga saat tersebut. Setelah sampai di rumah hari-hariku diisi dengan membantu orang tua di rumah. Aku pun merasa ada yang hilang. HP –ku sekarang menjadi sepi, tidak ada lagi SMS seperti biasanya membanjiri. Aku pun tak tahan dan memutuskan untuk kembali bertemu dengannya. Kami pun bertemu dan…kami tak kuasa menahan ketidak-tegaran itu. Ya kami menangis dalam pelukan raga.

Sesungguhnya kami berdua masih memiliki perasaan yang sama, hanya saja keadaan kami sekarang tidak mendukung untuk keberlanjutan hubungan kami. Ya memang inilah jalan yang terbaik untuk kami. Aku tidak mau terus menerus menyiksa dia dengan rasa bersalah karena tuduhanku yang selalu memicu pertengkaran karena tidak percaya akan ucapannya. Aku pun tidak mau membuat mimpinya menjadi hancur karena belajarnya tersiksa karena pertengkaran kami.

Kami pun juga tidak bisa jauh karena terbiasa dekat, hanya berjarak beberapa meter dari kursinya hingga kursiku. Ya kami satu kelas dan sulit untuk berada dalam keadaan berbeda pulau. Semua alasan itu memutuskan kami untuk mengambil kesimpulan ‘kejarlah mimpi kita masing-masing, jika nanti saatnya Tuhan tahu yang terbaik bagi kita’.

Juli 2009
‘Selamat Jalan, aku akan menunggumu’, tulisan itu terpapar di layar HP ku sesaat sebelum keberangkatanku ke Jakarta.

Mei 2011
Aku pun tersenyum ketika mengakhiri tulisan diatas. Betapa galaunya hatiku dulu. :D

Cerpen ini diikutsertakan dalam Pena Merah Competition 2011

Depok, 10 November 2010 : Catatan Singkat ‘Team Buiding’ BPH IMAMI UI 2010-2011

Awan mendung menyambut kedatangan kereta tua buangan mantan negara imperialis (sekarang sesungguhnya masih-hanya saja impilisit) itu di stasiun penuh derita. Kulihat wajah-wajah mereka yang sama dan membosankan namun dalam edisi yang baru menyusuri tepian stasiun dengan aroma kelelahan dalam kepuasan. Mudah-mudahan dugaanku benar. Dua puluh tujuh jam sebelumnya aku berjalan menuju stasiun keberangkatan menuju pusat eksekusi dengan perasaan gundah mencoba untuk optimis akan hasil yang tercipta esok hari.

Aku terus memikirkan dan merangkai diksi apa saja yang akan ku-untai nanti malam. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengintegrasikan kemampuan menyusun pidato dengan proses basa-basi (lebih tepat disebut kepedulian).

Sesampai di tujuan, bersama akumulasi rasa lelah selama perjalanan aku masih terus berlanjut dalam dua sisi ; berusaha keras mencairkan suasana dan memenuhi tuntutan pikiran. Hingga saatnya waktu eksekusi itupun dimulai aku masih bergulat bersama kedua sisi itu. Aku dan mereka awalnya tidak pernah saling mengenal hingga aku menginjakkan kaki di kampus semi-liberal yang dulu tidak pernah ada dalam kumpulan mimpiku. Bahkan sampai aku dan mereka sudah terlibat dalam suatu wadah pengabdian (sebagian orang menganggap hal ini kolot-tapi kuyakin mereka yang berkata seperti itu masih dalam proses pematangan), aku masih belum saling mengenal dengan mereka. Inilah kekhilafanku dalam wadah ini yang memicu munculnya lembaran ini.

Aku memutuskan untuk bergabung dalam wadah ini awalnya karena kegelisahanku atas sejumlah fakta yang kuharap fiksi yang tengah berkembang dan berpotensi merusak dan menghancurkan wadah ini. Disamping itu alasan lain yang mendorongku untuk hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan sejumlah para penguasa di negeri ini ; ambisi akan kekuasaan dan popularitas. Dalam usiaku yang berada dalam tahap proses, sejumlah pengaruh yang silih berganti memprovokasi kegalauanku memaksaku memiliki ambisi itu. Namun syukurlah Tuhan menyelamatkanku. Ambisi menyesatkan yang begitu besar diawal akhirnya tumbang ditengah perjalananku. Fakta yang kuharap fiksi itu ternyata berdampak jauh lebih buruk daripada yang kukira, tradisi yang berjalan selama ini mengisyaratkan titik kehancuran di suatu paralaks ambiguitas. Banyak urgensi yang harus diperjuangkan secara optimal, mengingat luasnya lautan potensi yang tersedia dan sangat membutuhkan respon yang cepat. Urgensi itu dianalogikan sebagai sebuah siklus dinamis yang dalam setiap periode tertentu terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia. Semangat ini diharapkan mampu diperjuangkan oleh wadah-wadah lain yang berada dalam koridor yang sama (amin).

Dengan berjuta gebrakan ide konstruktif (konon disebut kontribusi) sebagai hasil tanggapan atas urgensi-urgensi yang mengepung pikiranku aku bergerak cepat menyalurkan semua pengaruh itu untuk dapat terealisasikan secara optimal melalui mereka. Hari demi hari wilayah teritorial pemikiranku semakin terjajah oleh segala akselerasi semangat kontribusi itu. Namun budaya kerja perfeksionis yang telah merasuki karakter diriku semenjak dini itu membuatku melupakan suatu urgensi yang ternyata jauh lebih penting dari sejumlah urgensi diatas. Aku telah melupakan kondisi mereka, mengabaikan kesanggupan mereka, dan tidak mempedulikan sinyal kelelahan mereka mengikuti mimpi-mimpiku (untuk negeri ini). Maafkan aku teman..aku terlalu mencintai mimpi-mimpi perubahan itu untuk menjadi nyata, hingga lupa akan kenyataan untuk mencintaimu.

Sesungguhnya hatiku mengecam semua tradisi primitif yang menuhankan penguasa itu. Hal ini sangat melawan arus inovasi dan dinamisasi. Hal ini jugalah yang akhirnya merubah stigmaku untuk menjadikan wadah ini untuk lebih profesional dan meredam bahkan tanpa kusadari aku telah berupaya meniadakan azas kekeluargaan yang mengakari berdirinya wadah ini. Maafkan aku saudaraku..aku telah salah menginterpretasi hal ini..aku terlalu menjauhi budaya itu, hingga akhirnya aku membudayakan untuk menjauhimu.

Malam ini bersama mereka aku menyadari wadah ini merupakan sebuah kompleksitas media aktualisasi diri. Aku harus menemukan formula yang tepat untuk mengkombinasikan azas kekeluargaan dalam persamaan identitas dan azas profesional demi kinerja yang optimal dalam mencapai tujuan yang maksimal yang terangkum dalam mimpi perubahan itu. Sekilas hal ini terlihat sangat mustahil karena keduanya sangat bertolak-belakang dalam sejumlah pengalaman. Untuk bisa bersifat profesional maka biasanya kita harus mengesampingkan semua alasan kekeluargaan. Pertanyaannya adalah ‘mengapa aku memaksakan azas profesional dalam wadah yang berdiri atas azas kekeluargaan ini?’. Negeri ini bukanlah negeri maju dan aku sangat mengharapkan kontradiksinya segera tercipta. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan pergerakan yang dinamis dari segala pihak, hal inilah yang sedang aku usung ditengah kebobrokan sebagian besar birokrat di negeri ini yang sulit sekali untuk diharapkan. Dalam waktu yang terbatas aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyentuh perubahan itu. Dibutuhkan langkah taktis yang efektif untuk mencapai mimpi itu tanpa melupakan identitas kekeluargaan tadi. Penanaman azas profesional adalah salah satu jawabannya.

Aku masih belum menemukan formula itu hingga gelap malam diselimuti tawa canda, tangis, dan segala keluh-kesah mereka dalam kepingan makna yang mulai memberikan aku petunjuk akan jawabannya. Malam ini aku putuskan untuk menghentikan perjuangan berpikir, menyisakan tenaga untuk esok yang kuharap akan melengkapi petunjuk jawaban yang sudah mulai dapat kucerna.

Tuhan mendengar doaku, pagi ini kunci-kunci jawaban itu mulai terkuak. Sudah lebih dari setahun aku mengenal mereka, dan lebih dari lima bulan (seharusnya) aku dekat dengan mereka baru kali ini aku merasakan kebersamaan bersama mereka. Wadah ini bukan milikmu seorang wahai diriku, ada kamu, mereka, dan saudara-saudaramu yang mencintainya.

Sakato bakontribusi!