Showing posts with label Pendidikan. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan. Show all posts

Tuesday, May 5, 2015

Roads to Castle

https://www.kiwicollection.com/blog/game-of-thrones-filming-locations/29968

Different roads sometimes lead to the same castle – George R Martin. Game OfThrone

Recently, I really enjoyed watching the TV Show Game of Throne (GOT). This show is another way to learn about my favorite subject, geopolitics.

Chris O'Regan, a user of Quora, a knowledge website,  said that GOT has drawn inspiration from actual historical  events. The biggest similarity is that the story resembles events that occurred during medieval times in England particularly the Wars of the Roses. There are two houses in GOT, Stark and Lannister. Stark sounds like York and Lannister sounds like Lancaster.

Watching GOT also reminds me of my undergraduate thesis in 2012. I wrote about political contestation between student groups in my university, from a geopolitical point of view. Some people said it was an unusual topic. But in 2014, it was published as a book titled ‘Geopolitik Islam Kampus’ (Islam Geopolitics in University) and until now I still get orders for it . I had also essays published in other anthologies.

Tuesday, May 6, 2014

Ayo bikin KUE bareng, Knowledge UEveryday! #key


1. Hamalem tweeps! jom nge- (Knowledge Everyday) lagi!

2 jadi setiap hari kita kudu cari knowledge baru dari sumber yg kredibel (buku, Jurnal, seminar, life experience, dll)

3. Why ? Because we believe that knowledge is a tool to open the gate of change. Lets have 'Knowledge Everyday'!

Wednesday, April 2, 2014

Anakku Bukan Anakku


“Pagi itu, sekumpulan perempuan – dari muda hingga paruh baya - sibuk melakukan kegiatan pengasuhan, memberikan susu pada si kecil yang lucu, memandikan, lalu membawa mereka ke sekolah untuk bermain”.
Pemandangan inilah yang terjadi di semua pagi di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan. Si kecil yang lucu di atas ialah para bayi dan anak-anak orangutan, dan sekolah itu adalah hutan terdekat dengan lokasi karantina. Lalu siapa sekumpulan perempuan itu?. Mereka adalah para pengasuh yang merawat anak-anak orangutan seperti anak-anak mereka sendiri.

Mereka mengganti popok, memandikan, menyuapi makanan, dan bermain bersama mereka sepanjang hari. "Yang kecil, kalau tidur ditemani. Kayak anak sendiri lah," kata Duwi (20), yang sudah menjadi pengasuh orangutan selama tiga tahun. Dia sedang menggendong anak orangutan bernama Hans dan Douglas sementara orangutan bernama Purbo bergelayut di kaki kanannya.

Sunday, March 9, 2014

Lepas-Liar

Proses Pelepasliaran Orangutan

“Terima kasih BOS, mengajarkan dan kini memberikan kami kebebasan itu..”

Mungkin itulah terjemahan dari lenguhan para orangutan itu setelah mereka lepas dari kandang-kandangnya ke Hutan Lindung Bukit Batikap Kalimantan yang liar itu.

Pelepasliaran orangutan keseratus dilakukan oleh BOS NM (Borneo Orangutan Survival - Nyaru Menteng) beberapa waktu yang lalu. BOS NM kembali melepasliarkan 20 orangutan, melanjutkan usaha mereka sejak awal tahun 2012 yang telah melepasliarkan 99 orangutan ke tempat yang sama. Dengan dilepasliarkannya 20 orangutan kali ini, BOS NM merayakan pelepasliaran orangutan ke-100-nya.

Kegiatan pelepasliaran orangutan ini masih merupakan upaya perwujudan target yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 yang diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali, 2007, di mana dinyatakan bahwa seluruh orangutan yang ada di pusat rehabilitasi harus telah dilepasliarkan paling lambat pada tahun 2015.

Lalu apa sebenarnya tujuan dari Pelepasliaran ini ?. Melepas dan meliarkan mereka?.

Monday, December 23, 2013

Educate to Encourage

Campus Tour in Dalhousie University, NS, Canada

“The world is a book, those who dont travel read only one page”- St. Augustine

There are many pages in that book. There is no exact answer about how many is it. It depends on the reader. How strong they can keep continue to read it.

There are many pages in that book, one of the theme tells about ‘education’. There are many countries around the world, some of them have good education system. In order to get well understanding about that theme, so we need to do travelling from page to page ; travelling about education.

Monday, December 16, 2013

(Liberal) Arts?


Korupsi, kisruh politik, disintegritasi, krisis kepercayaan, kualitas pendidikan yang membahayakan, lemahnya penegakan hukum, penguasaan sumber daya oleh asing, dan ragam jenis lainnya, tak terhingga mungkin jumlahnya jika kita mencoba mendata berbagai tantangan yang mendera Indonesia dewasa ini.

Legenda intelektual Indonesia, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menyebut hal ini sebagai krisis multidimensional yang sedang melanda Indonesia.

Ada banyak solusi sesungguhnya, salah satunya yaitu melalui pengenalan bidang ilmu ‘Liberal Arts’.

Monday, December 2, 2013

Edu-ca(u)tion and Edu-action

Edu-action in Glooscap Heritage Centre-Mikmaq Museum, Truro, Canada

 “Those who educate children well are more to be honored than they who produce them; for these only gave them life, those the art of living well.” ― Aristotle

Couple days ago, Indonesia celebrated the teachers day. Althouogh the date is different with world teachers day – October, 5th - which is celebrated by some countries across the world, Indonesia has the special reason. November, 25th as teachers day in Indonesia, was caused by the day was the born day of Persatuan Guru Seluruh Indonesia-PGRI (Teacher Association across Indonesia).

PGRI was founded because teachers across Indonesia needed a tool to collaborate their efforts to spread education throughout Indonesia. At the time, Indonesia higly required rife teachers, as educator.

Nowadays, PGRI seems like rags. Not many people care about their existence, even their members also dont really know what aims of the organization. It makes the challenge for education in Indonesia ; getting worst.

Thursday, October 31, 2013

Arti


Menghafal, menjadi sebuah kebiasaan yang bisa jadi membosankan atau mungkin juga menarik bagi banyak orang. Namun bagi sebagian usia muda Indonesia, ini hampir menjadi kewajiban ; jika ingin meraih nilai memuaskan di lembaran kertas bertajuk ‘raport’.

Di setiap malam-malam menjelang ulangan harian dan ujian bagi mereka akan menjadi malam yang sibuk. Menghafal berbagai jenis materi pelajaran yang tercantum di ragam buku teks. Banyak sekali teori-teori, hingga definisi-definisi tentang berbagai pengertian dari sejumlah ahli (yang bahkan mungkin tak pernah dikenal ke-ahli-an-nya).

Thursday, October 24, 2013

Menang!


 “Morning”, ujar seorang ayah dengan muka sumringah menyambut pagi kepada anaknya. Kata ini adalah kata pertama yang muncul setiap pagi-pagi di rumah itu. Dalam sarapan bersama sekeluarga, mereka berbagi cerita tentang ragam rencana kegiatan mereka masing-masing. “Good, excellent”, ujar sang ibu usai mendengar penjelasan anaknya yang ingin melakukan aneka kegiatan.

Have a nice day”, sebelum berpisah satu sama lain untuk melakukan kegiatan masing-masing, ucapan tersebut saling bersahut diantara mereka. Sesampai di tempat berkegiatan, mereka menuntaskan tanggung jawab masing-masing, dan lalu “great, perfect”, seorang teman memuji hasil kerja mereka. Usai berkegiatan seharian, dalam makan malam bersama, mereka berbagi cerita tentang apa yang telah dilalui seharian. “Cool, awesome”, sang anak kagum dengan pengalaman kerja orang tuanya.

Thursday, October 17, 2013

Seragam

http://plymouthuccyouth.files.wordpress.com/2010/06/img_0069.jpg

‘Jadikanlah semua tempat sebagai sekolah, dan semua orang adalah guru’

Kutipan ini disampaikan di sebuah pembukaan pelatihan bagi para peserta pertukaran pemuda Indonesia ke negara maju. Secara ‘nilai’, makna dari kutipan tersebut nyaris sempurna dan membuat kepala para peserta mengangguk-angguk tanda setuju. Mereka pun bergairah memulai pelatihan yang muatannya akan menjadi bekal bagi mereka nanti untuk hidup di negara maju tersebut.

Pelatihan dimulai, sejumlah aturan dikemukakan, disebutkan oleh satu wajah. Lalu di hari berikutnya, wajah lain muncul tanpa perkenalan dan membuat aturan baru. Kemudian, beberapa saat kemudian, wajah baru lagi hadir dengan aturan baru LAGI dan bahkan gerak-geriknya tampak seperti sangat bertentangan dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Miris, semua wajah itu adalah alumni dari program pertukaran pemuda tersebut.

Wednesday, August 28, 2013

PPIA FE Launching Program Double Degree

http://thumbs.dreamstime.com/thumblarge_374/1236911667s1V0IO.jpg
Add caption

Rabu (28/08), bertempat di Perpustakaan UI, Program Pascasarjana Ilmu Akuntansi (PPIA) FE menyelenggarakan seminar dengan tema “Business Environment in 21st Century and The Effects on Business Practice, Public Sector Management and Accounting Research”. Seminar ini diadakan dalam rangka Launching Double Degree Program Master dengan Vrije Universteit Amsterdam, Sosialisasi Beasiswa Star 2 BPKP, dan Penyambutan Mahasiswa Baru FE.

Friday, May 17, 2013

Pe(ndidik)an Kompetensi dan Karakter



Isu demi isu terus bergulir kian dinamis dan sebagian besarnya adalah masalah negeri ini. Jika ditarik jauh penyebab dari semuanya, maka kemudian sebab tersebut terhempas di kata ‘pendidikan’. Beberapa waktu yang lalu, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali berlalu. Tak berbeda seperti setiap tahunnya dan tahun-tahun sebelumnya, rutinitas seremonial itu berlalu diiringi berbagai refleksi terhadap kondisi kekinian dunia pendidikan tanah air. Yang sedikit berbeda ialah hadirnya pro kontra Kurikulum 2013 serta diikuti dengan macetnya pelaksanaan ujian nasional (UN) yang semakin menambah cerca terhadap pemangku kebijakan (pemerintah).

Berhentilah memaki kegelapan dan mulailah menyalakan lilin, ungkapan bijak ini sering dilontarkan dimana-mana untuk menghentikan arus cercaan yang bertubi-tubi (terutama terhadap pemerintah). Hal ini ada benarnya, namun bukan juga berarti sebagai alat justifikasi bagi pemerintah dalam berkilah menutupi kekurangannya. Pemerintah harusnya belajar mendengar berbagai refleksi yang muncul di setiap peringatan hardiknas. Memahami dan lalu kemudian mengolah hal tersebut menjadi sebuah rekomendasi berharga terhadap perbaikan kondisi dunia pendidikan negeri ini.

Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik, kalimat bijak ini yang kemudian menjadi dorongan Anies Baswedan dan kawan-kawan turut serta menyalakan lilin membantu pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan bangsa, melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Substansi pendidikan mestinya dipahami secara utuh oleh setiap manusia terdidik di bangsa ini.

Evolusi Kata ‘Pe(ndidik)an’

Kata pendidikan yang berasal dari kata dasar ‘didik’ atau dalam Bahasa Jawa menjadi ‘ndidik’, memiliki hakikat mendasar. Paula Freire menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan, yang berujung pada kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Sementara  H. Horne berpendapat bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual dan emosional dari kemanusiaan manusia.

Kerumitan definisi di atas kemudian coba disederhanakan dan ditransformasikan ke dalam kondisi ke-Indonesiaan oleh Ki Hajar Dewantara, Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusia-kan manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalamnya, pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humannes).

Konsep di atas kemudian semakin disempurnakan oleh Erie Sudewo bahwa dalam mendidik (pendidikan) ini ada dua hal utama yang menjadi elemen utama, yaitu adalah karakter dan kompetensi.

Revolusi Pe(ndidik)an Indonesia

Jika kata pendidikan di atas mengalami proses evolusi, maka sebaliknya realisasi dari substansi kata tersebut yang tertuang dalam sistem pendidikan di Indonesia, justru ber-revolusi ; berubah sangat cepat.

Tahun 1947, dibuat sistem pertama yaitu rencana pelajaran (leer plan). Setelah tiga tahun, lalu lahir kurikulum pendidikan tahun 1950. Dua tahun kemudian lalu disempurnakan lagi menjadi Rencana Pelajaran Terurai (RPT). RPT ini selanjutnya dikenal dengan Kurikulum 1952. Selanjutnya di tahun 1964 dikembangkan Rencana Pendidikan yang ditekankan pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya dan pendidik-an moral. Rencana Pendidikan ini akhirnya menjadi kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum 1964.

Pada tahun 1968 muncul lagi kurikulum baru, Kurikulum 1968. Lahirnya kurikulum ini sangat berbau politis karena dianggap sebagai peninggalan Orde Lama yang dianggap berbau komunis. Setelah Kurikulum 1968 dianggap “out of date” maka dikembang-kan Kurikulum 1975 yang menekankan pentingnya pelaksanaan pendidikan secara lebih efisien dan efektif.

Sembilan tahun kemudian lahir Kurikulum 1984 yang menekankan pentingnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Sepuluh tahun berikutnya muncul lagi kurikulum pendidikan baru yang kemudian kita kenal dengan sebutan Kurikulum 1994. Munculnya kurikulum baru ini merupakan upaya untuk memadukan pendekatan pada kurikulum-kurikulum yang sebelumnya.

Kurikulum 1994 pun kemudian kembali dirasa memiliki banyak kekurangan. Pemerintah pun kemudian menyempurnakan kurikulum baru, Kurikulum 2004. Kurikulum ini memiliki tujuan pembelajaran yang langsung mengarah pada jenis kompetensi apa yang harus dikuasai anak didik. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004.

Ketika KBK belum tuntas dijalankan oleh sekolah dan madrasah, bahkan belum layak diukur hasil penerapannya di lapangan karena baru tiga tahun dijalankan, pemerintah memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007. KTSP menyerahkan pada para guru dengan ragam karakter dan kompetensi dalam merancang kurikulum pendidikan di sekolah masing-masing. Hal ini kemudian membuat sistem menjadi lebih tidak beraturan, dikarenakan output guru yang dihasilkan dari sistem pendidikan sebelumnya memiliki ragam karakter dan kompetensi. Kemudian juga hingga sekarang masih banyak sekolah di daerah “remote” yang ternyata belum sepenuhnya familiar dengan KTSP. Dalam kondisi seperti ini tiba-tiba hadir lagi kurikulum 2013.

Uraian di atas menunjukkan bahwa pergantian kurikulum di Indonesia selama ini tidak selalu didasarkan pada tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pun tuntutan kebutuhan ragam masyarakat Indonesia, tetapi ternyata karena banyak pertimbangan permainan kepentingan.

Perkawinan Karakter dan Kompetensi

Menyikapi kaburnya arah pendidikan Indonesia dari berubah-ubahnya kurikulum di atas, maka beberapa tahun belakangan mulai gencar wacana tentang konsep pendidikan karakter yang dianggap bisa menjadi solusi. Dalam rancangan kurikulum 2013, banyak sikap kontra dengan argumen bahwa para guru di Indonesia belum siap untuk konsep yang ditawarkan. Kualitas guru di Indonesia dianggap masih rendah, baik secara karakter maupun kompetensi.

Sehingga seharusnya konsep pendidikan karakter telah dimulai dari sistem pendidikan keguruan. Pendidikan Karakter tak sekedar memasukkan “informasi tentang sikap” ke dalam mata pelajaran, seperti jujur, hormat, cinta tanah air, dan lain – lain atau membahas contoh – contoh sikapnya serta diakhiri dengan tes standar pilihan ganda atau pertanyaan – pertanyaan tertulis.

Kunci pendidikan karakter adalah Role Model, teladan dari orang terdekat siswa, dalam konteks ini adalah guru. Percuma diajarkan bersih kalau gurunya masih buang sampah sembarangan dan berlaku curang seperti memberikan kunci jawaban saat UN. Jadi seharusnya, pemerintah menyiapkan dulu peningkatan kuliatas karakter dan kompetensi guru sedari dini.

Usai itu, barulah kemudian dalam kurikulum pendidikan bagi siswa diterapkan sistem yang selaras, yaitu kurikulum kompetensi berbasis karakter. Sebelumnya telah ada KBK, namun hanya berbasis kompetensi, sehingga kemudian dirasa ada yang kurang dari kurikulum tersebut. Maka karakter-lah jawabannya. Karakter layaknya fondasi dan kompetensi ialah bangunan yang berdiri di atas kompetensi tersebut.

“Tidak perlu menjadi hebat hingga kau terlihat baik, cukuplah menjadi baik maka perlahan kau akan hebat”

Wednesday, February 6, 2013

Geography (In) Australia


Geography, this word did not exist in my childhood dreams. My childhood dreams is wants to be doctor, architect, musician, etc. I think there is not too much related with geography.

I choose geography as my major in Universitas Indonesia (UI) because a simple reason. I want to study in a place which is far from my house, my city. I want to get a best university in my country. So that, I searched a major with low passing grade and not popular. I think that major still has many job vacancy because students who want to take it is slight. Finally, I choose geography. I taked test and accepted.

Geography in Indonesia

Department of Geography UI was born in 1953 because military needs from government of Indonesia. This military needs cover maps about physical conditions from regions. This background affected education curriculum in Geography UI. It obviously related also with paradigm or mindset about understanding of geography in UI.

Geography UI is more likely determinism geography which depends on nature. Determinis believe that all phenomenons in the world is affected by nature. In otherside, there is ideology “possibilism geography”. It believe that those phenomenos is affected by human. This ideology is less developed in UI.

Developing of science in Indonesia is affected by UI. So even with geography, understanding of geography in UI extend to around Indonesia. Determinism geography is more developed in Indonesia. Physical geography, remote sensing, and geographical information system is kind of determinism geography which is developed in Indonesia.

Possibilism geography is less developed in Indonesia. Although there are some scientist who tried to develop it, but they are stil a few. Human geography is kind of possibilism geography. I like it because most of my activities included in social-culture, and politic movements.

I have a dream to develop human geography in Indonesia. I will start from my university, UI. At this time, Department of Geography is still included Faculty of Mathematic and Natural Science in UI. I would like to change it, make Faculty of Geography and I would its first dean.

Geograph( (in) Australia

January 2012, Departmen of Geography UI make good relation with Department of Geography University of Sydney (USYD). They held Program Joint Field School between students UI and USYD. Thanks to God, I got opportunity to join in this program.

I got many lessons from that program. First, I found my pasiion with them. Geography USYD is more likely possibilism geography. Human geography is more developed than physical geography. My understanding of geography is same with Geography USYD. They have strong analysis between many part of geography. That is a holistic geography like what I want.

In Indonesia, geography is so related with map. Map is important and main character of geography. But I didn’t find it Geography USYD during I join that program. It make me more curious about understanding of geography in USYD and Australia generally. I want to know more about it.

Second, I got many information about many things in Australia from that program. They tell me about population, cities, culture, industry, trade, education, youth, politic, government, and any things about Australia.

Those informations about Australia make me decide to choose course Regional Geography of Australia in last semester. I want to know more about it. In that course, I learn about physical condition such as climate, topography, hydrology, farming, planting, ranch, forestry, and social conditions which consist of demography, politic-government, international relations, trades, cities, industry, and economy.

Australia is unique country. A continent-country which has variety climates and geomorphology. Australia's size gives it a wide variety of landscapes, with subtropical rain forests in the north-east, mountain ranges in the south-east, south-west and east areas, and a dry desert in its centre.

It is the flattest continent, with the oldest and least fertile soils; desert or semi-arid land commonly known as the outback makes up by far the largest portion of land. The driest inhabited continent, only its south-east and south-west corners have a temperate climate. The population density, 2.8 inhabitants per square kilometre, is among the lowest in the world, although a large proportion of the population lives along the temperate south-eastern coastline.

Although most of Australia is semi-arid or desert, it includes a diverse range of habitats from alpine heaths to tropical rainforests, and is recognised as a megadiverse country. Australian forests are mostly made up of evergreen species, particularly eucalyptus trees in the less arid regions, wattles replace them in drier regions and deserts as the most dominant species.

For almost two centuries the majority of settlers, and later immigrants, came from the British Isles. As a result the people of Australia are mainly a mixture of British and Irish ethnic origin. In the 2011 Australian census, the most commonly nominated ancestry was English (36.1 per cent), followed by Australian (35.4 per cent),[214] Irish (10.4 per cent), Scottish (8.9 per cent), Italian (4.6 per cent), German (4.5 per cent), Chinese (4.3 per cent), Indian (2.0 per cent), Greek (1.9 per cent), and Dutch (1.7 per cent).[215] Asian Australians make up 12% of the population. The Indigenous population—mainland Aborigines and Torres Strait Islanders—was counted at 548,370 (2.5 per cent of the total population) in 2011

Australia has six states—New South Wales, Queensland, South Australia, Tasmania, Victoria, and Western Australia—and two major mainland territories—the Northern Territory and the Australian Capital Territory (ACT). In most respects these two territories function as states, but the Commonwealth Parliament can override any legislation of their parliaments.

Australia is a constitutional monarchy with a federal division of powers. It uses a parliamentary system of government with Queen Elizabeth II at its apex as the Queen of Australia, a role that is distinct from her position as monarch of the other Commonwealth realms.

Australia has a market economy with high GDP per capita and a low rate of poverty. The Australian dollar is the currency for the nation, including Christmas Island, Cocos (Keeling) Islands, and Norfolk Island, as well as the independent Pacific Island states of Kiribati, Nauru, and Tuvalu. After the 2006 merger of the Australian Stock Exchange and the Sydney Futures Exchange, the Australian Securities Exchange is now the ninth largest in the world.

School attendance is compulsory throughout Australia. Education is the responsibility of the individual states and territories. Australia has 37 government-funded universities and two private universities, as well as a number of other specialist institutions that provide approved courses at the higher education level. The University of Sydney is Australia's oldest university, having been founded in 1850, followed by the University of Melbourne three years later. Other notable universities include those of the Group of Eight leading tertiary institutions, including the University of Adelaide (which boasts an association with five Nobel Laureates), the Australian National University located in the national capital of Canberra, Monash University and the University of New South Wales.

Australia and Indonesia have an effective development partnership that is changing millions of lives by improving health and education services, helping to protect the poor and vulnerable from shocks and boosting economic growth through infrastructure development and improved economic management. Australia also provides support to strengthen democracy and justice and good governance.


Esai ini lolos seleksi Program Joint Field School Programme di Univ of Sydney Australia


Monday, February 4, 2013

Saatnya Bicara Solusi!


sumber : http://iqramahbaraputra.files.wordpress.com/2011/11/solusi2.jpg

“Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”

Begitulah sayup-sayup suara dalam sebuah diskusi antar mahasiswa di salah satu kampus perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Kemudian tidak jauh dari lokasi tersebut, di ruang-ruang kuliah, nada yang sama juga menggebu-gebu disuarakan oleh para dosen berusia setengah baya yang tidak mau dibantah. Lalu bergeser cukup jauh dari kampus tersebut, di sebuah sekolah elit yang juga konon terbaik, sejumlah siswa dan guru juga terjebak dalam irama diskusi yang sejenis.

Itulah potret suasana pembelajaran yang terjadi di ibukota, pusat segala pusat peradaban negeri ini, tak terkecuali pendidikan. Bagaimana dengan potret di daerah ?. Ketika tokoh-tokoh ibukota di atas berkunjung ke daerah dan ia bercerita dengan metode diskusi atau belajar yang ia lakukan di ibukota, sontak kepolosan dan keluguan anak-anak daerah itu pun terkagum-kagum mendengarkan penjelasannya. Jadilah metode diskusi atau belajar dengan cara tersebut menjadi tersohor dimana-mana tempat di negeri ini. Lebih lanjut, dalam perkembangannya kemudian orang-orang mampu berbicara “Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”, lalu dianggap keren dan pinter.

Sementara hampir semua orang setuju dengan definisi pinter dan keren di atas, di setiap jengkal vertikal maupun horizontal ruang negeri ini tersumpal jutaan masalah yang nyaris diterima dengan pasrah oleh manusia-manusianya. Seminar-seminar, forum-forum diskusi dengan tumpukan kertas-kertas makalah menggudang di institusi-institusi pendidikan di negeri ini. Ada yang bilang bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah seminar terbanyak di dunia. Sementara itu, jutaan masalah tadi masih menggenang di permukaan, dan bahkan sebagian tenggelam melekat di dasar keputus-asaan.

Apa yang salah dengan semua ini ?. Semakin banyak orang belajar, semakin banyak masalah yang muncul dan tak tertuntaskan. Kenapa kedua hal yang seharusnya berkorelasi positif ini, justru malah memunculkan dampak sebaliknya ?.

Kiblat Sains Kita (?)

Sebagian besar paradigma yang berkembang di Indonesia saat ini adalah menganggap bahwa seseorang dengan kemampuan retorika bagus dan dapat menjelaskan berbagai teori, adalah orang hebat. Padahal jika kita melihat ke peradaban yang lebih maju di sejumlah negara maju, orang dengan tipikal seperti di atas jika hanya sampai pada tahap itu, belumlah hebat.

Di Indonesia, orang-orang yang mengaku hebat dengan berbagai teori yang dihafalnya sesungguhnya agak konyol. Mengingat bahwa sebagian besar teori-teori ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia adalah diserap dari negara-negara barat. Teori-teori tersebut tentu dibuat berdasarkan riset-riset yang dilakukan di sana menggunakan studi kasus yang terjadi di sana. Perbedaan karakteristik fisik maupun sosial di setiap-setiap wilayah tentu berpengaruh terhadap hasil riset yang dilakukan. Apalagi tingkat perbedaan karakteristik di negara-negara barat dengan timur cukup signifikan. Singkatnya, teori yang dihasilkan dari ilmuwan-ilmuwan di negara barat tidak semuanya relevan diterapkan di negara-negara timur, termasuk Indonesia.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia dan banyak negara timur lainnya saat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang ambigu. Di satu sisi para ilmuwan timur, tengah bergiat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang mau tidak mau harus bersumber dari referensi barat, dikarenakan ilmu pengetahuan diklaim berkembang lebih dahulu di negara-negara barat. Sehingganya referensi terbanyak pun datang dari negara-negara barat.

Di lain sisi, ketika mempelajari tentu para ilmuwan timur ini dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Dikarenakan tidak banyak bahan pembanding dan juga tersugesti oleh kemajuan peradaban barat, sehingganya gelar kebenaran pun jatuh pada referensi barat yang ia pelajari tersebut. Padahal terkadang ada beberapa studi kasus khusus di negaranya yang sebenarnya tidak bisa dipahami dengan teori barat yang ia pahami tersebut. Alhasil jadinya, ia malah memaksakan studi kasus di negaranya tersebut mengikut dengan teori barat yang ia yakini.

Seharusnya, yang dilakukan oleh ilmuwan timur tersebut adalah menguji teori tersebut dengan studi kasus di negaranya dengan daya analisis netral objektif. Sehingganya jika teori tersebut tidak relevan, ia mampu mencipta teori baru yang relevan dengan studi kasus di negaranya. Hal inilah yang bisa menjadi titik tolak kemajuan ilmu pengetahuan di negara-negara timur.

Memang ilmu pengetahuan lebih berkembang di barat terlebih dahulu, namun bukan berarti para ilmuwan timur turut mengikuti atau terhanyut dalam arus tersebut. Sangat sering para ilmuwan timur mengalami kesalahan dalam melakukan penyesuaian teori. Seperti contoh di atas, sering kali yang dipaksa menyesuaikan adalah kondisi di negaranya sehingga harus mengikut teori tersebut. Padahal yang harusnya disesuaikan adalah teori tersebut yang harus mengikut kondisi di negaranya.

Kondisi yang dimaksud disini tentu adalah hal yang positif yang bersifat sebagai karakter dari peradaban di negara tersebut. Salah seorang ilmuwan di Asia Timur dalam pernyataannya pernah berujar bahwa Asia sudah saatnya harus punya kiblat sains sendiri, tidak lagi berkiblat pada sains barat.

Pernyataan di atas seirama dengan seruan Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”.

Analisa Komparatif

Dalam dasawarsa terakhir, banyak perubahan baru, atau bahkan hal baru terkait sistem pendidikan di Indonesia, terutama pasca Reformasi. Sudah banyak terjadi perubahan kurikulum pendidikan di berbagi tingkat, baik tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Ada kurikulum tahun 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), serta untuk metode pembelajarannya, ada SCL (Student Center Learning), dan segera katanya akan ada STARS (Student, Teacher, Aestetic, Rulers Sharing). Semua punya tujuan sama: agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari kurikulum tersebut diharapkan agar peserta ajar aktif dalam proses belajar, mencari tahu ilmu pengetahuan, dan pengajar sebagai pembimbing.

Masih jauh panggang dari api, untuk saat ini ungkapan tersebutlah yang mencerminkan kondisi harapan di atas. Sebagian besar pengajar masih mengajar dengan skema pengajar-oriented. Pengajar bicara panjang lebar, tapi peserta ajar cuma didiamkan saja, hanya disuruh mendengarkan, dan seringkali membuat  mereka mengantuk. Bahkan di perguruan tinggi terbaik di negeri ini pun, tidak sedikit dosen yang masih terjebak dalam zona nyaman metode tersebut.

Kondisi yang lebih parah adalah sebagian besar para pengajar di Indonesia melakukan discouragement, “menelan” peserta ajarnya dalam proses belajar. Studi kasus dalam sidang skripsi di perguruan tinggi, ketika seorang promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Banyak para dosen penguji yang sangat tidak manusiawi. Discoragement yang mereka lakukan membuat kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata akhirnya pun ditemukan juga menguji dengan cara menekan.

Sangat berbeda jika kita melihat ke Amerika Serikat (AS), filosofi mendidik di sana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju, Encouragement!. Dalam ujian program doktor di AS, suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menerangkan seterang-terangnya sehingga mahasiswanya makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Para pengajar disana tidak hanya pintar secara akademis, melainkan karakternya juga sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Tidak jauh berbeda dengan di AS, sistem pengajaran di Belanda bersifat menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negaranya yang mampu memperkokoh akar masyarakat mereka, yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat pluralistiknya. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di perguruan tinggi di Belanda.

Gaya pengajaran di Belanda sangat interaktif dan berpusat pada peserta belajar itu sendiri, memberikan perhatian dan kebebasan lebih bagi mahasiswa untuk mengembangkan pendapat dan kreativitas dalam menerapkan ilmu yang dipelajari. Interaksi di ruang kelas sangat dihargai. Mahasiswa dituntut untuk menelaah pengetahuan yang mereka terima dan mengembangkan serta mengekspresikan pendapat mereka. Mahasiswa tidak boleh pasif, namun harus terus bertanya dan berpikir kritis terhadap apa yang dikatakan pengajar atau sesama mahasiswa.

Hal yang lebih menarik lagi ditemukan di Finlandia yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.

Pendidikan, Pembangunan, dan Perekonomian

Ada sebuah kesamaan karakter yang ditemukan pada gaya pendidikan di negara-negara barat. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu sosial yang sangat pesat membuat mereka begitu memahami filosofi pendidikan. Sehingganya dasar dari setiap sistem atau metode yang digunakan sangat berakar dari nilai-nilai universal yang konstruktif.

Lain halnya dengan dengan negara-negara di Asia Timur yang saat ini juga tengah mengalami kemajuan pesat. Jika di barat filsafat dan ilmu sosial begitu mengakar, di Jepang berfokus pembangunannya di bidang teknologi. Sehingga sistem pendidikannya pun mengikut kepada hal tersebut. Alhasil pendidikan di bidang sains terapan seperti teknologi sangat berkembang di negara ini.

Tidak mau kalah dengan Jepang sebagai negeri jirannya, Korea saat ini gencar menyebarkan korean wave-nya di berbagai penjuru dunia. Korean wave adalah sebuah image tersendiri yang dibuat oleh Korea melalui industri kreatifnya, seperti musik dan film. Berkembang pesatnya korean wave ini pun memicu pendidikan-pendidikan di bidang ini menjadi melesat menjamur.

Belajar dari sistem pendidikan di berbagai negara di belahan dunia, tampak sebuah benang merah antara pendidikan, pembangunan, dan perekonomian. Di negara-negara barat yang telah berstatus negara maju, hampir seluruh bidang ilmu berkembang dengan baik dikarenakan sistem pendidikan yang juga baik. Hal ini akhirnya berbanding lurus dengan tingkat pembangunan dan perekonomiannya. Hal yang sama pun terjadi di Jepang dan Korea yang memiliki fokus masing-masing. Pembangunan perekonomian yang terjadi berbasis kepada ilmu pengetahuan yang telah berkembang dikarenakan sistem pendidikan yang berkualitas.

Kemajuan yang dicapai oleh negara-negara di atas diraih akibat adanya kesadaran mereka akan pentingnya sumbangsih pengetahuan terhadap pembangunan perekonomian. Antara arah pembangunan, pendidikan, dan perekonomian, satu sama lainnya berkorelasi. Dimulai dengan penentuan arah pembangunan negara, kemudian diturunkan menjadi langkah-langkah mencapainya melalui bidang perekonomian, dan selanjutnya sistem pendidikan dirancang untuk melancarkan strategi mencapai arah tersebut.

Lalu selanjutnya,bagaimana kondisi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ?. Pembangunan perekonomian yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia masih berbasis kepada resource atau sumber daya alam dan kuantitas sumber daya manusia. Tingkat pengetahuan rata-rata yang masih rendah menyebabkan sumber daya yang ada belum mampu dikembangkan secara optimal menjadi nilai ekonomi yang maksimal.

Basis sumber daya, inilah yang harus ditransformasikan oleh negara-negara berkembang menjadi basis ilmu pengetahuan untuk dapat mendongkrak pembangunan perekonomian. Untuk dapat melakukan transformasi ini tentu adalah sebuah proses komprehensif, kuncinya ada di sistem pendidikan.

Pendidikan Karakter : Problem Based Learning

Salah satu metode belajar yang banyak dikembangkan di negara-negara maju saat ini adalah metode Problem Based Learning (PBL). Metode ini saat ini juga tengah giat dikembangkan di Indonesia. Metode ini menekankan nilai-nilai ide, kebebasan berpikir, inovasi, dan problem solving

Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap PBL. Duch (1995) menyatakan bahwa PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

Menurut Nurhadi (2004: 100) “pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”. Pengertian pembelajaran berbasis masalah adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran.

PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.

Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia.

Dalam pendidikan konvensional, mahasiswa lebih banyak menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu kedokteran dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi profesional, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan konvensional cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari cara penyelesainnya.

Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya.

Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya.
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya.
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik mambangun bagi kolega.

Salah satu negara yang telah menerima pengakuan internasional untuk sistem pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah (Problem Based Learning) adalah Belanda. Negara ini melatih mahasiswa untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan dengan menggunakan penekanan pada pembelajaran mandiri dan disiplin. Semua program pendidikan tinggi Belanda berfokus pada karya tulis, bekerja sama kelompok untuk menganalisa dan menyelesaikan permasalahan spesifik, memberikan kesempatan kerja praktek melalui kerja magang dan melakukan penelitian di laboratorium.

Pada akhirnya PBL bisa  menjadi salah satu aplikasi dari pendidikan karakter. Karakter solutif, itulah yang ditanamkan dalam PBL.

Saatnya Bicara Solusi!

Metode PBL inilah yang harus dikembangkan secara intensif dan menyeluruh di Indonesia. Kurangi kajian teoritis yang tidak pernah menggunakan studi kasus. Perhatikan relevansi teori. Mari ubah pola pikir klasik yang menganggap bahwa orang hebat adalah yang hafal dan tahu banyak teori. Orang hebat adalah orang yang mampu mentransformasikan segala ilmu atau teori yang ia punya menjadi sebuah jalan keluar atau solusi dari permasalahan kekinian.

Saat ini juga tengah gencar digalakkan pendidikan karakter di Indonesia. Namun belum ada sebuah panduan yang jelas untuk konsep ini. PBL bisa hadir sebagai jawabannya. Karakter yang harus dibangun seharusnya adalah karakter solutif. Ini sesuai dengan nilai-nilai di PBL. Indonesia telah muak dengan media-media yan setiap hari menyebarkan jutaan berita-berita masalah di negeri ini yang menumbuhkan pesimisme. Saatnya melahirkan optimisme dengan menghadirkan solusi-solusi konkrit atas berbagai permasalahan tersebut. PBL mampu mendukung proses ini.

Selanjutnya, dalam jangka panjang PBL sangat efektif dalam pengembangan keilmuan. Melalui PBL dapat diuji teori-teori lama yang terkadang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian zaman atau pun tidak relevan dengan kondisi wilayah tertentu. Sehingganya dapat dilahirkan teori-teori baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi wilayah tertentu tersebut. Ini terkait dengan kiblat sains yang diungkapkan di atas, melalui PBL kita bisa mencipta kiblat sains kita sendiri, menjadi superior, bukan terus meng-inferior.

Metode PBL ini bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Untuk menerapkan hal ini tentu para generasi pengajar tua juga mesti mempelajari metode ini dan terus belajar mengikuti perkembangan ilmu pengetahuannya. Karena sering kali perubahan sistem di Indonesia terhambat gara-gara generasi tua yang masih ortodoks. Bertahan pada prinsip-prinsip lama yang mereka anut dan konservatif terhadap gagasan baru.

Jangan sampai kita harus memilih opsi ‘Potong Generasi’ untuk permasalahan ini. Marilah kepada siapapun yang peduli terhadap masa depan  negeri ini dan menginginkan perbaikan peradaban, tua muda kaya miskin, saatnya bicara solusi terhadap segala permasalahan yang ada. Jangan cuma dan terus mengeluh sehingga akhirnya pasrah terhadap keadaan. Semua punya solusi, semua punya jawaban. Melalui metode PBL, akan lahir generasi problem solver di negeri ini untuk menghentikan para problem maker.

Memang untuk solusi atas sistem pendidikan di Indonesia adalah hal yang kompleks. Karena menyangkut berbagai hal. Dibutuhkan perbaikan yang menyeluruh, mulai dari sistem yang rumit, kurikulum, tenaga pengajar, fasilitas, dan lain lain. Namun setidaknya untuk saat ini, jika PBL mampu diterapkan secara maksimal di semua institusi pendidikan, maka kita akan menyaksikan optimisme semua anak neger i ini bersorak ”saatnya bicara solusi!”.



Pustaka

Boud, D & Feletti, Grahamme I. 1997. The Challenge of Problem Based Learning (2nd Edition). London : Designs and Potents Act.

Chanlin, Lih Juan & Kung Chi Chan. 2007. Integrating Inter-Disciplinary Experts For Supporting Problem-Based Learning. London. 44(2) pg 211

Ho, Fui Fong & Hong Kwen Boo. 2007. Cooperative Learning: Exploring Its Effectiveness In The Physic Classroom. Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching. 8(2)(7) p 1

Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E. 2001. The Power  Of Problem based Learning. Virginia USA : Stylus Publishing.

http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd

http://forum.orisinil.com/index.php?topic=3964.0

http://inspirasibelajar.wordpress.com/2011/02/27/kurikulum-dan-metode-pembelajaran-pendidikan-di-indonesia/

http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=710&b=I&v=1&j=I&id=8

http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/sistem-pendidikan-belanda/sistem-pengajaran-di-belanda


Esai ini meraih Juara 1 dalam Kompetisi Esai KSM EP UI 2012 dan dibukukan dalam Buku "Solusi Dunia Pendidikan Indonesia"