Tuesday, January 22, 2013

Aku untuk Bangsaku : Migas Indonesia



“Pemuda Indonesia, Aku untuk bangsaku!”

Janji di atas tak berhenti digemakan oleh ratusan pemuda-pemudi terbaik Indonesia. Dari Aceh hingga Papua, mereka berkumpul untuk saling belajar, berjejaring, dan berkontribusi bersama setiap tahunnya di salah satu forum kepemimpinan. Tidak sekedar meneriakkan janji, realisasinya telah mereka buktikan juga dengan berbagai karya nyata.

Bagaikan kunang-kunang, usaha-usaha kecil mereka berupaya memberikan cahaya terang bagi masa depan bangsa ini. Namun cahaya-cahaya kecil ini masih belum berdampak luas ketika bayangan gelap jauh lebih besar masih menggerogoti hampir seluruh penjuru tanah air. Ialah pengelolaan migas di Indonesia yang didominasi oleh kapitalis asing. Janji ”Aku untuk Bangsaku” yang ditanamkan para pemuda di atas, tidak berlaku bagi beberapa tetua mereka yang menjadi oknum pengkhianat (menjual aset) negara.

Blok cepu bernilai lebih dari Rp 1.800 triliun, Blok Semai V sekitar Rp 952 triliun, Blok Tangguh Rp 2.090 triliun, dan Blok Natuna Rp 6.728 triliun. Kandungan migas yang begitu melimpah ini seharusnya menjadi berkah bagi penghuninya, ironis, ternyata justru dikuasai oleh pendatang (penjajah). Hal ini diakibatkan oleh sejumlah kesalahan dalam pengelolaannya.

Harga gas Tangguh yang dijual ke luar negeri dengan begitu murah dibawah harga jual rata-rata gas dunia, kekalahan Pertamina di Blok Semai V karena pemerintah mendukung asing, penangguhan DMO Holiday di Blok Cepu dan ekploitasi Blok Natuna D-Alpha oleh ExxonMobil, tidak diberlakukannya Windfall Profit Tax dalam harga minyak, korupsi penjualan gas di Kaltim, konspirasi proyek pembangkit listrik panas bumi di Garut yang merugikan Pertamina, penggelembungan cost recovery oleh Chevron, dan sejumlah kasus lainnya. Itulah beberapa kesalahan pengelolaan migas di masa lalu dan beberapa diantaranya masih dibiarkan hingga saat ini di Indonesia.

Terbaru, masyarakat menolak perpanjangan kontrak perusahaan asal Prancis Total E & P di Indonesia. Lalu puncaknya, sejumlah tokoh dan LSM mengajukan judicial review terhadap UU Migas yang berujung pada keputusan pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Rentetan kasus di atas merupakan seruan tegas kepada pemerintah untuk segera membenahi kebijakan pengelolaan migas di Indonesia. Belajar dari pengalaman, sudah begitu banyak kebijakan dan kontrak karya yang merugikan negara (rakyat).

Para pemangku kebijakan haruslah merubah pola dan perilaku konspiratif, KKN, dan harus berani berhadapan dengan kapitalis asing. Memang ini adalah sebuah permasalahan kompleks yang hampir mengakar, namun bukan berarti pasrah dan diam tak bergerak merubah.

Untuk dapat memperbaiki kebijakan tata kelola migas ini, para pemangku kebijakan sepertinya harus belajar kerangka berpikir yang ideal untuk kemandirian bangsa. Belajarlah dari para kunang-kunang yang disebutkan di atas, yang gigih tak hanya di retorika, namun juga dalam karya. Para pemangku kebijakan terkait harus memahami dan berjanji sepenuh hati untuk mengamalkan : “Aku untuk Bangsaku!”.

Para pemangku kebijakan tersebut harusnya mampu menyambut cahaya-cahaya kecil dari para kunang-kunang muda bangsa ini dengan cahaya terang kebijakan-kebijakan mereka. Sehingganya seluruh hasil Bumi Indonesia benar-benar dikuasai oleh Negara dan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Tulisan ini dimuat di Harian Seputar Indonesia November 2012
http://www.seputar-indonesia.com/news/suara-mahasiswa-aku-untuk-bangsaku

Aku untuk Bangsaku : Forum Indonesia Muda


“Pemuda Indonesia, Aku untuk bangsaku!”

Kalimat di atas tak berhenti bergema di Taman Wiladatika Cibubur, Jakarta Selatan pada akhir minggu di penghujung Oktober kemaren. Ialah lebih dari seratus pemuda-pemudi terbaik Indonesia dari Aceh hingga Papua yang menjadi pelaku sejarah kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Bukan sekedar memperingati, mereka berkumpul untuk saling belajar, berjejaring, dan berkontribusi bersama dalam ikatan keluarga ‘Forum Indonesia Muda’.

Forum Indonesia Muda (FIM) adalah sebuah kegiatan pelatihan kepemimpinan yang berawal dari tahun 2003. Adalah Elmir Amien, ia seorang penyiar radio yang aktif mengamati tema kepemimpinan dan pemuda. Bersama dengan istrinya Tatty Elmir beserta rekan-rekannya yang lain, akhirnya beliau memutuskan untuk menginisiasi berdirinya FIM pertama tersebut. Hal ini berangkat dari keresahan mereka terhadap krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia ketika itu.

Awalnya FIM pertama diadakan dalam skala kecil. Pesertanya ketika itu adalah para mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang merupakan aktifis di Badan Eksekutif Mahasiswa-nya. Selanjutnya, pada FIM kedua dan selanjutnya perlahan skalanya diperluas. Mulai dari Jabodatebek, Jawa Barat, dan juga pesertanya pun tidak lagi hanya aktifis BEM.

Dalam perkembangannya, penyelenggaraan FIM terus berkembang pesat dan mendapat dukungan dari banyak kalangan. FIM 5,6 dst, FIM Rescue, entrepreneur, sumpah pemuda, hari pendidikan nasional dengan tema pembangunan karakter.

Nilai-nilai yang dikembangkan di FIM yaitu : Cinta Kasih, Integritas, Bersahaja, Totalitas, Solidaritas, Adil, dan Keteladanan. Selain itu juga ada sejumlah nilai dasar kepemimpinan yang dikembangkan di FIM. Teori ini berasal dari pemikiran Pakar Pendidikan Buchori Nasution. Biasa disebut 7 pilar leadership yaitu : Mengenal diri, Akhlak, Komunikasi, Kekuatan Belajar, Proses Membuat Keputusan (Decision MakingProcess), Manajemen (Managing Team), dan Organisasi.

Hal yang membedakan FIM dengan banyak pelatihan kepemimpinan yang lain adalah setelah pelatihan berakhir. Usai pelaksanaan FIM, para peserta tetap saling belajar, berjejaring, dan berkontribusi bersama. FIM membentuk wadah-wadah di tingkat regional, mulai dari regional Sumatera bagian utara, Sumatera Barat, Lampung, Jakarta-Depok, Banten, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Kalimantan, Makassar, hingga Ambon dan Papua.

Kegiatan yang mereka lakukan di tingkat regional ini sangat beragam. Mulai dari pendirian rumah belajar, peringatan momentummomentum besar nasional hingga keagamaan, bakti sosial, forum diskusi, dan berbagai jenis pelatihan bagi masyarakat.

Ada sebuah tren menarik yang dimiliki FIM dan menginspirasi sejumlah gerakan sejenis lainnya. Yaitu semangat logika kekaryaan, tidak peduli apapun etniknya, suku, agama, afiliasi golongan, keyakinan, ideologi, dan perbedaan-perbedaan lainnya, yang penting semua bersatu dalam paradigma mencipta dan berkarya. Perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah potensi untuk memperkaya gagasan yang menjadi jembatan pencipta karya nyata. ‘Aku untuk bangsaku!’.


'Ide' yang Memimpin




Memilih pemimpin adalah memilih siapa yang paling pantas dan layak untuk memimpin. Memimpin bukan sekedar mengarahkan yang dipimpin untuk menyusuri jalan yang telah terlihat, namun juga menyiapkan yang dipimpin untuk nanti di kemudian hari mampu membentuk jalan sendiri bersama para pengikutnya. Jalan-jalan yang tentu menuju tujuan yang sama.

Lalu kemudian, bagaimana bisa mengetahui siapa yang paling layak dan pantas tersebut?. Penilaian pribadi, penilaian orang lain, penilaian kelompok, dan berbagai penilaian dari berbagai zat yang sifatnya juga berhak untuk dinilai, tidak akan cukup dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Terutama bagi sosok yang akan menjadi pemimpin. Hasil-hasil penilaian tersebut akan melahirkan pertimbangan tentang peluang menang dan kalah, seberapa besar peluang untuk menang dan sebaliknya.

Bagi seorang calon pemimpin, seharusnya memutuskan diri untuk menjadi seorang pemimpin bukan hanya dengan menggunakan penilaian-penilaian dan pertimbangan yang disebutkan di atas. Bukan menyoal menang atau kalah dalam hal ini, tapi tentang bagaimana mendialog-kan ide-ide besar yang dimiliki oleh masing-masing calon pemimpin sehingga mampu melahirkan kombinasi ide-ide besar yang 'memimpin'. Kombinasi ide inilah nantinya yang akan menjadi 'pemimpin sesungguhnya' bersama pemimpin fana yang terpilih.

Saturday, January 19, 2013

Ber-Agama


Kukira fase tertinggi dalam ber-agama adalah
Ketika paham bahwa setiap perintah-Nya ialah kebutuhan
Dan semua larangan-Nya itu demi kebaikan.

Sehingga tiap perilaku tidak lagi bicara tentang pahala, dosa, surga, dan neraka.
Tapi karena dan demi kebermanfaatan. 

Demonstrasi : Berani atau Nekat ?


“Keberanian harus di atas pengetahuan”

Begitulah kutipan dari pernyataan salah seorang aktifis mahasiswa, yang kemudian juga turut di-amin¬-kan oleh sejumlah aktifis mahasiswa lainnya di sebuah forum mahasiswa. Mereka menyetujui bahwa sikap berani adalah yang terpenting dimiliki seorang perwakilan mahasiswa, atau istilah lainnya disebut tukang gertak, dan soal pengetahuan, itu masalah nanti. Sikap inilah yang sering menjadi landasan pembenaran mereka dalam melakukan aksi demonstrasi yang terkadang bersifat anarkis.

Ada sejumlah definisi tentang ‘keberanian’. Julius A Cartage menyatakan bahwa "Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa". Kemudian Dawson Peter Amstrong berujar “Berani bukanlah siap menghunus pedang, tetapi siap memasukkan pedang ke sarungnya". Lalu, Aristotle menyatakan bahwa, “The conquering of fear is the beginning of wisdom”.

Keberanian, haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran. Keberanian bukan berarti asal maju tanpa menghitung risiko, tapi keberanian adalah semua tindakan strategis yang telah terhitung secara akurat sebelum melangkah ke tindakan yang lebih jauh.

Keberanian tidak sama dengan nekat atau asal maju, yang tanpa memahami dan mengetahui permasalahan secara utuh, tapi keberanian ialah sebuah sikap atau karakter yang didukung oleh pengetahuan yang mumpuni. Bila keberanian bermakna nekat atau asal berani, maka sesungguhnya itu adalah kebutaan dalam memaknai keberanian secara benar dan tepat. Keberanian harus memiliki landasan, manfaat, tujuan, dan perencanaan yang matang. Kemudian, sejatinya keberanian diikuti dengan keinginan untuk terus belajar dan mencari kebenaran, bukan pembenaran.

Kembali pada studi kasus mahasiswa di atas, apa yang dinyatakan dalam kutipannya adalah lebih kepada nekat, bukan keberanian. Karena disana ada pemisahan antara keberanian dan pengetahuan.

Gordon (1994) mendefinisikan pengetahuan (knowledge) sebagai dasar kebenaran atau fakta yang harus diketahui dan diterapkan dalam pekerjaan. Selanjutnya menurut Nadler (1986),  pengetahuan adalah proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar, tujuannya untuk mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan.

Merujuk kepada beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah tindakan keberanian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.

Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.

Begitu juga dengan aksi demonstrasi mahasiswa, modal pengetahuan seharusnya menjadi basis atau modal utama. Aksi demonstrasi seharusnya menjadi aksi yang bertujuan positif menyuarakan pesan dan dilakukan dengan metode-metode yang juga kreatif.

Aksi demonstrasi mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian adalah, sebuah demonstrasi yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang dinamis. Bukan demonstrasi anarkis nekat yang kuno dan klasik, serta tidak relevan dengan kebutuhan zaman.

Paguyuban Daerah, Demi UI yang Meng-Indonesia


Perguruan tinggi tertua di tanah air, Universitas Indonesia (UI), ialah awal mula kebangkitan pendidikan tinggi di negeri ini. Ribuan anak bangsa pembelajar dari seluruh pelosok negeri berkumpul menuntut ilmu di kampus perjuangan tersebut. Mulai dari terbarat Indonesia, hingga paling timur, menyatu dalam almamater kuning benderang.

Mahasiswa dari beragam etnik dari hampir seluruh provinsi di Indonesia, silih berganti sejak orde baru telah menyandang status sebagai mahasiswa UI. Meskipun sebagian besar mahasiswa masih didominasi oleh asal DKI Jakarta, namun mahasiswa dari daerah lainnya pun setiap tahun terus mengalami peningkatan jumlah. Data UI pada Tahun 2008 mencatat bahwa 52,71 % mahasiswa baru S1 Reguler UI berasal dari luar DKI Jakarta. Meningkat jauh dari tahun 2000 yang hanya 20,23 %. Pertumbuhan ini pun membuat UI semakin men-Indonesia, keberagaman dalam intelektualitas.

Sebuah konsekuensi logis, ketika jumlah anak daerah (panggilan akrab untuk mahasiswa asal luar Jabodetabek) di UI semakin meningkat, maka mulai muncullah kelompok-kelompok persaudaraan satu kampung halaman. Dalam perkembangannya kemudian kelompok ini akrab disebut “Paguyuban Daerah”.

Menurut Sularso Sopater, Paguyuban artinya ialah perkumpulan yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan. Benar adanya, hal inilah yang terlihat dari kemunculan sejumlah paguyuban daerah di UI. Semangat kekeluargaan menjadi landasan utama dari perkumpulan ini. Hal ini dibuktikan oleh salah satu paguyuban daerah tertua di UI yaitu adalah Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) UI. Kumpulan mahasiswa bersuku Minangkabau atau berasal dari Sumatera Barat ini konon menurut sumber sejarahnya resmi berdiri semenjak tahun 1983 dan hingga kini masih berdiri kokoh serta dinamis.

Saat ini, berdasarkan data dari Paguyuban Nusantara UI terdapat 53 Paguyuban Daerah di UI. Mulai dari Aceh hingga Papua, semua memiliki paguyuban daerah masing-masing. Meski berawal dengan semangat kekeluargaan yang bertujuan untuk saling membantu antar sesama, namun dalam perkembangannya sejumlah paguyuban daerah ini mulai mengembangkan jenis kegiatan-kegiatannya.

Meningkatnya  intensitas pertemuan kultural mereka mulai menyebabkan muncunya sejumlah ide-ide kegiatan sosial. Kegiatannya sangat beragam, mulai dari roadshow pencerdasan pendidikan ke sejumlah siswa SMA/sederajat, try out SNMPTN, pelatihan kepemimpinan, bedah kampus, bimbel gratis, festifal budaya, dan banyak lagi jenis kegiatan lainnya yang memberi kebermanfaatan bagi masyarakat. Fokus masyarakat mereka adalah yang berada di daerah asal mereka masing-masing.

Paguyuban daerah, dari tahun ke tahunnya semakin berkembang pesat. Baik dari kuantitas, maupun kualitasnya secara organisasi dan ragam manfaat kegiatan-kegiatannya. Namun satu fakta yang cukup aneh disini, hingga detik ini keberadaan paguyuban daerah di UI masih belum legal formal diakui sebagai lembaga kemahasiswaan. Direktorat Kemahasiswaan yang berurusan dengan hal ini disini menganggap bahwa paguyuban daerah adalah organ ekstra kampus yang berarti tidak berada di bawah lindungan UI atau keberadaannya di UI dianggap ilegal.

Begitulah nasib si paguyuban daerah yang lahir dari rahim UI dan telah membesarkan nama UI di seantero Indonesia, namun jangankan balas jasa, bahkan ia tidak dianggap oleh si pemilik rahim. Paguyuban daerah pun menjadi bagaikan kontradiksi dongeng Maling Kundang, sang anak didurhakai oleh ibunya.

Dinamika Perjuangan

Fakta menyakitkan yang diterima oleh paguyuban daerah terkait status ilegalnya memiliki sejumlah cerita mengharukan. Bagaimana dinamika yang mereka alami menjadi bagian dari perjuangan mereka dalam tetap berkontribusi membangun Indonesia melalui daerah masing-masing.

Selama ini banyak paguyuban daerah yang merasa dikhianati oleh banyak pihak, baik dari sesama lembaga mahasiswa maupun para birokrat di Rektorat UI. Keberadaan mereka diperlakukan seperti anak tiri. Mereka dianggap sebagai organ ekstra kampus yang mengganggu.

Desember 2010, sama seperti tahun-tahun sebelumnya rektorat memanggil semua paguyuban daerah untuk datang ke rektorat mendengarkan sosialisasi tentang penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru UI dan juga dibagikan ketika itu sejumlah brosur SIMAK UI dalam jumlah yang sangat terbatas.

Secara tersirat kegiatan itu bertujuan untuk meminta bantuan kepada sejumlah paguyuban daerah untuk sosialisasi UI serta jalur masuknya. Sungguh mulia mereka para paguyuban daerah kembali dari tempat itu dengan ikhlas dalam kondisi brosur dan supporting system kegiatan yang sangat terbatas. Rektorat tidak pernah peduli tentang hal ini.

Mereka pun kembali ke daerah masing-masing dan menghabiskan waktu libur Januari untuk mengabdikan diri mereka dengan sejumlah kegiatan yang pada intinya sangat membesarkan nama UI di mata anak-anak Indonesia. Meskipun dukungan untuk acara sangat terbatas namun mereka tidak kehilangan semangat berjuang demi melihat senyum optimis adik-adik mereka menggapai masa depan yang lebih baik.

Ya begitulah sebulan waktu libur mereka habis tanpa terasa bersama keringat dan suara yang telah serak menyuarakan pendidikan berkualitas nan diharapkan masih berkeadilan. Terkadang sebagian orang tua mereka tidak mampu memahami pekerjaan luhur anak-anak mereka sehingga alhasil kemarahan pun mereka terima sepulang dari pekerjaan luhur itu. Tapi meskipun demikian mereka tetap bersyukur masih mendapatkan perhatian dari orang tua mereka.

Liburan telah usai dan mereka pun kembali ke kampus yang dulu rektoratnya meminta bantuan kepada mereka. Keikhlasan membuat mereka tidak terlalu mempermasalahkan ketidak-pedulian rektorat kepada mereka meskipun permohonan telah dikabulkan. Tidak masalah, mereka meyakini banyak pekerjaan lain yang lebih penting dan mendesak hingga rektorat lupa akan sekedar ucapan terima kasih.

Sekian bulan berlalu hingga waktu mendekati masa penerimaan mahasiswa baru (maba). Dalam menyambut masa penerimaan maba, paguyuban daerah yang dulunya memberikan informasi secara langsung kepada para calon mahasiswa tentu merasa berkewajiban melanjutkan pekerjaannya. Dalam hal ini paguyuban daerah sepenuhnya menyadari bahwa dalam tindak advokasi mereka harus berkoordinasi dengan pihak Kesma BEM. Koordinasi pun dijalankan dan semua berjalan lancar sampai pada akhirnya terjadi kesalahan sistem informasi yang cukup fatal terkait pembayaran BOP B pada website penerimaan yang dikelola rektorat dan menimbulkan sejumlah pertanyaan dari para maba.

Secara kultural para maba lebih dekat dengan seniornya satu daerah yang dulunya memberikan informasi di Januari. Maka pertanyaan pun pertama kali diajukan kepada para paguyuban daerah. Karena keadaan yang mendesak dan pihak Kesma BEM pun tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut akhirnya salah satu paguyuban daerah mencoba bertanya langsung kepada bagian kemahasiswaan di PPMT dan jawaban yang diterima sungguh menampar keikhlasan yang dibina paguyuban daerah. “Karena kamu dari paguyuban daerah maka saya tidak bisa memberikan jawaban”. Jawaban ini akhirnya menyebabkan kerugian pun diderita oleh mahasiswa dari paguyuban daerah tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, tamparan lain juga sebenarnya telah menghampiri. Fasilitas Gazebo Asrama UI yang dulunya merupakan satu-satunya tempat favorit bagi paguyuban daerah untuk melakukan sejumlah kegiatan konsolidasi sekarang tidak lagi dapat digunakan. Peraturan baru dari Manajer Direktorat Fasilitas Umum (Dirfasum) yang membawahi asrama melarang tempat tersebut digunakan sebagai tempat kegiatan terutama oleh paguyuban daerah. Sedangkan untuk meminjam ruangan di UI dikenakan biaya mahal disamakan dengan harga peminjaman dari pihak eksternal kampus.

Pergerakan paguyuban daerah terus menerus dikekang dan dibatasi. Tamparan demi tamparan terus melecut semangat juang mereka. Mereka ikhlas tetap berjuang tanpa pamrih, meski sang ibu, UI terus mendurhakai.

Paguyuban Nusantara

Tahun 2007, seiring dengan kisruhnya isu biaya operasional pendidikan (BOP) di UI, terjadilah pergolakan aksi kontra dari banyak mahasiswa. Tak terkecuali sejumlah paguyuban daerah ketika itu yang melakukan aksi demontsrasi bersama mengecam kebijakan kenaikan BOP tersebut. Dalam aksi tersebut muncullah nama “Forum Nusantara” yang mewakili kumpulan beberapa paguyuban daerah tersebut.

Juni 2010, semangat kesatuan paguyuban daerah tersebut dilanjutkan bersamaan dengan keinginan adanya komunikasi antar begitu banyaknya paguyuban daerah yang ada di UI. Imami UI mulai menginisiasi kegiatan welcome maba bersama dengan 18 paguyuban daerah lainnya. Kegiatan ini adalah penyambutan mahasiswa baru yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan daftar ulang maba. Kegiatan inilah yang akhirnya menjadi tonggak kelahiran forum komunikasi yang namanya terinspirasi dari semangat di tahun 2007 dan lalu kemudian disesuaikan sehingga menjadi “Paguyuban Nusantara UI”.

Paguyuban Nusantara UI salah satu tujuannya yaitu berupaya untuk memperjuangkan keadilan akan persamaan hak dan kewajiban paguyuban daerah selaku lembaga mahasiswa. Maman Abdurrahman, Ketua BEM UI 2011 yang juga besar di Makabon (Paguyuban Daerah Cirebon) menyebut paguyuban daerah sebagai lembaga mahasiswa yang lahir dan berkembang dari rahim UI dan ia sangat berbeda organ ekstra kampus lainnya yang lahir di luar UI.

Semangat menyukseskan akselerasi otonomi daerah sebagai salah satu pilar kebangkitan bangsa merupakan visi dari Paguyuban Nusantara untuk Indonesia. Semangat tersebut justru semakin kuat seiring badai yang menerpa perjuangan mereka. Bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan kebudayaan merupakan sorot utama dalam pergerakan tersebut. Sama sekali bukan gerakan separatis berpaham primordial, namun mereka bicara tentang sinergisasi pergerakan. Bagaimana mengoptimalkan dan menyinergikan potensi yang dimiliki oleh setiap paguyuban daerah yang ada di UI sehingga mampu memberi kebermanfaatan yang optimal bagi UI dan Indonesia.

Begitu banyak potensi yang sesungguhnya dimiliki oleh paguyuban-paguyuban daerah yang terus digali oleh Paguyuban Nusantara. UI dengan visinya menjadi World Class Research University tampaknya begitu ambisius meraih hal ini sehingga lupa akan nama Negara yang disandangnya. Universitas Indonesia sudah seharusnya benar-benar memberikan kebermanfaatan yang meng-Indonesia karena fondasi Indonesia ada di daerah-daerah.

Paguyuban Daerah di Mata Para Petinggi UI

Juni 2011, Paguyuban Nusantara menyelenggarakan diskusi umum bersama tiga orang tokoh mahasiswa di UI ketika itu. Tiga orang tersebut adalah Andreas Sanjaya (Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa), Eko Aditya (Ketua DPM UI), dan Maman Abdurrahman (Ketua BEM UI).

Diskusi yang bertemakan tentang ‘Urgensi  dan Status Paguyuban Daerah di UI’ dihadiri oleh sejumlah paguyuban daerah yaitu Sintesa (Tegal), Sasambo (NTB), Imami (Sumbar), Saimala (Lampung), Smart (Garut), Urban (Bandung), dan Forkoma Banten.

Diskusi ini dpicu oleh forum Paguyuban Nusantara sebelumnya yang membahas tentang masa depan mereka terkait status legal formal dari UI. Terkait hal inilah akhirnya dibutuhkan perspektif dari tiga tokoh di atas.

Tiga poin penjabaran dari tema diskusi ketika itu yaitu mengenai urgensi paguyuban daerah, bentuk pola hubungannya dengan kembaga kemahasiswaan lain di UI, dan bentuk serta status dari paguyuban daerah tersebut.

Pada kesempatan pertama Andrea Sanjaya yang akrab disapa Jay menyatakan bahwa terkait urgensi ada dua hal yang berseberangan yang dipahami oleh dua pihak yang sama-sama berasal dari UI. Direktorat kemahasiswaan menganggap paguyuban daerah adalah sebagai tools yang positif membantu kinerja UI, sementara di sisi lain Direktorat Fasilitas Umum (Dirfasum) menyatakan bahwa paguyuban daerah hanya akan menimbulkan pengkotak-kotakan pergaulan dan memunculkan arogansi antar daerah di UI.

Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tidak adanya titik temu dalam permasalahan ini.  Jay sendiri menyatakan bahwa ia sendiri cukup mendukung kehadiran Paguyuban Nusantara sebagai suatu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UI.

Selanjutnya dalam pemaparan kedua Eko Aditya menyatakan bahwa ia sendiri masih belum cukup jelas apa peranan sentral dari paguyuban daerah. Ia mengkhawatirkan terjadinya tumpang tindih kegiatan dalam hal advokasi karena untuk hal tersebut sudah dikelola oleh pihak BEM. Menurutnya paguyuban daerah memiliki titik terberat hanya di bidang kekeluargaan. Kemudian Eko juga menyatakan bahwa dalam UUD IKM UI paguyuban daerah belumlah diakui atau dianggap sama dengan organ ekstra kampus.

“Saya cukup merekomendasikan sebaiknya seluruh paguyuban daerah cukup dalam satu wadah Paguyuban Nusantara. Untuk dapat menjadi UKM di UI saat ini aturannya dikelola oleh pihak UI bukan lagi sepenuhnya oleh DPM”, ujar Eko menjelaskan. Eko yang besar di kawasan Jabodetabek ini kurang begitu paham akan dinamika dan urgensi keberadaan paguyuban daerah.

Setelah itu pemaparan ketiga pun langsung dilanjutkan oleh Maman Abdurrahman. Maman menyatakan bahwa paguyuban daerah memiliki peranan vital bagi para mahasiswa daerah yaitu membentuk karakter mereka.

“Paguyuban daerahlah yang bertanggung jawab menjaga mereka dari awal masuk hingga kelak mereka tamat. Pola hubungan yang seharusnya dibangun oleh paguyuban daerah dengan lembaga kemahasiswaan lain yaitu sinergisasi. Untuk bentuk saya setuju berupa Paguyuban Nusantara karena hal ini mampu meruntuhkan arogansi daerah yang dicemaskan oleh salah Dirfasum. Namun sebelum itu sebaiknya diadakan terlebih dahulu revitalisasi struktur, memperjelas bentuk atau format organisasi, dan mencari diferensiasi yang jelas dan kuat agar tidak tumpang tindih dengan lembaga kemahasiswaan lain yang telah ada”, tegas Maman.

Dari tiga tokoh mahasiswa di atas, terlihat bahwa Maman dan Jay terlihat positif mendukung gerakan yang dilakukan oleh paguyuban daerah dan juga mendukung pendirian Paguyuban Nusantara. Namun Eko terlihat masih pesimis melihat potensi paguyuban daerah. Semangat optimisme para paguyuban daerah belum mampu dipahami oleh Eko.

Selanjutnya dalam kesempatan lain, Badan Otonom Economica, BOE (UKM Pers di FE UI) pada Agustus 2011 juga mengangkat isu paguyuban daerah sebagai liputan utama mereka. BOE sengaja mengangkatnya bersamaan dengan momentum kedatangan maba 2011.

Hasil wawancara BOE dengan Kamarudin selaku Manager Kemahasiswaan UI memperlihatkan sikap negatif terhadap keberadaan paguyuban daerah. Kamarudin menanggapi keberadaan paguyuban daerah sebagai sesuatu hal yang lumrah karena sesama anak daerah. Ia tidak tahu banyak tentang kegiatan-kegiatan sosial paguyuban daerah sehingga ia pun tidak paham akan potensi kontribusi yang dimiliki paguyuban daerah.

Terkait status illegal paguyuban daerah, Kamarudin menyatakan bahwa ada SK Rektor terkait tata kelola ormawa (organisasi mahasiswa) dan di dalamnya tidak mengatur tentang keberadaan paguyuban daerah. Kesimpulan dari wawancara tersebut menyatakan bahwa Kamarudin tidak peduli akan nasib yang dialami oleh paguyuban daerah.

Beberapa isu lain berhembus, bahwa penolakan Direktorat Kemahasiswaan atas paguyuban daerah ini juga terkait dengan dana kemahasiswaan. Jumlah paguyuban daerah yang cukup banyak dirasa cukup berat untuk didanai semuanya. Namun paguyuban daerah disini menjawab dengan solusi bersatu dalam Paguyuban Nusantara, sehingga tentu dananya cukup melalui satu pintu. Ketika hal ini dinyatakan pada Kamarudin, ia tak memberi tanggapan akan hal ini.

Berikutnya, BOE juga mewawancarai Donanta selaku Manager Fasilitas Umum. Kebijakan kontroversial yang dikeluarkannya terkait pelarangan kegiatan organisasi apapun di Asrama UI mengekang ruang gerak paguyuban daerah. Paguyuban daerah yang selama ini biasa meminjam fasilitas Gazebo Asrama UI untuk tempat menyelenggarakan kegiatan pun menjadi kehilangan tempat.

Donanta menyatakan bahwa ia memang tidak setuju dengan keberadaan paguyuban daerah di UI. Menurutnya hal ini menimbulkan semangat kedaerah yang berpotensi memecah persatuan. Hal ini membuat mahasiswa tidak berkembang karena bergaul dengan teman satu daerahnya. Padahal selama ini, tidak pernah sekalipun terjadi konflik antar paguyuban daerah. Paguyuban daerah pun menanggapi bahwa mereka tidak sebodoh itu untuk memicu isu SARA seperti yang dikhawatirkan Donanta. Kekhawatiran Donanta sebenarnya juga terjawab dengan kehadiran Paguyuban Nusantara yang melebur sekat kedaerahan.

Begitulah pandangan dua orang pemangku kebijakan di UI terhadap keberadaan paguyuban daerah. Tidak satu pun dari mereka yang sadar akan potensi dan apa yang telah dilakukan oleh paguyuban daerah untuk UI dan bahkan Indonesia selama ini. Keduanya masih belum mampu berpikir out of the box. Belum jeli mengamati potensi dibalik ketakutan-ketakutan dan hal yang mereka anggap kecil, meski sebenaranya bernilai besar.

Menanti Tangan dari Langit

Tahun 2012, beberapa tokoh lama penggiat perjuangan paguyuban daerah pun mulai surut dikarenakan pergantian kepengurusan dan tanggung jawab lain yang harus dipikulnya. Kaderisasi pun dilakukan dan sekarang perjuangan dilanjutkan oleh pemuda-pemuda baru. Sebagian besar mereka adalah para maba, tahun pertama dan kedua. Regenerasi kepengurusan di paguyuban daerah berbeda dengan rata-rata lembaga mahasiswa lainnya di UI. Pengurus inti di paguyuban daerah biasanya adalah para mahasiswa tahun pertama dan kedua. Merekalah berkembang lebih cepat dibanding mahasiswa lainnya yang baru menjadi pengurus inti di lembaga mahasiswa lainnya pada tahun ketiga atau keempat.

Ya itulah paguyuban daerah berisikan maba-maba pejuang. Kegiatan yang mereka perjuangkan lebih dari sekedar lingkup kampus UI yang 320 hektar. Namun mobilitas gerakan mereka menjangkau kota kabupaten hingga provinsi se Indonesia. Dengan modal keberanian dan semangat muda, mereka telah sukses menginspirasi banyak anak Indonesia di pelosok-pelosok daerah mereka untuk lebih membuka mata akan pentingnya pendidikan berkualitas.

Berkat pengalaman berjuang yang mereka peroleh di daerah, mereka mencoba membagi pengalaman dan ide-ide tersebut ke teman-teman seperjuangan mereka sesama paguyuban daerah. Inilah yang akhirnya menyulut semangat bersatu dalam payung Paguyuban Nusantara. Forum demi forum terus melahirkan sejumlah ide-ide segar mengembangkan dinamika kontribusi mereka. Hingga sampai pada tuntutan status legal formal dari UI. Para maba ini tentu tidak terlalu paham akan konstitusi yang ada di UI yang menjadi penghalang mereka dalam meraih apa yang mereka perjuangkan. Namun begitu, mereka terus belajar dan berusaha, dalam semangat meng-Indonesia.

Tantangan yang kini dihadapi oleh Paguyuban Nusantara dalam memperjuangkan nasib paguyuban daerah menjadi semakin berat. Mengingat begitu banyaknya isu permasalahan internal kampus yang lain yang juga membesar di UI. Sehingganya isu paguyuban daerah ini pun menjadi tenggelam.

Ditambah lagi, kondisi internal antar paguyuban daerah pun juga mengalami beberapa perbedaan pendapat. Beberapa paguyuban daerah yang sudah berumur relatif tua dan telah mengalami berbagai dinamika perjuangan, menyetujui untuk penuntutan status legal formal  pengakuan resmi dari UI. Namun sejumlah paguyuban lain yang relatif masih muda merasa belum terlalu membutuhkan hal tersebut. Hal ini wajar karena memang di fase awal pembentukan paguyuban daerah, nilai yan g mereka anut masih sebatas fungsi kekeluargaan, belum sampai ke tahap kontribusi ke luar untuk masyarakat.

Segala daya upaya terus dilakukan oleh paguyuban daerah seiring tantangan yang beraneka ragam. Bottom up, perjuangan dari bawah, itulah yang mereka lakukan selama ini mencoba meraih simpati dan membuka hati si pemangku kebijakan untuk mampu sadar akan apa yang mereka perjuangkan. Namun hingga detik ini, hati itu masih belum terketuk, belum ada satupun kebijakan dari atas yang member harapan atas cita-cita mulia mereka.

Dari tahun 2007 hingga 2012, kepemimpinan Rektor Gumilar tidak memberi secercah harapan apapun bagi pengembangan potensi paguyuban daerah. Keberadaannya dimanfaatkan dengan sangat pragmatis, hanya demi promosi UI di seantero Indonesia. Hal yang terakhir ini pun bertepuk sebelah tangan. Tidak ada apresiasi yang diberikan UI terhadap sumbangsih ikhlas yang diberikan paguyuban daerah. Yang ada justru ruang geraknya semakin dikekang dan dibatasi melalui kebijakan Dirfasum yang melarang paguyuban daerah menggunakan apapun fasilitas kampus.

Agustus 2012 ini, genta demokrasi kembali digaungkan. Masa jabatan rektor saat ini telah usai dan saatnya memilih pemimpin baru. Doa dari sejumlah paguyuban daerah adalah semoga pemimpin berikutnya dapat menyambut perjuangan mereka selama ini dan konkrit memberi solusi kebijakan terkait keberadaan dan potensi paguyuban daerah. Kebijakan tersebut akan bagaikan tangan dari langit yang akan mampu menyempurnakan perjuangan paguyuban daerah selama ini.

Saatnya UI Meng-Indonesia

Sekali lagi, ada 53 paguyuban daerah di UI saat dari Aceh hingga Papua, dan jumlah ini akan terus bertambah seiring gencarnya gerakan mereka. Kegiatan mereka selama ini adalah memberi kebermanfaatan terutama di bidang pendidikan di daerah mereka masing-masing. Jika UI mampu mengembangkan serta memberdayakan mereka, maka akan mampu benar-benar UI memberi kebermanfaatan yang meng-Indonesia.

Mereka adalah calon pemimpin masa depan bangsa, dan akan sangat tepat jika mereka memulai dari membangun daerah mereka masing-masing. Saat ini mereka telah berpikir untuk menyukseskan akselerasi pembangunan di daerah mereka masing-masing. Ini adalah sebuah hal positif yang patut didukung. Saat ini otonomi daerah di Indonesia masih terbilang gagal, mengingat menjamurnya kasus korupsi dan kebobrokan birokrasi. Para mahasiswa UI yang berjuang di paguyuban daerah ini bisa menjadi jawaban di masa depan.

Jumlah paguyuban daerah yang banyak, bukan lagi alas an bagi UI untuk tidak mampu mengurus mereka. Karena kehadiran Paguyuban Nusantara telah mencoba menyatukan mereka dengan visi untuk UI dan Indonesia. Maka dari itu, sudah saatnya sekarang UI meng-Indonesia. Sudah begitu banyak prestasi internasional yang telah diraih UI, namun di lain sisi minim sekali prestasi nasional. Meng-Indonesia bersama sejumlah paguyuban daerah yang ada saat ini, sungguh akan menjadi sebuah prestasi nasional yang tak ternilai. UI adalah Universitas “Indonesia”, bukan Universitas Internasional.


Esai ini dibukukan dalam Buku "Membangun di Atas Puing Integritas : Belajar dari Univ Indonesia", 2012.