Showing posts with label Islam. Show all posts
Showing posts with label Islam. Show all posts

Friday, August 5, 2016

Titik temu toleransi




Sontak beberapa waktu lalu di negeri mayoritas muslim, isu toleransi dan minoritas heboh bersama kisruh perda syariah yang mencuat setelah penggusuran warung yang buka di siang hari saat Ramadan di Serang. Sementara itu jauh di negara mayoritas Kristen, umat Yahudi, Kristen dan Islam mengadakan buka puasa bersama di sebuah sinagog di London. Di sejumlah negeri mayoritas non-muslim lainnya pun, sejumlah pihak tengah mengembangkan tempat ibadah inklusif bagi semua agama. Inilah dinamika toleransi mayoritas minoritas yang sedang berkembang di berbagai penjuru dunia.

Ada juga dinamika berbeda di Indonesia terkait tema tersebut yang jarang diangkat. Cerita itu datang dari Bali, Island of Gods, dimana muslim menjadi minoritas. Data 2015 menyebutkan muslim di Bali berjumlah 520.244 jiwa atau setara dengan 13,37 persen dari total penduduk Bali yang mayoritas Hindu. Namun dari jumlah tersebut, sebagian adalah pendatang, hal ini membuat jumlah muslim yang menghabiskan Ramadan di Bali semakin sedikit, karena sebagian memilih untuk berpuasa di kampung halaman. Hal ini mungkin juga disebabkan sedikitnya jumlah masjid di Bali, pada 2013 tercatat hanya ada 213 Masjid.

Banyak keadaan yang membuat kondisi berpuasa dan beribadah di Ramadan menjadi lebih menantang bagi muslim minoritas di Bali. Dimulai dari tantangan makanan, sebagian makanan yang dijual di warung dan restoran di Bali tidak halal, bahkan beberapa yang mungkin terlihat halal pun, masih diragukan kehalalannya. Hal ini membuat para muslim mungkin agak kesulitan untuk akses makanan saat sahur dan berbuka. Terutama saat sahur, tidak banyak warung makan yang buka pada jam ini, kecuali di daerah tertentu yang mayoritas muslim.

Soal makanan tidak berhenti sampai disana, sejumlah tempat makan yang tetap beroperasi seperti biasa di Ramadan juga menjadi godaan lain bagi muslim yang berpuasa. Hal ini menjadi salah satu dari kondisi lingkungan sekitar yang menjadi tantangan berpuasa. Kemudian juga situasi di sebagian besar kantor-kantor atau lokasi tempat kerja yang juga tak ubahnya seperti hari biasa, rekan kerja yang tetap makan minum dan tidak ada perubahan jam kerja, menjadi tekanan lain bagi para muslim. Lalu, tata cara berpakaian orang-orang dan para turis yang tentu sangat berbeda dengan di Aceh atau Sumatera Barat, melengkapi tantangan berpuasa bagi para muslim.

Usai berbuka puasa, tantangan belum selesai. Sebagian muslim minoritas yang tinggal jauh dari masjid masih harus menempuh perjalanan jauh untuk tarawih. Jumlah masjid yang terbatas membuat lokasinya pun tidak tersebar cukup merata di seluruh wilayah. Sesampainya di masjid, mereka masih dihadapkan pada keterbatasan infrastruktur. Sebagian masjid tidak cukup besar untuk menampung jumlah jamaah. Alhasil, sebagian muslim harus shalat di halaman dan jalan depan masjid, tak jarang di tengah shalat hujan datang dan membubarkan sebagian orang yang tidak dipayungi tenda.

Jika di daerah mayoritas muslim, mereka familiar dengan azan, bedug, sirine atau penanda lainnya untuk saat imsak dan buka puasa, maka di Bali hal-hal tersebut sangat sulit ditemui. Lengkaplah sudah tantangan berpuasa dan ibadah Ramadan bagi para muslim minoritas yang sebelumnya terbiasa dengan situasi mayoritas muslim.

Dibalik semua keadaan di atas, justru disanalah tantangan berpuasa yang sebenarnya dengan tingkat ujian dan godaan melatih hawa nafsu yang lebih berat. Kemenangan berpuasa disini akan memberi sensasi yang lebih memuaskan dan mampu menciptakan insan yang lebih kuat setelah Ramadan. Keadaan minoritas memberikan daya juang yang lebih besar bagi umat untuk beragama. Namun disamping itu, masyarakat Bali sendiri sesungguhnya juga bertoleransi terhadap muslim yang berpuasa dan ibadah di Ramadan. Dalam ajaran Hindu ada asas Tat Twam Asi yang berarti “aku adalah kamu dan kamu adalah aku”. Ajaran ini diamalkan salah satunya melalui “Tradisi Ngejot” yang merupakan tradisi memberikan makanan kepada tetangga yang berbeda agama sebagai tanda kehidupan yang rukun dalam bertetangga. 

Penduduk Islam di Bali yang berasal dari luar Bali harusnya dapat mengambil pelajaran ini untuk lebih memahami toleransi dan menyampaikannya pada kerabat di daerah mayoritas Islam. Kemudian ini juga menjadi refleksi bagi minoritas lain di daerah mayoritas islam untuk tetap berjuang dalam mengamalkan ajaran agama dengan tetap memperhatikan kaidah toleransi.

Diskursus ini akhirnya akan berujung pada mencari garis tengah atau titik berat dari toleransi itu sendiri. Ketika suatu kaum mayoritas terlalu bertoleransi, maka ini dapat meringankan perjuangan beragama kaum minoritas, hal ini tidak terlalu terjadi di Indonesia. Yang terjadi di Indonesia adalah sebagian kaum mayoritas yang menguasai pemerintah, menggunakan kekuatannya untuk membuat toleransi terhadap yang berpuasa dengan mekanisme ‘penutupan’ tantangan-tantangan berpuasa seperti tempat makan, pakaian dan lain lain.

Hal ini dicoba perbaiki oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menyerukan masyarakat untuk menjaga sikap saling toleransi pada Ramadan, “Jadi harus ada toleransi, saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada pada pihak lain. Umat beragama apapun ketika sedang menjalankan ibadah, kita sepantasnya menghormati yang sedang beribadah. Tapi yang sedang menjalankan ibadah pun juga akan sangat baik kalau juga bisa menghargai dan menghormati yang tidak sedang berpuasa".

Ketiadaan toleransi dapat memicu konflik, tendensi kurang dihargai dan akibat buruk lain. Maka kemudian harga beragama dan toleransi menjadi penting untuk dicarikan titik temunya. Lukman Hakim mempertemukannya dalam istilah ‘saling toleransi’. Lebih sederhana, kita mungkin bisa menemukannya dalam skala toleransi lebih kecil. Di Bali, muslim minoritas menghormati semua saudara-saudaranya ragam agama hingga yang seiman dengan beragam tampilan fisik, mulai dari yang gondrong, bertato, rambut warna, bertindik, dan lainnya, semua berhak untuk beribadah dan disambut kedatangannya di Island of Gods.

God belongs to everyone

Tulisan ini dimuat di Selasar.com

Tuesday, August 4, 2015

MUI edicts as a regulation approach



The edicts


Over the past decades, MUI (The Indonesian Ulema Council) has revealed about 90 edicts. The latest one is one of the most controversial edict, they talked about Indonesia’s health insurance.

“The implementation of Indonesia’s health insurance scheme delivered by BPJS Kesehatan (the Health Care and Social Security Agency) is inconsistent with sharia principles, especially the insurance components which are related to agreement among parties. This program contains elements of speculation, gambling and usury. We recommended that the government create a sharia BPJS,” the MUI said in a document published on its website, quoted by thejakartapost.com.

Said Aqil Siradj, chairman of Nahdlatul Ulama (NU), the biggest Islamic organization in Indonesia, criticized the MUI, claiming that the council issued edicts easily.

Easy easy peasy lemon squeezy folks, everytime MUI releases an edict, how many people obey it? Do they care? Even some muslims say ‘who cares?’. How far muslims care about MUI edicts? not much. Then why?

Thursday, May 1, 2014

Culture iceburg



1. Jaman pemilu, hari raya demokrasi, masi banyak yang berantem karena 'beda', perbedaan..masi pada sensi #key

2. Kenapa sih masi pada belom dewasa ngadepin perbedaan? Katanya bhineka tunggal ika, negeri banyak budaya, tapi masi sering 'ny(s)ara' #key

3. Coba deh, pada tanya balik ke diri masing masing. Mestinya perbedaan adalah rahmat?. Eits pasti ada yang berontak #key

Tuesday, November 26, 2013

Thanks-Giving-Thanks

Food Bank, one of subject in 'thanks-giving-thanks' 

In this November 28, americans celebrate thanksgiving day. Happiness spreads everywhere, across US. From the streets, shops, tourism sites, houses, companies, to the offices. Many kind of activities are done by americans ;  travelling, go to shop and hunting turkey, opening stores longer than the usual day, making countdown apps for gadgets, holding food drive for their workers by the store, enjoy Black Friday, up to preparing for Obamacare.

Everyone does thanksgiving, define it by their own way. For example, a group of vegetarian makes their unique thanksgiving.

All about sharing and caring, by various way.

Saturday, November 9, 2013

Tu(h)an, Kau dicari!


“Selamat Tahun Baru Islam, Semoga....”

Ucapan semacam di atas bertebaran beberapa hari lalu di negeri-negeri berwarga muslim. Sebagian muslim merayakan dengan banyak macam selebrasi, kurang banyak refleksi. Untuk melengkapinya, mari sedikit kita tambah refleksi.

1 Muharram, beberapa hari yang lalu, 1435 tahun sudah Islam diturunkan melalui Muhammad SAW, Pemuda Arab yang menurut Michael H. Hart (sejarahwan dan Ilmuwan Astrofisika Amerika Serikat) dalam bukunya “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” disebutkan menjadi urutan pertama, orang paling berpengaruh di dunia.

Friday, July 26, 2013

Ramadhan untuk Indonesia

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQsvQEafE56BEtMPuuz7xaiypl3eC9yxO_H8U5vwH1IrGWtN49z

Islam adalah agama dengan setiap jenis ibadahnya selalu memiliki dimensi sosial. Mulai dari ber-syahadat, sholat, puasa, hingga berbagai jenis ibadah lainnya.

Dalam syahadat, ikrar meng-esa-kan Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Tuhan, bertujuan untuk mendorong optimisme individu dalam ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) sehingga kemudian menciptakan peradaban yang adil dan makmur.

Sunday, July 7, 2013

5 Reasons Why Young People Become Terrorists

http://i2.cdn.turner.com/cnn/2009/HEALTH/04/16/children.fears/art.teen.behavior.gi.jpg

What causes a young person to become a terrorist?

 They are looking for an identity.

Many young people often join terrorist organizations because they are looking for an identity for themselves. A 2010 study from the United States Institute of Peace found that among “2,032 ‘foreign fighters’” who joined al-Qaeda, being a so-called “identity seeker” was the largest reason to join a terrorist organization.
Like many young college students, high school students and adolescents, potential terrorists are looking to answer the question “Who am I?” Having a traumatic experience as a youth in particular is a motivating factor in deciding to become a terrorist — and terrorist recruiters recognize this.
“The personal pathway model suggests that terrorists came from a selected, at risk population, who have suffered from early damage to their self-esteem,” said psychologist Eric D. Shaw in a 1986 paper.
American-born al-Qaeda spokesman Adam Gadahn, shoe bomber Richard Reid, American Taliban John Walker Lindh, Puerto Rican dirty bomber plotter Joe Padila, and underwear bomber Umar Farouk Abdulmutallab have been cited as prime examples of this.

Sunday, June 30, 2013

PKS Belum (Partai) Islam (?)

http://assets.kompas.com/data/photo/2012/10/01/1105502620X310.jpg

Tsunami politik yang terus menghantam PKS sejak awal tahun ini, terus memicu berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, elit politik, pers, tokoh agama, hingga masyarakat umum.

Diantara sejumlah kalangan yang bereaksi di atas, kalangan yang terdengar paling sadis menelan PKS adalah kalangan pers. Dimulai dari hari pertama LHI diboyong oleh KPK hingga saat ini PKS (akan) didepak dari koalisi setgab, pers tidak henti-hentinya menguliti kemana-mana berbagai prahara tentang partai dengan slogan (lamanya) “Bersih, Peduli, dan Profesional” ini.

Sunday, June 23, 2013

Islam’s Secret Feminists

http://funkyroses.files.wordpress.com/2011/09/indonesia-community.jpg

In an obscure, devoutly Muslim ethnic group in Indonesia, women are revered—and own key land and property. There is report on the world’s largest matrilineal society.

Friday, May 3, 2013

Gerakan Peretas Batas


Sumber : http://di.dk/globalleadershipacademy/newsandarticles/insights/pages/theglobalmanagersboundaryspanningrole.aspx


Jamaah ‘Cilik’ Tabligh

HMI, sebuah akronim yang samar-sayup terdengar dahulunya ketika penulis masih duduk di bangku sekolah menengah. Entah dimana akronim itu pernah didengar, tidak ada ingatan persis yang muncul hingga detik tulisan ini mengalir. Tapi yang pasti nama ini pernah bersuara di pikiran penulis sekitar enam tahun yang lalu.

Tumbuh kembang di lingkungan sekolah umum negeri milik pemerintah, membuat penulis tidak terlalu banyak bersentuhan dengan ragam pemikiran Islam. Meskipun dahulunya ketika masih sekolah dasar (SD) penulis bercita-cita ingin masuk salah satu pondok pesantren di Tanah Jawa dan ternyata kandas karena kekurangan dana, namun cita-cita mempelajari Islam lebih jauh ternyata tidak berlanjut di sekolah menengah karena ditebus oleh godaan masa remaja yang tak kuat menahan serangan globalisasi.

Meskipun demikian, selain di sekolah formal, lingkungan keluarga penulis cukup membantu untuk mengenal Islam secara lebih menurut Kitab Fadhilah Amal yang disusun oleh Muhammad Zakariya al-Kandhlawi. Sejak sekitar usia 10 tahun penulis berkenalan dengan sekumpulan bapak-bapak berjubah dan bersorban yang rutin pengajian setiap kamis malam di sebuah masjid, kemudian jumat paginya mereka berangkat berkelompok-kelompok menyebar ke berbagai daerah untuk ‘berdakwah’ dalam rentang waktu tertentu. Pada akhirnya penulis mengetahui mereka menamakan kelompoknya dengan nama “Jamaah Tabligh”.

Ya penulis ikut bergabung dengan jamaah ini semenjak SD karena ikut bersama ayah yang tertarik untuk bergabung dengan mereka ketika itu. Setiap malam di rumah kami pun berkumpul untuk membaca dan mempelajari kitab yang disebutkan di atas. Kitab tersebut hampir menjadi tuntunan utama mengalahkan Al Qur’an bagi kami ketika itu, karena porsi waktu membacanya yang melebih waktu memahami Al Qur’an. Rutinitas setiap malam ini disebut dengan “Ta’lim”.

Pertemuan pengajian rutin mingguan di masjid (baca : markas) yang telah ditetapkan pun juga penulis ikuti dahulu bersama dengan ayah. Hingga sampai dakwah ke daerah-daerah dengan menginap di mesjid pun penulis lakoni dulu ketika SD. Semangat keislaman ketika itu yang dimiliki penulis terseret sudah ke dalam aliran pemikiran Jamaah Tabligh. Hal ini juga yang mendorong keingingan untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren ketika itu.

Memasuki sekolah menengah pertama hingga tingkat atas, pengetahuan Islam penulis masih didominasi oleh pemikiran Jamaah Tabligh bersama Fadhilah Amal-nya. Meskipun ketika di SMA penulis sempat mengikuti kegiatan organisasi Rohis, namun tetap saja tidak banyak pemikiran keislaman yang menggugah yang didapatan disana dikarenakan memang kualitas sumber daya manusia yang ada disana relatif rendah dan mereka juga bagian dari Jamaah Tabligh.

Sehigganya, hingga SMA usai tidak banyak pergolakan pemikiran Islam yang berkecamuk di pemikirian penulis. HMI pun cuma terdengar samar-sayup, seperti yang dijelaskan di atas.

Pesantren Tarbiyah UI

Awal masuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI), penulis serasa masuk ke dalam area pesantren. Bagaikan kota santri, hampir setiap orang yang ditemui disana terlihat begitu santun dan islami (menurut pemahaman Islam penulis ketika itu). Para lelaki dengan baju koko dan celana bahan yang panjangnya tidak melebihi mata kaki mendominasi mewakili potret lelaki disana. Di sela percakapan mereka, terdengar mereka saling memanggil dengan kata “ane-ente-akhi”. Di sudut yang lain para perempuan berjilbab besar pun juga berkumpul sesamanya dan terdengar panggilan “ukhti”.

Bagi penulis ketika itu, suasana kampus tersebut terasa begitu damai. Maka tak heran juga terdengar sebutan-sebutan dari luar yang menyebut FMIPA UI sebagai pesantren-nya UI. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di FMIPA UI pun tak lepas dari unsur-unsur keislaman, simbol-simbol Islam bertebaran dimana-mana, bahkan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) disana hingga Himpunan setiap jurusan memiliki bidang khusus yang mengurusi kerohanian Islam para anggota organisasinya.

Lingkungan fakultas tersebut sangat Islam, ditanamkan melalui simbol-simbol hingga kegiatan-kegiatan. Namun dibalik semua identitas keislaman fakultas tersebut, ada sebagian kecil kelompok mahasiswa yang kurang senang dengan gaya-gaya keislaman tersebut. Mereka bukan saja non-muslim, namun juga para muslim. Mereka menilai para lelaki dan wanita yang lekat dengan simbol-simbol Islam tersebut bersifat ekslusif. Tidak membumi bersama mereka. bertindak seolah membenci golongan mereka. Hal ini dilihat dari gaya pergaulan para “akhi-ukhti” tersebut yang terbatas di kelompok mereka saja, hingga akhirnya keluar istilah “anak mushola”.

Anak mushola bagi penulis ketika itu tak jauh berbeda dengan para anak rohis di SMA dahulu, mulai dari simbol-simbolnya hingga perilakunya. Penulis menganggap tidak banyak perbedaan, sampai akhirnya penulis membaca sebuah artikel terbitan badan otonom pers mahasiswa di kampus yang mengangkat judul “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia”.

Dalam artikel tersebut akhirnya penulis mengetahui bahwa sekumpulan anak mushola yang ditemui di lingkungan kampus dan juga anak rohis di SMA tersebut memiliki sebuah jejaring besar yang memiliki sebuah visi pergerakan. Dalam artikel itu mereka disebut dengan istilah “anak tarbiyah”. Mereka tersebar hampir di seluruh kampus besar di Indonesia dan bahkan juga SMA-SMA. Dimulai dari organisasi rohis SMA, mereka mulai menanamkan pemahaman keislaman menurut mereka berdasar tokoh-tokoh Hassan Al Banna, Sayyid Quttub, dan Gerakan Ikhwanul Muslimin lainnya yang berawal dari Turki.

Selepas tamat dari SMA, para alumni rohis ini diberikan sebuah surat pengantar untuk diantarkan ke cabang mereka di dekat kampus si anak. Mereka disini telah disebut sebagai kader. Masuk di dunia kampus, mereka pun bergabung di lembaga-lembaga dakwah yang ada di kampus-kampus. Lalu di tahun kedua di kampus, kader-kader terbaik mereka disebar untuk menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan lain dan juga posisi-posisi strategis lain di kampus. Gerakan bawah tanah mereka sangat rapi dan cantik terlihat dari luar.

Dengan menggunakan  sistem mentoring atau liqo’ para kader tarbiyah ini didoktrin tentang Islam menurut pemahaman para tokoh Ikhwanul Muslimin. Mereka berpolitik, hal ini tidak terbantahkan karena dibuktikan dengan kecondongan salah satu partai politik (parpol) kepada golongan mereka.

Sistem dan alur kaderisasi serta pembinaan yang mereka lakukan sangat rapi dan bersih terlihat dari luar. Meskipun di dalamnya mereka bahkan juga menggunakan strategi tokoh boneka untuk dapat memenangkan hukum demokrasi. Bagi mereka, hal ini dihalalkan karena demi kemaslahatan umat menurut mereka.

Usai mengenal dan mengetahui seputar gerakan politik tarbiyah tersebut, penulis mulai sedikit paham dengan ragam warna pergerakan dan pemikiran Islam. Setelah itu juga, penulis sedikit mulai tahu bahwa HMI adalah lawan dari tarbiyah.

Ahmad Wahib

Berawal dari sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan di kampus. Awalnya penulis tidak terlalu paham dengan apa buku itu hingga siapa itu penulisnya. Penulis hanya ingin mengisi kegiatan dengan hal bermanfaat tatkala masih bersama status mahasiswa baru di kampus. Dalam bedah buku tersebut si pembicara berkoar-koar tentang kekagumannya akan pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib, penulis dari buku yang dibedah : “Pembaharuan tanpa Apologia”.

Ketika mendengarkan seminar tersebut, penulis belum terlalu paham siapa itu Ahmad Wahib dan apa sebenarnya isi dari bukunya tersebut sehingga para pembicara di acara itu mengagung-agungkan dia. Namun demikian, rasa penasaran memaksa penulis ketika itu untuk membaca dan memahami isi buku tersebut hingga tuntas.

Usai membaca buku tersebut itulah akhirnya penulis paham mengapa si pembicara mengagumi pemikiran Ahmad Wahib. Wahib ialah seorang pemuda cerdas yang bergulat dengan pemikiran-pemikiran keislamannya sejak muda. Dulu ia tergabung di HMI, dan di tengah jalan ia memutuskan untuk keluar karena merasa ada yang salah dengan HMI dan ia merasa sudah tidak lagi cocok.

Buku “Pembaharuan tanpa Apologia” tersebut adalah kumpulan dari catatan-catatan harian Wahib yang ditanggapi dengan tulisan-tulisan lain oleh para penulis lainnya. Dalam catatan-catatan hariannya, Wahib menyatakan kegundahan, keresahan, dan berbagai pertanyaan tak terjawabnya kepada Tuhan. Wahib menyuarakan refleksinya akan relatifitas kebenaran-kebenaran yang memaksa.

Wahib juga banyak bercerita seputar perjuangannya di HMI. Ia memperjuangkan netralitas dan keobjektifan berpikir dan bertindak di tubuh HMI kala itu. Namun di sisi lain ternyata sebagian pihak melihat usaha Wahib ini tidak ideal menurut mereka. Pihak tersebut menekankan bahwa HMI harus berpolitik agar dapat memaksimalkan pengaruhnya. Wahib menentang hal ini dan ternyata perjuangannya tidak berhasil meraih banyak massa yang mendukungnya. Alhasil Wahib pun akhirnya lebih memilih untuk mundur dari HMI dan melanjutkan kebebasan berpikirnya yang out of the box.

Beberapa kutipan pemikiran Wahib yang populer yaitu :

Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. (Catatan Harian 16 Agustus 1970)

Mengenal Wahib dan pemikirannya serta sedikit keterangan tentang HMI ketika itu, membuat penulis memiliki keinginan lebih untuk mencari tahu lebih banyak tentang hal tersebut. HMI berhasil melahirkan pemikir revolusioner Islam yang luar biasa seperti Wahib. Namun HMI hari ini, kondisinya sepertinya sangat jauh dari kemungkinan lahirnya Wahib-Wahib berikutnya. HMI di mata publik, terutama sebagian besar mahasiswa saat ini, kalah kepercayaan dibanding Tarbiyah.

Islam Rahmatan lil Alamin

Salah satu ajaran Al Qur’an yang banyak dikutip oleh berbagai ulama yaitu kata kunci “Islam sebagai Rahmatan lil Alamin atau rahmat bagi seluruh alam”. Penulis sangat setuju akan hal ini bahwa Islam  memang merupakan rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam, baik bagi seluruh makhluk hidupnya maupun benda matinya. Ketika Islam memang bersifat seperti ini berarti Islam memang dapat diterima oleh semua manusia. Lalu wajah Islam seperti apa yang dapat diterima oleh semua manusia yang dilahirkan dan berkembang dalam keyakinan yang berbeda-beda ?

Ketika bergabung dengan Jamaah Tabligh Islam dipahami sangat simbolis dan kurang kontekstual. Dalam Kitab Fadhilah Amal yang dijadikan pegangan inti jamaah banyak dijelaskan hadist nabi terkait fadhilah tiap jenis ibadah ; fadhilas shalat, puasa, dzikir, dan lain lain. Pemahaman akan hadist nabi dipraktekkan secara telanjang atau tanpa mempertimbangkan relevansi dengan kondisi kekinian zaman.

Konsep dakwah yang dilakukan dengan metode menginap di mesjid-mesjid dan melakukan ceramah ke warga-warga sekitar menurut Jamaah Tabligh sangat meniru konsep yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dulu. Konsep ini banyak menuai protes dan kecurigaan dari masyarakat, sehingganya tidak sedikit warga yang akhirnya menuding jamaah ini sebagai aliran sesat.

Kemudian dari gaya hidup termasuk gaya berpakaian. Jamaah ini biasa menggunakan pakaian seperti jubah dan kepala ditutupi sorban. Lalu mereka juga membiasakan menggunakan siwak yang biasa digunakan Nabi Muhammad SAW untuk menggosok gigi. Dari contoh-contoh ini bisa dilihat bagaimana mereka memahami sunnah Rasulullah SAW kurang kontekstual. Terjadi distorsi pemahaman antara nilai Islam dengan budaya arab.

Gaya berpakaian yang diajarkan Islam sesungguhnya adalah menutupi aurat, karena aurat dapat memicu nafsu manusia yang dekat dengan kejahatan. Banyak jenis pakaian yang seharusnya dapat menutupi aurat, namun Jamaah tabligh tidak menangkap pemahaman tersebut. Bagi mereka semua hal apapun yang ada di diri Nabi Muhammad SAW adalah hal yang baik dan semuanya harus diikuti.

Pemahaman yang sama juga mendasari mereka menggunaan siwak. Padahal kondisi saat ini akibat perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan telah ditemukannya benda lain yang mampu menggantika fungsi siwak tanpa mengurangi nilainya. Nilainya adalah mampu membersihkan gigi. Namun lagi-lagi bagi Jamaah Tabligh mereka kurang cerdas memahami nilai-nilai dibalik semua yang ada di diri Nabi Muhammad. Alhasil pemahaman mereka terhadap Islam pun menjadi terbatas pada simbol dan praktek syariat.

Pemahaman Islam seperti di atas sulit untuk diterima oleh semua manusia, karena dinilai tidak logis, primitif, dan mistis. Akhirnya penulis menilai jalan dakwah Islam yang ditempuh mereka masih perlu dicerdaskan lagi.

Selanjutnya, penulis melirik ke gerakan tarbiyah. Secara pemahaman Islam sebenarnya tidak banyak yang berbeda antara tarbiyah dengan Jamaah tabligh yang sama-sama terbatas pada simbol dan praktek syariat. Namun sedikit lebih progresif, gerakan ini bergerak lebih rapi, cantik, dan masif. Tarbiyah mengkader para pemuda-pemuda dengan strategi politik yang taktis. Sehingga hal inilah yang membuat mereka berkembang pesat.

Hanya saja sayang pemahaman Islam mereka yang minim nilai filosofis dan juga gaya pergaulan yang ekslusif membuat mereka masih belum bisa diterima oleh semua kalangan. Islam mereka belum bisa bersifat universal. Kesolidan internal mereka yang luar bisa membuat mereka tumbuh menjadi kelompok yang angkuh dan mengklaim semua golongan diluar mereka adalah kafir dan bahkan disebut sebagai musuh Allah.

Beberapa kalangan menyebut mereka sebagai kelompok konservatif. Mereka sangat antipati dengan ilmu-ilmu asing dan istilah liberal, bagi mereka ilmu-ilmu dan pemikiran liberal sebagai ancaman bagi keaslian Islam. Tarbiyah cenderung menutup diri dari pengaruh pemikiran asing. Para kader mereka bahkan dilarang membaca buku-buku yang mereka anggap liberal. Hal ini pun membuat kader-kader mereka miskin pengetahuan umum dan cenderung buta akan pemahaman-pemahaman filosofis.

Gaya konservatif tarbiyah ini pun akhirnya tidak disetujui oleh penulis karena menyebabkan gerakan ini akan stagnan dan tidak berkembang. Sehingga semakin sulit untuk dapat berbaur dengan dunia luar, apalagi untuk dapat diterima oleh seluruh kalangan.

Setelah merasa tarbiyah pun belum mampu mewakili wajah Islam yang me-rahmatan lil alamin. Penulis pun mencoba mengenal HMI lebih jauh. Usai mengenal dan memahami pemikiran Wahib, penulis melanjutkan pengembaraan mengenal tokoh besar HMI lainnya seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur), ideologi HMI, dan juga mengamati kondisi kekinian HMI.

Melalui pemikiran Wahib penulis menemukan bagaimana Wahib menempatkan Islam secara objektif dan memiliki toleransi yang besar terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Selanjutnya Cak Nur juga menyatakan bahwa Islam adalah kumpulan nilai-nilai universal yang maknanya dapat memberikan petunjuk kepada seluruh manusia. Disini penulis merasa bahwa pemahaman-pemahaman ini mulai menjawab bahwa Islam yang seperti inilah yang dapat benar-benar menjadi rahmatan lil alamin.

Selanjutnya, dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI juga ditekankan bahwa pemahaman akan Islam seharusnya adalah paham akan esensi dari tiap perintah yang tertera dalam Al Qur’an maupun hadits. Jika dianalogikan Islam sebagai gelas berisi air, maka yang paling penting adalah airnya. Airnya inilah yang seharusnya dipahami umat sebagai tujuan mereka, bukan gelasnya. Air tersebutlah yang sebenarnya mengandung nilai-nilai universal yang me-rahmatan lil alamin.

Kondisi kekinian umat Islam saat ini terutama di Indonesia banyak yang tidak menyadari akan hal ini. Jamaah tabligh dan tarbiyah terjebak dalam pemahaman pentingnya gelas. Pada hakikatnya gelas juga penting sesungguhnya, namun bukan itu tujuannya, tujuannya adalah air. Salah satu contoh keterbatasan pemahaman umat Islam saat ini yaitu ketika membaca Al Qur’an. Banyak umat Islam Indonesia membaca Al Qur’an tanpa memahami tafsirnya. Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa membaca huruf arab Al Qur’an dapat memberikan banyak faedah. Padahal sesunggunya faedah yang dimaksud adalah ketika kita memahami tafsirnya dan dapat mengamalkan hikmah ayat-ayat Al Qur’an tersebut.

HMI di awal berdirinya melalui para tokoh-tokoh yang mereka lahirkan dan dalam buku-buku teks pemikiran keislamannya berjuang mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin. Hal inilah yang menyebabkan kecendrungan berpikir penulis akhirnya mengarah kepada kelompok ini.

Kemunduran HMI

Berbagai pandangan sinis dan miring tentang HMI hari ini bertebaran dimana-mana. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh, mengingat memang kondisi HMI hari ini tidak lagi seperti masa kejayaannya di awal berdiri hingga era Cak Nur dahulu. Bahkan kemunduran HMI ini pun diakui oleh Cak Nur. HMI hari ini sudah hampir kehilangan arah. Perjuangan mereka hanya terbatas di ruang-ruang kelas latihan kepemimpinan (LK) dan konspirasi politik.

Sejumlah kader HMI hari ini bisa dilihat kualitasnya yang sangat jauh dibawah para tokoh-tokoh terdahulunya. Sebagian besar mereka larut dalam romantisme masa lalu kejayaan dan kebesaran nama alumni-alumni mereka. Mereka hanya bisa bercerita dan merasa bangga akan raihan alumni-alumni mereka tanpa berupaya bercermin diri apa yang telah mereka raih dan lakukan demi peradaban.

Jika kita berkunjung ke tempat-tempat pelatihan pengkaderan HMI, disana kita akan temui asap-asap rokok mengepul dimana-mana, sejumlah pria bertindik anting dengan obrolah angkuh sok pintar mencaci maki golongan lain, dan gaya malas lain lainnya. Itulah mereka potret sebagian besar kader HMI hari ini. Jika mungkin dahulu orang-orang seperti ini disebut sebagai oknum atau bagian kecil yang buruk dari HMI, namun hari  ini para oknum ini sudah hampir dominan. Sehingganya merekalah yang hari ini akhirnya mewakili wajah HMI.

Para kader hari ini telah terjebak dalam kebebasan berpikir yang tidak lagi kontekstual dengan kebutuhan zaman. Mereka terlalu banyak berwacana, berdiskusi, euforia kebencian terhadap kelompok lain, dan merasa angkuh dengan ilmu yang belum seberapa. Hingga akhirnya lupa akan cita-cita utama menjadi insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Sebagian besar alasan mereka bergabung di HMI, jawabannya adalah jaringan. Para alumni HMI yang telah tersebar dimana-mana mereka anggap sebagai peluang mereka untuk mudah menjajal karir politis. Itulah sebagian besar kader pragmatis yang ada di HMI hari ini. Niat mereka bergabung di HMI awalnya sudah sangat berbeda dengan para tokoh terdahulu yang bergabung karena memang ingin belajar dan mengabdi bersama membangun peradaban Islam dan Indonesia.

Semua kondisi buruk kader HMI di atas saat ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan mahasiswa. Karenanya pandangan terhadap HMI pun menjadi tidak lagi baik di kampus-kampus. HMI dipandang sebagai kelompok yang terkenal mengacau dan membuat kerusuhan di kampus-kampus. HMI tidak lagi dikenal sebagai pencipta ide-ide dan pemikiran brilian seperti dahulunya.

Penurunan kualitas kader HMI ini sekarang dimanfaatkan oleh tarbiyah yang berhasil mendominasi kampus-kampus besar di Indonesia. Meskipun baru berdiri sejak reformasi dengan nama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), namun ekspansi mereka berlaju cepat karena politik mereka yang rapi, cantik, dan elegan.

Pemetaan kekuatan kelompok-kelompok mahasiswa hari ini menggambarkan bahwa KAMMI menguasai hampir semua kampus besar di Indonesia. Sementara HMI hanya ada di beberapa kampus kecil dan itu pun tidak terlalu kuat. Kemudian diluar kedua ini, ada beberapa kelompok lain seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan lain lain. Kelompok-kelompok lain ini kekuatannya dibawah KAMMI dan HMI.

KAMMI dengan pemahaman Islam konservatifnya hari ini telah besar dan memiliki basis massa yang cukup besar serta mereka juga memiliki sistem tata kelola organisasi dan pengkaderan yang sangat rapi. Sementara HMI dengan pemahaman Islam moderatnya mengalami penurunan kualitas kader dan basis massa sangat rapuh. Sistem tata kelola organisasi dan pengkaderannya pun masih jauh dari manajemen yang baik.

Penulis pun sempat memiliki keraguan untuk memilih jalan pengabdian di antara dua kelompok besar di atas. Ketika bergabung dengan KAMMI maka hal yang harus dirubah disana adalah pemahaman akan Islam yang konservatif untuk menjadi lebih terbuka dan dinamis. Hal ini adalah sesuatu yang berat, mengingat pemahaman tersebut sudah berkembang pesat di selutuh basis massa.

Sementara di HMI sebenarnya pemahaman Islam ideal yang rahmatan lil alamin telah mereka dapat serap. Namun hal ini masih terbatas di ranah teoritis, belum menjalar ke area praksis dalam wujud ibadah dan tindakan nyata pengabdian yang bermanfaat bagi peradaban. Selain itu tata kelola organisasi pun masih butuh banyak pembenahan dalam tubuh HMI.

Pilihan akhirnya adalah mengubah pemahaman manusia atau menyempurnakan pemahaman manusia dan memperbaiki tata kelola organisasi. Dengan semua pertimbangan visiblitas rasional akhirnya penulis lebih memilih pilihan kedua, karena mengubah pemahaman yang telah hampir mendarah daging adalah cukup sulit dalam waktu yang terbatas dan juga tidak bisa dilakukan seorang diri. Bersama HMI penulis berharap mampu menjawab tantangan tersebut.

Gerakan Peretas Batas

Pergerakan mahasiswa ini dianggap mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan musuh bersama dan juga arogansi tiap golongan mahasiswa yang semakin tinggi. Yang menjadi musuh saat ini bagi mahasiswa adalah bangsa mereka sendiri. Kelompok lain di luar mereka itulah yang saat ini dianggap sebagai lawan politik.

Hal yang sama juga terjadi di HMI. HMI bersama PMII, GMNI dan lain-lain saat ini berupaya mengalahkan dominasi besar KAMMI di kampus-kampus besar di Indonesia. Inilah pergeseran cita-cita yang terjadi saat ini. Tidak lagi kepentingan umat atau rakyat yang lebih diperjuangkan, melainkan kepentingan golongan masing-masing. Resistensi antar golongan sekarang menjadi semakin kuat.

Untuk menjawab tantangan ini maka sekarang dibutuhkan Boundary Spanner atau peretas batas. Orang-orang yang tidak terikat pada kepentingan masing-masing golongan dan namun tidak bersikap resisten terhadap keberadaan golongan-golongan tersebut. Mereka justru berupaya meminimalisir kepentingan golongan pada setiap golongan dan membuka jalan komunikasi kerjasama antar golongan. Sehingga pada akhirnya setiap golongan yang ada dapat lebih membuka diri dan kembali pada tujuan utama membangun bangsa, bukan membangun golongan masing-masing atau pun klaim kebenaran masing-masing.

Menjadi peretas batas inilah yang seharusnya diperankan oleh HMI saat ini. Menjadi para pemimpin politik kreatif yang berintegritas. Indonesia dan Islam saat ini butuh para peretas batas ini sebagai pilar-pilar muda pembangun masa depan peradaban. Menjaga keutuhan bhineka tunggal ika dan menyongsong kebangkitan garuda dan Islam yang sesungguhnya.

Untuk menjadi gerakan peretas batas, ada beberapa hal yang penting diperhatikan oleh HMI saat ini. Para kader HMI saat ini sebagian besarnya seringkali berujar menyatakan bahwa KAMMI merupakan kelompok yang ekslusif dikarenakan gaya berpakaian mereka yang seragam dengan celana bahan dan baju kokonya. Namun di sisi lain sebenarnya mereka pun juga tidak kalah ekslusif dengan wacana dan bahasa orasi mereka yang tidak membumi. Kemudian keengganan mereka untuk berbaur dengan kelompok lain, khususnya KAMMI juga bisa disebut sebagai ekslusifisme.

Pertama, meniadakan tindakan ekslusif dan membaur bersama untuk menyelipkan pemikiran Islam sebagai kumpulan nilai universal, hal inilah yang seharusnya diilakukan oleh HMI. Kembali pada cita-cita ideal untuk menjadi insan pengabdi, bukan insan angkuh yang pragmatis egois.

Selanjutnya kedua yaitu memahami nilai-nilai Islam yang universal secara kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini. banyak sekali kita temukan saat ini kader-kader HMI yang merokok. Hal ini memang merupakan hal kecil, namun substansial. Rokok memiliki bahaya dan kerugian yang tidak  terbantahkan lagi. Andaikan dana yang dikeluarkan untuk rokok oleh para kader HMI dikumpulkan selama setahun maka dananya sudah bisa digunakan untuk kegiatan sosial yang jauh lebih bermanfaat dan nyata kontribusinya.

Rokok adalah salah satu contoh kasus bagaimana seharusnya para kader HMI mengamalkan nilai-nilai Islam yang universal secara kontekstual. Masih banyak contoh kasus lain yang hadir di tengah kader HMI saat ini, seperti gaya hidup lainnya dan juga dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang lebih mementingkan popularitas dibanding nilai yang dibawa.

Kemudian yang ketiga yaitu gerakan yang berjalan saat ini harus lebih terbuka dan bersih. Jangan menggunakan politik bawah tanah dan kotor. Katakan dan buktikan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, sekalipun itu kepentingan golongan, negara, maupun agama. Integritas, hal ini penting ditanamkan dalam setiap kader HMI.

Lalu yang terakhir yaitu merapikan kembali sistem tata kelola organisasi dan pengkaderan. Manajemen yang dilakukan oleh HMI terkait hal ini terlihat sangat kurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan bertebaran dan tidak terurusnya para kader HMI saat ini sehingganya kualitas mereka pun menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemahaman ilmu yang diajarkan di LK dan seharusnya diamalkan dalam realisasi kontribusi nyata akhirnya hanya tinggal wacana. HMI perlu banyak berbenah demi untuk menyelamatkan keberlanjutan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, bukan demi kepentingan masa depan HMI.

Layaknya, pemahaman akan Islam yang diajarkan di Nilai Dasar Perjuangan I, dalam analogi gelas dan air ; yang lebih penting adalah air. Gelas juga penting, tapi itu bukan tujuan, tujuannya adalah air. Seperti itu juga lah seharusnya HMI idealnya menurut penulis. HMI hanyalah gelas, airnya adalah masa depan peradaban. Menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil alamin yang mampu membangun peradaban dunia secara umum dan Indonesia secara khusus.

Jika pemahaman di atas telah bisa diterima oleh para kader HMI. Maka kita akan menyongsong tak lama lagi sebagai gerakan peretas batas antar golongan. Mewujudkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Pustaka

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 1, 2010

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 2, 2010

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 3, 2011

Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society, Volume 4, 2011

Fadhilah Amal, Muhammad Zakariya al-Kandhlawi,

Ahmad Wahib, Pembaharuan tanpa Apologia, 2009

id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zakariya_al-Kandhlawi

http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Wahib

Tulisan ini meraih Juara II dalam Lomba Karya Tulis Milad HMI ke 66

Monday, April 8, 2013

PKS Masih Solid di Heartland




"Unggulnya pasangan Gatot-Erry ini sekali lagi menunjukkan solidnya mesin politik PKS di tengah badai yang terjadi, juga tidak berpengaruhnya badai tersebut terhadap persepsi dan pilihan publik”, pernyataan ini dikemukakan oleh Presiden PKS Anis Matta sesaat setelah pengumuman hasil penghitungan suara Pilkada Sumut beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya ketika usai menang di Jawa Barat (Jabar), Anis juga menyatakan pernyataan yang seirama. Bahkan Anis juga berujar "Kami menemukan keyakinan PKS akan menang di 2014". Apakah pernyataan ini memang benar adanya dan berpeluang menjadi nyata atau hanya berlaku bagi beberapa wilayah tertentu ?.

Jabar Memicu Sumut

Setelah melalui hari-hari sengit persaingan mulai dari masa kampanye hingga Hari H pemilihan, PKS akhirnya berhasil mempertahankan Jabar dengan calon incumbent-nya, Ahmad Heryawan (Aher). Meskipun perolehan 33, 19 % suara pemilih Jabar yang diraih Aher bersama Deddy Mizwar adalah raihan yang menurun jika dibandingkan dengan raihan pada pilkada sebelumnya Tahun 2008, dimana Aher bersama Dedi Yusuf berhasil meraup suara pemilih hingga 40, 5 %.

Angka 33, 19 % tergolong cukup tipis, hanya 3, 19 % di atas persyaratan 30 % dan selisih 5,69 % dengan Rieke-Teten di posisi kedua yang meraih 27,5 % suara pemilih.

Raihan kemenangan yang sangat tipis ini selain diakibatkan oleh semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas pesaing, penyebabnya juga ditenggarai akibat efek dari Kasus Korupsi Daging Sapi Impor Luthfi Hasan Ishaq (LHI) yang mendera PKS beberapa waktu yang lalu. Citra negatif yang tercoreng di muka PKS akibat kasus tersebut diduga menurunkan kepercayaan sejumlah pemilih PKS di Pilkada 2008, sehingganya pada Pilkada 2013 ini mereka tidak lagi memilih PKS.

Dibalik kemenangan tipis yang diraih PKS, kemenangan ini adalah bukti bahwa Jabar memang sebagai salah satu Heartland PKS, daerah yang menjadi wilayah jantung dari pergerakan politik PKS. Pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Geopolitik PKS”, dijelaskan bahwa Heartland PKS saat ini berada di sebagian besar Sumatera, Jawa Bagian Barat, dan beberapa provinsi di Kalimantan dan Sulawesi. Karakteristik dari daerah yang menjadi Heartland PKS ini adalah bahwa daerah tersebut memiliki kualitas pendidikan yang relatif baik, terutama pendidikan tingginya dikarenakan PKS membidik pasar kader-kader muda dari kelas menengah terdidik.

Di Jabar terdapat sejumlah pesantren, sekolah, dan perguruan tinggi yang berisikan masyarakat kelas menengah muda yang sangat potensial dipegang dan dibina oleh PKS. Merekalah yang menjadi kantong suara kemenangan Aher-Deddy pada pilkada kemaren.

Tidak lama berselang, usai kemenangan di Jabar, PKS kembali menang di Pilkada Sumut. Kemenangan PKS sebelumnya di Jabar disinyalir menjadi pemicu kemenangan PKS di Sumut. Pandangan publik Sumut terhadap PKS yang berhasil menang di Jabar meski dengan raihan tipis, mempengaruhi pilihan pemilih Sumut.

Hasilnya, Gatot Pujo Nugroho – Tengku Eri Nuradi (Ganteng) berhasil meraih 32,12% suara pemilih Sumut. Kemenangan yang juga tipis dan memiliki alasan yang hampir sama dengan penyebab kemenangan di Jabar. Ialah keberadaan Sumut yang juga merupakan heartland PKS, hal ini dibuktikan dari ciri karakteristik daerah yang relatif sama dengan karakteristik di Jabar.

Soliditas di Heartland dan Kerentanan di Rimland

Heartland dalam studi Geografi Politik dipandang sebagai wilayah yang berperan sebagai ‘spatial identity’ dari sebuah entitas, dalam konteks ini entitas tersebut tentu adalah partai politik. Spatial identity adalah karakteristik spesifik dari sebuah entitas yang ditampilkan dari pola-pola keruangan atau spasial dari objek yang menjadi milik dari entitas tersebut. Dalam konteks PKS, yang menjadi objek disini adalah keberadaan lembaga-lembaga pendidikan dan atau komunitas-komunitas pemuda muslim dari kelas menengah terdidik.

Pada studi kasus di Jabar dan Sumut, di kedua provinsi ini terdapat sejumlah perangkat identitas PKS yang melekat kuat dan sudah menjadi karakter dari daerah tersebut. Seperti contohnya keberadaan kelompok-kelompok pemuda Islam yang kemudian melembaga bersama masyarakat dan banyak berkegiatan membaur dengan masyarakat kelas bawah. Dalam proses pembauran inilah pengaruh kekuatan politik PKS ikut mengalir.

Kondisi di atas bukan hanya terjadi di Jabar dan Sumut. Sesungguhnya hal tersebut ikut mencerminkan kondisi yang terjadi di daerah-daerah yang menjadi heartland PKS. Hal inilah yang kemudian ikut memperkuat nilai tawar PKS di daerah-daerah tersebut.

Dalam tahun 2013 ini, ada sejumlah Pemilukada yang akan diselenggarakan di daerah-daerah yang menjadi Heartland PKS. Daerah-daerah tersebut adalah ; dua kota/kabupaten di Aceh, tujuh kabupaten di Sumut, tiga kota/kabupaten di Sumatera Barat (Sumbar), tiga kota/kabupaten di Jambi, pilgub dan satu kabupaten di Riau, tiga kota/kabupaten di Bangka Belitung, pilgub dan lima kota/kabupaten di Sumatera Selatan (Sumsel), tiga kota/kabupaten di Banten, enam kota/kabupaten di Jabar, dua kabupaten di Kalimantan Selatan (Kalsel), dan dua kabupaten di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Berangkat dari analisis masih solidnya kekuatan PKS di heartland-heartlandnya yang dibuktikan dari kemenangan di Jabar dan Sumut, maka PKS pun diprediksi memiliki peluang menang yang relatif besar di sejumlah pemilukada yang akan diselenggarakan di daerah-daerah di atas.

Sedangkan untuk di daerah-daerah rimland PKS, daerah yang menjadi perluasan ruang gerak kekuatan dari heartland tadi, kekuatan PKS disini diperkirakan cenderung melemah diakibatkan multiplier effect dari Kasus LHI yang masih berpengaruh. Rimland PKS ada di Jawa bagian timur, beberapa provinsi di Kalimantan, Sulawesi, hingga ke beberapa daerah Indonesia Timur. Terbukti di sejumlah pilkada terakhir di sejumlah daerah ini, hanya dua calon yang diusung PKS mampu menang, yaitu di Sampang, Jawa Timur dan Kendari, Sulawesi Tenggara. Hal ini pun dikarenakan PKS berkoalisi dengan sejumlah parpol lainnya.

Pilkada Gubernur yang akan berlangsung di Jawa Tengah (Jateng) Mei ini dan di Maluku Bulau Juli akan menjadi salah satu tolak ukur besar kekuatan PKS di rimland-nya.

Untuk tetap menjaga dinamika perluasan kekuatannya menyongsong 2014, PKS harus mampu menang di sejumlah rimland-nya. Kemenangan di rimland akan menjadi titik tolak untuk semakin memperluas heartland. Sementara bagi parpol-parpol lain, mencuri kemenangan di heartland-heartland PKS adalah celah untuk bisa mengganggu perkembangan kekuatan PKS. Begitu juga dengan mengalahkan PKS di rimland-rimland-nya akan menghambat perkembangan heartland PKS.


Tulisan ini dimuat di Media Online Dakwatuna dan Bersama Dakwah