Sunday, December 25, 2011

Menuju Parlemen Ideal Indonesia





Bagaimana format yang ideal dari sistem parlemen sebuah negara?. Pertanyaan ini menimbulkan satu pertanyaan penting: Apa yang dimaksud dengan sistem parlemen yang ideal bagi sebuah negara? Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana mencapai atau membangun sistem parlemen yang ideal tersebut?

Tidak ada jawaban tunggal dan lengkap atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan banyaknya variasi jawaban atas kedua pertanyaan penting itu. Semuanya tampak kontekstual, tergantung pada situasi di tiap negara dan masyarakat baik dari sisi sejarah, konfigurasi politik, maupun pilihan-pilihan kelembagaan yang tersedia. Akan tetapi kita dapat menarik dua kesimpulan umum. Pertama, lembaga legislatif atau parlemen dapat dikatakan pas bagi sebuah negara apabila ia dapat berperan penting dalam pembuatan kebijakan negara. Parlemen yang berperan dalam kebijakan negara adalah parlemen yang tidak hanya menjadi tukang stempel (rubber stamp) inisiatif kebijakan eksekutif/presiden.

Kedua, lembaga legislatif yang ideal bagi sebuah negara adalah lembaga legislatif yang dapat mewakili rakyat secara efektif. Ini berarti, parlemen tidak saja dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik masyarakat, tapi juga mampu menyalurkan aspirasi masyarakat dan menerjemahkannya menjadi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat.

Tulisan ini berupaya memotret dengan ringkas parlemen Indonesia dari sudut pandang signifikansi peran dan efektifitasnya sebagai lembaga perwakilan demokratis. Penulis berupaya sedapat mungkin menempatkan pembahasan ini dalam konteks yang lebih luas yang memungkinkan kita melihat parlemen Indonesia diantara parlemen lainnya di dunia. Parlemen dalam tulisan ini diartikan secara longgar sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pendefinisian secara longgar ini diperlukan mengingat Indonesia mengenal istilah MPR di samping DPR. Dalam tulisan ini MPR dan DPR dianggap sama sebagai lembaga perwakilan, di samping memang anggota MPR sebagian besar adalah DPR. Indonesia juga mengenal DPD. Namun karena ia tidak memiliki kewenangan pembuatan legislasi, maka DPD tidak menjadi pembahasan ketika membicarakan parlemen dalam tulisan ini.


Empat Fungsi Parlemen

Parlemen atau lembaga perwakilan demokratis dimanapun sesungguhnya dimaksudkan untuk melaksanakan empat fungsi utama (Barkan, 2009). Pertama, menjadi perwakilan masyarakat. Parlemen adalah mekanisme kelembagaan, melaluinya masyarakat mewujudkan pemerintahan yang representatif sehari-hari. Ia hadir untuk mewakili segmen-segmen masyarakat, termasuk membawa konflik masyarakat ke arena parlemen untuk dicarikan solusinya secara demokratis dan non kekerasan.

Kedua, membuat legislasi atau undang-undang. Pada level yang minimum ia dapat berarti sekedar meloloskan undang-undang. Pada level yang lebih signifikan, parlemen ikut membuat kebijakan publik, berpatner dengan eksekutif, dan menggunakan secara optimal input dari masyarakat sipil.

Ketiga, parlemen melakukan pengawasan terhadap eksekutif untuk memastikan bahwa kebijakan yang telah disetujui dilaksanakan dengan sesungguhnya. Keempat, parlemen, secara kelembagaan maupun individu, melayani konstituen. Di parlemen yang menggunakan sistem pemilihan distrik, layanan terhadap konstituen jelas. Tiap anggota parlemen mewakili satu distrik, sehingga tugas dan fungsinya serta konstituen mana yang harus dia layani tergambar dengan gamblang. Di parlemen yang menggunakan sistem proporsional, seringkali layanan konstituen ini tidak begitu jelas batasan-batasannya. Apapun keadaannya, fungsi layanan konstituen bermaksud memastikan bahwa yang diperjuangkan anggota parlemen memiliki akar yang kuat, yakni berbasis pada kebutuhan masyarakat.


Tantangan Parlemen Indonesia

Ada sejumlah tantangan parlemen Indonesia yang perlu segera diselesaikan. Pertama, meskipun memiliki kewenangan untuk membahas dan mengesahkan APBN setiap tahun, ketika menyusun anggaran operasionalnya sendiri, parlemen masih sangat tergantung kepada menteri keuangan (Saefullah., dkk., 2007). Berdasarkan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan anggaran parlemen menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Setiap tahun, atas nama parlemen, sekretariat jenderal ikut menegosiasikan usulan anggaran parlemen dengan menteri keuangan. Hal ini membuat parlemen secara keuangan tergantung dengan pihak eksekutif, suatu hal yang aneh mengingat parlemenlah yang harus membahas dan mengesahkan usulan RAPBN dari pihak eksekutif.

Tantangan kedua adalah sekretariat jenderal parlemen sebagai lembaga pendukung utama kerja parlemen masih merupakan bagian dari eksekutif. Penunjukan Sekretaris Jenderal memang diusulkan oleh Pimpinan Parlemen namun secara administratif kepegawaian dia berada dibawah Sekretariat Negara. Pengisian staf/pegawai untuk parlemen, dengan demikian, harus mengikuti proses dan pola perekrutan pegawai secara umum yang tidak selalu cocok dengan kebutuhan lembaga parlemen (NDI, 2005). Lembaga riset parlemen (P3I) misalnya terdiri dari hanya sedikit peneliti (kurang dari 50 orang) dan kinerja mereka dipantau dan dievaluasi oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang tentu saja memiliki kriteria evaluasi berbeda dari lembaga parlemen.

Tantangan ketiga dari DPR menjadi penghalang untuk menyelesaikan masalah pertama dan kedua. Tantangan ini adalah tentang citra buruk di masyarakat. Evaluasi lembaga pemantau parlemen seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI) tahun 2009 menunjukkan bahwa citra lembaga ini di mata masyarakat masih sangat rendah. Akibatnya setiap usulan untuk perbaikan kinerja parlemen dari segi fasilitas pasti akan selalu dicurigai masyarakat. Berita terbaru adalah mengenai keinginan DPR untuk membuat gedung baru senilai 1,8 trilyun rupiah dengan alasan perbaikan fasilitas untuk peningkatan kinerja. Tanggapan masyarakat yang dapat dipantau di berbagai media menunjukkan tidak adanya kepercayaan tersebut. Masalah ketiga ini sekaligus menunjukkan apa sesungguhnya yang harus diperbaiki lebih awal di parlemen. DPR harus bekerja keras untuk menggunakan cara-cara yang strategis guna memperbaiki citranya.

Tantangan keempat yaitu keberadaan mekanisme hikmah kebijaksanaan dan kerakyatan dalam relasinya dengan eksekutif. Parlemen dan presiden memiliki kedudukan yang sama. Dengan kedudukan yang sama kuat tersebut, sistem presidensial diramalkan oleh banyak teoritisi akan banyak mengalami kebuntuan (gridlock/deadlock) dalam konteks hubungan eksekutif - legislatif (Linz dan Valenzuela, 1994; Shugart dan Carey, 1992). Hal ini dikarenakan kedua belah pihak dapat saling adu kuat dengan kewenangannya masing-masing.

Semua masalah ini, bila tidak segera direformasi, akan membuat parlemen dianggap tidak relevan oleh masyarakat. Pihak DPR tampaknya menyadari hal ini. Karenanya, sejak tahun 2006, DPR membentuk tim peningkatan kinerja (Susanti, 2007). Sayangnya, laporan-laopran dari tim kinerja ini menunjukkan bahwa fokus mereka tidak tertuju pada hal-hal yang bersifat fundamental melainkan hanya pada aspek-aspek mekanisme internal.

Parlemen Indonesia mungkin sudah dapat melambangkan semua kekuatan sosial politik yang ada di Indonesia, namun kinerjanya masih belum menunjukkan kemampuannya untuk mewakili masyarakat secara efektif. Tantangan pertama, kedua dan keempat membutuhkan perubahan sistem yang mendasar untuk solusinya. Sedangkan untuk tantangan ketiga penulis menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:


Menuju Parlemen Ideal Indonesia


Return to The Your Basic Work

Parlemen adalah wakil rakyat, dasar pekerjaannya adalah penyambung lidah rakyat. Untuk para anggota parlemen kembalilah ke pekerjaan dasar. Lebih profesional dan independen dalam membawa tuntutan rakyat. Suarakan dengan kencang jika memang itu kepentingan rakyat. Dan satu hal yang penulis tidak toleran. Jangan membawa embel-embel demi kepentingan rakyat hanya untuk menutupi kepentingan-kepentingan lain.


Transparancy and Accountability

Terkadang rakyat dibuat bingung oleh informasi-informasi media terkait dengan kinerja parlemen. Hal ini disebabkan kurangnya transparansi. Lobi tidak transparan antara pejabat di tingkat pusat dan daerah dengan parlemen sangat mungkin terjadi dan rawan korupsi. Pertanyaannya adalah apakah memang kurang transaparan atau memang harus disembunyikan agar tidak diketahui oleh publik?. Untuk para anggota Komisi di parlemen yang suka mengajukan proposal untuk hal-hal yang terkadang tidak jelas dan tidak masuk akal. Untuk ke depan diharapkan untuk lebih transparan atas proyek-proyek yang diajukan agar masyarakat tidak menebak-nebak sesuatu yang tidak akurat kebenarannya. Ingat prinsip 'wakil rakyat'!

Para wakil rakyat jelas harus bertanggungjawab. Hal ini menjadi penting karena mereka mengemban amanah dari rakyat. Namun, faktanya kebanyakan mereka kurang bertanggungjawab. Coba kita lihat, saat sidang yang jelas-jelas akan membahas tuntutan rakyat jarang sekali kursi anggota dewan terisi penuh. Hampir tidak pernah 100 persen bisa hadir semua mereka. Atau mereka hadir, tapi tertidur saat sidang berlangsung. Hanya jas yang diletakkan di kursi, tapi mereka hilang entah ke mana. Anggota dewan yang bertanggungjawab itu perlu dan penting.


Have a strong strategic vision

Parlemen harus memiliki visi yang jelas. Sebuah visi akan menjadi hal yang mutlak penting karena visi akan menjadi guide (pemandu) dalam mengemban amanah rakyat. Bak mencari pintu keluar dalam kegelapan tanpa sinar sedikitpun, sebuah visi akan menjadi cahaya untuk menuntun kita mencapai tujuan, yaitu jalan keluar. Visi itu sendiri harus berorientasikan pada upaya mensejahterahkan masyarakat. Sehingga dalam perjalanan nantinya, para anggota dewan dalam membuat atau merancang sebuah UU akan sangat berguna bagi rakyat.


Make a two ticket system

Pemilu selama ini hanya memberikan satu tiket kepada rakyat. Rakyat hanya bisa menaikkan anggota parlemen dengan mencoblos kandidat yang sesuai dengannya secara langsung. Namun, rakyat tidak bisa menurunkan mereka. Sistem dua tiket yang dimaksud adalah rakyat seharusnya juga bisa menurunkan anggota parlemen yang dinilai kinerjanya merosost dan selalu bikin 'ulah'. Jadi, tidak usah menunggu masa jabatan selama 5 tahun untuk mengganti mereka. Selain bisa menaikkan, rakyat juga bisa menurunkan mereka secara langsung.

Sumber :
http://theindonesianwriters.wordpress.com/2010/06/21/membangun-sistem-parlemen-indonesia-yang-pas-potret-lembaga-legislatif-pasca-orde-baru/
http://trionoakhmadmunib.blogspot.com/2011/11/format-ideal-parlemen-indonesia-what.html

Mengecup Takdir Dimadu


Semua kau mulai dengan cinta
Menjalin kisah penyempurnaan agama
Meskipun dengan imam yang lebih muda
Namun kau begitu teguh akan rasa percaya

Awalnya terasa begitu bahagia
Hingga kau mendapat pertanda kelahiran si buah hati
Namun sayang, Tuhan mencoba untuk mengujimu
Ia menarik kembali si buah hati sebelum bernafas di bumi

Kau tak pernah patah arang atau pun menyalahkan Tuhan
Hingga pertanda kedua pun datang
Kau terlihat begitu tak sabar menanti sang buah hati
Tapi..Tuhan masih ingin mengujimu..
Sang buah hati kedua pun menyusul kakaknya di surga..

Keluargamu pun mulai goyang
Imammu ternyata tak cukup siap menerima cobaan kedua itu
Meskipun kau telah cukup ikhlas bertawakkal
Namun imammu diamanahkan Tuhan untuk kembali mengujimu

“Aku hendak memiliki buah hati”
Imammu berujar penuh ketakutan terhadapmu dan Tuhannya
“Aku ingin kembali menyempurnakan agama”
Dunia pun serasa kiamat bagimu saat itu

Kau terdiam, terhenyak, serasa dihujam berjuta kezaliman
Perenungan memaksamu untuk bertanya kepada Tuhan
“Apakah memang seberat ini cobaan yang aku harus terima demi menunjukkan keyakinanku padaMu?”

Waktu berlalu, logika memaksa, hati meraba, pikiran mencipta keputusanmu
Kau pun mengikhlaskan imammu menunaikan pintanya
Alangkah tegar iman jiwamu, mengecup takdir dimadu
Imammu pun kini bukan lagi milikmu seorang

Kehendaknya terjamah, enam buah hati pun menjelma menjadi anak tirimu, kami..
Tapi sekali lagi, keikhlasanmu tak tertandingi
Kau sangat bersemangat dalam menuntun tumbuh kembangnya kami
Meskipun imammu sulit berlaku adil
Namun niatmu begitu lurus sehingga kau mampu mengerti itu

Tua menjemput, nikmat sehat pun mulai surut..Kau pun terbaring tak berdaya menanti panggilan Tuhan..Waktu itu pun datang..Selamat Jalan Ibu..

Menanti Reversed Brain Drain di Indonesia



Hasil Sensus Penduduk (SP ) 2010 menunjukkan bahwa pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih belum optimal.

Persentase penduduk 7-15 tahun yang belum atau tidak sekolah sebesar 2,51 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 6,04 persen. Lalu persentase penduduk 5 tahun ke atas berpendidikan minimal tamat SMP/Sederajat sebesar 40,93 persen. Kemudian Angka Melek Huruf (AMH) penduduk berusia 15 tahun ke atas sebesar 92,37 persen. Ini berarti setiap 100 penduduk usia 15 tahun ke atas ada 8 orang yang buta huruf.

Variabel pendidikan yang ditamatkan dan AMH merupakan indikator untuk melihat kualitas SDM berdasarkan pendidikan. Data dari variabel di atas menunjukkan kualitas SDM Indonesia masih rendah.

Data-data di atas tentunya sangat ironis, mengingat Indonesia sebenarnya telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak dasar (basic right) atas pendidikan bagi warga negaranya. Jaminan itu secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31 BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan.

Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.  Demikian juga dengan cita-cita luhur bangsa yang dituangkan ke dalam rumusan mukadimah UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya NKRI yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Pemerintah ternyata belum mampu memenuhi amanah konstitusi. Hal ini pun diperparah dengan adanya fenomena brain drain di Indonesia. Fenomena migrasinya para tenaga terdidik dan terlatih atau tenaga ahli.

Menurut Konferensi OECD-CEPII di Paris tahun 2008 angka brain drain Indonesia mencapai 5%. Meskipun ini masih tergolong level rendah dalam klasifikasi menurut Docquier and Marfouk, namun untuk jumlah 237 juta jiwa penduduk Indonesia angka ini menjadi sangat besar.

Masa depan SDM di Indonesia pun semakin suram. Tenaga ahli Indonesia kini sebagian besar berada di luar negeri. Maka pertanyaannya adalah “Haruskah para tenaga ahli tersebut kita minta untuk segera kembali ke tanah air guna mengatasi berbagai permasalahan di atas?”. Fenomena ini disebut dengan reversed brain drain.

Kedilematisan selalu menyelimuti para tenaga ahli Indonesia di luar negeri. Beberapa kondisi di dalam negeri menjadi alasan bagi mereka untuk tetap menetap di luar negeri. Ketiadaan fasilitas dan dana untuk riset; kurangnya jaminan sosial ; kurangnya prospek berkarir; konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi, panjangnya birokrasi; hingga pendiskreditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing dengan Indonesia walaupun keahliannya sama.

Ketika pola pikir di atas masih tertanam pada tenaga ahli Indonesia di luar negeri, maka reversed brain drain tidak akan pernah terjadi. Saatnya mengubah pola pikir bagi para tenaga ahli Indonesia di luar negeri tersebut. Mari jadikan berbagai alasan tersebut sebagai dorongan untuk pulang dan membenahi Indonesia. Memang harus bersakit-bersakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian. Mari rela berkorban demi kebangkitan peradaban bangsa.

Friday, December 16, 2011

Cukup Sudah Pendidikan Doktrin



“Animo anak-anak SMA disini terhadap kuliah sangat kecil. Tidak lebih dari 30% siswa SMA yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bagi mereka dunia kerja jauh lebih menarik ketika selepas tamat dari SMA. Potensi perkebunan sawit yang luas itu sangat menggoda mereka”, begitulah curhat yang disampaikan kepada saya oleh seorang pejabat di Kantor Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Inilah sebuah potret kecil bagaimana pola pikir yang berkembang di sebagian siswa SMA di Indonesia hari ini.

Tahun 2011 IPM Indonesia mengalami kenaikan satu peringkat dari 125 menjadi 124 dari 187 negara. Meski IPM Indonesia meningkat dibanding tahun lalu, namun Indonesia masih berada di bawah lima negara ASEAN lainnya yaitu Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. IPM merupakan ukuran rangkuman untuk menilai kemajuan jangka panjang melalui tiga dimensi dasar pembangunan manusia. Ketiga dimensi itu yakni ekspektasi tingkat hidup saat kelahiran yang merupakan indikator dari kesehatan dan harapan hidup. Kemudian kemampuan baca tulis orang dewasa yang menunjukan tingkat pengetahuan dan pendidikan. Terakhir yakni tingkat kehidupan yang layak diukur dari pertumbuhan domestik produk per kapita.

Ketiga dimensi di atas semuanya tidak lepas dari faktor pendidikan yang mengembangkan manusianya. Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi adalah sistem doktrin. Metode pengajaran yang diberikan tidak mendidik siswa untuk berpikir kritis. Hal ini membuat Bob Sadino menyatakan bahwa wajah pendidikan formal di Indonesia adalah sebagai penghambat kemerdekaan seseorang dalam mengembangkan kepribadian, karir, dan usaha atau bisnis.

Sistem doktrin tidak hanya melahirkan manusia pragmatis. Menurut Rhenald Kasali sekolah di Indonesia juga akrab dengan kebiasaan mengancam, menekan, dan menakut-nakuti. Hal ini tentu merupakan salah satu akibat dari doktrin yang menular. Kebiasaan tersebut akhirnya menghambat anak didik untuk maju. Minim sekali apresiasi yang sebenarnya mampu membangun karakter optimis yang diberikan oleh para guru atau dosen di negeri ini terhadap anak didiknya. Mereka selalu menilai anak didiknya berdasarkan ilmu mereka yang telah jauh di depan.

Potret kecil yang digambarkan di Pasaman di atas adalah salah satu contoh kompleksitas akibat dari sistem pendidikan doktrin di Indonesia. Pada akhirnya sistem ini melahirkan manusia-manusia pragmatis, kapitalis, dan tidak berkarakter cerdas. Manusia-manusia inilah yang hari ini banyak bertebaran di Indonesia sehingganya berjuta permasalahan tak kunjung usai menjerat negeri ini.

Pendidikan karakter, hal inilah yang tengah digalakkan sekarang oleh berbagai kalangan untuk mengakhiri sistem doktrin. Mari kita turut membantu menanamkan karakter yang baik, karakter yang lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik adalah sebaliknya, tidak dianugerahkan namun kita harus membangunnya perlahan, dengan pikiran, pilihan, keberanian dan usaha yang keras (John Luther). Hal ini seharusnya tidak saja diaplikasikan di pendidikan formal namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga harus dimulai sejak dini. Mari lahirkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter cerdas secara holistik.