“Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”
Begitulah sayup-sayup suara dalam sebuah diskusi antar
mahasiswa di salah satu kampus perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Kemudian
tidak jauh dari lokasi tersebut, di ruang-ruang kuliah, nada yang sama juga
menggebu-gebu disuarakan oleh para dosen berusia setengah baya yang tidak mau
dibantah. Lalu bergeser cukup jauh dari kampus tersebut, di sebuah sekolah elit
yang juga konon terbaik, sejumlah siswa dan guru juga terjebak dalam irama
diskusi yang sejenis.
Itulah potret suasana pembelajaran yang terjadi di ibukota,
pusat segala pusat peradaban negeri ini, tak terkecuali pendidikan. Bagaimana
dengan potret di daerah ?. Ketika tokoh-tokoh ibukota di atas berkunjung ke
daerah dan ia bercerita dengan metode diskusi atau belajar yang ia lakukan di
ibukota, sontak kepolosan dan keluguan anak-anak daerah itu pun terkagum-kagum
mendengarkan penjelasannya. Jadilah metode diskusi atau belajar dengan cara
tersebut menjadi tersohor dimana-mana tempat di negeri ini. Lebih lanjut, dalam
perkembangannya kemudian orang-orang mampu berbicara “Menurut ahli A, B, C, dan
bla bla..”, lalu dianggap keren dan pinter.
Sementara hampir semua orang setuju dengan definisi pinter
dan keren di atas, di setiap jengkal vertikal maupun horizontal ruang negeri
ini tersumpal jutaan masalah yang nyaris diterima dengan pasrah oleh
manusia-manusianya. Seminar-seminar, forum-forum diskusi dengan tumpukan
kertas-kertas makalah menggudang di institusi-institusi pendidikan di negeri
ini. Ada yang bilang bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah seminar
terbanyak di dunia. Sementara itu, jutaan masalah tadi masih menggenang di
permukaan, dan bahkan sebagian tenggelam melekat di dasar keputus-asaan.
Apa yang salah dengan semua ini ?. Semakin banyak orang
belajar, semakin banyak masalah yang muncul dan tak tertuntaskan. Kenapa kedua
hal yang seharusnya berkorelasi positif ini, justru malah memunculkan dampak
sebaliknya ?.
Kiblat Sains Kita (?)
Sebagian besar paradigma yang berkembang di Indonesia saat
ini adalah menganggap bahwa seseorang dengan kemampuan retorika bagus dan dapat
menjelaskan berbagai teori, adalah orang hebat. Padahal jika kita melihat ke
peradaban yang lebih maju di sejumlah negara maju, orang dengan tipikal seperti
di atas jika hanya sampai pada tahap itu, belumlah hebat.
Di Indonesia, orang-orang yang mengaku hebat dengan berbagai
teori yang dihafalnya sesungguhnya agak konyol. Mengingat bahwa sebagian besar
teori-teori ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia adalah diserap dari
negara-negara barat. Teori-teori tersebut tentu dibuat berdasarkan riset-riset
yang dilakukan di sana menggunakan studi kasus yang terjadi di sana. Perbedaan
karakteristik fisik maupun sosial di setiap-setiap wilayah tentu berpengaruh
terhadap hasil riset yang dilakukan. Apalagi tingkat perbedaan karakteristik di
negara-negara barat dengan timur cukup signifikan. Singkatnya, teori yang
dihasilkan dari ilmuwan-ilmuwan di negara barat tidak semuanya relevan
diterapkan di negara-negara timur, termasuk Indonesia.
Apa yang sedang terjadi di Indonesia dan banyak negara timur
lainnya saat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang ambigu. Di satu sisi para
ilmuwan timur, tengah bergiat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang mau
tidak mau harus bersumber dari referensi barat, dikarenakan ilmu pengetahuan diklaim
berkembang lebih dahulu di negara-negara barat. Sehingganya referensi terbanyak
pun datang dari negara-negara barat.
Di lain sisi, ketika mempelajari tentu para ilmuwan timur
ini dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Dikarenakan tidak banyak bahan pembanding
dan juga tersugesti oleh kemajuan peradaban barat, sehingganya gelar kebenaran
pun jatuh pada referensi barat yang ia pelajari tersebut. Padahal terkadang ada
beberapa studi kasus khusus di negaranya yang sebenarnya tidak bisa dipahami
dengan teori barat yang ia pahami tersebut. Alhasil jadinya, ia malah
memaksakan studi kasus di negaranya tersebut mengikut dengan teori barat yang
ia yakini.
Seharusnya, yang dilakukan oleh ilmuwan timur tersebut
adalah menguji teori tersebut dengan studi kasus di negaranya dengan daya
analisis netral objektif. Sehingganya jika teori tersebut tidak relevan, ia
mampu mencipta teori baru yang relevan dengan studi kasus di negaranya. Hal
inilah yang bisa menjadi titik tolak kemajuan ilmu pengetahuan di negara-negara
timur.
Memang ilmu pengetahuan lebih berkembang di barat terlebih
dahulu, namun bukan berarti para ilmuwan timur turut mengikuti atau terhanyut
dalam arus tersebut. Sangat sering para ilmuwan timur mengalami kesalahan dalam
melakukan penyesuaian teori. Seperti contoh di atas, sering kali yang dipaksa
menyesuaikan adalah kondisi di negaranya sehingga harus mengikut teori
tersebut. Padahal yang harusnya disesuaikan adalah teori tersebut yang harus
mengikut kondisi di negaranya.
Kondisi yang dimaksud disini tentu adalah hal yang positif
yang bersifat sebagai karakter dari peradaban di negara tersebut. Salah seorang
ilmuwan di Asia Timur dalam pernyataannya pernah berujar bahwa Asia sudah
saatnya harus punya kiblat sains sendiri, tidak lagi berkiblat pada sains
barat.
Pernyataan di atas seirama dengan seruan Bapak Republik
Indonesia, Tan Malaka “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar
dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah
murid-murid dari timur yang cerdas”.
Analisa Komparatif
Dalam dasawarsa terakhir, banyak perubahan baru, atau bahkan
hal baru terkait sistem pendidikan di Indonesia, terutama pasca Reformasi.
Sudah banyak terjadi perubahan kurikulum pendidikan di berbagi tingkat, baik
tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.
Ada kurikulum tahun 1994, KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), serta untuk metode
pembelajarannya, ada SCL (Student Center Learning), dan segera katanya akan ada
STARS (Student, Teacher, Aestetic, Rulers Sharing). Semua punya tujuan sama:
agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, baik aspek kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Dari kurikulum tersebut diharapkan agar peserta ajar aktif
dalam proses belajar, mencari tahu ilmu pengetahuan, dan pengajar sebagai
pembimbing.
Masih jauh panggang dari api, untuk saat ini ungkapan
tersebutlah yang mencerminkan kondisi harapan di atas. Sebagian besar pengajar
masih mengajar dengan skema pengajar-oriented. Pengajar bicara panjang lebar,
tapi peserta ajar cuma didiamkan saja, hanya disuruh mendengarkan, dan
seringkali membuat mereka mengantuk.
Bahkan di perguruan tinggi terbaik di negeri ini pun, tidak sedikit dosen yang
masih terjebak dalam zona nyaman metode tersebut.
Kondisi yang lebih parah adalah sebagian besar para pengajar
di Indonesia melakukan discouragement, “menelan” peserta ajarnya dalam proses
belajar. Studi kasus dalam sidang skripsi di perguruan tinggi, ketika seorang
promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung,
dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik
batunya. Banyak para dosen penguji yang sangat tidak manusiawi. Discoragement
yang mereka lakukan membuat kelulusan rendah dan yang diluluskan pun
kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata akhirnya pun
ditemukan juga menguji dengan cara menekan.
Sangat berbeda jika kita melihat ke Amerika Serikat (AS),
filosofi mendidik di sana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang
orang agar maju, Encouragement!. Dalam ujian program doktor di AS, suasana
ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain
tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menerangkan seterang-terangnya sehingga mahasiswanya makin
mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Para pengajar disana tidak hanya pintar secara
akademis, melainkan karakternya juga sangat kuat: karakter yang membangun,
bukan merusak.
Tidak jauh berbeda dengan di AS, sistem pengajaran di
Belanda bersifat menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan
negaranya yang mampu memperkokoh akar masyarakat mereka, yang dikenal dengan
keragaman dan masyarakat pluralistiknya. Ini juga merupakan landasan utama dari
metode pengajaran yang diberlakukan di perguruan tinggi di Belanda.
Gaya pengajaran di Belanda sangat interaktif dan berpusat
pada peserta belajar itu sendiri, memberikan perhatian dan kebebasan lebih bagi
mahasiswa untuk mengembangkan pendapat dan kreativitas dalam menerapkan ilmu
yang dipelajari. Interaksi di ruang kelas sangat dihargai. Mahasiswa dituntut
untuk menelaah pengetahuan yang mereka terima dan mengembangkan serta
mengekspresikan pendapat mereka. Mahasiswa tidak boleh pasif, namun harus terus
bertanya dan berpikir kritis terhadap apa yang dikatakan pengajar atau sesama
mahasiswa.
Hal yang lebih menarik lagi ditemukan di Finlandia yang
kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Finlandia berhasil
membuat semua siswanya cerdas. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Di
Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik
pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji
mereka tidaklah fantastis.
Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi
bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan,
Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan
tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan
kepada siswa untuk semata lolos dari ujian. Siswa diajar untuk mengevaluasi
dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK.
Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha
mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai
dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa
tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.
Pendidikan, Pembangunan, dan Perekonomian
Ada sebuah kesamaan karakter yang ditemukan pada gaya
pendidikan di negara-negara barat. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu sosial
yang sangat pesat membuat mereka begitu memahami filosofi pendidikan.
Sehingganya dasar dari setiap sistem atau metode yang digunakan sangat berakar
dari nilai-nilai universal yang konstruktif.
Lain halnya dengan dengan negara-negara di Asia Timur yang
saat ini juga tengah mengalami kemajuan pesat. Jika di barat filsafat dan ilmu
sosial begitu mengakar, di Jepang berfokus pembangunannya di bidang teknologi.
Sehingga sistem pendidikannya pun mengikut kepada hal tersebut. Alhasil
pendidikan di bidang sains terapan seperti teknologi sangat berkembang di
negara ini.
Tidak mau kalah dengan Jepang sebagai negeri jirannya, Korea
saat ini gencar menyebarkan korean wave-nya di berbagai penjuru dunia. Korean
wave adalah sebuah image tersendiri yang dibuat oleh Korea melalui industri
kreatifnya, seperti musik dan film. Berkembang pesatnya korean wave ini pun
memicu pendidikan-pendidikan di bidang ini menjadi melesat menjamur.
Belajar dari sistem pendidikan di berbagai negara di belahan
dunia, tampak sebuah benang merah antara pendidikan, pembangunan, dan
perekonomian. Di negara-negara barat yang telah berstatus negara maju, hampir
seluruh bidang ilmu berkembang dengan baik dikarenakan sistem pendidikan yang
juga baik. Hal ini akhirnya berbanding lurus dengan tingkat pembangunan dan
perekonomiannya. Hal yang sama pun terjadi di Jepang dan Korea yang memiliki
fokus masing-masing. Pembangunan perekonomian yang terjadi berbasis kepada ilmu
pengetahuan yang telah berkembang dikarenakan sistem pendidikan yang
berkualitas.
Kemajuan yang dicapai oleh negara-negara di atas diraih
akibat adanya kesadaran mereka akan pentingnya sumbangsih pengetahuan terhadap
pembangunan perekonomian. Antara arah pembangunan, pendidikan, dan
perekonomian, satu sama lainnya berkorelasi. Dimulai dengan penentuan arah
pembangunan negara, kemudian diturunkan menjadi langkah-langkah mencapainya
melalui bidang perekonomian, dan selanjutnya sistem pendidikan dirancang untuk
melancarkan strategi mencapai arah tersebut.
Lalu selanjutnya,bagaimana kondisi di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia ?. Pembangunan perekonomian yang terjadi di
negara berkembang termasuk Indonesia masih berbasis kepada resource atau sumber
daya alam dan kuantitas sumber daya manusia. Tingkat pengetahuan rata-rata yang
masih rendah menyebabkan sumber daya yang ada belum mampu dikembangkan secara
optimal menjadi nilai ekonomi yang maksimal.
Basis sumber daya, inilah yang harus ditransformasikan oleh
negara-negara berkembang menjadi basis ilmu pengetahuan untuk dapat mendongkrak
pembangunan perekonomian. Untuk dapat melakukan transformasi ini tentu adalah
sebuah proses komprehensif, kuncinya ada di sistem pendidikan.
Pendidikan Karakter : Problem Based Learning
Salah satu metode belajar yang banyak dikembangkan di
negara-negara maju saat ini adalah metode Problem Based Learning (PBL). Metode
ini saat ini juga tengah giat dikembangkan di Indonesia. Metode ini menekankan
nilai-nilai ide, kebebasan berpikir, inovasi, dan problem solving
Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap PBL. Duch
(1995) menyatakan bahwa PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk
mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian
masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan
keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan
siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan
dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.
Menurut Nurhadi (2004: 100) “pembelajaran berbasis masalah
(Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”. Pengertian
pembelajaran berbasis masalah adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara
menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi
siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi
pelajaran.
PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health
Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri
khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang
berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar
cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.
Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di
Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi
PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan
(progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program
pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan
atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia.
Dalam pendidikan konvensional, mahasiswa lebih banyak
menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen.
Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu kedokteran dan menghapal
begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi profesional, mereka
dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari
pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan konvensional
cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak
dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam
mencari cara penyelesainnya.
Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan
yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru.
PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada
kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan
sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan.
Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan
berkurang keaktifannya.
Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan
kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai
pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi
informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan
diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi.
Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk
lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan
masalah secara efektif.
Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk
menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka
mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik
permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya.
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari
berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya
pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar
dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah
dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan
menyelesaikannya.
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya
dan memberi kritik mambangun bagi kolega.
Salah satu negara yang telah menerima pengakuan
internasional untuk sistem pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah (Problem
Based Learning) adalah Belanda. Negara ini melatih mahasiswa untuk menganalisa
dan memecahkan permasalahan dengan menggunakan penekanan pada pembelajaran
mandiri dan disiplin. Semua program pendidikan tinggi Belanda berfokus pada
karya tulis, bekerja sama kelompok untuk menganalisa dan menyelesaikan
permasalahan spesifik, memberikan kesempatan kerja praktek melalui kerja magang
dan melakukan penelitian di laboratorium.
Pada akhirnya PBL bisa
menjadi salah satu aplikasi dari pendidikan karakter. Karakter solutif,
itulah yang ditanamkan dalam PBL.
Saatnya Bicara Solusi!
Metode PBL inilah yang harus dikembangkan secara intensif
dan menyeluruh di Indonesia. Kurangi kajian teoritis yang tidak pernah
menggunakan studi kasus. Perhatikan relevansi teori. Mari ubah pola pikir
klasik yang menganggap bahwa orang hebat adalah yang hafal dan tahu banyak
teori. Orang hebat adalah orang yang mampu mentransformasikan segala ilmu atau
teori yang ia punya menjadi sebuah jalan keluar atau solusi dari permasalahan
kekinian.
Saat ini juga tengah gencar digalakkan pendidikan karakter
di Indonesia. Namun belum ada sebuah panduan yang jelas untuk konsep ini. PBL
bisa hadir sebagai jawabannya. Karakter yang harus dibangun seharusnya adalah
karakter solutif. Ini sesuai dengan nilai-nilai di PBL. Indonesia telah muak
dengan media-media yan setiap hari menyebarkan jutaan berita-berita masalah di
negeri ini yang menumbuhkan pesimisme. Saatnya melahirkan optimisme dengan
menghadirkan solusi-solusi konkrit atas berbagai permasalahan tersebut. PBL
mampu mendukung proses ini.
Selanjutnya, dalam jangka panjang PBL sangat efektif dalam
pengembangan keilmuan. Melalui PBL dapat diuji teori-teori lama yang terkadang
sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian zaman atau pun tidak relevan dengan
kondisi wilayah tertentu. Sehingganya dapat dilahirkan teori-teori baru yang
sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi wilayah tertentu tersebut. Ini
terkait dengan kiblat sains yang diungkapkan di atas, melalui PBL kita bisa
mencipta kiblat sains kita sendiri, menjadi superior, bukan terus
meng-inferior.
Metode PBL ini bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan,
mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Untuk menerapkan hal ini
tentu para generasi pengajar tua juga mesti mempelajari metode ini dan terus
belajar mengikuti perkembangan ilmu pengetahuannya. Karena sering kali
perubahan sistem di Indonesia terhambat gara-gara generasi tua yang masih
ortodoks. Bertahan pada prinsip-prinsip lama yang mereka anut dan konservatif
terhadap gagasan baru.
Jangan sampai kita harus memilih opsi ‘Potong Generasi’
untuk permasalahan ini. Marilah kepada siapapun yang peduli terhadap masa
depan negeri ini dan menginginkan
perbaikan peradaban, tua muda kaya miskin, saatnya bicara solusi terhadap
segala permasalahan yang ada. Jangan cuma dan terus mengeluh sehingga akhirnya
pasrah terhadap keadaan. Semua punya solusi, semua punya jawaban. Melalui
metode PBL, akan lahir generasi problem solver di negeri ini untuk menghentikan
para problem maker.
Memang untuk solusi atas sistem pendidikan di Indonesia
adalah hal yang kompleks. Karena menyangkut berbagai hal. Dibutuhkan perbaikan
yang menyeluruh, mulai dari sistem yang rumit, kurikulum, tenaga pengajar,
fasilitas, dan lain lain. Namun setidaknya untuk saat ini, jika PBL mampu
diterapkan secara maksimal di semua institusi pendidikan, maka kita akan
menyaksikan optimisme semua anak neger i ini bersorak ”saatnya bicara solusi!”.
Pustaka
Boud, D & Feletti, Grahamme I. 1997. The Challenge of
Problem Based Learning (2nd Edition). London : Designs and Potents Act.
Chanlin, Lih Juan & Kung Chi Chan. 2007. Integrating
Inter-Disciplinary Experts For Supporting Problem-Based Learning. London. 44(2)
pg 211
Ho, Fui Fong & Hong Kwen Boo. 2007. Cooperative
Learning: Exploring Its Effectiveness In The Physic Classroom. Asia-Pasific
Forum on Science Learning and Teaching. 8(2)(7) p 1
Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E.
2001. The Power Of Problem based
Learning. Virginia USA : Stylus Publishing.
http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd
http://forum.orisinil.com/index.php?topic=3964.0
http://inspirasibelajar.wordpress.com/2011/02/27/kurikulum-dan-metode-pembelajaran-pendidikan-di-indonesia/
http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=710&b=I&v=1&j=I&id=8
http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/sistem-pendidikan-belanda/sistem-pengajaran-di-belanda
Esai ini meraih Juara 1 dalam Kompetisi Esai KSM EP UI 2012 dan dibukukan dalam Buku "Solusi Dunia Pendidikan Indonesia"
No comments:
Post a Comment