‘Jadikanlah semua
tempat sebagai sekolah, dan semua orang adalah guru’
Kutipan ini disampaikan di sebuah pembukaan pelatihan bagi
para peserta pertukaran pemuda Indonesia ke negara maju. Secara ‘nilai’, makna
dari kutipan tersebut nyaris sempurna dan membuat kepala para peserta
mengangguk-angguk tanda setuju. Mereka pun bergairah memulai pelatihan yang
muatannya akan menjadi bekal bagi mereka nanti untuk hidup di negara maju
tersebut.
Pelatihan dimulai, sejumlah aturan dikemukakan, disebutkan
oleh satu wajah. Lalu di hari berikutnya, wajah lain muncul tanpa perkenalan
dan membuat aturan baru. Kemudian, beberapa saat kemudian, wajah baru lagi
hadir dengan aturan baru LAGI dan bahkan gerak-geriknya tampak seperti sangat
bertentangan dengan aturan yang dibuatnya sendiri. Miris, semua wajah itu
adalah alumni dari program pertukaran pemuda tersebut.
Semua kemasan luar peserta, mulai dari pakaian, bagian tubuh
yang tampak, nyanyian, cara duduk, hingga pola berjalan sampai berbaris ; semua
disamakan, diatur, dan tidak boleh ada yang berbeda sedikitpun. Itu adalah
salah satu aturan dalam pelatihan ini. Alasannya konon adalah itu merupakan
bagian dari sikap seorang diplomat (?) dan pemuda-pemuda ini dirancang jadi
diplomat muda.
Dalam pelatihan ini, konon dalam rangka mencambuk kesadaran
para peserta akan urgensi setiap materi, peserta diberikan tekanan demi tekanan
berupa ; teriakan, hardikan, ancaman, dan berbagai jenis perilaku menekan
lainnya. Diharapkan dari aneka tekanan tersebut, peserta merasa dirinya bukan
apa-apa dan mengikuti semua instruksi yang diberikan fasilitator pelatihan.
Materi yang diberikan dalam pelatihan ini sangat beragam-macam.
Mulai dari pengetahuan seputar Indonesia, life
skill, hingga hard skill berupa
kesenian asli Indonesia. Pelatihan berlangsung sekitar delapan hari, mulai dari
setengah enam pagi hingga pukul dua belas malam. Peserta diberi waktu istirahat
sekitar 4-5 jam dengan alasan ; ini sudah lebih baik dibanding pelatihan lalu
yang tidurnya hanya 2-3 jam.
Berbagai metode dalam pelatihan di atas, konon disebut
dengan metode pengosongan sehingga kemudian si peserta semua merasa ‘sama’ dan
‘seragam’, lalu siap untuk di-‘isi’. Namun banyak peserta merasa tidak nyaman
dengan metode ini.
Memang semua tempat bisa menjadi sekolah dan semua orang
bisa menjadi guru bagi si pembelajar. Namun hal ini akan ideal jika berlangsung
tidak hanya dari kesadaran satu arah. Mestinya kesadaran berbenah tumbuh dari
kedua arah. Sekolah harus terus meningkatkan kualitas metode pembelajarannya
dan guru juga mesti terus meningkatkan kapasitas dirinya hingga mampu menjadi
teladan.
Berikut ialah beberapa tips bagi ‘sekolah’ dan ‘guru’
tersebut. Sekolah yang baik mesti memiliki kejelasan aturan yang tertulis dan
konsisten. Ada koordinasi antara berbagai elemen dalam sekolah sehingga ia
mampu memahami dengan baik aturan yang tertulis tersebut. Ada keseragaman dalam
koordinasi. Terhadap aturan yang ada pun, ini juga mesti berlaku bagi semua
elemen ; tidak hanya bagi si pembelajar, guru juga mesti memberi teladan dalam
menghormati aturan. Adapun fleksibilitas aturan, hal ini mesti dicapai dari
kesepakatan bersama.
Lalu, tentang penyeragaman behaviour. Ketika semua hal terkait ini diatur, maka akan
berpotensi besar mematikan kreatifitas dan nalar kritis si pembelajar. Karena
kondisi terbaik untuk mengembangkan kecerdasan ialah kebebasan, dimulai dari
kebebasan berpikir. Kebebasan inilah yang mestinya dibina dan dikembangkan
sesuai minat dan bakat masing-masing. Akhirnya akan melahirkan aneka inovasi
kreasi.
Berikutnya, tekanan demi tekanan yang hadir dalam (cara)
bahasa negatif hanya akan membangun kesadaran yang kurang sehat. Hal ini
membuat si pembelajar cenderung akan bekerja hanya jika ada tekanan sejenis.
Kesadaran sesungguhnya tidak berhasil lahir dari cara tekanan negatif tersebut.
Bukan tekanan yang mestinya diberikan, melainkan dorongan ; inilah yang mereka
butuhkan. Education is encourage, not
discourage.
Kemudian, perihal konten materi pelatihan yang sangat
beragam-macam alias padat. Sekolah mesti lebih meng-efektifkan lagi kurikulum
materi yang diberikan. Keluarlah dari zona nyaman kurikulum lama dan mulai
eksplorasi inovasi kurikulum baru yang lebih relevan dan tentu sesuai kebutuhan
si pembelajar dan visi dari sekolah tersebut.
Metode pengosongan, yang diterapkan dalam pelatihan di atas,
tidak lagi relevan hari ini. Ini adalah seragam lama yang mesti diperbaharui.
Zona nyaman sistem lama bau orde baru (semi milliter) mesti diletakkan pada
tempatnya. Mental yang masih mementingkan kemasan luar dan melupakan subtansi
inti ‘nilai’ di dalam, juga mesti perlahan ditinggalkan.
Program pertukaran pemuda bukan pengiriman angkatan
bersenjata ke medan perang fisik, dimana setiap prajurit harus seragam dan
patuh atas semua instruksi dalam satu komando. Namun program ini adalah tentang
berbagi gagasan. Bertujuan memberikan mutual
understanding tentang budaya dalam makna yang luas bagi para pesertanya,
dan diharapkan ada perbaikan pola pikir yang terjadi usai program ; sasaran
utamanya adalah kecerdasan ; intelektual, spiritual, hingga emosional. Sehingga
dibutuhkan sebuah metode baru.
Pelatihan pun usai dan para peserta berangkat ke negara
maju. Sesampai disana, mereka kembali dihadapkan pada sejenis pelatihan,
penyelenggaranya menyebut dengan ‘orientasi’. Dalam bayangan sejumlah peserta
mereka akan bertemu lagi dengan pelatihan sejenis seperti di Indonesia, namun
ternyata berbeda.
Metode orientasi di negara maju tersebut memberikan ruang
bagi tiap peserta untuk menantang diri mereka sendiri untuk keluar dari zona
nyaman mereka. Pendekatan yang digunakan adalah participant centered. Menghormati setiap substansi pilihan individu
dan banyak kesempatan berharga untuk belajar dalam tim serta saling mendukung
satu sama lain.
Para peserta tampak sangat menikmati orientasi tersebut dan
merasa pas dengan metode tersebut. Inilah sepertinya seragam baru yang dicari ;
‘challenge-by-choice’.
‘Sekolah’ dan ‘guru’ di atas layak mencoba seragam baru ini.
Tulisan ini dimuat di Sumbar Online, 19 Oktober 2013 dan Portal Kemenpora RI
Tulisan ini dimuat di Sumbar Online, 19 Oktober 2013 dan Portal Kemenpora RI
No comments:
Post a Comment