Isu demi isu terus bergulir kian dinamis dan sebagian
besarnya adalah masalah negeri ini. Jika ditarik jauh penyebab dari semuanya,
maka kemudian sebab tersebut terhempas di kata ‘pendidikan’. Beberapa waktu
yang lalu, 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) kembali berlalu.
Tak berbeda seperti setiap tahunnya dan tahun-tahun sebelumnya, rutinitas
seremonial itu berlalu diiringi berbagai refleksi terhadap kondisi kekinian
dunia pendidikan tanah air. Yang sedikit berbeda ialah hadirnya pro kontra
Kurikulum 2013 serta diikuti dengan macetnya pelaksanaan ujian nasional (UN)
yang semakin menambah cerca terhadap pemangku kebijakan (pemerintah).
Berhentilah memaki kegelapan dan mulailah menyalakan lilin,
ungkapan bijak ini sering dilontarkan dimana-mana untuk menghentikan arus
cercaan yang bertubi-tubi (terutama terhadap pemerintah). Hal ini ada benarnya,
namun bukan juga berarti sebagai alat justifikasi bagi pemerintah dalam
berkilah menutupi kekurangannya. Pemerintah harusnya belajar mendengar berbagai
refleksi yang muncul di setiap peringatan hardiknas. Memahami dan lalu kemudian
mengolah hal tersebut menjadi sebuah rekomendasi berharga terhadap perbaikan
kondisi dunia pendidikan negeri ini.
Mendidik adalah tugas setiap orang terdidik, kalimat bijak
ini yang kemudian menjadi dorongan Anies Baswedan dan kawan-kawan turut serta
menyalakan lilin membantu pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan bangsa,
melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Substansi pendidikan mestinya dipahami
secara utuh oleh setiap manusia terdidik di bangsa ini.
Evolusi Kata ‘Pe(ndidik)an’
Kata pendidikan yang berasal dari kata dasar ‘didik’ atau
dalam Bahasa Jawa menjadi ‘ndidik’, memiliki hakikat mendasar. Paula Freire
menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya
adalah pembebasan, yang berujung pada kemampuan untuk mendidik diri sendiri.
Sementara H. Horne berpendapat bahwa
pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih
tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang
bebas dan sadar kepada Tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar
intelektual dan emosional dari kemanusiaan manusia.
Kerumitan definisi di atas kemudian coba disederhanakan dan
ditransformasikan ke dalam kondisi ke-Indonesiaan oleh Ki Hajar Dewantara,
Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusia-kan manusia,
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalamnya, pembelajaran merupakan
komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki,
dilanjutkan dan disempurnakan. Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia
keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami
manusia (humannes).
Konsep di atas kemudian semakin disempurnakan oleh Erie
Sudewo bahwa dalam mendidik (pendidikan) ini ada dua hal utama yang menjadi
elemen utama, yaitu adalah karakter dan kompetensi.
Revolusi Pe(ndidik)an Indonesia
Jika kata pendidikan di atas mengalami proses evolusi, maka
sebaliknya realisasi dari substansi kata tersebut yang tertuang dalam sistem
pendidikan di Indonesia, justru ber-revolusi ; berubah sangat cepat.
Tahun 1947, dibuat sistem pertama yaitu rencana pelajaran
(leer plan). Setelah tiga tahun, lalu lahir kurikulum pendidikan tahun 1950.
Dua tahun kemudian lalu disempurnakan lagi menjadi Rencana Pelajaran Terurai (RPT).
RPT ini selanjutnya dikenal dengan Kurikulum 1952. Selanjutnya di tahun 1964
dikembangkan Rencana Pendidikan yang ditekankan pada pengembangan daya cipta,
rasa, karsa, karya dan pendidik-an moral. Rencana Pendidikan ini akhirnya
menjadi kurikulum yang dikenal dengan Kurikulum 1964.
Pada tahun 1968 muncul lagi kurikulum baru, Kurikulum 1968.
Lahirnya kurikulum ini sangat berbau politis karena dianggap sebagai
peninggalan Orde Lama yang dianggap berbau komunis. Setelah Kurikulum 1968
dianggap “out of date” maka dikembang-kan Kurikulum 1975 yang menekankan
pentingnya pelaksanaan pendidikan secara lebih efisien dan efektif.
Sembilan tahun kemudian lahir Kurikulum 1984 yang menekankan
pentingnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Sepuluh tahun berikutnya muncul
lagi kurikulum pendidikan baru yang kemudian kita kenal dengan sebutan
Kurikulum 1994. Munculnya kurikulum baru ini merupakan upaya untuk memadukan
pendekatan pada kurikulum-kurikulum yang sebelumnya.
Kurikulum 1994 pun kemudian kembali dirasa memiliki banyak
kekurangan. Pemerintah pun kemudian menyempurnakan kurikulum baru, Kurikulum
2004. Kurikulum ini memiliki tujuan pembelajaran yang langsung mengarah pada
jenis kompetensi apa yang harus dikuasai anak didik. Kurikulum ini dikenal
dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004.
Ketika KBK belum tuntas dijalankan oleh sekolah dan
madrasah, bahkan belum layak diukur hasil penerapannya di lapangan karena baru
tiga tahun dijalankan, pemerintah memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2007. KTSP menyerahkan pada para guru dengan ragam karakter
dan kompetensi dalam merancang kurikulum pendidikan di sekolah masing-masing.
Hal ini kemudian membuat sistem menjadi lebih tidak beraturan, dikarenakan
output guru yang dihasilkan dari sistem pendidikan sebelumnya memiliki ragam
karakter dan kompetensi. Kemudian juga hingga sekarang masih banyak sekolah di
daerah “remote” yang ternyata belum sepenuhnya familiar dengan KTSP. Dalam
kondisi seperti ini tiba-tiba hadir lagi kurikulum 2013.
Uraian di atas menunjukkan bahwa pergantian kurikulum di
Indonesia selama ini tidak selalu didasarkan pada tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, atau pun tuntutan kebutuhan ragam masyarakat
Indonesia, tetapi ternyata karena banyak pertimbangan permainan kepentingan.
Perkawinan Karakter dan Kompetensi
Menyikapi kaburnya arah pendidikan Indonesia dari
berubah-ubahnya kurikulum di atas, maka beberapa tahun belakangan mulai gencar
wacana tentang konsep pendidikan karakter yang dianggap bisa menjadi solusi. Dalam
rancangan kurikulum 2013, banyak sikap kontra dengan argumen bahwa para guru di
Indonesia belum siap untuk konsep yang ditawarkan. Kualitas guru di Indonesia
dianggap masih rendah, baik secara karakter maupun kompetensi.
Sehingga seharusnya konsep pendidikan karakter telah dimulai
dari sistem pendidikan keguruan. Pendidikan Karakter tak sekedar memasukkan
“informasi tentang sikap” ke dalam mata pelajaran, seperti jujur, hormat, cinta
tanah air, dan lain – lain atau membahas contoh – contoh sikapnya serta
diakhiri dengan tes standar pilihan ganda atau pertanyaan – pertanyaan
tertulis.
Kunci pendidikan karakter adalah Role Model, teladan dari
orang terdekat siswa, dalam konteks ini adalah guru. Percuma diajarkan bersih
kalau gurunya masih buang sampah sembarangan dan berlaku curang seperti
memberikan kunci jawaban saat UN. Jadi seharusnya, pemerintah menyiapkan dulu
peningkatan kuliatas karakter dan kompetensi guru sedari dini.
Usai itu, barulah kemudian dalam kurikulum pendidikan bagi
siswa diterapkan sistem yang selaras, yaitu kurikulum kompetensi berbasis
karakter. Sebelumnya telah ada KBK, namun hanya berbasis kompetensi, sehingga
kemudian dirasa ada yang kurang dari kurikulum tersebut. Maka karakter-lah
jawabannya. Karakter layaknya fondasi dan kompetensi ialah bangunan yang
berdiri di atas kompetensi tersebut.
“Tidak perlu menjadi hebat hingga kau terlihat baik,
cukuplah menjadi baik maka perlahan kau akan hebat”
Tulisan ini dimuat di Harian Suara Pembaruan Edisi 15 Mei 2013
No comments:
Post a Comment