“Pagi itu, sekumpulan perempuan – dari muda hingga paruh
baya - sibuk melakukan kegiatan pengasuhan, memberikan susu pada si kecil yang
lucu, memandikan, lalu membawa mereka ke sekolah untuk bermain”.
Pemandangan inilah yang terjadi di semua pagi di pusat
karantina dan rehabilitasi orangutan. Si kecil yang lucu di atas ialah para bayi
dan anak-anak orangutan, dan sekolah itu adalah hutan terdekat dengan lokasi
karantina. Lalu siapa sekumpulan perempuan itu?. Mereka adalah para pengasuh yang
merawat anak-anak orangutan seperti anak-anak mereka sendiri.
Mereka mengganti popok, memandikan, menyuapi makanan, dan
bermain bersama mereka sepanjang hari. "Yang kecil, kalau tidur ditemani.
Kayak anak sendiri lah," kata Duwi (20), yang sudah menjadi pengasuh
orangutan selama tiga tahun. Dia sedang menggendong anak orangutan bernama Hans
dan Douglas sementara orangutan bernama Purbo bergelayut di kaki kanannya.
"Kadang bisa sampai bawa empat (orangutan),"
katanya sebelum mengajak anak-anak orangutan itu bermain di hutan dekat tempat
rehabilitasi. Duwi bersama sejumlah pengasuh lain sehari-hari mengasuh sekitar
70 bayi dan anak-anak orangutan di pusat karantina tersebut.
Selain itu, masih ada asisten lain yang merawat dan memantau
250 orangutan remaja dan dewasa yang masih menjalani proses rehabilitasi dan
latihan adaptasi dengan alam liar di fasilitas rehabilitasi itu. Dua dokter
hewan yang sudah bekerja sembilan tahun bersama orangutan, secara berkala
memeriksa kesehatan orangutan-orangutan itu secara menyeluruh.
"Ambil sampel feses, urine, dan darah untuk cek
kesehatan termasuk TB dan hepatitis untuk memastikan mereka sehat. Mereka
sangat mirip manusia, semua penyakit orangutan bisa menular ke manusia dan
sebaliknya. Kami tidak ingin itu sampai terjadi," kata salah seorang
dokter tersebut.
Maryati (2013) menulis, “orangutan-orangutan itu dirawat,
diasuh, dan dilatih menyesuaikan diri lagi dengan habitat alami supaya bisa
dikembalikan ke alam liar, rumah mereka yang sebenarnya.
Diasuh, dilatih, dirawat, dipantau, dan diperiksa oleh para
manusia yang juga punya tanggung jawab yang sama terhadap manusia lainnya ;
kepada anak-anak mereka. Pertanyaannya, apakah para manusia di atas juga
melakukan hal yang sama atau kurang, atau lebih ; terhadap anak-anak mereka ?.
Baik, mari kita mulai dari awalnya. Hasil penelitian
Oktorina (2008) menunjukkan bahwa profil kepribadian pengasuh bayi
orangutan meliputi beberapa ciri, yaitu: minat sosial rendah, motivasi tinggi
untuk berprestasi, keteraturan dan ketelitian, ketekunan bekerja, mengandalkan
kekuatan sendiri, kurang dapat menyesuaikan diri dengan aturan umum yang
berlaku, cerdik dan materialistis, ketidakstabilan emosi, rendah diri, mudah
curiga terhadap orang lain, terlalu berhati-hati, dan cenderung menarik diri.
Ada beberapa ciri yang ‘unik’ disini, diantaranya yaitu ; minat
sosial rendah, mengandalkan kekuatan sendiri, kurang dapat menyesuaikan diri
dengan aturan umum yang berlaku, cerdik dan materialistis, ketidakstabilan emosi,
rendah diri, mudah curiga terhadap orang lain, dan cenderung menarik diri. Pola
yang dapat ditarik disini adalah sebagian besar profil mereka cenderung anti
sosial.
Apakah sebagian besar penyayang binatang memiliki
kecendrungan anti sosial yang tinggi?, sekalipun binatang itu adalah orangutan
yang 97 % genetiknya sama dengan manusia ?.
Sebelumnya, mari kita lihat apa yang terjadi di sekolah
orangutan. Jamartin Sihite, CEO Pusat Rehabilitasi Orangutan, menyebutkan,
untuk sekolah hutan tingkat ketiga dibutuhkan biaya sekitar 8.000 euro. Biaya
ini dialokasikan untuk perawatan orang utan dan upah para keeper. Untuk
mendampingi orang utan yang sedang praktek hidup di tengah rimba, misalnya,
dibutuhkan dua keeper yang bekerja selama 15 jam sehari. Mereka harus memantau
perkembangan orang utan asuhannya sebagai indikator apakah si rambut merah ini
layak dilepaskan atau tidak.
Di sekolahnya, anak-anak orang utan mempelajari semua
keahlian yang diperlukan sebagai syarat pulang ke rumah mereka yang sebenarnya.
Beberapa keahlian yang penting dimiliki orang utan, antara lain membuat sarang,
mencari makan, dan mengenali bahaya. Selain melatih keahlian dasar orang utan,
pertumbuhan fisik dan perkembangan mental orang utan diawasi dengan intensif.
Kurikulum yang diterapkan di sekolah hutan dibuat
berdasarkan guideline yang disusun oleh organisasi orang utan internasional.
Berbagai bentuk pendidikan yang diberikan di sini bertujuan membentuk orang
utan menjadi mandiri dan mampu bertahan hidup di alam liar.
Jika ciri yang dominan dari pengasuh adalah anti sosial,
apakah berarti para pengasuh tersebut selama ini hanya bekerja untuk 8000 euro
itu, tanpa begitu mengambil ‘pelajaran’ dari pekerjaan yang mereka lakukan?.
Konsep pendidikan yang digunakan sekolah orangutan dengan
pelepasliaran sebagai target akhirnya, ini mirip dengan konsep pendidikan
liberal arts yang mengedepankan ‘kebebasan’. Konsep ini gencar dikembangkan di
sejumlah negara maju, dimana memberikan ruang yang luas bagi peserta didik
untuk bisa berkreasi luas dan menjadi makhluk yang mandiri serta bebas di akhir
prosesnya, namun dalam standar ‘safety’ yang tinggi.
Semua konsep tersebut ada dalam pekerjaan yang dilakukan
oleh para pengasuh orangutan. Mestinya hal ini disadari sebagai sebuah
pelajaran berharga yang kemudian bisa dibawa pulang, mempengaruhi mereka dalam
mendidik anak-anak mereka juga di rumah, dengan metode yang disesuaikan.
Bagaimana mendongkrak kesadaran tersebut?. Tentu dibutuhkan
dorongan dari pihak yang ‘sadar’ akan hal ini, terutama adalah manajemen di
atas para pengasuh tersebut yang biasanya berpendidikan lebih baik.
Tidak sekedar menyelamatkan orangutan yang hampir dianggap
sebagai anak sendiri, tapi kemudian juga akan menyelamatkan anak sendiri yang
sesungguhnya. Inilah idealnya bila kesadaran pengaruh merawat orangutan
terhadap para pengasuh bekerja dan teraplikasikan dalam mendidik anak aslinya.
Jangan sampai para pengasuh tersebut kelak berujar, “anakku
bukan anakku” ; karena anti sosialnya yang semakin kumat di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment