Proses Pelepasliaran Orangutan |
“Terima kasih BOS,
mengajarkan dan kini memberikan kami kebebasan itu..”
Mungkin itulah terjemahan dari lenguhan para orangutan itu setelah
mereka lepas dari kandang-kandangnya ke Hutan Lindung Bukit Batikap Kalimantan yang
liar itu.
Pelepasliaran orangutan keseratus dilakukan oleh BOS NM (Borneo
Orangutan Survival - Nyaru Menteng) beberapa waktu yang lalu. BOS NM kembali
melepasliarkan 20 orangutan, melanjutkan usaha mereka sejak awal tahun 2012
yang telah melepasliarkan 99 orangutan ke tempat yang sama. Dengan
dilepasliarkannya 20 orangutan kali ini, BOS NM merayakan pelepasliaran
orangutan ke-100-nya.
Kegiatan pelepasliaran orangutan ini masih merupakan upaya
perwujudan target yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan
Indonesia 2007-2017 yang diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada
Konferensi Perubahan Iklim di Bali, 2007, di mana dinyatakan bahwa seluruh
orangutan yang ada di pusat rehabilitasi harus telah dilepasliarkan paling
lambat pada tahun 2015.
Lalu apa sebenarnya tujuan dari Pelepasliaran ini ?. Melepas
dan meliarkan mereka?.
Dr. Jamartin Sihite, CEO BOS Foundation mengatakan, ”Melihat
banyaknya kerugian akibat bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, kita dapat
melihat bahwa orangutan adalah sebuah solusi. Melestarikan orangutan dan
habitatnya adalah sama pentingnya dengan menjaga kehidupan kita. Orangutan sebagai
spesies payung berperan penting dalam regenerasi hutan. Sementara manusia
membutuhkan hutan yang penting sebagai sumber oksigen, sumber air bersih,
penahan banjir dan pencegah erosi. Untuk itulah diharapkan semakin banyak orang
sadar akan pentingnya melestarikan hutan. Di samping untuk menyediakan rumah
bagi orangutan, hal ini juga demi mewujudkan kualitas hidup yang layak dan
kesejahteraan bersama.
Sebuah Program Konservasi Orangutan menulis bahwa setelah
orangutan dilepasliarkan di rumah barunya, mereka membutuhkan waktu untuk
membiasakan diri dalam kandang mereka yang jauh di tengah hutan, dan untuk
memulihkan diri dari proses pemindahan, orangutan mulai belajar langkah demi
langkah untuk bertahan di hutan. Proses ini dapat berjalan dengan lambat dan memakan
waktu berbulan-bulan, bahkan dalam beberapa kasus bertahun-bertahun, terutama
untuk orangutan yang ditangkap sewaktu mereka masih sangat kecil. Namun
demikian, selalu ada beberapa yang tidak begitu lama dipelihara dalam kurungan
dan masih menguasai berbagai keahlian yang dipelajari dari induknya.
Hal terpenting yang harus mereka pelajari adalah mengetahui
tanaman apa yang bisa dimakan, apa yang merupakan makanan dan dimana serta
kapan mereka dapat menemukannya. Bahkan kemudian, makanan seperti rotan yang
sangat berduri, atau sarang rayap, hanya menemukannya saja tidak cukup karena
mereka masih harus mengerti bagaimana memprosesnya agar bisa dimakan. Kemampuan
bertahan hidup yang juga sangat mendasar adalah bagaimana membuat sarang yang
nyaman di atas pohon. Orangutan liar mahir dalam membuat sarang untuk tidur
dengan membengkokkan dan menganyam ranting-ranting berdaun. Sebagian juga mahir dalam membuat atap jika
mereka merasa hujan akan turun. Tidur di tampat yang tinggi jauh di atas tanah
adalah cara terbaik untuk menghindari predator yang berkeliaran dan parasit
serta patogen yang hidup di tanah.
Lazimnya, anak orangutan mempelajari berbagai keahlian
tersebut dari induknya beberapa tahun dalam hidupnya.
Bagaimana persiapan sebelum melepasliarkan mereka?. Ada
sekolah untuk mereka berlatih untuk bertahan hidup, inilah yang orangutan
pelajari di BOS sebelum memperoleh kebebasan. Sebelum dilepaskan ke alam liar,
orangutan harus belajar untuk dapat bertahan hidup di hutan – suatu proses yang
dapat berlangsung selama berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun, layaknya
manusia.
WWF Indonesia membuktikan bahwa orangutan dan manusia
memiliki kesamaan DNA hingga 97%. Angka yang nyaris sempurna dan berarti dua
makhluk ini juga hampir sama. Selain saling membantu, semestinya bisa saling
belajar satu sama lain dari pola kehidupan masing-masing. Mari kita coba!.
Mulai dari menganalogikan kehidupan ideal orangutan di atas
dengan manusia ; manusia juga mesti berada dalam kondisi ‘lepas- bebas’ di
dunia yang ‘liar’. Sedari awal sejarahnya, manusia lahir
ke bumi sudah dalam keadaan ‘bebas’ sesungguhnya. Hanya saja dalam perjalanan
pertumbuhannya, lingkungan sekitarnya mulai menyempitkan ruang kebebasannya
tersebut.
Sekolah-sekolah, sejumlah media pendidikan di negara berkembang
sebagian besar justru mengkerdilkan hak kebebasan itu. Sementara dunia yang
mereka tempati dan hidupi, seiring dengan perkembangan peradaban menjadi
semakin liar dan keras. Mestinya semua media pendidikan yang berada di sekitar
area pertumbuhan manusia juga mengajarkan tentang berlatih untuk bertahan
hidup, seperti pada sekolah orangutan di atas yang melatih mereka untuk
terbiasa dengan kebebasan.
Syaharuddin (2012) menyebutkan bahwa dalam Liberalisme
Pendidikan, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan
meningkatkan mutu ketahanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar
setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri
secara efektif. Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis
menganggap bahwa sekolah sebagai sebuah lembaga formal pendidikan yang
khususnya berupaya untuk : (1) Menyediakan informasi dan keterampilan yang
diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif, (2) Mengajar para siswa
bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan
proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok, dengan
berdasar kepada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian
gagasan.
Hal yang sama juga mestinya berlaku bagi pendidikan non
formal, dalam level keluarga dan lingkungan sosialnya. Seorang manusia mestinya
tumbuh dalam dukungan kebebasan yang terbina serta terdidik dengan kemampuan
intelektualnya.
Semua itu sudah diterapkan dalam kurikulum sekolah para orangutan
di atas, sehingga ketika mereka ‘lulus’ mereka berucap terima kasih seperti
imajinasi di awal di atas. Liberalisme pendidikan sudah dipakai bagi orangutan
yang tingkat kecerdasannya dibawah manusia. Namun di negeri ini, belum,
sehingga jadinya tak banyak mungkin manusia yang mengucapkan hal yang sama
seperti orangutan di atas ketika usai dari pendidikan formal maupun non formal mereka
di lingkungan tanah airnya.
No comments:
Post a Comment