Sunday, March 9, 2014

Lepas-Liar

Proses Pelepasliaran Orangutan

“Terima kasih BOS, mengajarkan dan kini memberikan kami kebebasan itu..”

Mungkin itulah terjemahan dari lenguhan para orangutan itu setelah mereka lepas dari kandang-kandangnya ke Hutan Lindung Bukit Batikap Kalimantan yang liar itu.

Pelepasliaran orangutan keseratus dilakukan oleh BOS NM (Borneo Orangutan Survival - Nyaru Menteng) beberapa waktu yang lalu. BOS NM kembali melepasliarkan 20 orangutan, melanjutkan usaha mereka sejak awal tahun 2012 yang telah melepasliarkan 99 orangutan ke tempat yang sama. Dengan dilepasliarkannya 20 orangutan kali ini, BOS NM merayakan pelepasliaran orangutan ke-100-nya.

Kegiatan pelepasliaran orangutan ini masih merupakan upaya perwujudan target yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 yang diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali, 2007, di mana dinyatakan bahwa seluruh orangutan yang ada di pusat rehabilitasi harus telah dilepasliarkan paling lambat pada tahun 2015.

Lalu apa sebenarnya tujuan dari Pelepasliaran ini ?. Melepas dan meliarkan mereka?.


Dr. Jamartin Sihite, CEO BOS Foundation mengatakan, ”Melihat banyaknya kerugian akibat bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, kita dapat melihat bahwa orangutan adalah sebuah solusi. Melestarikan orangutan dan habitatnya adalah sama pentingnya dengan menjaga kehidupan kita. Orangutan sebagai spesies payung berperan penting dalam regenerasi hutan. Sementara manusia membutuhkan hutan yang penting sebagai sumber oksigen, sumber air bersih, penahan banjir dan pencegah erosi. Untuk itulah diharapkan semakin banyak orang sadar akan pentingnya melestarikan hutan. Di samping untuk menyediakan rumah bagi orangutan, hal ini juga demi mewujudkan kualitas hidup yang layak dan kesejahteraan bersama.

Sebuah Program Konservasi Orangutan menulis bahwa setelah orangutan dilepasliarkan di rumah barunya, mereka membutuhkan waktu untuk membiasakan diri dalam kandang mereka yang jauh di tengah hutan, dan untuk memulihkan diri dari proses pemindahan, orangutan mulai belajar langkah demi langkah untuk bertahan di hutan. Proses ini dapat berjalan dengan lambat dan memakan waktu berbulan-bulan, bahkan dalam beberapa kasus bertahun-bertahun, terutama untuk orangutan yang ditangkap sewaktu mereka masih sangat kecil. Namun demikian, selalu ada beberapa yang tidak begitu lama dipelihara dalam kurungan dan masih menguasai berbagai keahlian yang dipelajari dari induknya.

Hal terpenting yang harus mereka pelajari adalah mengetahui tanaman apa yang bisa dimakan, apa yang merupakan makanan dan dimana serta kapan mereka dapat menemukannya. Bahkan kemudian, makanan seperti rotan yang sangat berduri, atau sarang rayap, hanya menemukannya saja tidak cukup karena mereka masih harus mengerti bagaimana memprosesnya agar bisa dimakan. Kemampuan bertahan hidup yang juga sangat mendasar adalah bagaimana membuat sarang yang nyaman di atas pohon. Orangutan liar mahir dalam membuat sarang untuk tidur dengan membengkokkan dan menganyam ranting-ranting berdaun.  Sebagian juga mahir dalam membuat atap jika mereka merasa hujan akan turun. Tidur di tampat yang tinggi jauh di atas tanah adalah cara terbaik untuk menghindari predator yang berkeliaran dan parasit serta patogen yang hidup di tanah.

Lazimnya, anak orangutan mempelajari berbagai keahlian tersebut dari induknya beberapa tahun dalam hidupnya.

Bagaimana persiapan sebelum melepasliarkan mereka?. Ada sekolah untuk mereka berlatih untuk bertahan hidup, inilah yang orangutan pelajari di BOS sebelum memperoleh kebebasan. Sebelum dilepaskan ke alam liar, orangutan harus belajar untuk dapat bertahan hidup di hutan – suatu proses yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan, dan bahkan bertahun-tahun, layaknya manusia.

WWF Indonesia membuktikan bahwa orangutan dan manusia memiliki kesamaan DNA hingga 97%. Angka yang nyaris sempurna dan berarti dua makhluk ini juga hampir sama. Selain saling membantu, semestinya bisa saling belajar satu sama lain dari pola kehidupan masing-masing. Mari kita coba!.

Mulai dari menganalogikan kehidupan ideal orangutan di atas dengan manusia ; manusia juga mesti berada dalam kondisi ‘lepas- bebas’ di dunia yang ‘liar’. Sedari awal sejarahnya, manusia lahir ke bumi sudah dalam keadaan ‘bebas’ sesungguhnya. Hanya saja dalam perjalanan pertumbuhannya, lingkungan sekitarnya mulai menyempitkan ruang kebebasannya tersebut.

Sekolah-sekolah, sejumlah media pendidikan di negara berkembang sebagian besar justru mengkerdilkan hak kebebasan itu. Sementara dunia yang mereka tempati dan hidupi, seiring dengan perkembangan peradaban menjadi semakin liar dan keras. Mestinya semua media pendidikan yang berada di sekitar area pertumbuhan manusia juga mengajarkan tentang berlatih untuk bertahan hidup, seperti pada sekolah orangutan di atas yang melatih mereka untuk terbiasa dengan kebebasan.

Syaharuddin (2012) menyebutkan bahwa dalam Liberalisme Pendidikan, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu ketahanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis menganggap bahwa sekolah sebagai sebuah lembaga formal pendidikan yang khususnya berupaya untuk : (1) Menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif, (2) Mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok, dengan berdasar kepada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian gagasan.

Hal yang sama juga mestinya berlaku bagi pendidikan non formal, dalam level keluarga dan lingkungan sosialnya. Seorang manusia mestinya tumbuh dalam dukungan kebebasan yang terbina serta terdidik dengan kemampuan intelektualnya.

Semua itu sudah diterapkan dalam kurikulum sekolah para orangutan di atas, sehingga ketika mereka ‘lulus’ mereka berucap terima kasih seperti imajinasi di awal di atas. Liberalisme pendidikan sudah dipakai bagi orangutan yang tingkat kecerdasannya dibawah manusia. Namun di negeri ini, belum, sehingga jadinya tak banyak mungkin manusia yang mengucapkan hal yang sama seperti orangutan di atas ketika usai dari pendidikan formal maupun non formal mereka di lingkungan tanah airnya.


No comments:

Post a Comment