Menghafal, menjadi sebuah kebiasaan yang bisa jadi
membosankan atau mungkin juga menarik bagi banyak orang. Namun bagi sebagian
usia muda Indonesia, ini hampir menjadi kewajiban ; jika ingin meraih nilai
memuaskan di lembaran kertas bertajuk ‘raport’.
Di setiap malam-malam menjelang ulangan harian dan ujian
bagi mereka akan menjadi malam yang sibuk. Menghafal berbagai jenis materi
pelajaran yang tercantum di ragam buku teks. Banyak sekali teori-teori, hingga definisi-definisi
tentang berbagai pengertian dari sejumlah ahli (yang bahkan mungkin tak pernah
dikenal ke-ahli-an-nya).
Dalam mengawali setiap bab materi di tiap mata pelajaran,
akan sering kali diawali dengan mengenali ‘definisi’ dari berbagai hal pokok
atau kata kunci penting dalam materi tersebut. Dalam banyak pola soal dalam
ujian, ini biasanya selalu keluar ; definisi menurut para ahli. Inilah yang
menjadi hafalan wajib.
Pola di atas kemudian berlanjut sekitar dua belas tahun
belajar. Tak heran ini menular lalu ke dunia pendidikan tinggi. Bukan hanya di
keseharian perkuliahan hingga ujian, untuk sidang tugas akhirpun, banyak mahasiswa
yang kita temukan melakukan hal yang sama layaknya para pelajar di atas.
Ketika usai studi dengan aneka gelar yang dengan bangga
dipasang di belakang nama, banyak kemudian yang gagal mempertanggung-jawabkan
gelarnya. Banyak materi yang dipelajari belasan tahun kemudian lupa seketika,
kagok ketika kembali ditanya berbagai hal mendasar (ragam definisi) terkait
studinya. Karena terbiasa dipaksa menghafal, maka ketika disuruh untuk mengurai
kembali apa yang telah dihafal, hal ini pun menjadi sulit ; harus dipaksa
mengingat-ingat kembali.
Apalagi bagi para penganut sistem kebut semalam, hal di atas
akan menjadi bencana besar.
Tak hanya sampai disitu, kebiasaan menghafal ragam definisi
tentang hal mendasar dalam studi ini berdampak luas kemudian pada kualitas
manusia Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka sudah
mengingatkan kita, ia berujar “bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah
menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin”.
Tuntutan kebiasaan menghafal adalah salah satu bentuk
penyeragaman, membatasi lahan kreatifitas. Hal ini tidak memberi ruang untuk berpikir
secara bebas, menyempitkan atau bisa jadi mematikan nalar kritis seorang
pelajar. Nalar kritis dibutuhkan untuk terus mengembangkan ilmu pengetahuan
ditengah era informasi tanpa batas seperti sekarang, transformasi terjadi
begitu cepat dalam ruang maupun waktu.
Berikutnya, banyak definisi-definisi dalam ilmu pengetahuan di
negara berkembang yang mentah-mentah dicaplok dari negara maju. Hal ini seperti
pencangkokan bulat-bulat atau secara utuh dari sebuah tanaman, dimana kemudian
yang akan tumbuh adalah bisa jadi tanaman yang sama atau bisa juga tanaman
tersebut akan mati jadinya. Kenapa mati?, karena kadang jenis tanah, pupuk, dan
cuacanya berbeda.
Itulah analogi dari ragam jenis perbedaan yang ada antara
berbagai tempat, berdampak juga pada perbedaan pemahamannya terhadap penciptaan
sebuah ilmu pengetahuan.
Ragam definisi dari negara maju tersebut, kemudian dijadikan
konsumsi ilmu yang dipatenkan dalam ajar-mengajar hingga soal ujian di
sekolah-sekolah di negara berkembang. Definisi itupun lalu membatu dan membeku
dalam otak pelajarnya. Sekalipun kadang definisi itu tidak relevan lagi dan
kadang juga sama sekali tidak cocok dengan kondisi di negara terkait. Faktor-faktor
mulai dari budaya, kondisi alam, dan lain lain ialah penyebab irelevansi
tersebut.
Induktif
Sekarang kita coba pelan-pelan rapikan kekusutan ini. Mulai
dari mencoba untuk belajar dengan meneguhkan pemahaman di awal tentang definisi
dari hal-hal yang substansial dalam sebuah ilmu. Perlakukan hal tersebut
sebagai sesuatu yang hidup, dinamis, terus tumbuh dan berkembang. Sebuah teori,
atau bagian apapun dalam ilmu pengetahuan ; perlakukan mereka seolah mereka
selalu ingin keluar dari zona nyamannya.
Bagaimana langkah konkrit memperlakukannya?. Ada sebuah
metode menarik di negara maju dalam belajar memahami sebuah definisi mendasar
dalam sebuah topik. Mereka mencoba terlebih dahulu mengumpulkan opini dari
berbagai pendapat, kemudian dicoba untuk disatukan, dilebur. Induktif, dari
khusus ke umum. Hal ni memungkinkan sebanyak mungkin ragam pemikiran baru yang
relevan untuk terus memperbaharui sehingga memperkaya pengembangan ilmu
pengetahuan.
Cara ini menarik untuk diuji coba dalam metode pembelajaran
di negara berkembang. Seorang ilmuwan oriental menyatakan “Asia butuh kiblat
ilmu sendiri”. Perbedaan yang cukup kental antar peradaban dan kondisi geografi
dunia timur dan barat membuat sejumlah ilmu pengetahuan yang diciptakan barat
terkadang kurang relevan untuk dipahami apalagi diterapkan di timur.
Metode induktif di atas mungkin membutuhkan waktu yang
relatif lebih lama bagi pembelajaran di kelas-kelas. Namun ini akan mampu
melahirkan definisi-definisi baru yang lebih relevan dan sesuai. Ini juga bisa
mendorong pemadatan kurikulum, mengurangi beban belajar yang terlalu luas, dan
membuat para pelajar menjadi lebih fokus serta menikmati proses belajarnya.
Mencoba metode di atas tidak harus menunggu hingga sistem
kurikulum diubah atau segala kait mengait birokrasi tuntas. Untuk
gebrakan-gebrakan yang menghentak, kadang kita butuh sedikit pengabaian atas
prosedural, banyak jalan mencobanya ; sela-sela dalam pendidikan formal hingga
aneka pendidikan informal. Yang paling penting kita paham substansinya ; bahwa
ini bukan untuk sekedar memberi tender bagi rekan penguasa sehingga terjadi
penggantian buku teks baru, namun ini demi sebuah ‘arti’.
Manusia yang lebih berperadaban.
Pada akhirnya ilmu pengetahuan yang dipelajari tersebut
benar-benar memiliki arti, tidak sekedar hafalan kosong untuk ulangan harian
atau ujian tugas akhir.
Jangan sampai gagal memahami sebuah definisi, karena bisa
jadi itu adalah akarnya.
No comments:
Post a Comment