Saturday, September 14, 2019

Menata Kelola Program Biogas untuk Transisi Energi


Pemerintah Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025 untuk mendukung climate action, dan tahun 2018, Indonesia telah mencapai 12,5%. Salah satu kontribusi bauran energi terbarukan berasal dari biogas, yang dihasilkan oleh fermentasi kotoran hewan dan manusia, limbah domestik, dan limbah organik lainnya. Menurut riset Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, biogas dapat memenuhi 13,3% kebutuhan bahan bakar memasak dan listrik di Indonesia. Strategi desentralisasi melalui biogas mendukung ketahanan dan kemandirian energi daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon, membantu capaian target elektrifikasi, dan mengembangkan energi serta ekonomi desa hingga Rp 64,3 triliun/tahun.

Namun, saat ini pemanfaatan dan penyebaran biogas masih di angka 1,24%, meskipun potensi limbah organik mencapai 39 juta ton/hari. Padahal, optimalisasi pemanfaatan biogas penting untuk membantu transisi energi lokal untuk mengurangi impor elpiji dan penggunaan kayu bakar. Sementara itu, subsidi pemerintah untuk elpiji terus bertambah setiap tahunnya, mencapai 6,6 miliar metrik ton pada 2018.


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan pencapaian penyebaran reaktor biogas yang hanya sekitar 50% dari target 49,6 juta meter kubik di tahun 2017. Tahun 2018 mencatat tingkat pencapaian yang lebih rendah, yaitu sekitar 30% dari target 69 juta meter kubik. Menurut Kementerian ESDM, kendala penyebaran reaktor biogas adalah tidak adanya dana dari APBN untuk program-program biogas tersebut. Saat ini, program-program biogas sebagian besar menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu, ESDM juga mengakui bahwa kendala lainnya adalah kurangnya kordinasi lintas lembaga-lembaga pemerintah dan sinergi antar program. Program-program biogas pemerintah tersebar di sejumlah kementerian seperti kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, dan sejumlah pemerintah daerah (Figure 1).


Figure 1 Fragmentasi program-program biogas di Indonesia tahun 2015, selain pada institusi di atas, program biogas juga terdapat di empat kementrian lainnya. 

Kendala tata kelola

Selain sejumlah alasan di atas, kendala tata kelola program biogas sebenarnya lebih kompleks.
Pertama, Indonesia tidak memiliki rencana biogas nasional seperti contoh sukses pengembangan biogas di Cina. BAPPENAS dan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa target penyebaran biogas tergabung dengan target bioenergi di Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Namun dalam implementasi, tidak ada kordinasi dan sinergi yang jelas antara BAPPENAS, ESDM, dan kementerian lainnya untuk pencapaian target tersebut. Target penyebaran biogas bisa disebut tidak pasti karena sebagian besar program biogas bergantung pada minat warga dan pemerintah daerah dalam mengirimkan proposal ke pusat untuk mendapatkan biogas. Kemudian, pembiayaan proposal ini pun bergantung kembali pada persetujuan dari Kementerian Keuangan. Selain itu, koordinasi pemerintah dengan target program biogas lain dari LSM juga terbatas. Hal ini membuat target penyebaran biogas di Indonesia semakin tidak jelas dan tidak terintegrasi.

Kedua, kendala dari sisi tata kelola saling terhubung di sepanjang rantai nilai biogas, mulai dari tahap produksi hingga konsumsi atau pemanfaatannya di masyarakat.

Di level produksi, kendala penyebaran reaktor biogas bukan hanya kurangnya pendanaan untuk biaya instalasi yang tinggi, namun juga disebabkan oleh kurang baiknya pengelolaan ketersediaan bahan baku biogas, seperti kotoran ternak. Sebagai contoh, di sejumlah daerah di Indonesia timur, hewan ternak yang biasa tidak dikandangkan menyulitkan petani untuk mengumpulkan kotoran ternak dan dipindahkan ke dalam reaktor. Di sisi konsumsi, sejumlah masyarakat kurang tertarik dengan pemanfaatan biogas dikarenakan tentang prosedur penggunaan teknologi yang lebih rumit dari elpiji. Kurangnya pelatihan tentang teknologi dan penyerapan inovasi yang belum optimal mengurangi nilai manfaat dan insentif dari biogas di mata masyarakat.

Ketiga, dari sisi pendanaan, skema hibah dan subsidi penuh pada sebagian besar program-program biogas pemerintah kontraproduktif terhadap skema semi komersil dari program biogas LSM. Banyak masyarakat tidak mau membeli reaktor biogas dari LSM karena cenderung menunggu hibah gratis dari pemerintah.

Penyelesaian permasalahan-permasalahan di atas menjadi semakin sulit karena kurangnya kordinasi antar program dalam bertukar informasi dan pengetahuan tentang solusi tata kelola implementasi.

Multi pihak dan regulasi
Untuk memperbaiki tata kelola kebijakan dan program-program biogas, koordinasi dan kerjasama multi pihak diperlukan. Penelitian dari Wageningen University menunjukkan bahwa peningkatan kerja sama lintas lembaga di Indonesia dari 2010-2016 mempengaruhi peningkatan jumlah penyebaran reaktor biogas dari dari 16 ribu menjadi 37 ribu reactor (Figure 2). Perluasan kerja sama tersebut menggunakan pendekatan tata kelola polisentris dimana program biogas LSM berkolaborasi dengan pemerintah, pihak swasta, kelompok petani, dan lembaga keuangan. Kerja sama multi pihak berperan penting dalam menyerap inovasi teknologi dan integrasi skema pendanaan lintas program.


Figure 2 Peningkatan jumlah institusi yang terlibat dalam program biogas dan kerjasama antar mereka berkontribusi pada kenaikan jumlah diseminasi biodigester, penelitian dari Wageningen University

Kesuksesan pendekatan multi pihak di atas sayangnya tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Tahun 2017, peraturan Satu Data membuat program-program biogas lintas lembaga dipusatkan ke Kementerian ESDM. Hal ini menurunkan intensitas kerja sama multi pihak dan mengurangi capaian penyebaran reaktor biogas menjadi 36 ribu. Penurunan ini dipengaruhi oleh terbatasnya jangkauan sumber daya ESDM dalam implementasi program.

Kebijakan sentralisasi program biogas perlu dikaji ulang. Desentralisasi melalui pendekatan multi pihak penting untuk mendorong distribusi sumber daya otoritas, keuangan, dan keahlian/pengetahuan tentang biogas. Hal ini harus disertai dengan kordinasi antara program-program biogas lintas lembaga melalui platform kordinasi/forum komunikasi untuk integrasi dan sinergi program (Figure 3). Kordinasi perlu dilakukan antara BAPPENAS, ESDM, NGO, dan sejumlah Lembaga pemerintah lain yang memiliki program biogas.


Figure 3 Transformasi ideal tata kelola polisentris, tata kelola rezim biogas di Indonesia sudah dari fase a-c dari 2007 hingga 2016, namun sayang tidak bergerak ke fase d di 2017

Dari sisi pembiayaan, tahun 2019, biogas tidak masuk ke perencanaan DAK. Hal ini semakin mengancam optimalisasi penyebaran teknologi biogas. Pemerintah perlu memikirkan solusi pendanaan lain di luar skema hibah, seperti kerjasama lebih intensif dengan program biogas dari LSM dengan pendekatan semi komersial dan subsidi parsial. Hal ini dapat mendukung sektor bisnis pengembangan teknologi biogas, sehingga kemudian tidak bergantung pada APBN.

Selain itu, regulasi juga diperlukan untuk memperkuat dorongan menggunakan biogas. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk mengurangi atau memindahkan subsidi elpiji untuk biogas, khususnya di daerah yang memiliki potensi limbah pertanian. Belajar dari Cina, kesuksesan penyebaran jutaan reaktor biogas didorong oleh kordinasi antar regulasi pertanian, energi terbarukan, peternakan, energi konservasi, ekonomi sirkular, dan pembangunan desa. Hal ini tentu membutuhkan kerjasama multi pihak yang intensif.

Saat ini, LSM sedang berupaya memperjuangan integrasi program biogas ke dalam RPJMN 2020-2024. Untuk integrasi yang lebih efektif, strategi perbaikan tata kelola dan penambahan regulasi sebaiknya juga harus turut disertakan. Pengembangan biogas bisa disertakan dalam kajian lingkungan hidup strategis untuk pembangunan sektor pertanian.

Langkah-langkah perbaikan tata kelola ini diperlukan agar pengembangan biogas untuk energi terbarukan tidak dianggap sebagai program setengah hati.




No comments:

Post a Comment