Pemerintah Indonesia
menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025 untuk mendukung climate action, dan tahun 2018,
Indonesia telah mencapai 12,5%. Salah satu kontribusi bauran energi terbarukan
berasal dari biogas, yang dihasilkan oleh fermentasi kotoran hewan dan manusia,
limbah domestik, dan limbah organik lainnya. Menurut riset
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, biogas dapat memenuhi 13,3%
kebutuhan bahan bakar memasak dan listrik di Indonesia. Strategi desentralisasi
melalui biogas mendukung ketahanan dan kemandirian energi daerah untuk
mendukung pembangunan rendah karbon, membantu capaian target elektrifikasi, dan
mengembangkan energi serta ekonomi desa hingga Rp 64,3 triliun/tahun.
Namun, saat ini
pemanfaatan dan penyebaran biogas masih di angka 1,24%,
meskipun potensi limbah organik mencapai 39
juta ton/hari. Padahal, optimalisasi pemanfaatan biogas
penting untuk membantu transisi energi lokal untuk mengurangi impor elpiji dan penggunaan
kayu bakar. Sementara itu, subsidi pemerintah untuk elpiji terus
bertambah setiap tahunnya, mencapai 6,6 miliar metrik ton pada 2018.
Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan pencapaian penyebaran reaktor biogas yang
hanya sekitar 50% dari target 49,6 juta meter kubik di tahun 2017. Tahun 2018
mencatat tingkat pencapaian yang lebih rendah, yaitu sekitar 30% dari target 69
juta meter kubik. Menurut Kementerian ESDM, kendala penyebaran reaktor biogas
adalah tidak adanya dana dari APBN untuk program-program biogas tersebut. Saat
ini, program-program biogas sebagian besar menggunakan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Selain itu, ESDM juga mengakui bahwa kendala lainnya adalah kurangnya
kordinasi lintas lembaga-lembaga pemerintah dan sinergi antar program.
Program-program biogas pemerintah tersebar di sejumlah kementerian seperti
kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Desa, dan sejumlah pemerintah daerah (Figure
1).
Figure 1 Fragmentasi program-program biogas di
Indonesia tahun 2015, selain pada institusi di atas, program biogas juga terdapat di empat kementrian lainnya.
Kendala
tata kelola
Selain sejumlah alasan di
atas, kendala tata kelola program biogas sebenarnya lebih kompleks.
Pertama, Indonesia tidak
memiliki rencana biogas nasional seperti contoh sukses pengembangan biogas di
Cina. BAPPENAS dan Kementerian ESDM menyebutkan bahwa target penyebaran biogas
tergabung dengan target bioenergi di Rencana Umum Energi Nasional dan Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Namun dalam implementasi, tidak
ada kordinasi dan sinergi yang jelas antara BAPPENAS, ESDM, dan kementerian
lainnya untuk pencapaian target tersebut. Target penyebaran biogas bisa disebut
tidak pasti karena sebagian besar program biogas bergantung pada minat warga dan
pemerintah daerah dalam mengirimkan proposal ke pusat untuk mendapatkan biogas.
Kemudian, pembiayaan proposal ini pun bergantung kembali pada persetujuan dari
Kementerian Keuangan. Selain itu, koordinasi pemerintah dengan target program
biogas lain dari LSM juga terbatas. Hal ini membuat target penyebaran biogas di
Indonesia semakin tidak jelas dan tidak terintegrasi.
Kedua, kendala dari sisi
tata kelola saling terhubung di sepanjang rantai
nilai biogas, mulai dari tahap produksi hingga
konsumsi atau pemanfaatannya di masyarakat.
Di level produksi, kendala penyebaran
reaktor biogas bukan hanya kurangnya pendanaan untuk biaya instalasi yang
tinggi, namun juga disebabkan oleh kurang baiknya pengelolaan ketersediaan
bahan baku biogas, seperti kotoran ternak. Sebagai contoh, di sejumlah daerah
di Indonesia timur, hewan ternak yang biasa tidak dikandangkan menyulitkan
petani untuk mengumpulkan kotoran ternak dan dipindahkan ke dalam reaktor. Di sisi
konsumsi, sejumlah masyarakat kurang tertarik dengan pemanfaatan biogas
dikarenakan tentang prosedur penggunaan teknologi yang lebih rumit dari elpiji.
Kurangnya pelatihan tentang teknologi dan penyerapan inovasi yang belum optimal
mengurangi nilai manfaat dan insentif dari biogas di mata masyarakat.
Ketiga, dari sisi
pendanaan, skema hibah dan subsidi penuh pada sebagian besar program-program
biogas pemerintah kontraproduktif terhadap skema semi komersil dari program
biogas LSM. Banyak masyarakat tidak mau membeli reaktor biogas dari LSM karena
cenderung menunggu hibah gratis dari pemerintah.
Penyelesaian
permasalahan-permasalahan di atas menjadi semakin sulit karena kurangnya
kordinasi antar program dalam bertukar informasi dan pengetahuan tentang solusi
tata kelola implementasi.
Multi
pihak dan regulasi
Untuk memperbaiki tata
kelola kebijakan dan program-program biogas, koordinasi dan kerjasama multi
pihak diperlukan. Penelitian
dari Wageningen University menunjukkan bahwa peningkatan kerja sama lintas lembaga
di Indonesia dari 2010-2016 mempengaruhi peningkatan jumlah penyebaran reaktor
biogas dari dari 16 ribu menjadi 37 ribu reactor (Figure
2). Perluasan kerja sama tersebut menggunakan
pendekatan tata kelola polisentris dimana program biogas LSM berkolaborasi
dengan pemerintah, pihak swasta, kelompok petani, dan lembaga keuangan. Kerja
sama multi pihak berperan penting dalam menyerap inovasi teknologi dan integrasi
skema pendanaan lintas program.
Figure 2 Peningkatan jumlah institusi yang
terlibat dalam program biogas dan kerjasama antar mereka berkontribusi pada
kenaikan jumlah diseminasi biodigester, penelitian dari Wageningen University
Kesuksesan pendekatan
multi pihak di atas sayangnya tidak dilanjutkan oleh pemerintah. Tahun 2017, peraturan
Satu Data membuat program-program biogas lintas lembaga dipusatkan ke Kementerian
ESDM. Hal ini menurunkan intensitas kerja sama multi pihak dan mengurangi
capaian penyebaran reaktor biogas menjadi 36 ribu. Penurunan ini dipengaruhi
oleh terbatasnya jangkauan sumber daya ESDM dalam implementasi program.
Kebijakan sentralisasi
program biogas perlu dikaji ulang. Desentralisasi melalui pendekatan multi
pihak penting untuk mendorong distribusi sumber daya otoritas, keuangan, dan
keahlian/pengetahuan tentang biogas. Hal ini harus disertai dengan kordinasi
antara program-program biogas lintas lembaga melalui platform kordinasi/forum
komunikasi untuk integrasi dan sinergi program (Figure
3). Kordinasi perlu dilakukan antara
BAPPENAS, ESDM, NGO, dan sejumlah Lembaga pemerintah lain yang memiliki program
biogas.
Figure 3 Transformasi ideal tata kelola
polisentris, tata kelola rezim biogas di Indonesia sudah dari fase a-c dari
2007 hingga 2016, namun sayang tidak bergerak ke fase d di 2017
Dari sisi pembiayaan, tahun
2019, biogas tidak masuk ke perencanaan
DAK.
Hal ini semakin mengancam optimalisasi penyebaran teknologi biogas. Pemerintah
perlu memikirkan solusi pendanaan lain di luar skema hibah, seperti kerjasama
lebih intensif dengan program biogas dari LSM dengan pendekatan semi komersial dan
subsidi parsial. Hal ini dapat mendukung sektor bisnis pengembangan teknologi
biogas, sehingga kemudian tidak bergantung pada APBN.
Selain itu, regulasi juga
diperlukan untuk memperkuat dorongan menggunakan biogas. Pemerintah bisa
mempertimbangkan untuk mengurangi atau memindahkan subsidi elpiji untuk biogas,
khususnya di daerah yang memiliki potensi limbah pertanian. Belajar dari Cina, kesuksesan
penyebaran jutaan reaktor biogas didorong oleh kordinasi antar regulasi
pertanian, energi terbarukan, peternakan, energi konservasi, ekonomi sirkular,
dan pembangunan desa. Hal ini tentu membutuhkan kerjasama multi pihak yang
intensif.
Saat ini, LSM sedang
berupaya memperjuangan integrasi program biogas ke dalam RPJMN 2020-2024. Untuk
integrasi yang lebih efektif, strategi perbaikan tata kelola dan penambahan
regulasi sebaiknya juga harus turut disertakan. Pengembangan biogas bisa
disertakan dalam kajian lingkungan hidup strategis untuk pembangunan sektor pertanian.
Langkah-langkah perbaikan
tata kelola ini diperlukan agar pengembangan biogas untuk energi terbarukan tidak
dianggap sebagai program setengah hati.
No comments:
Post a Comment