“Keberanian harus di
atas pengetahuan” ??
Begitulah kutipan dari pernyataan salah seorang aktifis mahasiswa, yang kemudian juga turut di-amin-kan oleh sejumlah aktifis mahasiswa lainnya di sebuah forum mahasiswa. Mereka menyetujui bahwa sikap berani adalah yang terpenting dimiliki seorang perwakilan mahasiswa, atau istilah lainnya disebut tukang gertak, dan soal pengetahuan, itu masalah nanti.
Refleksi dari kutipan di atas, jika ditarik hubungkan dengan sejumlah permasalahan pergerakan mahasiswa di Indonesia saat ini, seolah merajut benang merah akar penyebab permasahan tersebut. Mari perlahan, kita coba rajut dengan keterbukaan berfikir dan keikhlasan belajar.
Keberanian atau Nekat ?
Ada sejumlah definisi tentang ‘keberanian’. Julius A Cartage
menyatakan bahwa "Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah
mangsa". Kemudian Dawson Peter Amstrong berujar “Berani bukanlah siap
menghunus pedang, tetapi siap memasukkan pedang ke sarungnya". Lalu, Aristotle
menyatakan bahwa, “The conquering of fear
is the beginning of wisdom”.
Keberanian, haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran. Keberanian bukan berarti asal maju tanpa menghitung risiko, tapi keberanian adalah semua tindakan strategis yang telah terhitung secara akurat sebelum melangkah ke tindakan yang lebih jauh.
Keberanian tidak sama dengan nekat atau asal maju, yang tanpa memahami dan mengetahui permasalahan secara utuh, tapi keberanian ialah sebuah sikap atau karakter yang didukung oleh pengetahuan yang mumpuni. Bila keberanian bermakna nekat atau asal berani, maka sesungguhnya itu adalah kebutaan dalam memaknai keberanian secara benar dan tepat. Keberanian harus memiliki landasan, manfaat, tujuan, dan perencanaan yang matang. Kemudian, sejatinya keberanian diikuti dengan keinginan untuk terus belajar dan mencari kebenaran, bukan pembenaran.
Kembali pada studi kasus mahasiswa di atas, apa yang dinyatakan dalam kutipannya adalah lebih kepada nekat, bukan keberanian. Karena disana ada pemisahan antara keberanian dan pengetahuan.
Jika kita coba menelaah pergerakan mahasiswa hari ini, maka
belum banyak kita temukan pergerakan yang berbasis keberanian sebagaimana
pemahaman sesungguhnya di atas. Kata ‘pergerakan’ masih dimaknai oleh sebagian
besar mahasiswa, dekat dengan aksi demonstrasi atau aksi-aksi sensasional yang
bersifat perlawanan vertikal. Hal ini sepertinya masih dipengaruhi oleh euforia
aksi senior mereka saat reformasi 1998.
Banyak yang berpendapat bahwa pergerakan dengan pemahaman dan pendekatan lama tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan. Apalagi, modal yang digunakan adalah nekat, maka itu hampir sama dengan bunuh diri. Lalu bagaimana pemahaman dan pendekatan seharusnya yang relevan dengan kondisi kekinian saat ini ?.
Pengetahuan : Modal Dasar
Gordon (1994 : 50) mendefinisikan pengetahuan (knowledge) sebagai dasar
kebenaran atau fakta yang harus diketahui dan diterapkan dalam pekerjaan. Selanjutnya
menurut Nadler (1986 : .62), pengetahuan adalah
proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar, tujuannya
untuk mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan.
Merujuk kepada beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah keberanian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.
Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.
Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa, modal pengetahuan
seharusnya menjadi basis atau modal utama.
Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.
Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.
Sebagian kelompok mahasiswa saat ini telah melakukan dan berupaya memaksimalkan pemahaman dan pendekatan berbasis pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka masih sebagian kecil dan sebagian besarnya masih bermodal jumlah massa dan nekat.
Lalu bagaimana dengan sebagian besar mereka yang masih belum berbasis pengetahuan tersebut ?. Apa yang menjadi hambatan bagi mereka ditengah arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Iptek) saat ini ?.
Bahaya Laten Konservatif
“Akuilah dengan hati
bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali
kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”-Tan Malaka
Begitulah himbauan bagi para manusia Indonesia dari seorang
Tan Malaka, pemikir terbaik bangsa yang pertama kali menulis konsep tentang
Republik Indonesia dan berhasil menghidupkan akal sehat orang timur melalui
karya fenomenalnya : Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog).
Himbauan di atas sangat tepat bagi kelompok mahasiswa yang bersikap konservatif. Konservatif adalah sebuah sikap resisten atau ketertutupan terhadap hal-hal baru. Sikap ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, karena salah satu tujuannya adalah menjaga identitas atau karakter asli dari keyakinan yang positif. Namun sikap ini menjadi bodoh ketika dilakukan secara berlebihan. Sehingga memunculkan benteng terhadap gagasan-gagasan baru yang sesungguhnya benar.
Hal ini akhirnya membuat mereka terkungkung dalam kesempitan cara pandang, sementara di luar benteng mereka ilmu pengetahuan terus berkembang. Doktrin kebenaran bagi mereka seolah kaku, statis, dan tidak dinamis. Sifat kritis yang lahir, tumbuh secara tidak seimbang. Hanya mengkritik keluar, namun jarang menggugat ke dalam ; apa yang telah diyakini selama ini. Alhasil kedangkalan pemaknaan terhadap urgensi pengetahuan pun membuat mereka bergerak dengan mengabaikan modal dasar ; pengetahuan.
Penyebab munculnya sikap konservatif ini tentu beralasan. Munculnya sejumlah gerakan yang berupaya menyebarkan paham pemikiran dan ideologi mereka di Indonesia adalah salah satu alasannya. Mahasiswa sebagai generasi masa depan tentu disini menjadi sasaran strategis. Hal ini kemudian dilakukan melalu berbagai metode, sehingga akhirnya berhasil mencuci otak para mahasiswa dan membunuh daya kritis mereka melalui indoktrinasi.
Indoktrinasi yang berlangsung secara terus menerus membuat mereka semakin kerdil. Mereka terkurung dalam kesempitan doktrin, merasa menjadi yang paling benar dan yang lain adalah salah. Yang salah dianggap sebagai musuh dan tidak bisa dipercaya. Kelebihan pengetahuan dan keunggulan lainnya yang dimiliki oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka. Sehingganya, jalan apapun kemudian dihalalkan untuk memusnahkan ancaman-ancaman yang membahayakan tersebut, demi memuluskan jalan meraih kekuasaan politik. Mereka menjadi buta, bodoh, pecundang, dan tanpa integritas.
Inilah bahaya laten dari paham konservatif yang berkembang dan menjadi hambatan dari berkembangnya gerakan mahasiswa yang berbasis pengetahuan.
Konsisten Belajar : Memupuk Keberanian
Gerakan mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian zaman
adalah, sebuah gerakan yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang
dinamis. Bukan sebuah gerakan nekat
dan konservatif yang kuno, klasik, dan tidak berkembang serta tidak relevan
dengan kebutuhan zaman.
Sikap konservatif yang merebak ini memang cukup dilematis. Di satu sisi hal ini sebagai pertahanan terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, di sisi lain hambatan untuk maju dan berkembang. Kompleks memang, karena terkait dengan relatifitas asumsi kebenaran, konspirasi perang pemikiran, dan benturan serta distorsi budaya yang terjadi antara keyakinan dan kepercayaan.
Namun tentu dengan terus menerus belajar memperluas pengetahuan, maka kita seharusnya mampu menarik garis batas dimana kita harus bersikap konservatif dan dimana tidak bersikap demikian.
Kata ‘konsisten’ pun dalam konteks ini harus dipahami dengan benar. Konsisten bukan berarti statis dan bertahan dengan prinsip lama secara terus-menerus. Namun konsisten seharusnya diterapkan dalam upaya belajar memperluas pengetahuan secara terus menerus. Sehingganya, ketika kita menemukan hal baru yang tidak relevan dengan prinsip lama kita dan dirasa lebih benar, maka bukan sebuah kesalahan jika kita merubah prinsip lama tersebut dan beralih ke hal yang baru.
Konsistensi untuk terus belajar, hal inilah yang semestinya ditanamkan dalam setiap roh pergerakan mahasiswa saat ini. Bukan mengedepankan emosi brutal tanpa intelektual. Konsistensi belajar tersebutlah yang akan terus memperluas wawasan pengetahuan mereka, sehingga akhirnya mampu bersikap berani yang ideal. Karena tantangan masa depan kita adalah kompetisi intelektual, ide, gagasan, dan inovasi. Semua hal tersebut berbasis kepada ilmu pengetahuan.
Tulisan ini dimuat di Suara Mahasiswa 17/10/2012
http://suaramahasiswa.com/?ForceFlash=true#/blog/KOLOM-Gerakan-Mahasiswa-Berani-atau-Nekat-.html
Dibukukan dalam Buku "Bunga Rampai Gerakan Mahasiswa, 2012"
Meraih Peringkat 4 dalam Lomba Esai Nasional Polgov Days UGM 2012
http://polgov.16mb.com/pengumuman-lomba-essay/
No comments:
Post a Comment