Awalnya tulisan ini ingin diberi judul “PKM (Bukan Sekedar)
untuk PIMNAS”, namun mengingat sudah terlalu jauhnya sebagian besar kita tersesat
dalam paradigma yang berkembang saat ini, sehingganya perlu penegasan lebih
ekstra bahwa PKM seharusnya bukan berorientasi untuk PIMNAS.
Hakikat PKM dan Pimnas
PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa) adalah sebuah program
dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendiknas yang berawal dari tahun
1997. Saat itu program ini bernama Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di
Perguruan Tinggi (PBKPT). Program ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan
antara teori yang diperoleh mahasiswa dengan realita kebutuhan masyarakat dan
munculnya tuntutan masyarakat atas mutu lulusan perguruan tinggi yang mandiri
dan siap mengantisipasi arah pengembangan bangsa. Sehingganya dengan program
ini diharapkan dapat memacu mahasiswa untuk melahirkan ide dan inovasi karya
yang optimal dan tepat sasaran untuk masyarakat.
Dalam perkembangannya, PBKPT terus mengalami perubahan
hingga akhirnya menjadi saat ini dengan nama PKM. Ada dua jenis PKM, yaitu
PKM-Kegiatan dan PKM-Karya Tulis. PKM-Kegiatan terbagi lagi menjadi lima jenis,
yaitu ; PKM Kewirausahaan, PKM Pengabdian Masyarakat, PKM Penelitian, PKM
Penerapan Teknologi, dan PKM Karsacipta. Kemudian juga PKM-Karya Tulis terbagi
ke dalam dua jenis, yaitu ; PKM Gagasan Tertulis dan PKM Artikel Ilmiah.
Melalui program PKM Dikti mendorong mahasiswa untuk
berkarya. Dikti memberikan bantuan pendanaan bagi setiap usulan proposal yang
dinilai layak. Kemudian dalam proses berjalannya, keberlangsungan program yang
didanai tersebut dievaluasi oleh Dikti sebagai fungsi mekanisme kontrol. Lalu
program yang telah berjalan optimal kemudian diberikan apresiasi untuk tampil
di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas). Di Pimnas, sejumlah karya-karya
mahasiswa yang inovatif dipertunjukkan untuk saling memberikan inspirasi bagi
semua khalayak. Selanjutnya di akhir acara Pimnas, diberikan predikat juara
sebagai apresiasi terhadap karya yang terbaik dari sejumlah yang dipertunjukkan
tersebut. Dengan apresiasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan semangat
berkarya bagi para mahasiswa yang menyaksikan.
Usai kegiatan Pimnas, Dikti mengharapkan program tersebut
dapat terus berjalan secara mandiri dan tentu memberi kebermanfaatan yang
berkelanjutan bagi masyarakat.
Begitulah hakikat sesungguhnya bagaimana memaknai proses PKM
dan Pimnas. Namun kenyataan hari ini, terlihat sangat berbeda. PKM lebih
dimaknai sebagai ajang kompetisi, dan Pimnas sebagai medan pertarungan gengsi
antar kampus atau perguruan tinggi di Indonesia.
Disorientasi
Kompetisi, dalam sudut pandang keilmuan sosiologi istilah
ini dipahami sebagai sebuah persaingan antar individu atau kelompok untuk
menjadi yang terbaik. Dalam pemahaman lainnya, kompetisi dipahami sebagai
sebuah bentuk pusaran. Sang "pemenang" adalah pusat orbitnya, sementara
"peserta lainnya" akan berputar mengelilinginya. Tidak ada istilah
"kalah-menang" di sini, karena kewajiban sang "pemenang"
adalah membagi ilmunya, membagi pengalamannya, menebar energi positifnya,
kepada siapa saja yang mengorbit di sekelilingnya. Sedangkan kewajiban
"peserta lainnya" adalah membuka diri untuk menyerap energi, menyerap
ilmu, menyerap pengalaman dari sang pusat orbit, sang "pemenang".
Inilah sebuah bentuk sinergi.
Namun pemahaman di atas kurang populer berkembang. Sehingga
dewasa ini kata kompetisi lebih populer sebagai sebuah drama yang selalu
melahirkan "Pemenang" sekaligus mencetak sekumpulan "Orang
Kalah". Sebagai konsekuensinya, "Pemenang" akan ditafsirkan
sebagai sosok yang menjulang di puncak kejayaan, yang akan dipandang dengan
wajah menengadah oleh kaum "terkalahkan". Dalam drama kompetisi
tersebut juga tidak jarang terjadi tumpang-tindih yang relatif kejam.
Dalam konteks PKM, program ini tidak seharusnya dimaknai
sebagai kompetisi menurut pemahaman populer di atas, karena tujuannya jelas
berbeda. PKM bertujuan menghasilkan karya yang memberi kebermanfaatan bagi
masyarakat. Masyarakat adalah sasaran utamanya, bukan Pimnas. Namun fakta yang
terjadi hari ini adalah Pimnas sebagai tujuan dari PKM. Masyarakat kemudian
hanya menjadi alat untuk menuju Pimnas. Terjadi disorientasi yang menyebabkan
akhirnya PKM dimaknai sebagai sebuah kompetisi menurut pemahaman populer di
atas.
Disorientasi yang terjadi kemudian melahirkan
turunan-turunan berupa tindakan atau cara-cara yang memprihatinkan. Salah satu
diantaranya adalah lahirnya sejumlah gerakan-gerakan emosional salah kaprah
yang membabi-buta dalam pemenangan PKM-nya untuk dapat lolos ke Pimnas.
Berbagai cara pun lalu dihalalkan. Hal ini sangat membunuh integritas yang
seharusnya dimiliki oleh seorang intelektual. Kemudian juga hal ini menyebabkan
peniadaan hakikat dan esensi PKM yang sesungguhnya mengedepankan nilai
kebermanfaatan. Yang dikedepankan justru berubah menjadi pragmatisme nafsu
kemenangan.
Setelah berhasil meloloskan PKM ke Pimnas. Disorientasi pun
terus berlanjut. Pimnas kemudian hadir dalam sebagai medan pertarungan gengsi
antar kampus. Kemenangan di Pimnas pun akhirnya menjadi segalanya. Hasil akhir
berupa total nilai dan urutan peringkat, menjadi sebuah refleksi kampus
terbaik. Sang pemenang pun merasa jumawa dan si kalah berusaha menyembunyikan
muka malunya. Pertarungan berakhir dan peserta pun kembali ke kampus
masing-masing menyiapkan strategi baru untuk merebut kemenangan di tahun
berikutnya.
Begitulah setiap tahun Pimnas berlangsung dan dimaknai oleh
sebagian besar kita. Masyarakat yang hanya dijadikan alat tersebut akhirnya
berakhir ketika Pimnas. Setelah Pimnas, tidak banyak yang kembali ke masyarakat
dan berusaha melanjutkan programnya secara mandiri. Jelas sudah, telah terjadi
disorientasi dalam pemaknaan PKM dan Pimnas.
Pimnas pada hakikatnya hanyalah ajang apresiasi yang
seharusnya dipahami cuma sebatas efek samping dari karya yang telah menuai
kebermanfaatan bagi masyarakat. Bukanlah ajang mencari kemenangan semu.
Kemenangan sesungguhnya adalah program yang diinisiasi tersebut dapat terus
berkelanjutan memberi kebermanfaatan.
Tobat
Tobat, mungkin kata inilah yang paling tegas dan tepat untuk
menghimbau seluruh kalangan sivitas akademika yang terlibat dalam PKM dan
Pimnas untuk kembali pada hakikat sesungguhnya PKM dan Pimnas. Mahasiswa
sebagai pelaku, dosen sebagai pembimbing, dan perguruan tinggi sebagai sistem
pendorong, harus sinergis bertekad untuk memaknai PKM sebagai alat untuk
berkarya dan masyarakat sebagai tujuan utamanya. Kemudian Pimnas hanyalah ajang
apresiasi untuk saling menebar inspirasi.
Dikti juga diharapkan bisa memberikan evaluasi terhadap
sistem yang telah dibuat selama ini. Keberlanjutan PKM usai Pimnas untuk
menjadi sebuah program kebermanfaatan yang berkelanjutan perlu menjadi
perhatian selanjutnya.
“Aku kira dan bagiku itulah kesadaran sejarah. Sadar akan
hidup dan kesia-siaan nilai.”
― Soe Hok Gie
Jindabyne, 23 September 2012. < 10˚ C
Tulisan ini dimuat di Okezone.com 02 Oktober 2012
Assalamualaikum kak, saya Geo 2012. Saya suka blognya karena setiap tulisan yang dituliskan tidak mainstream :)Keep posting!
ReplyDeletewslm, makasih salman, semoga bermanfaat ya :)
ReplyDeletekeep learning, keep sharing :)