KPK terdesak, sekelompok polisi membabi-buta, Kapolri gagu,
Presiden hanya memantau, dan rakyat tumpah ruah bersorak riuh.
Kondisi inilah yang terjadi di Jumat (5/10) malam lalu,
sekelompok Intel Polri mengepung KPK dan mendadak hendak menangkap penyidik KPK
Novel Baswedan atas tuduhan kasus 8 tahun silam.
Kembali terjadi tamparan bagi penegakan hukum di Indonesia.
Polri diduga melakukan kriminalisasi terhadap penyidik KPK untuk menghambat
pengusutan kasus simulator SIM yang menjerat Irjenpol Djoko Susilo. Sebuah
tindakan pengecut dan tidak berintegritas dari sekelompok oknum Polri yang
semakin mencoreng kredibilitas Polri sebagai salah satu penegak hukum di
Indonesia.
Mengapa Polri bersikap demikian?. Jika kita mencoba
membongkar lebih jauh lagi ke dasar penyebabnya, maka akan ditemukan di kata
“kualitas sumber daya manusia (SDM)”. Polri sesungguhnya telah berupaya terus
berbenah diri dari sejumlah perbaikan sistem. Mulai dari pembuatan blueprint
program perbaikan internal yang meliputi perbaikan mental institusi, pelayanan
masyarakat, bebas korupsi dan pungli, hingga keberanian untuk mengusut aib
sendiri.
Namun disamping itu, tentu juga dibutuhkan dorongan luar
untuk menyempurnakan upaya tersebut. Dorongan itu adalah kesadaran sejumlah
pihak terutama pemuda, untuk memperbaiki dari dalam sistem. Selama ini banyak
pemuda yang hanya bisa bersorak dari luar sistem, mengkritik, mengecam, dan
menuntut berbagai hal dari Polri, namun nyaris tiada yang mampu memberi solusi
paling kongkrit, yaitu ikut berjuang bersama di dalam sistem.
Sekarang lihatlah siapa saja pemuda bangsa yang saat ini
berjuang dari dalam sistem. Komjen Nanan Sukarna (Wakapolri) menyatakan bahwa
peningkatan sumber daya manusia di kepolisian belum tuntas. Tingkat pendidikan
polisi di lapangan umumnya rendah, 350 ribu orang polisi di lapangan ialah
hasil pendidikan Bintara, belum mengenyam pendidikan tinggi.
Dalam buku 'Progression of Motivate and Professional Value'
disebutkan bahwa motivasi terbesar sebagian besar pemuda menjadi polisi
adalah crossical motivation ; motivasi
jalan pintas. Cara cepat memperoleh pekerjaan dengan penghasilan layak tanpa syarat
pendidikan tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong maraknya metode suap
dalam tes masuk polisi. Hingga muncul ungkapan “kurang tes, tambahin tas”.
Berawal dari proses yang salah di awal, sehingganya output
yang dihasilkan pun turut berpengaruh. Mulai dari kasus simulator SIM hingga
pengepungan KPK adalah multiplier effect-nya.
Satjipto Rahardjo (2002) menyatakan bahwa pendidikan
merupakan sarana strategis menyiapkan SDM polisi yang bertugas sarat dengan
muatan perubahan. Pendidikan polisi memerlukan sikap dasar ‘sadar perubahan’.
Hal ini dapat diperoleh dari proses belajar di pendidikan tinggi. Ambil contoh
Polisi di AS, mereka terus didukung untuk mendapatkan pendidikan tinggi karena
diyakini dengan standar kualitas intelek yang tinggi dapat meningkatkan
kepekaan mereka terhadap warga negara, bertindak lebih adil, jujur, dan
berintegritas.
Saat ini terdapat 4,8 juta pemuda Indonesia yang tengah mengenyam
pendidikan tinggi. Namun sangat sedikit dari mereka yang berminat menjadi
polisi. Sudah saatnya para pemuda berkualitas bangsa ini mampu menjawab
persoalan ini dengan berjuang dari dalam sistem. Demi mendorong penegakan hukum
di Indonesia.
Tulisan ini dimuat di
Seputar Indonesia 26 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment