“Mudik” dan “Jakarta”, kedua kata ini sepertinya cukup akrab
dipertemukan dalam berbagai bahasan atau obrolan dimana-mana menjelang lebaran
atau pun setelah lebaran.
Mudik adalah istilah untuk pulang kampung yang menjadi
budaya dari masyarakat Indonesia terutama di hari-hari besar keagamaan dan
liburan. Sedangkan Jakarta adalah kota metropolitan di Indonesia dengan
kepadatan penduduk tertinggi di dunia, mencapai 12.992 jiwa per km2 menurut
data tahun 2010 dari Bappenas.
Keterkaitan antara mudik dengan Kota Jakarta adalah sebuah
hal yang lumrah, mengingat Jakarta adalah daerah dengan angka terbesar asal
arus mudik dan tujuan arus balik. Menurut survey dari Litbang Kementrian
Perhubungan, diprediksi jumlah pemudik tahun 2012 ini mencapai 22 juta jiwa dan
sekitar 8,3 juta atau lebih dari 30 %-nya berasal dari DKI Jakarta.
Selanjutnya, terkait arus balik, menurut sejumlah kepala
terminal bis di Jakarta, setiap tahunnya selalu terjadi jumlah arus balik yang
selalu lebih tinggi daripada arus mudik. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya
pemudik yang membawa para kerabatnya ketika kembali ke Jakarta. Kemudian juga
dikarenakan penyelenggaraan mudik gratis yang semakin menjamur.
Kepala Dinas Dukcapil DKI Jakarta Purba Hutapea mengatakan
masalah urbanisasi merupakan masalah tahunan yang selalu dihadapi
pasca-Lebaran. Tahun 2011, jumlah pendatang baru di Jakarta mencapai 51.875
orang. Meskipun dari tahun 2003 hingga 2011 terjadi tren penurunan, namun ada
kemungkinan tahun ini bisa naik karena adanya harapan perubahan Jakarta seiring
isu pilkada yang tengah bergulir.
Pada setiap menjelang Lebaran, Dinas Dukcapil DKI selalu
melakukan sosialisasi melalui spanduk, leaflet, dan seruan gubernur. Semuanya
dipasang di stasiun, terminal, pelabuhan dan bandara tempat keberangkatan para
pemudik. Hal ini dilakukan sebagai upaya mencegah laju urbanisasi, namun fakta
setiap tahunnya mereka tetap berdatangan dan menambah sejumlah permasalahan
baru di Jakarta.
Sudah begitu banyak masalah di Jakarta, mulai dari kondisi
fisik seperti daya dukung lingkungan yang meliputi udara, tanah, air dan
lainnya sudah sangat kritis, hingga masalah sosial yang tak terbendung.
Mudik seharusnya menjadi momentum bagi para pemudik untuk
mengobservasi daerah asalnya. Mulai dari mempelajari masalah yang ada,
memecahkannya,hingga menggali potensi-potensi yang tersembunyi. Dari semua itu
diharapkan para pemudik menyadari bahwa daerah asalnya membutuhkan suntikan
sumber daya untuk akselerasi pembangunannya. Modal ilmu yang didapat di Jakarta
seharusnya bisa dikembangkan untuk hal tersebut.
Para pemudik seharusnya membangun daerah asal masing-masing.
Salah satunya bisa dengan membuka lapangan pekerjaan di sana. Hal ini tentu
akan menyerap tenaga kerja sehingga mengurangi urbanisasi ke Jakarta. Alhasil,
permasalahan di Jakarta akan berkurang.
Janganlah memanjakan saudara di daerah asal dengan memberi
godaan kemewahan Jakarta yang dianggap memberi harapan penghidupan. Jakarta
sudah sesak dan sebaliknya daerah asal penuh kedamaian dan menyimpan sejuta
potensi luar biasa. Sudah saatnya mengubah cara pandang kita terhadap “Mudik”
dan “Jakarta”. Jadikanlah Mudik sebagai momentum meninggalkan Jakarta dan
membangun daerah asal, demi terwujudnya pemerataan pembangunan di Indonesia.
Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 18 August 2012
Bagaimana cara yang tepat guna menyadarkan masyarakat urban tersebut? Apakah pemerintah sudah memikirkan cara nya? Hal yang baik jika semua penduduk urban dapat berfikir seperti itu. Selebih yang belum menetap tinggal di jakarta.
ReplyDeleteMenyadarkannya bisa dg ngasi contoh sukses orang2 yg udah nyobain sebelumnya : pulang mbangun deso. Bisa juga dg ngasi kondisi miris ketimpangan di daerah buat menarik simpati mereka
DeletePemerintah kayanya blom berbuat banyak buat ini. Kita bisa garap juga rekomendasi buat pemerintah daerah buat manggil putra2i terbaik mereka buat pulang
Yap. Mari bantu share ke lingkaran kita masing2