Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap
kemunafikan" - Soe Hok Gie
Begitulah kutipan dalam buku “Catatan Seorang Demonstran”
dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang hingga kini
terus menginspirasi. Dalam kutipan tersebut Gie menegaskan sikapnya yang ketika
itu digoyang oleh banyak godaan agar dia menghentikan upayanya menyuarakan
kebenaran. Dalam buku yang sama Gie juga menggambarkan bagaimana beberapa orang
rekan mahasiswanya akhirnya juga tunduk pada godaan tersebut dan menyerah dalam
perjuangan menyuarakan kebenaran.
Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa
sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa,
mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari
ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Jargon-jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan kurang ampuh. Buktinya
sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang terbukti akhirnya berada di bawah
komando kekuatan yang lebih besar berwujud partai politik (parpol).
Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki
aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini jumlah mahasiswa
di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah
yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang
cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.
Namun harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan
mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan
tersebut berbentuk underbow yang menyatakan independen, namun sejumlah studi
telah membuktikan bahwa mereka memang benar terkait. Nahdatul Ulama yang dulu
sempat menjadi parpol dekat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Kemudian HMI dekat dengan Golkar.
Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah
tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang PKS)
yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil
terbentuklah sejumlah kelompok-kelompok idealogis mahasiswa yang secara tidak
langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan semakin
erat dan kelompok-kelompok tersebut itu pun semakin berkembang menjadi ladang
kaderisasi parpol terkait.
Akhirnya yang terjadi justru persaingan antar
kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk
melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang cerdas
pun perlahan meredup dan sirna.
Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar “Saya
kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat
saya keluar air mata”.
Wahai mahasiswa, sekarang semua sudah terjadi. Anggaplah ini
sebagai seni berdemokrasi. Namun jangan sampai terlarut dan terlena. Ingatlah
tugas utama menyuarakan aspirasi rakyat. Beban moral seorang intelektual.
Jadikan parpol cukup sebagai alat mencapai tugas utama
tersebut. Jangan sampai buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol
kekuasaan. Ingat yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan pembenaran
Mari serap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Lalu
olah dengan kekayaan ilmu pengetahuan. Ciptakan karya nyata yang optimal.
Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 26 September 2012
No comments:
Post a Comment