Tuesday, October 30, 2012

Mahasiswa dan Partai Politik



Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan" - Soe Hok Gie

Begitulah kutipan dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang hingga kini terus menginspirasi. Dalam kutipan tersebut Gie menegaskan sikapnya yang ketika itu digoyang oleh banyak godaan agar dia menghentikan upayanya menyuarakan kebenaran. Dalam buku yang sama Gie juga menggambarkan bagaimana beberapa orang rekan mahasiswanya akhirnya juga tunduk pada godaan tersebut dan menyerah dalam perjuangan menyuarakan kebenaran.

Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa, mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu. Jargon-jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan kurang ampuh. Buktinya sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang terbukti akhirnya berada di bawah komando kekuatan yang lebih besar berwujud partai politik (parpol).

Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.

Namun harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan tersebut berbentuk underbow yang menyatakan independen, namun sejumlah studi telah membuktikan bahwa mereka memang benar terkait. Nahdatul Ulama yang dulu sempat menjadi parpol dekat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Kemudian HMI dekat dengan Golkar.

Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang PKS) yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil terbentuklah sejumlah kelompok-kelompok idealogis mahasiswa yang secara tidak langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan semakin erat dan kelompok-kelompok tersebut itu pun semakin berkembang menjadi ladang kaderisasi parpol terkait.

Akhirnya yang terjadi justru persaingan antar kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang cerdas pun perlahan meredup dan sirna.

Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar “Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata”.

Wahai mahasiswa, sekarang semua sudah terjadi. Anggaplah ini sebagai seni berdemokrasi. Namun jangan sampai terlarut dan terlena. Ingatlah tugas utama menyuarakan aspirasi rakyat. Beban moral seorang intelektual.

Jadikan parpol cukup sebagai alat mencapai tugas utama tersebut. Jangan sampai buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol kekuasaan. Ingat yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan pembenaran

Mari serap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Lalu olah dengan kekayaan ilmu pengetahuan. Ciptakan karya nyata yang optimal.

Tulisan ini dimuat di Seputar Indonesia 26 September 2012

No comments:

Post a Comment