(Versi Lengkap)
“A Nation in Making”
Begitulah pendapat salah satu intelektual legendaris bangsa,
Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur, tentang keadaan bangsa kita saat
ini. Pendapat tersebut tercantum dalam bukunya, “Indonesia Kita”.
Cak Nur mengakui bahwa fondasi pemikiran bangunan
negara-bangsa (nation-state) yang bernama Indonesia ini telah diletakkan dengan
kokoh oleh para pendiri bangsa. Sejarah nasionalisme di bumi nusantara yang
sudah dimulai semenjak Zaman Majapahit, kemudian lahirnya nasionalisme modern
Indonesia, serta munculnya konsep negara-bangsa dan hubungan antara konsep
tersebut dengan nasionalisme Indonesia, semua menjadi sebuah dinamika proses
pematangan Indonesia kita.
Namun dalam proses tersebut tentu kita tidak lepas dari
tantangan krisis multidimensional yang kian kompleks. Oleh karena itu, Cak Nur
menyerukan kepada para pemuda Indonesia untuk meneguhkan kembali komitmen
kebangsaan dan kenegaraannya demi menjaga keutuhan berbangsa serta
mengoptimalkan dinamika proses yang terjadi.
Banyak cara untuk meneguhkan komitmen tersebut. Menjadi
seorang negarawan adalah salah satunya.
Negarawan (Muda)
Negarawan, sebuah istilah jumawa yang sering dibicarakan,
namun hingga kini di republik ini belum ada satu pun pengertian tentang
negarawan yang disepakati bersama. Bahkan UU yang didalamnya termuat istilah
negarawan tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian negarawan. UU No 24
Tahun 2003 tentang MK dalam Pasal 15 huruf C mensyaratkan bahwa hakim
konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, namun
dalam bab penjelasannya hanya tercantum kalimat “cukup jelas”. Istilah negarawan
yang memerlukan penjelasan, ternyata tidak dijelaskan.
The American Heritage® Dictionary of the English Language
mendefinisikan bahwa negarawan adalah “a man who is a respected leader in a
given field”. Sementara Georges Pompidou menyatakan bahwa negarawan adalah
politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa.
Seirama dengan di atas, Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira
TNI AD, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang
demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak
hanya untuk bangsa negaranya.
Begitu juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun
Depdiknas dan diterbitkan Balai Pustaka (2005), istilah negarawan diartikan
sebagai seorang ahli kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan);
pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu
pandangan ke depan atau mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewajiban.
Tafsir yang hampir sama ditemukan pada Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim (1995). Negarawan
adalah pakar yang menjalankan pemerintahan atau negara; pakar di bidang
kenegaraan. Bisa pula berarti seorang pemimpin politik yang menciptakan
kebijakan negara secara taat asas dengan suatu pandangan ke depan
(hukumonline.com, 2008).
Lebih luas lagi, dalam ensiklopedi bahasa Inggris
dikemukakan definisi negarawan merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang
berprestasi (berjasa) pada satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan
berkarir di kancah politik nasional dan internasional.
Secara umum, definisi negarawan menurut kebanyakan literatur
merupakan para penguasa atau orang-orang yang memerintah suatu negara. Julukan
negarawan hanya pantas diberikan kepada kepala negara, perdana menteri, dan posisi
pemerintahan lainnya. Bahkan, para ahli tata negara membagi dua golongan warga
negara yaitu negarawan dan orang biasa (Zallum, 2004). Setiap orang yang
memegang kekuasaan dalam tampuk pemerintahan disebut negarawan, tanpa melihat
track record atau rapor dari pejabat tersebut.
Pemahaman di atas bertentangan dengan definisi yang
dinyatakan oleh Indra J. Piliang (IJP) dan Dr Andi Irawan. Menurut Dr. Andi
Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok
manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan
bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter,
adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen
tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya. Dr. Andi Irawan
mencoba mengambil konsep negarawan sebagai wisdom leader and people. Dengan
demikian Dr. Andi Irawan juga menyatakan secara implisit bahwa rakyat pun dapat
menjadi negarawan.
Pendapat Dr. Andi Irawan juga secara tidak langsung sesuai
dengan pandangan IJP. Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta ini
juga menginginkan rakyat diberi kesempatan menjadi negarawan (Kompas, 20
Agustus 2002). Dapat disimpulkan bahwa baik Dr. Andi Irawan maupun IJP
mengartikan negarawan dalam makna luas, hingga rakyat pun dapat menjadi
negarawan.
Penguasa sebuah negara bisa saja seorang negarawan, namun
bisa juga bukan. Sebaliknya, seorang biasa dapat menjadi seorang negarawan,
meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Bisa jadi seorang
petani di sawah, seorang karyawan di pabrik, seorang pedagang di pasar, atau
seorang guru di sekolah, adalah seseorang yang bermental negarawan (Zallum,
2004).
Dari begitu banyak definisi di atas, jika diringkas maka
bisa disimpulkan bahwa negarawan adalah pemimpin politik kreatif yang
memperjuangkan kepentingan positif bangsa. Tidak mesti dalam wujud yang besar,
pemuda pun bisa menjadi negarawan, negarawan muda.
Menurut Ketua Pembina Forum Rektor Indonesia Prof Eko
Budihardjo, saat ini diperlukan negarawan muda untuk mengabdi kepada negara
sehingga masa baktinya lebih panjang. Pemimpin muda akan lebih memiliki gagasan
yang cemerlang dan mudah untuk diajak bicara. Selain itu, mereka yang muda akan
lebih terbuka dalam berkomunikasi, misalnya dengan mengikuti perkembangan
teknologi.
Beberapa contoh negarawan muda yang dimiliki Indonesia saat
ini adalah seperti Joko Widodo dan Anies Baswedan. Joko Widodo, Walikota muda
Solo dua periode berturut-turut ini dengan kepercayaan warga lebih dari 90%,
berhasil mengubah wajah Solo dengan Good Governance-nya, serta sekarang juga
kemudian dipilih warga Jakarta untuk menjadi Gubernurnya. Anies Baswedan dengan
gerakan Indonesia Mengajarnya berhasil memimpin sejumlah pemuda luar biasa
bangsa ini untuk membuat perubahan dengan mengajar di daerah-daerah terpencil
di Indonesia.
Terciptanya para negarawan muda tersebut tentu tidak lepas
dari fase mahasiswa sebagai awal mulanya. Fase ini perlu menjadi perhatian
penting untuk dapat mengoptimalkan penciptaan negarawan muda tersebut. Tan
Malaka menyatakan bahwa "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya
dimiliki oleh pemuda".
Maka selanjutnya pertanyaannya adalah, bagaimana cara
mencipta negarawan muda dari sosok mahasiswa?.
Ketika Mahasiswa Berdemokrasi
Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap
kemunafikan" - Soe Hok Gie
Begitulah kutipan dalam buku “Catatan Seorang Demonstran”
dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang dapat kita
sebut juga sebagai salah seorang negarawan muda. Dalam kutipan tersebut Gie
menegaskan sikapnya yang ketika itu digoyang oleh banyak godaan agar dia
menghentikan upayanya menyuarakan kebenaran. Dalam buku yang sama Gie juga
menggambarkan bagaimana beberapa orang rekan mahasiswanya akhirnya juga tunduk
pada godaan tersebut dan menyerah dalam perjuangan menyuarakan kebenaran.
Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa
sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa,
mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari
ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Jargon-jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan
kurang ampuh. Buktinya sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang terbukti
akhirnya berada di bawah komando kekuatan yang lebih besar berwujud partai politik
(parpol).
Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki
aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini jumlah mahasiswa
di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah
yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang
cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.
Namun harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan
mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan
tersebut berbentuk underbow yang menyatakan independen, namun sejumlah studi
telah membuktikan bahwa mereka memang benar terkait dengan parpol. Nahdatul
Ulama yang dulu sempat menjadi parpol dekat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII). Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Kemudian HMI dekat
dengan Golkar.
Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah
tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang PKS)
yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil
terbentuklah sejumlah kelompok-kelompok idealogis mahasiswa yang secara tidak
langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan semakin
erat dan kelompok-kelompok tersebut itu pun semakin berkembang menjadi ladang
kaderisasi parpol terkait.
Akhirnya yang terjadi justru persaingan antar
kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk
melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang
cerdas pun perlahan meredup dan sirna.
Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar “Saya
kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat
saya keluar air mata”.
Setiap kelompok mahasiswa di atas memiliki arogansi
masing-masing. Seringkali mereka berbenturan kepentingan dan bersifat resisten
terhadap kelompok lain. Sampai dalam kondisi terparah, justifikasi kepentingan
kelompok masing-masing mengalahkan kepentingan bangsa. Banyak akhirnya gerakan
yang dilakukan lebih bertujuan untuk meraih simpati publik demi popularitas
kelompok masing-masing. Tujuan utama demi kepentingan bangsa pun menjadi kabur.
Begitulah disorientasi gerakan yang telah terjadi di
mahasiswa hingga saat ini. Tidak berguna jika sekarang kita mencari siapa yang
bersalah menyebabkan kondisi ini. Ini juga bukan salah demokrasi.
Kita merindukan kembalinya karakter-karakter
mahasiswa-mahasiswa seperti Gie. Yang seharusnya kita lakukan sekarang adalah
memikirkan bagaimana memperbaiki kondisi ini sehingga kita kembali mampu
mencipta negarawan-negarawan muda pejuang kepentingan positif bangsa.
Peretas Batas
Terhadap kondisi perpecahan gerakan mahasiswa yang terjadi,
akhirnya mahasiswa lain yang berada diluar kelompok dominan di atas, secara
umum terbagi dalam tiga jenis sikap.
Yang pertama mencoba membuat kelompok-kelompok baru tandingan
yang bersifat hampir sama dengan kelompok-kelompok dominan yang telah ada.
Mereka lahir dari semangat emosional yang relatif salah, yakni ingin
mengalahkan kelompok dominan yang ada. Bukan lahir untuk memperjuangkan
kepentingan bangsa, melainkan juga demi kepentingan kelompok sendiri.
Yang kedua adalah mereka yang memilih tidak berafiliasi
dengan kelompok mana pun. Kelompok ini tidak menyukai atau membenci keberadaan
kelompok-kelompok dominan yang bersifat politis tersebut. Pada akhirnya membuat
kelompok ini bersikap apolitis, partisipasi politiknya cenderung rendah dan
mengarah pada ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa.
Lalu yang terakhir adalah mereka yang sering disebut
oportunis, tidak berafiliasi secara ideologi identitas perjuangan dengan satu
pun kelompok yang ada, namun bergabung dengan semua kelompok untuk mendapatkan
lebih banyak ilmu dan bersilaturahmi dengan setiap kelompok yang ada.
Sikap ketiga, dimilikioleh orang-orang yang sulit dideteksi
keberadaaannya. Dalam pandangan kelompok dominan, mereka dianggap oportunis. Di
kelompok apolitis, mereka dapat membaur sehingga tidak jarang mampu menurunkan
sifat apolitis kelompok tersebut.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mencoba
mempelajari dan memahami kelebihan dan kekurangan setiap kelompok yang ada.
Mereka cair dan terlibat dalam sejumlah kegiatan setiap kelompok serta mencoba
menetralisir kepentingan kelompok dengan menitikberatkan pada kepentingan
bersama bangsa.
Peretas batas, inilah sebutan untuk mereka. Orang-orang yang
tidak terikat pada kepentingan masing-masing kelompok dan tidak juga bersikap
resisten terhadap keberadaan kelompok-kelompok tersebut. Mereka justru
berupaya membuka jalan komunikasi
kerjasama antar kelompok. Dengan ini diharapkan setiap kelompok dapat lebih
terbuka dan kembali pada tujuan utama membangun bangsa.
Para peretas batas meyakini bahwa setiap mahasiswa dan
kelompok yang ada memiliki potensi yang berbeda-beda. Setiap potensi dipercaya
memiliki kebermanfaatan. Setiap kebermanfaatan itulah yang dicoba untuk
dipadukan menjadi sebuah kekuatan sumber daya membangun peradaban.
Sosok mahasiswa seperti inilah yang berpotensi untuk menjadi
seorang negarawan muda. Para pemimpin politik kreatif yang berintegritas. Ialah
pilar-pilar kokoh pembangun masa depan bangsa.
Adapun terkait persetubuhan dengan parpol yang terlanjur
terjadi, hal tersebut hanya dianggap sebagai seni berdemokrasi. Bukan untuk
sampai pada fase terlarut dan terlena dengan kepentingan politiknya. Tugas
menyuarakan aspirasi rakyat tetap dipegang teguh. Hal tersebut adalah tanggung
jawab moral seorang intelektual.
Parpol cukup sebagai alat mencapai tugas tersebut. Tidak
untuk menjadi buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol kekuasaan.
Prinsip yang dikedepankan adalah berjuang untuk kebenaran, bukan untuk
pembenaran.
Menyerap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Lalu
diolah dengan kekayaan ilmu pengetahuan sehingga mampu menciptakan karya nyata
yang optimal. Itulah seorang mahasiswa negarawan (muda).
Merekalah yang akan membantah Bennedict Anderson yang
menyatakan bahwa “Indonesia is imagined community” dan bersatu dalam semangat
Tan Malaka, bahwa "Dalam tiap tiap macam perjuangan inisiatif mempunyai
nilai besar".
No comments:
Post a Comment