Perguruan tinggi tertua di tanah air, Universitas Indonesia
(UI), ialah awal mula kebangkitan pendidikan tinggi di negeri ini. Ribuan anak
bangsa pembelajar dari seluruh pelosok negeri berkumpul menuntut ilmu di kampus
perjuangan tersebut. Mulai dari terbarat Indonesia, hingga paling timur, menyatu
dalam almamater kuning benderang.
Mahasiswa dari beragam etnik dari hampir seluruh provinsi di
Indonesia, silih berganti sejak orde baru telah menyandang status sebagai
mahasiswa UI. Meskipun sebagian besar mahasiswa masih didominasi oleh asal DKI
Jakarta, namun mahasiswa dari daerah lainnya pun setiap tahun terus mengalami
peningkatan jumlah. Data UI pada Tahun 2008 mencatat bahwa 52,71 % mahasiswa
baru S1 Reguler UI berasal dari luar DKI Jakarta. Meningkat jauh dari tahun
2000 yang hanya 20,23 %. Pertumbuhan ini pun membuat UI semakin men-Indonesia,
keberagaman dalam intelektualitas.
Sebuah konsekuensi logis, ketika jumlah anak daerah
(panggilan akrab untuk mahasiswa asal luar Jabodetabek) di UI semakin
meningkat, maka mulai muncullah kelompok-kelompok persaudaraan satu kampung
halaman. Dalam perkembangannya kemudian kelompok ini akrab disebut “Paguyuban
Daerah”.
Menurut Sularso Sopater, Paguyuban artinya ialah perkumpulan
yang dijiwai oleh hidup rukun dan semangat kekeluargaan. Benar adanya, hal
inilah yang terlihat dari kemunculan sejumlah paguyuban daerah di UI. Semangat
kekeluargaan menjadi landasan utama dari perkumpulan ini. Hal ini dibuktikan
oleh salah satu paguyuban daerah tertua di UI yaitu adalah Ikatan Mahasiswa
Minang (Imami) UI. Kumpulan mahasiswa bersuku Minangkabau atau berasal dari
Sumatera Barat ini konon menurut sumber sejarahnya resmi berdiri semenjak tahun
1983 dan hingga kini masih berdiri kokoh serta dinamis.
Saat ini, berdasarkan data dari Paguyuban Nusantara UI
terdapat 53 Paguyuban Daerah di UI. Mulai dari Aceh hingga Papua, semua
memiliki paguyuban daerah masing-masing. Meski berawal dengan semangat
kekeluargaan yang bertujuan untuk saling membantu antar sesama, namun dalam
perkembangannya sejumlah paguyuban daerah ini mulai mengembangkan jenis
kegiatan-kegiatannya.
Meningkatnya
intensitas pertemuan kultural mereka mulai menyebabkan muncunya sejumlah
ide-ide kegiatan sosial. Kegiatannya sangat beragam, mulai dari roadshow
pencerdasan pendidikan ke sejumlah siswa SMA/sederajat, try out SNMPTN,
pelatihan kepemimpinan, bedah kampus, bimbel gratis, festifal budaya, dan
banyak lagi jenis kegiatan lainnya yang memberi kebermanfaatan bagi masyarakat.
Fokus masyarakat mereka adalah yang berada di daerah asal mereka masing-masing.
Paguyuban daerah, dari tahun ke tahunnya semakin berkembang
pesat. Baik dari kuantitas, maupun kualitasnya secara organisasi dan ragam
manfaat kegiatan-kegiatannya. Namun satu fakta yang cukup aneh disini, hingga
detik ini keberadaan paguyuban daerah di UI masih belum legal formal diakui
sebagai lembaga kemahasiswaan. Direktorat Kemahasiswaan yang berurusan dengan
hal ini disini menganggap bahwa paguyuban daerah adalah organ ekstra kampus
yang berarti tidak berada di bawah lindungan UI atau keberadaannya di UI
dianggap ilegal.
Begitulah nasib si paguyuban daerah yang lahir dari rahim UI
dan telah membesarkan nama UI di seantero Indonesia, namun jangankan balas
jasa, bahkan ia tidak dianggap oleh si pemilik rahim. Paguyuban daerah pun
menjadi bagaikan kontradiksi dongeng Maling Kundang, sang anak didurhakai oleh
ibunya.
Dinamika Perjuangan
Fakta menyakitkan yang diterima oleh paguyuban daerah
terkait status ilegalnya memiliki sejumlah cerita mengharukan. Bagaimana
dinamika yang mereka alami menjadi bagian dari perjuangan mereka dalam tetap
berkontribusi membangun Indonesia melalui daerah masing-masing.
Selama ini banyak paguyuban daerah yang merasa dikhianati
oleh banyak pihak, baik dari sesama lembaga mahasiswa maupun para birokrat di
Rektorat UI. Keberadaan mereka diperlakukan seperti anak tiri. Mereka dianggap
sebagai organ ekstra kampus yang mengganggu.
Desember 2010, sama seperti tahun-tahun sebelumnya rektorat
memanggil semua paguyuban daerah untuk datang ke rektorat mendengarkan
sosialisasi tentang penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru UI dan juga
dibagikan ketika itu sejumlah brosur SIMAK UI dalam jumlah yang sangat
terbatas.
Secara tersirat kegiatan itu bertujuan untuk meminta bantuan
kepada sejumlah paguyuban daerah untuk sosialisasi UI serta jalur masuknya.
Sungguh mulia mereka para paguyuban daerah kembali dari tempat itu dengan
ikhlas dalam kondisi brosur dan supporting system kegiatan yang sangat
terbatas. Rektorat tidak pernah peduli tentang hal ini.
Mereka pun kembali ke daerah masing-masing dan menghabiskan
waktu libur Januari untuk mengabdikan diri mereka dengan sejumlah kegiatan yang
pada intinya sangat membesarkan nama UI di mata anak-anak Indonesia. Meskipun
dukungan untuk acara sangat terbatas namun mereka tidak kehilangan semangat
berjuang demi melihat senyum optimis adik-adik mereka menggapai masa depan yang
lebih baik.
Ya begitulah sebulan waktu libur mereka habis tanpa terasa
bersama keringat dan suara yang telah serak menyuarakan pendidikan berkualitas
nan diharapkan masih berkeadilan. Terkadang sebagian orang tua mereka tidak
mampu memahami pekerjaan luhur anak-anak mereka sehingga alhasil kemarahan pun
mereka terima sepulang dari pekerjaan luhur itu. Tapi meskipun demikian mereka
tetap bersyukur masih mendapatkan perhatian dari orang tua mereka.
Liburan telah usai dan mereka pun kembali ke kampus yang
dulu rektoratnya meminta bantuan kepada mereka. Keikhlasan membuat mereka tidak
terlalu mempermasalahkan ketidak-pedulian rektorat kepada mereka meskipun
permohonan telah dikabulkan. Tidak masalah, mereka meyakini banyak pekerjaan
lain yang lebih penting dan mendesak hingga rektorat lupa akan sekedar ucapan
terima kasih.
Sekian bulan berlalu hingga waktu mendekati masa penerimaan
mahasiswa baru (maba). Dalam menyambut masa penerimaan maba, paguyuban daerah
yang dulunya memberikan informasi secara langsung kepada para calon mahasiswa
tentu merasa berkewajiban melanjutkan pekerjaannya. Dalam hal ini paguyuban
daerah sepenuhnya menyadari bahwa dalam tindak advokasi mereka harus
berkoordinasi dengan pihak Kesma BEM. Koordinasi pun dijalankan dan semua
berjalan lancar sampai pada akhirnya terjadi kesalahan sistem informasi yang
cukup fatal terkait pembayaran BOP B pada website penerimaan yang dikelola
rektorat dan menimbulkan sejumlah pertanyaan dari para maba.
Secara kultural para maba lebih dekat dengan seniornya satu
daerah yang dulunya memberikan informasi di Januari. Maka pertanyaan pun
pertama kali diajukan kepada para paguyuban daerah. Karena keadaan yang
mendesak dan pihak Kesma BEM pun tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut
akhirnya salah satu paguyuban daerah mencoba bertanya langsung kepada bagian
kemahasiswaan di PPMT dan jawaban yang diterima sungguh menampar keikhlasan
yang dibina paguyuban daerah. “Karena kamu dari paguyuban daerah maka saya tidak
bisa memberikan jawaban”. Jawaban ini akhirnya menyebabkan kerugian pun
diderita oleh mahasiswa dari paguyuban daerah tersebut.
Beberapa bulan sebelumnya, tamparan lain juga sebenarnya
telah menghampiri. Fasilitas Gazebo Asrama UI yang dulunya merupakan satu-satunya
tempat favorit bagi paguyuban daerah untuk melakukan sejumlah kegiatan
konsolidasi sekarang tidak lagi dapat digunakan. Peraturan baru dari Manajer
Direktorat Fasilitas Umum (Dirfasum) yang membawahi asrama melarang tempat
tersebut digunakan sebagai tempat kegiatan terutama oleh paguyuban daerah.
Sedangkan untuk meminjam ruangan di UI dikenakan biaya mahal disamakan dengan
harga peminjaman dari pihak eksternal kampus.
Pergerakan paguyuban daerah terus menerus dikekang dan
dibatasi. Tamparan demi tamparan terus melecut semangat juang mereka. Mereka
ikhlas tetap berjuang tanpa pamrih, meski sang ibu, UI terus mendurhakai.
Paguyuban Nusantara
Tahun 2007, seiring dengan kisruhnya isu biaya operasional
pendidikan (BOP) di UI, terjadilah pergolakan aksi kontra dari banyak
mahasiswa. Tak terkecuali sejumlah paguyuban daerah ketika itu yang melakukan
aksi demontsrasi bersama mengecam kebijakan kenaikan BOP tersebut. Dalam aksi
tersebut muncullah nama “Forum Nusantara” yang mewakili kumpulan beberapa paguyuban
daerah tersebut.
Juni 2010, semangat kesatuan paguyuban daerah tersebut
dilanjutkan bersamaan dengan keinginan adanya komunikasi antar begitu banyaknya
paguyuban daerah yang ada di UI. Imami UI mulai menginisiasi kegiatan welcome
maba bersama dengan 18 paguyuban daerah lainnya. Kegiatan ini adalah
penyambutan mahasiswa baru yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan daftar
ulang maba. Kegiatan inilah yang akhirnya menjadi tonggak kelahiran forum
komunikasi yang namanya terinspirasi dari semangat di tahun 2007 dan lalu
kemudian disesuaikan sehingga menjadi “Paguyuban Nusantara UI”.
Paguyuban Nusantara UI salah satu tujuannya yaitu berupaya
untuk memperjuangkan keadilan akan persamaan hak dan kewajiban paguyuban daerah
selaku lembaga mahasiswa. Maman Abdurrahman, Ketua BEM UI 2011 yang juga besar
di Makabon (Paguyuban Daerah Cirebon) menyebut paguyuban daerah sebagai lembaga
mahasiswa yang lahir dan berkembang dari rahim UI dan ia sangat berbeda organ
ekstra kampus lainnya yang lahir di luar UI.
Semangat menyukseskan akselerasi otonomi daerah sebagai
salah satu pilar kebangkitan bangsa merupakan visi dari Paguyuban Nusantara
untuk Indonesia. Semangat tersebut justru semakin kuat seiring badai yang
menerpa perjuangan mereka. Bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan
kebudayaan merupakan sorot utama dalam pergerakan tersebut. Sama sekali bukan
gerakan separatis berpaham primordial, namun mereka bicara tentang sinergisasi
pergerakan. Bagaimana mengoptimalkan dan menyinergikan potensi yang dimiliki oleh
setiap paguyuban daerah yang ada di UI sehingga mampu memberi kebermanfaatan
yang optimal bagi UI dan Indonesia.
Begitu banyak potensi yang sesungguhnya dimiliki oleh
paguyuban-paguyuban daerah yang terus digali oleh Paguyuban Nusantara. UI
dengan visinya menjadi World Class Research University tampaknya begitu
ambisius meraih hal ini sehingga lupa akan nama Negara yang disandangnya.
Universitas Indonesia sudah seharusnya benar-benar memberikan kebermanfaatan
yang meng-Indonesia karena fondasi Indonesia ada di daerah-daerah.
Paguyuban Daerah di Mata Para Petinggi UI
Juni 2011, Paguyuban Nusantara menyelenggarakan diskusi umum
bersama tiga orang tokoh mahasiswa di UI ketika itu. Tiga orang tersebut adalah
Andreas Sanjaya (Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa), Eko Aditya (Ketua DPM
UI), dan Maman Abdurrahman (Ketua BEM UI).
Diskusi yang bertemakan tentang ‘Urgensi dan Status Paguyuban Daerah di UI’ dihadiri
oleh sejumlah paguyuban daerah yaitu Sintesa (Tegal), Sasambo (NTB), Imami
(Sumbar), Saimala (Lampung), Smart (Garut), Urban (Bandung), dan Forkoma
Banten.
Diskusi ini dpicu oleh forum Paguyuban Nusantara sebelumnya
yang membahas tentang masa depan mereka terkait status legal formal dari UI.
Terkait hal inilah akhirnya dibutuhkan perspektif dari tiga tokoh di atas.
Tiga poin penjabaran dari tema diskusi ketika itu yaitu
mengenai urgensi paguyuban daerah, bentuk pola hubungannya dengan kembaga
kemahasiswaan lain di UI, dan bentuk serta status dari paguyuban daerah
tersebut.
Pada kesempatan pertama Andrea Sanjaya yang akrab disapa Jay
menyatakan bahwa terkait urgensi ada dua hal yang berseberangan yang dipahami
oleh dua pihak yang sama-sama berasal dari UI. Direktorat kemahasiswaan
menganggap paguyuban daerah adalah sebagai tools yang positif membantu kinerja
UI, sementara di sisi lain Direktorat Fasilitas Umum (Dirfasum) menyatakan
bahwa paguyuban daerah hanya akan menimbulkan pengkotak-kotakan pergaulan dan
memunculkan arogansi antar daerah di UI.
Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tidak adanya titik
temu dalam permasalahan ini. Jay sendiri
menyatakan bahwa ia sendiri cukup mendukung kehadiran Paguyuban Nusantara
sebagai suatu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UI.
Selanjutnya dalam pemaparan kedua Eko Aditya menyatakan bahwa
ia sendiri masih belum cukup jelas apa peranan sentral dari paguyuban daerah.
Ia mengkhawatirkan terjadinya tumpang tindih kegiatan dalam hal advokasi karena
untuk hal tersebut sudah dikelola oleh pihak BEM. Menurutnya paguyuban daerah
memiliki titik terberat hanya di bidang kekeluargaan. Kemudian Eko juga
menyatakan bahwa dalam UUD IKM UI paguyuban daerah belumlah diakui atau
dianggap sama dengan organ ekstra kampus.
“Saya cukup merekomendasikan sebaiknya seluruh paguyuban
daerah cukup dalam satu wadah Paguyuban Nusantara. Untuk dapat menjadi UKM di
UI saat ini aturannya dikelola oleh pihak UI bukan lagi sepenuhnya oleh DPM”,
ujar Eko menjelaskan. Eko yang besar di kawasan Jabodetabek ini kurang begitu
paham akan dinamika dan urgensi keberadaan paguyuban daerah.
Setelah itu pemaparan ketiga pun langsung dilanjutkan oleh
Maman Abdurrahman. Maman menyatakan bahwa paguyuban daerah memiliki peranan
vital bagi para mahasiswa daerah yaitu membentuk karakter mereka.
“Paguyuban daerahlah yang bertanggung jawab menjaga mereka
dari awal masuk hingga kelak mereka tamat. Pola hubungan yang seharusnya
dibangun oleh paguyuban daerah dengan lembaga kemahasiswaan lain yaitu
sinergisasi. Untuk bentuk saya setuju berupa Paguyuban Nusantara karena hal ini
mampu meruntuhkan arogansi daerah yang dicemaskan oleh salah Dirfasum. Namun
sebelum itu sebaiknya diadakan terlebih dahulu revitalisasi struktur,
memperjelas bentuk atau format organisasi, dan mencari diferensiasi yang jelas
dan kuat agar tidak tumpang tindih dengan lembaga kemahasiswaan lain yang telah
ada”, tegas Maman.
Dari tiga tokoh mahasiswa di atas, terlihat bahwa Maman dan
Jay terlihat positif mendukung gerakan yang dilakukan oleh paguyuban daerah dan
juga mendukung pendirian Paguyuban Nusantara. Namun Eko terlihat masih pesimis
melihat potensi paguyuban daerah. Semangat optimisme para paguyuban daerah
belum mampu dipahami oleh Eko.
Selanjutnya dalam kesempatan lain, Badan Otonom Economica,
BOE (UKM Pers di FE UI) pada Agustus 2011 juga mengangkat isu paguyuban daerah
sebagai liputan utama mereka. BOE sengaja mengangkatnya bersamaan dengan
momentum kedatangan maba 2011.
Hasil wawancara BOE dengan Kamarudin selaku Manager
Kemahasiswaan UI memperlihatkan sikap negatif terhadap keberadaan paguyuban
daerah. Kamarudin menanggapi keberadaan paguyuban daerah sebagai sesuatu hal
yang lumrah karena sesama anak daerah. Ia tidak tahu banyak tentang
kegiatan-kegiatan sosial paguyuban daerah sehingga ia pun tidak paham akan
potensi kontribusi yang dimiliki paguyuban daerah.
Terkait status illegal paguyuban daerah, Kamarudin
menyatakan bahwa ada SK Rektor terkait tata kelola ormawa (organisasi
mahasiswa) dan di dalamnya tidak mengatur tentang keberadaan paguyuban daerah.
Kesimpulan dari wawancara tersebut menyatakan bahwa Kamarudin tidak peduli akan
nasib yang dialami oleh paguyuban daerah.
Beberapa isu lain berhembus, bahwa penolakan Direktorat
Kemahasiswaan atas paguyuban daerah ini juga terkait dengan dana kemahasiswaan.
Jumlah paguyuban daerah yang cukup banyak dirasa cukup berat untuk didanai
semuanya. Namun paguyuban daerah disini menjawab dengan solusi bersatu dalam
Paguyuban Nusantara, sehingga tentu dananya cukup melalui satu pintu. Ketika
hal ini dinyatakan pada Kamarudin, ia tak memberi tanggapan akan hal ini.
Berikutnya, BOE juga mewawancarai Donanta selaku Manager
Fasilitas Umum. Kebijakan kontroversial yang dikeluarkannya terkait pelarangan
kegiatan organisasi apapun di Asrama UI mengekang ruang gerak paguyuban daerah.
Paguyuban daerah yang selama ini biasa meminjam fasilitas Gazebo Asrama UI
untuk tempat menyelenggarakan kegiatan pun menjadi kehilangan tempat.
Donanta menyatakan bahwa ia memang tidak setuju dengan
keberadaan paguyuban daerah di UI. Menurutnya hal ini menimbulkan semangat
kedaerah yang berpotensi memecah persatuan. Hal ini membuat mahasiswa tidak
berkembang karena bergaul dengan teman satu daerahnya. Padahal selama ini,
tidak pernah sekalipun terjadi konflik antar paguyuban daerah. Paguyuban daerah
pun menanggapi bahwa mereka tidak sebodoh itu untuk memicu isu SARA seperti
yang dikhawatirkan Donanta. Kekhawatiran Donanta sebenarnya juga terjawab
dengan kehadiran Paguyuban Nusantara yang melebur sekat kedaerahan.
Begitulah pandangan dua orang pemangku kebijakan di UI
terhadap keberadaan paguyuban daerah. Tidak satu pun dari mereka yang sadar
akan potensi dan apa yang telah dilakukan oleh paguyuban daerah untuk UI dan
bahkan Indonesia selama ini. Keduanya masih belum mampu berpikir out of the
box. Belum jeli mengamati potensi dibalik ketakutan-ketakutan dan hal yang
mereka anggap kecil, meski sebenaranya bernilai besar.
Menanti Tangan dari Langit
Tahun 2012, beberapa tokoh lama penggiat perjuangan
paguyuban daerah pun mulai surut dikarenakan pergantian kepengurusan dan
tanggung jawab lain yang harus dipikulnya. Kaderisasi pun dilakukan dan
sekarang perjuangan dilanjutkan oleh pemuda-pemuda baru. Sebagian besar mereka
adalah para maba, tahun pertama dan kedua. Regenerasi kepengurusan di paguyuban
daerah berbeda dengan rata-rata lembaga mahasiswa lainnya di UI. Pengurus inti
di paguyuban daerah biasanya adalah para mahasiswa tahun pertama dan kedua. Merekalah
berkembang lebih cepat dibanding mahasiswa lainnya yang baru menjadi pengurus
inti di lembaga mahasiswa lainnya pada tahun ketiga atau keempat.
Ya itulah paguyuban daerah berisikan maba-maba pejuang.
Kegiatan yang mereka perjuangkan lebih dari sekedar lingkup kampus UI yang 320
hektar. Namun mobilitas gerakan mereka menjangkau kota kabupaten hingga
provinsi se Indonesia. Dengan modal keberanian dan semangat muda, mereka telah
sukses menginspirasi banyak anak Indonesia di pelosok-pelosok daerah mereka
untuk lebih membuka mata akan pentingnya pendidikan berkualitas.
Berkat pengalaman berjuang yang mereka peroleh di daerah,
mereka mencoba membagi pengalaman dan ide-ide tersebut ke teman-teman
seperjuangan mereka sesama paguyuban daerah. Inilah yang akhirnya menyulut
semangat bersatu dalam payung Paguyuban Nusantara. Forum demi forum terus
melahirkan sejumlah ide-ide segar mengembangkan dinamika kontribusi mereka.
Hingga sampai pada tuntutan status legal formal dari UI. Para maba ini tentu
tidak terlalu paham akan konstitusi yang ada di UI yang menjadi penghalang
mereka dalam meraih apa yang mereka perjuangkan. Namun begitu, mereka terus
belajar dan berusaha, dalam semangat meng-Indonesia.
Tantangan yang kini dihadapi oleh Paguyuban Nusantara dalam
memperjuangkan nasib paguyuban daerah menjadi semakin berat. Mengingat begitu
banyaknya isu permasalahan internal kampus yang lain yang juga membesar di UI.
Sehingganya isu paguyuban daerah ini pun menjadi tenggelam.
Ditambah lagi, kondisi internal antar paguyuban daerah pun
juga mengalami beberapa perbedaan pendapat. Beberapa paguyuban daerah yang
sudah berumur relatif tua dan telah mengalami berbagai dinamika perjuangan,
menyetujui untuk penuntutan status legal formal
pengakuan resmi dari UI. Namun sejumlah paguyuban lain yang relatif
masih muda merasa belum terlalu membutuhkan hal tersebut. Hal ini wajar karena
memang di fase awal pembentukan paguyuban daerah, nilai yan g mereka anut masih
sebatas fungsi kekeluargaan, belum sampai ke tahap kontribusi ke luar untuk
masyarakat.
Segala daya upaya terus dilakukan oleh paguyuban daerah
seiring tantangan yang beraneka ragam. Bottom up, perjuangan dari bawah, itulah
yang mereka lakukan selama ini mencoba meraih simpati dan membuka hati si
pemangku kebijakan untuk mampu sadar akan apa yang mereka perjuangkan. Namun
hingga detik ini, hati itu masih belum terketuk, belum ada satupun kebijakan
dari atas yang member harapan atas cita-cita mulia mereka.
Dari tahun 2007 hingga 2012, kepemimpinan Rektor Gumilar
tidak memberi secercah harapan apapun bagi pengembangan potensi paguyuban
daerah. Keberadaannya dimanfaatkan dengan sangat pragmatis, hanya demi promosi
UI di seantero Indonesia. Hal yang terakhir ini pun bertepuk sebelah tangan.
Tidak ada apresiasi yang diberikan UI terhadap sumbangsih ikhlas yang diberikan
paguyuban daerah. Yang ada justru ruang geraknya semakin dikekang dan dibatasi
melalui kebijakan Dirfasum yang melarang paguyuban daerah menggunakan apapun
fasilitas kampus.
Agustus 2012 ini, genta demokrasi kembali digaungkan. Masa
jabatan rektor saat ini telah usai dan saatnya memilih pemimpin baru. Doa dari
sejumlah paguyuban daerah adalah semoga pemimpin berikutnya dapat menyambut
perjuangan mereka selama ini dan konkrit memberi solusi kebijakan terkait keberadaan
dan potensi paguyuban daerah. Kebijakan tersebut akan bagaikan tangan dari
langit yang akan mampu menyempurnakan perjuangan paguyuban daerah selama ini.
Saatnya UI Meng-Indonesia
Sekali lagi, ada 53 paguyuban daerah di UI saat dari Aceh
hingga Papua, dan jumlah ini akan terus bertambah seiring gencarnya gerakan
mereka. Kegiatan mereka selama ini adalah memberi kebermanfaatan terutama di
bidang pendidikan di daerah mereka masing-masing. Jika UI mampu mengembangkan
serta memberdayakan mereka, maka akan mampu benar-benar UI memberi
kebermanfaatan yang meng-Indonesia.
Mereka adalah calon pemimpin masa depan bangsa, dan akan
sangat tepat jika mereka memulai dari membangun daerah mereka masing-masing.
Saat ini mereka telah berpikir untuk menyukseskan akselerasi pembangunan di
daerah mereka masing-masing. Ini adalah sebuah hal positif yang patut didukung.
Saat ini otonomi daerah di Indonesia masih terbilang gagal, mengingat
menjamurnya kasus korupsi dan kebobrokan birokrasi. Para mahasiswa UI yang
berjuang di paguyuban daerah ini bisa menjadi jawaban di masa depan.
Jumlah paguyuban daerah yang banyak, bukan lagi alas an bagi
UI untuk tidak mampu mengurus mereka. Karena kehadiran Paguyuban Nusantara
telah mencoba menyatukan mereka dengan visi untuk UI dan Indonesia. Maka dari
itu, sudah saatnya sekarang UI meng-Indonesia. Sudah begitu banyak prestasi
internasional yang telah diraih UI, namun di lain sisi minim sekali prestasi
nasional. Meng-Indonesia bersama sejumlah paguyuban daerah yang ada saat ini,
sungguh akan menjadi sebuah prestasi nasional yang tak ternilai. UI adalah
Universitas “Indonesia”, bukan Universitas Internasional.
Esai ini dibukukan dalam Buku "Membangun di Atas Puing Integritas : Belajar dari Univ Indonesia", 2012.
No comments:
Post a Comment