Anak daerah, begitulah sebutan bagi para mahasiswa asal luar kota tempat kampus mereka berada. Sebutan ini merupakan simplifikasi dari istilah awalnya mahasiswa daerah. Penggunaan kata ‘daerah’ disini diakibatkan oleh adanya pemaknaan terhadap pemahaman daerah pusat dan daerah sekitarnya. Daerah pusat kemudian populer dianggap sebagai daerah perkotaan dan daerah sekitarnya dianggap sebagai pedesaan yang kemudian lebih akrab disebut sebagai ‘daerah’. Sebagai contoh, para mahasiswa asal luar Jakarta yang berkuliah di Jakarta akan disebut sebagai anak daerah.
Anak daerah adalah para pembelajar tangguh yang berjuang
untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah.
Ketimpangan Persebaran Pendidikan Tinggi di Indonesia
Kemunculan para anak daerah dalam khazanah dunia pendidikan
di Indonesia tentu memiliki penyebab layaknya hukum aksi-reaksi. Penyebab
awalnya bermula dari kesalahan strategi pembangunan di zaman orde baru.
Jawanisasi dan sentralisasi yang dilakukan berdampak terhadap tidak meratanya
pembangunan di Indonesia.
Kesalahan ini akhirnya juga menyebabkan gagalnya pemerintah
dalam upaya pemerataan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Alhasil,
persebaran kuantitas dan juga kualitas perguruan tinggi (PT) di Indonesia
sangat tidak merata dari sabang hingga merauke.
Data Dikti tahun 2010 tentang persebaran kuantitas PT di
Indonesia menunjukkan bahwa dari 3098 PT di Indonesia, 1504 atau hampir 50
%-nya berada di Pulau Jawa. Jumlah tersebut dominan di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa
Timur.
Kemudian juga, dari segi kualitas ketimpangan juga
berbanding lurus dengan yang terjadi pada persebaran kuantitas di atas.
Berdasar sejumlah ranking universitas yang dibuat oleh berbagai lembaga
menunjukkan bahwa rata-rata sejumlah PT di Jawa memiliki peringkat lebih tinggi
dibanding PT di luar Jawa.
Selanjutnya, kondisi ketimpangan persebaran kuantitas dan
kualitas PT di atas tentu juga berbanding lurus terhadap persebaran jumlah
mahasiswa.
Menurut Menteri Pendidikan M. Nuh pada tahun 2011 jumlah
mahasiswa di Indonesia mencapai 4,8 juta orang dan lebih dari 50% dari mereka
terpusat di Pulau Jawa.
Semua ketimpangan di atas akhirnya membuat kualitas dan juga
kuantitas pendidikan tinggi di Pulau Jawa menjadi lebih tinggi.
Ketimpangan ini sudah terlalu berlarut, sehingga sulit untuk
diratakan. Pendidikan tinggi di Pulau Jawa semakin membaik dengan akselerasi
perkembangan yang semakin cepat dan pendidikan tinggi di daerah berupaya untuk
mengejar namun dengan akselerasi yang lebih lambat. Hal ini tentu membuat
jurang ketimpangan semakin melebar. Popularitas pendidikan tinggi yang lebih
baik melambung jauh, dan yang tidak lebih baik perlahan meredup.
Bagi para siswa sekolah menengah atas (SMA)/sederajat yang
akan melanjutkan ke pendidikan tinggi, tentu persoalan ketimpangan di atas
belum terlalu menjadi perhatian bagi mereka. Sebagian besar mereka hanya
berpikir bagaimana cara mendapatkan pendidikan tinggi yang ideal bagi mereka.
Hasil tempaan di sebagian besar sekolah mereka mengarahkan untuk memilih
pendidikan tinggi yang lebih baik. Alhasil mereka pun berlomba-lomba untuk
mendapatkan hal tersebut.
Maka akhirnya tidak heran jika setiap tahunnya fakta
menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa di Pulau Jawa terus bertambah.
Kecendrungan Merantau
Kondisi di atas kemudian juga didukung oleh budaya merantau
yang dianut sejumlah suku di Indonesia. Merantau adalah kebudayaan meninggalkan
kampung halaman dan pergi ke luar daerah mereka untuk menuntut ilmu atau
mencari kehidupan yang lebih baik.
Menurut sejumlah sumber, beberapa suku dengan budaya
merantau terkuat di Indonesia adalah Batak, Bugis, dan Minangkabau.
Budaya tersebut akhirnya turut mendukung sejumlah anak-anak
mereka untuk melanjutkan pendidikan di luar daerah mereka.
Selain itu, kemajuan akses transportasi dan komunikasi yang
terjadi juga semakin membuat deras laju merantau yang terjadi. Perkembangan
teknologi transportasi dan komunikasi yang terjadi membuat anak mana pun dari
pelosok Indonesia bisa berkuliah di pendidikan tinggi terbaik di negeri ini.
Dalam studi demografi laju merantau ini dipahami sebagai
salah satu bentuk migrasi yang terjadi. Laju migrasi mereka yang meningkat
setiap tahunnya membuat jumlah mereka terus bertambah.
Organisasi Mahasiswa Daerah
“Mangan ga mangan yang penting ngumpul (Makan ga Makan, yang
penting ngumpul)”, ungkapan tersebut sering digunakan oleh banyak Orang Jawa
dalam menggambarkan kebiasaan mereka yang suka berkumpul atau nongkrong.
Kebiasaan ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh Orang-orang Jawa,
sejumlah suku lain pun di Indonesia juga akrab dengan kebiasaan ini. Hal ini
terlihat dari keberadaan sejumlah perkumpulan mahasiswa daerah di sejumlah PT
di Indonesia.
Hasil survey yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Bogor pada
tahun 2007 menunjukkan jumlah organisasi mahasiswa daerah di Indonesia mencapai
ribuan. Bahkan beberapa diantara mereka memiliki aliansi antar kampus yang
mempertemukan organisasi mahasiswa dari suatu daerah yang berasal dari berbagai
kampus. Fokus kegiatan organisasi mahasiswa daerah ini cukup beragam, mulai
dari bidang pendidikan, sosial kemasyarkatan, hingga seni budaya.
Dari sejumlah organisasi mahasiswa daerah yang terdata di
atas, sebagian besar berada di perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Pulau
Jawa, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah mada (UGM), dan
Institut Negeri Bandung (ITB). Hal ini tentu disebabkan oleh popularitas PTN
tersebut yang tersebar di seantero negeri sehingga memanggil sejumlah putra
terbaik daerah untuk bergabung bersama mereka.
UI sebagai kampus yang menyandang nama negara memiliki 53..
organisasi mahasiswa daerah dari Aceh hingga Papua. Jumlah ini berdasar pada
data dari Paguyuban Nusantara UI yang merupakan aliansi dari
organisasi-organisasi mahasiswa daerah tersebut. Di UI, organisasi mahasiswa
daerah biasa disebut dengan istilah ‘paguyuban daerah’. Hingga saat ini, status
mereka adalah organ ekstra kampus karena masih belum dianggap resmi oleh UI.
Dari 53 paguyuban daerah yang ada, sebagian besarnya berasal
dari Pulau Jawa. Ada perbedaan mendasar dari paguyuban daerah dari Pulau Jawa
dengan luar Jawa. Sebagian besar yang berasal dari Pulau Jawa membuat paguyuban
dengan skala per kota/kabupaten, sedangkan yang di luar Jawa dengan skala per
provinsi. Hal ini disebabkan oleh jumlah mahasiswa asli Jawa yang lebih banyak
dan aroma kesatuan per kota yang lebih kuat dibanding kesatuan dalam tingkat
provinsi.
Salah satu paguyuban daerah di UI yang tertua adalah Ikatan
Mahasiswa Minang (Imami) UI. Imami UI juga telah membuktikan keberhasilan
kontribusi mereka membangun bangsa dengan fokus di bidang pendidikan. Salah
satunya melalui kegiatan “Kampus Goes to Kampuang (KGTK)” yang dimulai dari
tahun 2003. KGTK ini berawal dari keinginan mereka untuk memberikan kontribusi
untuk daerah asal mereka. Sehingganya muncullah di tahun tersebut KGTK pertama
yang terdiri dari sejumlah kegiatan, yaitu ; roadshow pencerdasan pendidikan,
try out SNMPTN, dan Bedah Kampus UI. KGTK dilakukan di Bulan Januari ketika
libur semester ganjil.
Kegiatan ini kemudian terus dilanjutkan setiap tahunnya
hingga sekarang oleh penerus Imami UI. Jenis kegiatannya pun juga turut
mengalami perkembangan, hingga meliputi workshop potensi bencana, studi islam
dan adat, Minangkabau Culture Festival, lomba fotografi, esay, dan kaligrafi,
dan sejumlah kegiatan lainnya. Tahun 2013 ini KGTK menginjak usia 1 dekade dan
merayakan KGTK ke-10 nya dengan sejumlah kegiatan yang lebih menggebrak
dibanding sebelum-sebelumnya. Salah satu inovasi baru kegiatan KGTK 10 adalah
adanya kegiatan Imami Mengajar yang mengadaptasi dari Gerakan Indonesia
Mengajar...
Dampak dari penyelenggaraan KGTK ini setiap tahunnya
menciptakan dampak yang cukup drastis. Jumlah mahasiswa asal Sumatera Barat di
UI pun mengalami peningkatan pesat mencapai 20% setiap tahunnya. Saat ini
terdapat lebih dari 700 orang anggota dari Imami UI. Kesuksesan ini pun alhasil
memicu keinginan paguyuban daerah lainnya untuk turut meningkatkan kontribusi
mereka, terutama di bidang pendidikan.
Lain halnya dengan sejumlah paguyuban daerah di UI, di ITB
sejumlah organisasi mahasiswa daerah disini lebih fokus di bidang seni budaya
dan status mereka adalah sebagai organ intra kampus yang diakui legal formal
sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM).
Kegiatan sejumlah UKM ini sangat aktif dalam pelestarian dan
pengembangan kebudayaan daerah mereka masing-masing. Bahkan beberapa diantara
mereka sudah mencapai level internasional dalam promosi kebudayaan tersebut.
Selanjutnya di UGM yang merupakan kota pelajar dimana
heterogenitas daerah asal mahasiswanya lebih tinggi, jumlah organisasi
mahasiswa daerah disini tidak kalah banyak dengan di UI dan ITB. Namun ada satu
keunikan yang berbeda dengan di UI dan ITB yang ditemui di UGM. Jika di ITB dan
UI sedikit ditemui organisasi mahasiswa daerah dari daerah timur Indonesia,
maka di UGM-lah bisa ditemukan mereka.
Kegiatan sejumlah organisasi mahasiswa daerah di UGM tidak
jauh berbeda dengan kegiatan sejumlah paguyuban daerah di UI, yakni di bidang
pendidikan.
Begitulah kontribusi sejumlah organisasi mahasiswa daerah
yang ada di beberapa kampus terbaik di Indonesia. Setiap tahunnya kontribusi
mereka terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas.
(De)Migrasi
Dibalik kecemerlangan kesuksesan kontribusi sejumlah
organisasi mahasiswa daerah di atas, ada sebuah fenomena lain yang berpotensi
merugikan daerah asal para mahasiswa tersebut. Sebagian besar gerakan yang
dilakukan oleh organisasi mahasiswa daerah ini berasal dari kampus-kampus besar
di Pulau Jawa dan gerakan tersebut cenderung semakin mengajak para junior
mereka di daerah untuk ikut serta menyusul mereka untuk bermigrasi. Hal inilah
yang pada akhirnya semakin memusatkan persebaran mahasiswa semakin terpusat di
Pulau Jawa.
Sebagian besar mereka yang bermigrasi adalah mereka yang
dengan kemampuan akademik relatif lebih baik daripada yang tidak bermigrasi. Sehingganya
terjadilah fenomena brain drain dalam skala provinsi di Indonesia. Dimana
sumber daya manusia (SDM) berkualitas dari luar Jawa terhisap ke Pulau Jawa.
Setelah selesai studi dan mencari pengalaman bekerja,
sebagian besar mereka tidak banyak yang kembali lagi ke daerah masing-masing
untuk mengabdi membangun daerahnya.
Hal ini dibuktikan dari angka migrasi netto yang negatif di
beberapa provinsi. Migrasi netto berasal dari pengurangan angka migrasi masuk
dengan migrasi keluar, sehingga terlihat berapa perubahan jumlah penduduk yang
terjadi. Beberapa provinsi yang memiliki etnik dengan kebudayan merantau tinggi
menunjukkan angka migrasi netto yang negatif tersebut, antara lain Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi
Selatan.
Hal ini pun menjadi tugas baru yang harus disadari oleh
sejumlah kalangan, terutama para organisasi mahasiswa daerah tersebut dan
pemerintah daerah asal mereka masing-masing.
Bagi para organisasi mahasiswa daerah, mereka harus mulai
memikirkan dan mempersiapkan kewajiban mereka untuk bagaimana mendorong para
SDM berkualitas dari daerah mereka untuk bisa kembali lagi ke daerah
mengaplikasikan ilmu yang telah didapat serta mengabdikan diri membangun daerah
tersebut.
Banyak cara untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah. Namun
untuk merubah siklus kemiskinan yang menjadi momok di Indonesia menjadi sebuah
siklus kemakmuran, diperlukan strategi pembangunan yang tepat sasaran. Ada tiga
unsur dalam siklus kemiskinan, yaitu ; pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan.
Untuk memperbaiki siklus tersebut, maka kita tidak harus menyentuh semuanya,
cukup dengan fokus kepada salah satu unsur dari ketiga tersebut. Maka kita akan
dapat memutar roda siklus tersebut sehingga kemiskinan dapat berubah menjadi
kemakmuran.
Dalam konteks organisasi mahasiswa daerah yang sebelumnya
beberapa diantaranya telah terbiasa dengan gerakan pencerdasan pendidikan di
daerah mereka. Maka unsur pendidikan dapat menjadi sebuah unsur yang bisa
menjadi target sasaran perbaikan dalam membangun daerah. Membangun bidang
pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang. Dengan menciptakan
pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan di daerah masing-masing, maka
diharapkan dapat mengurangi angka migrasi serta brain drain di masa mendatang.
Sehingganya terciptalah SDM-SDM berkualitas yang merata di setiap daerah di
Indonesia. Merekalah yang akan mentransformasi siklus kemiskinan saat ini
menjadi siklus kemakmuran di masa mendatang.
Karena fondasi Indonesia ada di daerah-daerah..
Esai ini menjadi finalis dalam Gema Lomba Karya Esai Nasional tahun 2012 BEM UNDIKSHA Bali dan dibukukan dalam Buku "Merawat Indonesia untuk Kepemimpinan Alternatif", 2012.
No comments:
Post a Comment