Sontak beberapa waktu lalu di negeri mayoritas muslim, isu
toleransi dan minoritas heboh bersama kisruh perda syariah yang mencuat setelah
penggusuran warung yang buka di siang hari saat Ramadan di Serang. Sementara
itu jauh di negara mayoritas Kristen, umat Yahudi, Kristen dan Islam mengadakan
buka puasa bersama di sebuah sinagog di London. Di sejumlah negeri mayoritas
non-muslim lainnya pun, sejumlah pihak tengah mengembangkan tempat ibadah
inklusif bagi semua agama. Inilah dinamika toleransi mayoritas minoritas yang
sedang berkembang di berbagai penjuru dunia.
Ada juga dinamika berbeda di Indonesia terkait tema tersebut
yang jarang diangkat. Cerita itu datang dari Bali, Island of Gods, dimana muslim menjadi minoritas. Data 2015 menyebutkan
muslim di Bali berjumlah 520.244 jiwa atau setara dengan 13,37 persen dari
total penduduk Bali yang mayoritas Hindu. Namun dari jumlah tersebut, sebagian
adalah pendatang, hal ini membuat jumlah muslim yang menghabiskan Ramadan di
Bali semakin sedikit, karena sebagian memilih untuk berpuasa di kampung
halaman. Hal ini mungkin juga disebabkan sedikitnya jumlah masjid di Bali, pada
2013 tercatat hanya ada 213 Masjid.
Banyak keadaan yang membuat kondisi berpuasa dan beribadah
di Ramadan menjadi lebih menantang bagi muslim minoritas di Bali. Dimulai dari
tantangan makanan, sebagian makanan yang dijual di warung dan restoran di Bali
tidak halal, bahkan beberapa yang mungkin terlihat halal pun, masih diragukan
kehalalannya. Hal ini membuat para muslim mungkin agak kesulitan untuk akses
makanan saat sahur dan berbuka. Terutama saat sahur, tidak banyak warung makan
yang buka pada jam ini, kecuali di daerah tertentu yang mayoritas muslim.
Soal makanan tidak berhenti sampai disana, sejumlah tempat
makan yang tetap beroperasi seperti biasa di Ramadan juga menjadi godaan lain
bagi muslim yang berpuasa. Hal ini menjadi salah satu dari kondisi lingkungan
sekitar yang menjadi tantangan berpuasa. Kemudian juga situasi di sebagian
besar kantor-kantor atau lokasi tempat kerja yang juga tak ubahnya seperti hari
biasa, rekan kerja yang tetap makan minum dan tidak ada perubahan jam kerja,
menjadi tekanan lain bagi para muslim. Lalu, tata cara berpakaian orang-orang
dan para turis yang tentu sangat berbeda dengan di Aceh atau Sumatera Barat,
melengkapi tantangan berpuasa bagi para muslim.
Usai berbuka puasa, tantangan belum selesai. Sebagian muslim
minoritas yang tinggal jauh dari masjid masih harus menempuh perjalanan jauh
untuk tarawih. Jumlah masjid yang terbatas membuat lokasinya pun tidak tersebar
cukup merata di seluruh wilayah. Sesampainya di masjid, mereka masih dihadapkan
pada keterbatasan infrastruktur. Sebagian masjid tidak cukup besar untuk
menampung jumlah jamaah. Alhasil, sebagian muslim harus shalat di halaman dan
jalan depan masjid, tak jarang di tengah shalat hujan datang dan membubarkan
sebagian orang yang tidak dipayungi tenda.
Jika di daerah mayoritas muslim, mereka familiar dengan
azan, bedug, sirine atau penanda lainnya untuk saat imsak dan buka puasa, maka
di Bali hal-hal tersebut sangat sulit ditemui. Lengkaplah sudah tantangan
berpuasa dan ibadah Ramadan bagi para muslim minoritas yang sebelumnya terbiasa
dengan situasi mayoritas muslim.
Dibalik semua keadaan di atas, justru disanalah tantangan
berpuasa yang sebenarnya dengan tingkat ujian dan godaan melatih hawa nafsu yang
lebih berat. Kemenangan berpuasa disini akan memberi sensasi yang lebih
memuaskan dan mampu menciptakan insan yang lebih kuat setelah Ramadan. Keadaan
minoritas memberikan daya juang yang lebih besar bagi umat untuk beragama.
Namun disamping itu, masyarakat Bali sendiri sesungguhnya juga bertoleransi
terhadap muslim yang berpuasa dan ibadah di Ramadan. Dalam ajaran Hindu ada
asas Tat Twam Asi yang berarti “aku
adalah kamu dan kamu adalah aku”. Ajaran ini diamalkan salah satunya melalui “Tradisi
Ngejot” yang merupakan tradisi memberikan makanan kepada tetangga yang berbeda
agama sebagai tanda kehidupan yang rukun dalam bertetangga.
Penduduk Islam di Bali yang berasal dari luar Bali harusnya
dapat mengambil pelajaran ini untuk lebih memahami toleransi dan menyampaikannya
pada kerabat di daerah mayoritas Islam. Kemudian ini juga menjadi refleksi bagi
minoritas lain di daerah mayoritas islam untuk tetap berjuang dalam mengamalkan
ajaran agama dengan tetap memperhatikan kaidah toleransi.
Diskursus ini akhirnya akan berujung pada mencari garis
tengah atau titik berat dari toleransi itu sendiri. Ketika suatu kaum mayoritas
terlalu bertoleransi, maka ini dapat meringankan perjuangan beragama kaum
minoritas, hal ini tidak terlalu terjadi di Indonesia. Yang terjadi di
Indonesia adalah sebagian kaum mayoritas yang menguasai pemerintah, menggunakan
kekuatannya untuk membuat toleransi terhadap yang berpuasa dengan mekanisme
‘penutupan’ tantangan-tantangan berpuasa seperti tempat makan, pakaian dan lain
lain.
Hal ini dicoba perbaiki oleh Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin yang menyerukan masyarakat untuk menjaga sikap saling toleransi pada
Ramadan, “Jadi harus ada toleransi, saling menghargai dan menghormati perbedaan
yang ada pada pihak lain. Umat beragama apapun ketika sedang menjalankan
ibadah, kita sepantasnya menghormati yang sedang beribadah. Tapi yang sedang
menjalankan ibadah pun juga akan sangat baik kalau juga bisa menghargai dan
menghormati yang tidak sedang berpuasa".
Ketiadaan toleransi dapat memicu konflik, tendensi kurang
dihargai dan akibat buruk lain. Maka kemudian harga beragama dan toleransi
menjadi penting untuk dicarikan titik temunya. Lukman Hakim mempertemukannya
dalam istilah ‘saling toleransi’. Lebih sederhana, kita mungkin bisa menemukannya
dalam skala toleransi lebih kecil. Di Bali, muslim minoritas menghormati semua saudara-saudaranya
ragam agama hingga yang seiman dengan beragam tampilan fisik, mulai dari yang gondrong,
bertato, rambut warna, bertindik, dan lainnya, semua berhak untuk beribadah dan
disambut kedatangannya di Island of Gods.
God belongs to
everyone
Tulisan ini dimuat di Selasar.com
No comments:
Post a Comment