Sumber : http://di.dk/globalleadershipacademy/newsandarticles/insights/pages/theglobalmanagersboundaryspanningrole.aspx |
Jamaah ‘Cilik’ Tabligh
HMI, sebuah akronim yang samar-sayup terdengar dahulunya
ketika penulis masih duduk di bangku sekolah menengah. Entah dimana akronim itu
pernah didengar, tidak ada ingatan persis yang muncul hingga detik tulisan ini
mengalir. Tapi yang pasti nama ini pernah bersuara di pikiran penulis sekitar
enam tahun yang lalu.
Tumbuh kembang di lingkungan sekolah umum negeri milik
pemerintah, membuat penulis tidak terlalu banyak bersentuhan dengan ragam
pemikiran Islam. Meskipun dahulunya ketika masih sekolah dasar (SD) penulis
bercita-cita ingin masuk salah satu pondok pesantren di Tanah Jawa dan ternyata
kandas karena kekurangan dana, namun cita-cita mempelajari Islam lebih jauh
ternyata tidak berlanjut di sekolah menengah karena ditebus oleh godaan masa
remaja yang tak kuat menahan serangan globalisasi.
Meskipun demikian, selain di sekolah formal, lingkungan
keluarga penulis cukup membantu untuk mengenal Islam secara lebih menurut Kitab
Fadhilah Amal yang disusun oleh Muhammad Zakariya al-Kandhlawi. Sejak sekitar
usia 10 tahun penulis berkenalan dengan sekumpulan bapak-bapak berjubah dan
bersorban yang rutin pengajian setiap kamis malam di sebuah masjid, kemudian
jumat paginya mereka berangkat berkelompok-kelompok menyebar ke berbagai daerah
untuk ‘berdakwah’ dalam rentang waktu tertentu. Pada akhirnya penulis
mengetahui mereka menamakan kelompoknya dengan nama “Jamaah Tabligh”.
Ya penulis ikut bergabung dengan jamaah ini semenjak SD
karena ikut bersama ayah yang tertarik untuk bergabung dengan mereka ketika
itu. Setiap malam di rumah kami pun berkumpul untuk membaca dan mempelajari
kitab yang disebutkan di atas. Kitab tersebut hampir menjadi tuntunan utama
mengalahkan Al Qur’an bagi kami ketika itu, karena porsi waktu membacanya yang
melebih waktu memahami Al Qur’an. Rutinitas setiap malam ini disebut dengan
“Ta’lim”.
Pertemuan pengajian rutin mingguan di masjid (baca : markas)
yang telah ditetapkan pun juga penulis ikuti dahulu bersama dengan ayah. Hingga
sampai dakwah ke daerah-daerah dengan menginap di mesjid pun penulis lakoni
dulu ketika SD. Semangat keislaman ketika itu yang dimiliki penulis terseret
sudah ke dalam aliran pemikiran Jamaah Tabligh. Hal ini juga yang mendorong
keingingan untuk melanjutkan pendidikan ke pesantren ketika itu.
Memasuki sekolah menengah pertama hingga tingkat atas,
pengetahuan Islam penulis masih didominasi oleh pemikiran Jamaah Tabligh
bersama Fadhilah Amal-nya. Meskipun ketika di SMA penulis sempat mengikuti
kegiatan organisasi Rohis, namun tetap saja tidak banyak pemikiran keislaman
yang menggugah yang didapatan disana dikarenakan memang kualitas sumber daya
manusia yang ada disana relatif rendah dan mereka juga bagian dari Jamaah
Tabligh.
Sehigganya, hingga SMA usai tidak banyak pergolakan
pemikiran Islam yang berkecamuk di pemikirian penulis. HMI pun cuma terdengar
samar-sayup, seperti yang dijelaskan di atas.
Pesantren Tarbiyah UI
Awal masuk Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA) Universitas Indonesia (UI), penulis serasa masuk ke dalam area
pesantren. Bagaikan kota santri, hampir setiap orang yang ditemui disana
terlihat begitu santun dan islami (menurut pemahaman Islam penulis ketika itu).
Para lelaki dengan baju koko dan celana bahan yang panjangnya tidak melebihi
mata kaki mendominasi mewakili potret lelaki disana. Di sela percakapan mereka,
terdengar mereka saling memanggil dengan kata “ane-ente-akhi”. Di sudut yang
lain para perempuan berjilbab besar pun juga berkumpul sesamanya dan terdengar
panggilan “ukhti”.
Bagi penulis ketika itu, suasana kampus tersebut terasa
begitu damai. Maka tak heran juga terdengar sebutan-sebutan dari luar yang
menyebut FMIPA UI sebagai pesantren-nya UI. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di
FMIPA UI pun tak lepas dari unsur-unsur keislaman, simbol-simbol Islam
bertebaran dimana-mana, bahkan di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
disana hingga Himpunan setiap jurusan memiliki bidang khusus yang mengurusi
kerohanian Islam para anggota organisasinya.
Lingkungan fakultas tersebut sangat Islam, ditanamkan
melalui simbol-simbol hingga kegiatan-kegiatan. Namun dibalik semua identitas
keislaman fakultas tersebut, ada sebagian kecil kelompok mahasiswa yang kurang
senang dengan gaya-gaya keislaman tersebut. Mereka bukan saja non-muslim, namun
juga para muslim. Mereka menilai para lelaki dan wanita yang lekat dengan
simbol-simbol Islam tersebut bersifat ekslusif. Tidak membumi bersama mereka.
bertindak seolah membenci golongan mereka. Hal ini dilihat dari gaya pergaulan
para “akhi-ukhti” tersebut yang terbatas di kelompok mereka saja, hingga
akhirnya keluar istilah “anak mushola”.
Anak mushola bagi penulis ketika itu tak jauh berbeda dengan
para anak rohis di SMA dahulu, mulai dari simbol-simbolnya hingga perilakunya.
Penulis menganggap tidak banyak perbedaan, sampai akhirnya penulis membaca
sebuah artikel terbitan badan otonom pers mahasiswa di kampus yang mengangkat
judul “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia”.
Dalam artikel tersebut akhirnya penulis mengetahui bahwa
sekumpulan anak mushola yang ditemui di lingkungan kampus dan juga anak rohis
di SMA tersebut memiliki sebuah jejaring besar yang memiliki sebuah visi
pergerakan. Dalam artikel itu mereka disebut dengan istilah “anak tarbiyah”.
Mereka tersebar hampir di seluruh kampus besar di Indonesia dan bahkan juga
SMA-SMA. Dimulai dari organisasi rohis SMA, mereka mulai menanamkan pemahaman
keislaman menurut mereka berdasar tokoh-tokoh Hassan Al Banna, Sayyid Quttub,
dan Gerakan Ikhwanul Muslimin lainnya yang berawal dari Turki.
Selepas tamat dari SMA, para alumni rohis ini diberikan
sebuah surat pengantar untuk diantarkan ke cabang mereka di dekat kampus si
anak. Mereka disini telah disebut sebagai kader. Masuk di dunia kampus, mereka
pun bergabung di lembaga-lembaga dakwah yang ada di kampus-kampus. Lalu di tahun
kedua di kampus, kader-kader terbaik mereka disebar untuk menguasai
lembaga-lembaga kemahasiswaan lain dan juga posisi-posisi strategis lain di
kampus. Gerakan bawah tanah mereka sangat rapi dan cantik terlihat dari luar.
Dengan menggunakan
sistem mentoring atau liqo’ para kader tarbiyah ini didoktrin tentang
Islam menurut pemahaman para tokoh Ikhwanul Muslimin. Mereka berpolitik, hal
ini tidak terbantahkan karena dibuktikan dengan kecondongan salah satu partai
politik (parpol) kepada golongan mereka.
Sistem dan alur kaderisasi serta pembinaan yang mereka
lakukan sangat rapi dan bersih terlihat dari luar. Meskipun di dalamnya mereka
bahkan juga menggunakan strategi tokoh boneka untuk dapat memenangkan hukum
demokrasi. Bagi mereka, hal ini dihalalkan karena demi kemaslahatan umat
menurut mereka.
Usai mengenal dan mengetahui seputar gerakan politik
tarbiyah tersebut, penulis mulai sedikit paham dengan ragam warna pergerakan
dan pemikiran Islam. Setelah itu juga, penulis sedikit mulai tahu bahwa HMI
adalah lawan dari tarbiyah.
Ahmad Wahib
Berawal dari sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan di
kampus. Awalnya penulis tidak terlalu paham dengan apa buku itu hingga siapa
itu penulisnya. Penulis hanya ingin mengisi kegiatan dengan hal bermanfaat
tatkala masih bersama status mahasiswa baru di kampus. Dalam bedah buku
tersebut si pembicara berkoar-koar tentang kekagumannya akan
pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib, penulis dari buku yang dibedah : “Pembaharuan
tanpa Apologia”.
Ketika mendengarkan seminar tersebut, penulis belum terlalu
paham siapa itu Ahmad Wahib dan apa sebenarnya isi dari bukunya tersebut
sehingga para pembicara di acara itu mengagung-agungkan dia. Namun demikian,
rasa penasaran memaksa penulis ketika itu untuk membaca dan memahami isi buku
tersebut hingga tuntas.
Usai membaca buku tersebut itulah akhirnya penulis paham
mengapa si pembicara mengagumi pemikiran Ahmad Wahib. Wahib ialah seorang
pemuda cerdas yang bergulat dengan pemikiran-pemikiran keislamannya sejak muda.
Dulu ia tergabung di HMI, dan di tengah jalan ia memutuskan untuk keluar karena
merasa ada yang salah dengan HMI dan ia merasa sudah tidak lagi cocok.
Buku “Pembaharuan tanpa Apologia” tersebut adalah kumpulan
dari catatan-catatan harian Wahib yang ditanggapi dengan tulisan-tulisan lain
oleh para penulis lainnya. Dalam catatan-catatan hariannya, Wahib menyatakan
kegundahan, keresahan, dan berbagai pertanyaan tak terjawabnya kepada Tuhan.
Wahib menyuarakan refleksinya akan relatifitas kebenaran-kebenaran yang
memaksa.
Wahib juga banyak bercerita seputar perjuangannya di HMI. Ia
memperjuangkan netralitas dan keobjektifan berpikir dan bertindak di tubuh HMI
kala itu. Namun di sisi lain ternyata sebagian pihak melihat usaha Wahib ini
tidak ideal menurut mereka. Pihak tersebut menekankan bahwa HMI harus
berpolitik agar dapat memaksimalkan pengaruhnya. Wahib menentang hal ini dan
ternyata perjuangannya tidak berhasil meraih banyak massa yang mendukungnya.
Alhasil Wahib pun akhirnya lebih memilih untuk mundur dari HMI dan melanjutkan
kebebasan berpikirnya yang out of the box.
Beberapa kutipan pemikiran Wahib yang populer yaitu :
Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku
bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan
humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku
ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity)
tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran
apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober
1969)
Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan
lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap
sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif,
analitis dan kreatif. (Catatan Harian 16 Agustus 1970)
Mengenal Wahib dan pemikirannya serta sedikit keterangan
tentang HMI ketika itu, membuat penulis memiliki keinginan lebih untuk mencari
tahu lebih banyak tentang hal tersebut. HMI berhasil melahirkan pemikir
revolusioner Islam yang luar biasa seperti Wahib. Namun HMI hari ini,
kondisinya sepertinya sangat jauh dari kemungkinan lahirnya Wahib-Wahib
berikutnya. HMI di mata publik, terutama sebagian besar mahasiswa saat ini,
kalah kepercayaan dibanding Tarbiyah.
Islam Rahmatan lil Alamin
Salah satu ajaran Al Qur’an yang banyak dikutip oleh
berbagai ulama yaitu kata kunci “Islam sebagai Rahmatan lil Alamin atau rahmat
bagi seluruh alam”. Penulis sangat setuju akan hal ini bahwa Islam memang merupakan rahmat atau kebaikan bagi
seluruh alam, baik bagi seluruh makhluk hidupnya maupun benda matinya. Ketika
Islam memang bersifat seperti ini berarti Islam memang dapat diterima oleh
semua manusia. Lalu wajah Islam seperti apa yang dapat diterima oleh semua
manusia yang dilahirkan dan berkembang dalam keyakinan yang berbeda-beda ?
Ketika bergabung dengan Jamaah Tabligh Islam dipahami sangat
simbolis dan kurang kontekstual. Dalam Kitab Fadhilah Amal yang dijadikan
pegangan inti jamaah banyak dijelaskan hadist nabi terkait fadhilah tiap jenis
ibadah ; fadhilas shalat, puasa, dzikir, dan lain lain. Pemahaman akan hadist
nabi dipraktekkan secara telanjang atau tanpa mempertimbangkan relevansi dengan
kondisi kekinian zaman.
Konsep dakwah yang dilakukan dengan metode menginap di
mesjid-mesjid dan melakukan ceramah ke warga-warga sekitar menurut Jamaah
Tabligh sangat meniru konsep yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dulu. Konsep ini
banyak menuai protes dan kecurigaan dari masyarakat, sehingganya tidak sedikit
warga yang akhirnya menuding jamaah ini sebagai aliran sesat.
Kemudian dari gaya hidup termasuk gaya berpakaian. Jamaah
ini biasa menggunakan pakaian seperti jubah dan kepala ditutupi sorban. Lalu
mereka juga membiasakan menggunakan siwak yang biasa digunakan Nabi Muhammad
SAW untuk menggosok gigi. Dari contoh-contoh ini bisa dilihat bagaimana mereka
memahami sunnah Rasulullah SAW kurang kontekstual. Terjadi distorsi pemahaman
antara nilai Islam dengan budaya arab.
Gaya berpakaian yang diajarkan Islam sesungguhnya adalah
menutupi aurat, karena aurat dapat memicu nafsu manusia yang dekat dengan
kejahatan. Banyak jenis pakaian yang seharusnya dapat menutupi aurat, namun
Jamaah tabligh tidak menangkap pemahaman tersebut. Bagi mereka semua hal apapun
yang ada di diri Nabi Muhammad SAW adalah hal yang baik dan semuanya harus
diikuti.
Pemahaman yang sama juga mendasari mereka menggunaan siwak.
Padahal kondisi saat ini akibat perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan telah
ditemukannya benda lain yang mampu menggantika fungsi siwak tanpa mengurangi
nilainya. Nilainya adalah mampu membersihkan gigi. Namun lagi-lagi bagi Jamaah
Tabligh mereka kurang cerdas memahami nilai-nilai dibalik semua yang ada di
diri Nabi Muhammad. Alhasil pemahaman mereka terhadap Islam pun menjadi
terbatas pada simbol dan praktek syariat.
Pemahaman Islam seperti di atas sulit untuk diterima oleh
semua manusia, karena dinilai tidak logis, primitif, dan mistis. Akhirnya
penulis menilai jalan dakwah Islam yang ditempuh mereka masih perlu dicerdaskan
lagi.
Selanjutnya, penulis melirik ke gerakan tarbiyah. Secara
pemahaman Islam sebenarnya tidak banyak yang berbeda antara tarbiyah dengan
Jamaah tabligh yang sama-sama terbatas pada simbol dan praktek syariat. Namun
sedikit lebih progresif, gerakan ini bergerak lebih rapi, cantik, dan masif. Tarbiyah
mengkader para pemuda-pemuda dengan strategi politik yang taktis. Sehingga hal
inilah yang membuat mereka berkembang pesat.
Hanya saja sayang pemahaman Islam mereka yang minim nilai
filosofis dan juga gaya pergaulan yang ekslusif membuat mereka masih belum bisa
diterima oleh semua kalangan. Islam mereka belum bisa bersifat universal.
Kesolidan internal mereka yang luar bisa membuat mereka tumbuh menjadi kelompok
yang angkuh dan mengklaim semua golongan diluar mereka adalah kafir dan bahkan
disebut sebagai musuh Allah.
Beberapa kalangan menyebut mereka sebagai kelompok
konservatif. Mereka sangat antipati dengan ilmu-ilmu asing dan istilah liberal,
bagi mereka ilmu-ilmu dan pemikiran liberal sebagai ancaman bagi keaslian
Islam. Tarbiyah cenderung menutup diri dari pengaruh pemikiran asing. Para
kader mereka bahkan dilarang membaca buku-buku yang mereka anggap liberal. Hal
ini pun membuat kader-kader mereka miskin pengetahuan umum dan cenderung buta
akan pemahaman-pemahaman filosofis.
Gaya konservatif tarbiyah ini pun akhirnya tidak disetujui
oleh penulis karena menyebabkan gerakan ini akan stagnan dan tidak berkembang.
Sehingga semakin sulit untuk dapat berbaur dengan dunia luar, apalagi untuk
dapat diterima oleh seluruh kalangan.
Setelah merasa tarbiyah pun belum mampu mewakili wajah Islam
yang me-rahmatan lil alamin. Penulis pun mencoba mengenal HMI lebih jauh. Usai
mengenal dan memahami pemikiran Wahib, penulis melanjutkan pengembaraan
mengenal tokoh besar HMI lainnya seperti Nurcholis Madjid (Cak Nur), ideologi
HMI, dan juga mengamati kondisi kekinian HMI.
Melalui pemikiran Wahib penulis menemukan bagaimana Wahib
menempatkan Islam secara objektif dan memiliki toleransi yang besar terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada. Selanjutnya Cak Nur juga menyatakan bahwa Islam
adalah kumpulan nilai-nilai universal yang maknanya dapat memberikan petunjuk
kepada seluruh manusia. Disini penulis merasa bahwa pemahaman-pemahaman ini
mulai menjawab bahwa Islam yang seperti inilah yang dapat benar-benar menjadi
rahmatan lil alamin.
Selanjutnya, dalam Nilai Dasar Perjuangan HMI juga
ditekankan bahwa pemahaman akan Islam seharusnya adalah paham akan esensi dari
tiap perintah yang tertera dalam Al Qur’an maupun hadits. Jika dianalogikan
Islam sebagai gelas berisi air, maka yang paling penting adalah airnya. Airnya
inilah yang seharusnya dipahami umat sebagai tujuan mereka, bukan gelasnya. Air
tersebutlah yang sebenarnya mengandung nilai-nilai universal yang me-rahmatan
lil alamin.
Kondisi kekinian umat Islam saat ini terutama di Indonesia
banyak yang tidak menyadari akan hal ini. Jamaah tabligh dan tarbiyah terjebak
dalam pemahaman pentingnya gelas. Pada hakikatnya gelas juga penting
sesungguhnya, namun bukan itu tujuannya, tujuannya adalah air. Salah satu
contoh keterbatasan pemahaman umat Islam saat ini yaitu ketika membaca Al
Qur’an. Banyak umat Islam Indonesia membaca Al Qur’an tanpa memahami tafsirnya.
Mereka terjebak dalam pemahaman bahwa membaca huruf arab Al Qur’an dapat
memberikan banyak faedah. Padahal sesunggunya faedah yang dimaksud adalah
ketika kita memahami tafsirnya dan dapat mengamalkan hikmah ayat-ayat Al Qur’an
tersebut.
HMI di awal berdirinya melalui para tokoh-tokoh yang mereka
lahirkan dan dalam buku-buku teks pemikiran keislamannya berjuang mewujudkan
Islam yang rahmatan lil alamin. Hal inilah yang menyebabkan kecendrungan
berpikir penulis akhirnya mengarah kepada kelompok ini.
Kemunduran HMI
Berbagai pandangan sinis dan miring tentang HMI hari ini
bertebaran dimana-mana. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh, mengingat memang
kondisi HMI hari ini tidak lagi seperti masa kejayaannya di awal berdiri hingga
era Cak Nur dahulu. Bahkan kemunduran HMI ini pun diakui oleh Cak Nur. HMI hari
ini sudah hampir kehilangan arah. Perjuangan mereka hanya terbatas di
ruang-ruang kelas latihan kepemimpinan (LK) dan konspirasi politik.
Sejumlah kader HMI hari ini bisa dilihat kualitasnya yang
sangat jauh dibawah para tokoh-tokoh terdahulunya. Sebagian besar mereka larut
dalam romantisme masa lalu kejayaan dan kebesaran nama alumni-alumni mereka.
Mereka hanya bisa bercerita dan merasa bangga akan raihan alumni-alumni mereka
tanpa berupaya bercermin diri apa yang telah mereka raih dan lakukan demi
peradaban.
Jika kita berkunjung ke tempat-tempat pelatihan pengkaderan
HMI, disana kita akan temui asap-asap rokok mengepul dimana-mana, sejumlah pria
bertindik anting dengan obrolah angkuh sok pintar mencaci maki golongan lain,
dan gaya malas lain lainnya. Itulah mereka potret sebagian besar kader HMI hari
ini. Jika mungkin dahulu orang-orang seperti ini disebut sebagai oknum atau
bagian kecil yang buruk dari HMI, namun hari
ini para oknum ini sudah hampir dominan. Sehingganya merekalah yang hari
ini akhirnya mewakili wajah HMI.
Para kader hari ini telah terjebak dalam kebebasan berpikir
yang tidak lagi kontekstual dengan kebutuhan zaman. Mereka terlalu banyak
berwacana, berdiskusi, euforia kebencian terhadap kelompok lain, dan merasa
angkuh dengan ilmu yang belum seberapa. Hingga akhirnya lupa akan cita-cita
utama menjadi insan akademis, pencipta, dan pengabdi.
Sebagian besar alasan mereka bergabung di HMI, jawabannya
adalah jaringan. Para alumni HMI yang telah tersebar dimana-mana mereka anggap
sebagai peluang mereka untuk mudah menjajal karir politis. Itulah sebagian
besar kader pragmatis yang ada di HMI hari ini. Niat mereka bergabung di HMI
awalnya sudah sangat berbeda dengan para tokoh terdahulu yang bergabung karena
memang ingin belajar dan mengabdi bersama membangun peradaban Islam dan
Indonesia.
Semua kondisi buruk kader HMI di atas saat ini sudah menjadi
rahasia umum di kalangan mahasiswa. Karenanya pandangan terhadap HMI pun
menjadi tidak lagi baik di kampus-kampus. HMI dipandang sebagai kelompok yang
terkenal mengacau dan membuat kerusuhan di kampus-kampus. HMI tidak lagi
dikenal sebagai pencipta ide-ide dan pemikiran brilian seperti dahulunya.
Penurunan kualitas kader HMI ini sekarang dimanfaatkan oleh
tarbiyah yang berhasil mendominasi kampus-kampus besar di Indonesia. Meskipun
baru berdiri sejak reformasi dengan nama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia), namun ekspansi mereka berlaju cepat karena politik mereka yang rapi,
cantik, dan elegan.
Pemetaan kekuatan kelompok-kelompok mahasiswa hari ini
menggambarkan bahwa KAMMI menguasai hampir semua kampus besar di Indonesia.
Sementara HMI hanya ada di beberapa kampus kecil dan itu pun tidak terlalu
kuat. Kemudian diluar kedua ini, ada beberapa kelompok lain seperti PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia), dan lain lain. Kelompok-kelompok lain ini kekuatannya dibawah KAMMI
dan HMI.
KAMMI dengan pemahaman Islam konservatifnya hari ini telah
besar dan memiliki basis massa yang cukup besar serta mereka juga memiliki
sistem tata kelola organisasi dan pengkaderan yang sangat rapi. Sementara HMI
dengan pemahaman Islam moderatnya mengalami penurunan kualitas kader dan basis
massa sangat rapuh. Sistem tata kelola organisasi dan pengkaderannya pun masih
jauh dari manajemen yang baik.
Penulis pun sempat memiliki keraguan untuk memilih jalan
pengabdian di antara dua kelompok besar di atas. Ketika bergabung dengan KAMMI
maka hal yang harus dirubah disana adalah pemahaman akan Islam yang konservatif
untuk menjadi lebih terbuka dan dinamis. Hal ini adalah sesuatu yang berat,
mengingat pemahaman tersebut sudah berkembang pesat di selutuh basis massa.
Sementara di HMI sebenarnya pemahaman Islam ideal yang
rahmatan lil alamin telah mereka dapat serap. Namun hal ini masih terbatas di
ranah teoritis, belum menjalar ke area praksis dalam wujud ibadah dan tindakan
nyata pengabdian yang bermanfaat bagi peradaban. Selain itu tata kelola
organisasi pun masih butuh banyak pembenahan dalam tubuh HMI.
Pilihan akhirnya adalah mengubah pemahaman manusia atau
menyempurnakan pemahaman manusia dan memperbaiki tata kelola organisasi. Dengan
semua pertimbangan visiblitas rasional akhirnya penulis lebih memilih pilihan
kedua, karena mengubah pemahaman yang telah hampir mendarah daging adalah cukup
sulit dalam waktu yang terbatas dan juga tidak bisa dilakukan seorang diri.
Bersama HMI penulis berharap mampu menjawab tantangan tersebut.
Gerakan Peretas Batas
Pergerakan mahasiswa ini dianggap mengalami penurunan. Hal
ini disebabkan oleh ketiadaan musuh bersama dan juga arogansi tiap golongan
mahasiswa yang semakin tinggi. Yang menjadi musuh saat ini bagi mahasiswa
adalah bangsa mereka sendiri. Kelompok lain di luar mereka itulah yang saat ini
dianggap sebagai lawan politik.
Hal yang sama juga terjadi di HMI. HMI bersama PMII, GMNI
dan lain-lain saat ini berupaya mengalahkan dominasi besar KAMMI di
kampus-kampus besar di Indonesia. Inilah pergeseran cita-cita yang terjadi saat
ini. Tidak lagi kepentingan umat atau rakyat yang lebih diperjuangkan,
melainkan kepentingan golongan masing-masing. Resistensi antar golongan
sekarang menjadi semakin kuat.
Untuk menjawab tantangan ini maka sekarang dibutuhkan
Boundary Spanner atau peretas batas. Orang-orang yang tidak terikat pada
kepentingan masing-masing golongan dan namun tidak bersikap resisten terhadap
keberadaan golongan-golongan tersebut. Mereka justru berupaya meminimalisir
kepentingan golongan pada setiap golongan dan membuka jalan komunikasi
kerjasama antar golongan. Sehingga pada akhirnya setiap golongan yang ada dapat
lebih membuka diri dan kembali pada tujuan utama membangun bangsa, bukan
membangun golongan masing-masing atau pun klaim kebenaran masing-masing.
Menjadi peretas batas inilah yang seharusnya diperankan oleh
HMI saat ini. Menjadi para pemimpin politik kreatif yang berintegritas.
Indonesia dan Islam saat ini butuh para peretas batas ini sebagai pilar-pilar
muda pembangun masa depan peradaban. Menjaga keutuhan bhineka tunggal ika dan
menyongsong kebangkitan garuda dan Islam yang sesungguhnya.
Untuk menjadi gerakan peretas batas, ada beberapa hal yang
penting diperhatikan oleh HMI saat ini. Para kader HMI saat ini sebagian
besarnya seringkali berujar menyatakan bahwa KAMMI merupakan kelompok yang
ekslusif dikarenakan gaya berpakaian mereka yang seragam dengan celana bahan
dan baju kokonya. Namun di sisi lain sebenarnya mereka pun juga tidak kalah
ekslusif dengan wacana dan bahasa orasi mereka yang tidak membumi. Kemudian
keengganan mereka untuk berbaur dengan kelompok lain, khususnya KAMMI juga bisa
disebut sebagai ekslusifisme.
Pertama, meniadakan tindakan ekslusif dan membaur bersama
untuk menyelipkan pemikiran Islam sebagai kumpulan nilai universal, hal inilah
yang seharusnya diilakukan oleh HMI. Kembali pada cita-cita ideal untuk menjadi
insan pengabdi, bukan insan angkuh yang pragmatis egois.
Selanjutnya kedua yaitu memahami nilai-nilai Islam yang
universal secara kontekstual, sesuai dengan kebutuhan zaman saat ini. banyak
sekali kita temukan saat ini kader-kader HMI yang merokok. Hal ini memang
merupakan hal kecil, namun substansial. Rokok memiliki bahaya dan kerugian yang
tidak terbantahkan lagi. Andaikan dana
yang dikeluarkan untuk rokok oleh para kader HMI dikumpulkan selama setahun
maka dananya sudah bisa digunakan untuk kegiatan sosial yang jauh lebih
bermanfaat dan nyata kontribusinya.
Rokok adalah salah satu contoh kasus bagaimana seharusnya
para kader HMI mengamalkan nilai-nilai Islam yang universal secara kontekstual.
Masih banyak contoh kasus lain yang hadir di tengah kader HMI saat ini, seperti
gaya hidup lainnya dan juga dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang lebih
mementingkan popularitas dibanding nilai yang dibawa.
Kemudian yang ketiga yaitu gerakan yang berjalan saat ini
harus lebih terbuka dan bersih. Jangan menggunakan politik bawah tanah dan
kotor. Katakan dan buktikan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah, sekalipun itu kepentingan golongan, negara, maupun agama. Integritas,
hal ini penting ditanamkan dalam setiap kader HMI.
Lalu yang terakhir yaitu merapikan kembali sistem tata
kelola organisasi dan pengkaderan. Manajemen yang dilakukan oleh HMI terkait
hal ini terlihat sangat kurang. Hal ini dapat dibuktikan dengan bertebaran dan
tidak terurusnya para kader HMI saat ini sehingganya kualitas mereka pun
menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pemahaman ilmu yang diajarkan di
LK dan seharusnya diamalkan dalam realisasi kontribusi nyata akhirnya hanya tinggal
wacana. HMI perlu banyak berbenah demi untuk menyelamatkan keberlanjutan
pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, bukan demi kepentingan masa depan
HMI.
Layaknya, pemahaman akan Islam yang diajarkan di Nilai Dasar
Perjuangan I, dalam analogi gelas dan air ; yang lebih penting adalah air.
Gelas juga penting, tapi itu bukan tujuan, tujuannya adalah air. Seperti itu
juga lah seharusnya HMI idealnya menurut penulis. HMI hanyalah gelas, airnya
adalah masa depan peradaban. Menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil
alamin yang mampu membangun peradaban dunia secara umum dan Indonesia secara
khusus.
Jika pemahaman di atas telah bisa diterima oleh para kader
HMI. Maka kita akan menyongsong tak lama lagi sebagai gerakan peretas batas
antar golongan. Mewujudkan insan akademis, pencipta, dan pengabdi.
Pustaka
Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society,
Volume 1, 2010
Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society,
Volume 2, 2010
Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society,
Volume 3, 2011
Titik Temu, Jurnal Peradaban, Nurcholis Madjid Society,
Volume 4, 2011
Fadhilah Amal, Muhammad Zakariya al-Kandhlawi,
Ahmad Wahib, Pembaharuan tanpa Apologia, 2009
id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Zakariya_al-Kandhlawi
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Wahib
Tulisan ini meraih Juara II dalam Lomba Karya Tulis Milad HMI ke 66
Ibnu,
ReplyDeleteJangan lupa referensi fotonya ya.
siap ka!
ReplyDelete