Islam adalah agama dengan setiap jenis ibadahnya selalu
memiliki dimensi sosial. Mulai dari ber-syahadat, sholat, puasa, hingga
berbagai jenis ibadah lainnya.
Dalam syahadat, ikrar meng-esa-kan Tuhan dan Muhammad
sebagai utusan Tuhan, bertujuan untuk mendorong optimisme individu dalam ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam
kebaikan) sehingga kemudian menciptakan peradaban yang adil dan makmur.
Dalam sholat, bagi seorang
mukmin hal ini memilki unsur ruhiyah
di dalamnya, dia mengetahui secara pasti bahwa Tuhan selalu mengawasinya dalam
setiap gerakan dan bacaan sholatnya. Sehingga dia pun berusaha menghadirkan
jiwa yang khusyu’ ketika sholat. Tidak terburu-buru ketika sholat tetapi dengan
khusyu dan sabar dia memaknai setiap bacaan hingga kemudian melekat menjadi
prinsip.
Pun demikian dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika seorang
bersaksi dalam sholat bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Tuhan,
sesungguhnya dia telah meng-esa-kan Tuhan dalam penghambaan maupun dalam
pensucian serta menafikkan secara pasti penghambaan terhadap selain Tuhan dalam
bentuk apa pun, baik berupa materi, kesenangan dunia, atau pun hal fana
lainnya. Seorang mukmin yang sholat dengan sempurna pasti akan mampu memahami
esensi dari amar ma’ruf nahi mungkar
(menyeru pada kebaikan dan memperbaiki kemungkaran).
Tidak hanya dalam perihal ibadah, sejarah Islam pun juga
turut berdimensi sosial. Kisah 25 Rasul yang diyakini dalam Islam merupakan refleksi
dari jenis-jenis karakter yang layak
dijadikan panutan dan pedoman. Jenis-jenis karakter ini meliputi berbagai
bidang kehidupan, bahkan juga dalam berpolitik. Kisah Nabi Yusuf adalah sebuah
teladan yang menawan bagaimana karakter berpolitik yang santun dan bertujuan
untuk menciptakan kemaslahatan bersama.
Lalu dalam karakter berani yang ideal, kita bisa belajar
dari Nabi Musa. Bagaimana daya kritisnya mendorong sifat beraninya untuk
mempertanyakan eksistensi Tuhan, hingga kemudian ia pun mendapat kesempatan
untuk berbicara dengan Tuhan.
Pada Zaman Nabi Musa, ada sebuah kisah yang juga terkait
dengan urgensi dimensi sosial dalam Islam. Konon Nabi Musa bertemu dengan
seorang ahli ibadah ketika dalam perjalanan menuju sebuah bukit untuk berbicara
dengan Tuhan. Ahli ibadah ini kemudian menitipkan pertanyaannya kepada Tuhan
melalui Musa, ia bertanya “di surga manakah nanti aku akan ditempatkan?, karena
aku telah hidup tanpa mengganggu makhluk Tuhan. Aku makan dari daun yang
berguguran, tidak pernah memetiknya dan juga membunuh binatang”.
Musa pun menanyakan kepada Tuhan, dan Tuhan menjawab bahwa
ia ditempatkan di Neraka. Musa pun kembali ke ahli ibadah tersebut dan memberi
tahu kepadanya. Ahli ibadah itu pun tidak percaya dan meminta Musa kembali
menanyakan kepada Tuhan. Musa pun kembali menanyakannya dan Tuhan menjawab “Surga”. Musa pun heran bertanya kepada Tuhan kenapa jawabannya berubah. Tuhan
menjawab “Ketika engkau tadi menanyakan untuk pertama kali, sang ahli ibadah
tersebut berdoa kepadaKu bahwa jika ia ditempatkan di neraka, maka besarkanlah
tubuhnya sehingga memenuhi ruang di neraka dan tak ada orang lain yang kemudian
masuk ke dalamnya”.
Hal ini menjelaskan bahwa kesalehan sesungguhnya yang
diinginkan Tuhan adalah memang yang berdimensi sosial ; kesalehan sosial, bukan
kesalehan individu yang tidak berdampak sosial (kepada masyarakat).
Dimensi Sosial Ramadhan
Ramadhan, adalah sebuah bulan yang diistimewakan oleh Islam
dibanding sebelas bulan lainnya. Dalam momentum ini, semua amalan ibadah dan
berbagai hal terkait Islam didorong untuk diangkat dan dilipatgandakan
pahalanya. Dalam kajian tasawuf, Ramadhan merupakan momentum untuk optimalisasi
dimensi sosial dari Islam.
Ketika semua ibadah dalam Islam memiliki dimensi sosial dan
pada Bulan Ramadhan semua jenis ibadah tersebut dilipatgandakan, maka inilah
yang dimaksud dengan optimalisasi dimensi sosial dari Islam sebagai agama yang rahmatan lili alamin (rahmat bagi
seluruh alam).
Puasa adalah ibadah utama dalam Bulan Ramadhan. Puasa
disebut sebagai ibadah yang berdimensi sosial tertinggi dalam Islam. Dalam Al
Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 ditegaskan, “Wahai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”.
Puasa adalah
satu-satunya ibadah dalam Islam yang dengan tegas menyuratkan dalam perintahnya
bahwa hal ini diwajibkan dan sudah dilakukan dari umat-umat sebelum Islam
dibawa oleh Muhammad, serta ibadah ini bahkan dikaitkan dengan ketaqwaan,
tingkat ‘pemahaman’ tertinggi terhadap substansi Islam yang menyeluruh.
Makna dalam berpuasa adalah menahan diri dari berbagai jenis
nafsu yang pada sebelas bulan lainnya kita relatif terbiasa akan hal tersebut.
Hal ini bertujuan untuk melatih simpati terhadap mereka yang nasibnya mungkin
kurang baik dibandingkan kita. Dari simpati ini diharapkan akan muncul
berikutnya sikap empati yang kemudian berujung pada kepedulian sosial.
Selanjutnya, ibadah-ibadah lainnya yang didorong dalam Bulan
Ramadhan yaitu ada zakat, membaca Al Qur’an, sholat, dan sejumlah jenis
kegiatan lainnya baik secara berjamaah maupun individu. Zakat adalah sebentuk
empati kaum yang membutuhkan. Ibadah berjamaah mempererat silaturahmi dan
membuka wadah berdiskusi berbagi ilmu, ‘membaca’ Al Qur’an mempertajam
pemahaman kita atas Islam, dan semua manfaat ibadah di atas pada akhirnya
menentramkan kehidupan sosial bermasyarakat.
Terkait dimensi sosial ini, KH Abdullah Sahal (Pimpinan
Pondok Modern Darussalam Gontor) pernah berujar menganalogikan Indonesia itu bagaikan
gadis cantik yang sangat sempurna dan hanya lelaki yang bodohlah yang tidak
tertarik padanya. Ini adalah perumpamaan atas kekayaan sumber daya di Indonesia
yang begitu melimpah dan hanya negara bodohlah yang tidak tertarik untuk
menjajah. Maka inilah yang menjadi pangkal krisis multidimensional yang melanda
Indonesia saat ini dan dimensi sosial Islam adalah solusi terpendam yang butuh
diangkat secara kolektif.
Ramadhan yang datang setiap tahun dengan muatan dimensi
sosial tingkat tinggi, mestinya tidak hanya hadir sebagai rutinitas semu bin
palsu belaka. Ramadhan harusnya menjadi momentum berkelanjutan dalam upaya
optimalisasi dimensi sosial Islam dan kemudian menjadi jawaban bagi
permasalahan bangsa. Ukirlah keindahan Ramadhan dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Tulisan ini terinspirasi dari ceramah M Rofiq Thoyib Lubis (Direktur Wakaf Al Azhar) dalam buka bersama Keluarga Besar Alumni HMI UI.
Tulisan ini dimuat di Media Hidayatullah , 24 Juli 2013
No comments:
Post a Comment