Friday, July 26, 2013

Ramadhan untuk Indonesia

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQsvQEafE56BEtMPuuz7xaiypl3eC9yxO_H8U5vwH1IrGWtN49z

Islam adalah agama dengan setiap jenis ibadahnya selalu memiliki dimensi sosial. Mulai dari ber-syahadat, sholat, puasa, hingga berbagai jenis ibadah lainnya.

Dalam syahadat, ikrar meng-esa-kan Tuhan dan Muhammad sebagai utusan Tuhan, bertujuan untuk mendorong optimisme individu dalam ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) sehingga kemudian menciptakan peradaban yang adil dan makmur.

Dalam sholat, bagi seorang  mukmin hal ini memilki unsur ruhiyah di dalamnya, dia mengetahui secara pasti bahwa Tuhan selalu mengawasinya dalam setiap gerakan dan bacaan sholatnya. Sehingga dia pun berusaha menghadirkan jiwa yang khusyu’ ketika sholat. Tidak terburu-buru ketika sholat tetapi dengan khusyu dan sabar dia memaknai setiap bacaan hingga kemudian melekat menjadi prinsip.

Pun demikian dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika seorang bersaksi dalam sholat bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Tuhan, sesungguhnya dia telah meng-esa-kan Tuhan dalam penghambaan maupun dalam pensucian serta menafikkan secara pasti penghambaan terhadap selain Tuhan dalam bentuk apa pun, baik berupa materi, kesenangan dunia, atau pun hal fana lainnya. Seorang mukmin yang sholat dengan sempurna pasti akan mampu memahami esensi dari amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru pada kebaikan dan memperbaiki kemungkaran).

Tidak hanya dalam perihal ibadah, sejarah Islam pun juga turut berdimensi sosial. Kisah 25 Rasul yang diyakini dalam Islam merupakan refleksi  dari jenis-jenis karakter yang layak dijadikan panutan dan pedoman. Jenis-jenis karakter ini meliputi berbagai bidang kehidupan, bahkan juga dalam berpolitik. Kisah Nabi Yusuf adalah sebuah teladan yang menawan bagaimana karakter berpolitik yang santun dan bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bersama.

Lalu dalam karakter berani yang ideal, kita bisa belajar dari Nabi Musa. Bagaimana daya kritisnya mendorong sifat beraninya untuk mempertanyakan eksistensi Tuhan, hingga kemudian ia pun mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Tuhan.

Pada Zaman Nabi Musa, ada sebuah kisah yang juga terkait dengan urgensi dimensi sosial dalam Islam. Konon Nabi Musa bertemu dengan seorang ahli ibadah ketika dalam perjalanan menuju sebuah bukit untuk berbicara dengan Tuhan. Ahli ibadah ini kemudian menitipkan pertanyaannya kepada Tuhan melalui Musa, ia bertanya “di surga manakah nanti aku akan ditempatkan?, karena aku telah hidup tanpa mengganggu makhluk Tuhan. Aku makan dari daun yang berguguran, tidak pernah memetiknya dan juga membunuh binatang”.

Musa pun menanyakan kepada Tuhan, dan Tuhan menjawab bahwa ia ditempatkan di Neraka. Musa pun kembali ke ahli ibadah tersebut dan memberi tahu kepadanya. Ahli ibadah itu pun tidak percaya dan meminta Musa kembali menanyakan kepada Tuhan. Musa pun kembali menanyakannya dan Tuhan menjawab “Surga”. Musa pun heran bertanya kepada Tuhan kenapa jawabannya berubah. Tuhan menjawab “Ketika engkau tadi menanyakan untuk pertama kali, sang ahli ibadah tersebut berdoa kepadaKu bahwa jika ia ditempatkan di neraka, maka besarkanlah tubuhnya sehingga memenuhi ruang di neraka dan tak ada orang lain yang kemudian masuk ke dalamnya”.

Hal ini menjelaskan bahwa kesalehan sesungguhnya yang diinginkan Tuhan adalah memang yang berdimensi sosial ; kesalehan sosial, bukan kesalehan individu yang tidak berdampak sosial (kepada masyarakat).

Dimensi Sosial Ramadhan

Ramadhan, adalah sebuah bulan yang diistimewakan oleh Islam dibanding sebelas bulan lainnya. Dalam momentum ini, semua amalan ibadah dan berbagai hal terkait Islam didorong untuk diangkat dan dilipatgandakan pahalanya. Dalam kajian tasawuf, Ramadhan merupakan momentum untuk optimalisasi dimensi sosial dari Islam.

Ketika semua ibadah dalam Islam memiliki dimensi sosial dan pada Bulan Ramadhan semua jenis ibadah tersebut dilipatgandakan, maka inilah yang dimaksud dengan optimalisasi dimensi sosial dari Islam sebagai agama yang rahmatan lili alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Puasa adalah ibadah utama dalam Bulan Ramadhan. Puasa disebut sebagai ibadah yang berdimensi sosial tertinggi dalam Islam. Dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 ditegaskan, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”.

Puasa adalah satu-satunya ibadah dalam Islam yang dengan tegas menyuratkan dalam perintahnya bahwa hal ini diwajibkan dan sudah dilakukan dari umat-umat sebelum Islam dibawa oleh Muhammad, serta ibadah ini bahkan dikaitkan dengan ketaqwaan, tingkat ‘pemahaman’ tertinggi terhadap substansi Islam yang menyeluruh.

Makna dalam berpuasa adalah menahan diri dari berbagai jenis nafsu yang pada sebelas bulan lainnya kita relatif terbiasa akan hal tersebut. Hal ini bertujuan untuk melatih simpati terhadap mereka yang nasibnya mungkin kurang baik dibandingkan kita. Dari simpati ini diharapkan akan muncul berikutnya sikap empati yang kemudian berujung pada kepedulian sosial.

Selanjutnya, ibadah-ibadah lainnya yang didorong dalam Bulan Ramadhan yaitu ada zakat, membaca Al Qur’an, sholat, dan sejumlah jenis kegiatan lainnya baik secara berjamaah maupun individu. Zakat adalah sebentuk empati kaum yang membutuhkan. Ibadah berjamaah mempererat silaturahmi dan membuka wadah berdiskusi berbagi ilmu, ‘membaca’ Al Qur’an mempertajam pemahaman kita atas Islam, dan semua manfaat ibadah di atas pada akhirnya menentramkan kehidupan sosial bermasyarakat.

Terkait dimensi sosial ini, KH Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor) pernah berujar menganalogikan Indonesia itu bagaikan gadis cantik yang sangat sempurna dan hanya lelaki yang bodohlah yang tidak tertarik padanya. Ini adalah perumpamaan atas kekayaan sumber daya di Indonesia yang begitu melimpah dan hanya negara bodohlah yang tidak tertarik untuk menjajah. Maka inilah yang menjadi pangkal krisis multidimensional yang melanda Indonesia saat ini dan dimensi sosial Islam adalah solusi terpendam yang butuh diangkat secara kolektif.

Ramadhan yang datang setiap tahun dengan muatan dimensi sosial tingkat tinggi, mestinya tidak hanya hadir sebagai rutinitas semu bin palsu belaka. Ramadhan harusnya menjadi momentum berkelanjutan dalam upaya optimalisasi dimensi sosial Islam dan kemudian menjadi jawaban bagi permasalahan bangsa. Ukirlah keindahan Ramadhan dalam bingkai ke-Indonesiaan.


Tulisan ini terinspirasi dari ceramah M Rofiq Thoyib Lubis (Direktur Wakaf Al Azhar) dalam buka bersama Keluarga Besar Alumni HMI UI.

Tulisan ini dimuat di Media Hidayatullah , 24 Juli 2013

No comments:

Post a Comment