Sunday, June 30, 2013

PKS Belum (Partai) Islam (?)

http://assets.kompas.com/data/photo/2012/10/01/1105502620X310.jpg

Tsunami politik yang terus menghantam PKS sejak awal tahun ini, terus memicu berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, elit politik, pers, tokoh agama, hingga masyarakat umum.

Diantara sejumlah kalangan yang bereaksi di atas, kalangan yang terdengar paling sadis menelan PKS adalah kalangan pers. Dimulai dari hari pertama LHI diboyong oleh KPK hingga saat ini PKS (akan) didepak dari koalisi setgab, pers tidak henti-hentinya menguliti kemana-mana berbagai prahara tentang partai dengan slogan (lamanya) “Bersih, Peduli, dan Profesional” ini.


Terlepas dari dependensi pers yang melakukan hal tersebut adalah lawan politik PKS atau bukan, sesungguhnya terkait ini ada fenomena lain yang mengambang disini dan menjadi alasan mengapa banyak reaksi tersebut muncul. Hal ini terkait dengan ideologi (prinsip) yang dianut oleh PKS.

Partai, Islam, dan Timur Tengah

PKS terinspirasi dari ideologi Gerakan Islam Transnasional bernama Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan ini menyebar di sejumlah negara seperti Mesir, Turki, hingga Malaysia. IM berawal dari Mesir dengan beberapa tokohnya seperti Hassan Al Banna dan Sayyid Qutb. Sistem kaderisasi PKS sangat mengadopsi dari sistem di IM. Kaderisasi dimulai semenjak dini dan juga terinfiltrasi dalam organisasi-organisasi intra di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi, serta proses pernikahan para kader pun dirancang sedemikian rupa. Politisi PKS Zulkieflimansyah bahkan menyebut PKS sebagai partai komunis bercita rasa islam.

1999, PKS awalnya berdiri dengan nama Partai Keadilan (PK) dan berhasil meraih pertumbuhan suara yang cukup tinggi dari pemilu ke pemilu hingga kemudian mengubah nama menjadi PKS. Tahun 2008, dalam musyawarah kerja nasional (mukernas)-nya, PKS mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka demi meningkatkan elektabilitas mereka. Hal ini kemudian memicu konflik internal dalam tubuh PKS, antara faksi (keadilan) yang ingin mempertahankan jalan partai (gerakan) di jalan syariat Islam dengan faksi (sejahtera) yang mulai banyak berdamai dengan pragmatisme politik elektoral. Inilah salah satu pemicu tsunami politik melanda PKS tahun ini.

Cita-cita utama PKS sesungguhnya adalah hendak membentuk Negara Islam (khilafah). PKS sangat menyesalkan salah satu titik sejarah Indonesia yang gagal diresmikan, yaitu Piagam Jakarta yang kemudian digantikan oleh Pancasila hari ini. Mahfud MD (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) menyiratkan dalam salah satu pernyataannya bahwa Partai (gerakan) Islam seperti PKS berkeinginan untuk meng-Islamkan Indonesia. Hal ini sangat berbeda dan bertentangan dengan sejumlah Kelompok Islam lain di Indonesia, yang sebaliknya berniat meng-Indonesiakan Islam.

Kedua cita-cita di atas (meng-Islamkan Indonesia dan meng-Indonesiakan Islam), berangkat dari prinsip (pemahaman) yang berbeda. Dalam konsep meng-Islamkan Indonesia, PKS berpijak pada ideologi Islam yang banyak terdistorsi oleh budaya timur tengah (arab). Hal ini bisa terlihat dari sejumlah hitam putih perilaku kader PKS yang dekat dengan budaya tersebut. PKS berniat ingin menyeragamkan, mereduksi perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia menjadi kesatuan (dakwah) Islam (konvensional).

Pemahaman PKS di atas, ditentang oleh cita-cita meng-Indonesiakan Islam. Dalam konsep ini, Islam dipahami sebagai kumpulan nilai-nilai universal yang berkeinginan menjadi rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Islam yang lahir dan berkembang di timur tengah pun kemudian dipelajari secara substansial. Sejumlah distorsinya dengan budaya arab dicoba untuk dijernikan dan kemudian di transformasikan serta diadaptasi dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Pemahaman PKS juga ditolak oleh seorang pengamat demokrasi timur tengah, Khaled Abou El Fadl. Ia menyatakan bahwa agama dapat menjalankan aneka peran di arena publik tanpa mengubah sistem politik yang ada menjadi teokrasi. Gagasan bahwa agama harus dikurung dalam ranah privat yang kaku supaya demokrasi yang layak bisa eksis terlalu menyederhanakan masalah, dan itu tidak mencerminkan realitas demokrasi yang sukses.

Kemudian, salah satu legenda intelektual Indonesia yaitu Nurcholish Madjid (Cak Nur), sebagai salah satu tokoh penggiat konsep meng-Indonesiakan Islam, pernah membuat terapan dari konsep tersebut dalam wujud sebuah jargon populer ; “Islam Yes, Partai Islam No!”. Jargon ini bersumber dari kajian futurologi terkait masa depan islam politik. Perwujudan (mengaku) Islam dalam kendaraan partai politik diyakini Cak Nur menempatkan Islam dalam posisi rentan terhadap pengkerdilan nilai dan substansi sesungguhnya dari Islam itu sendiri.

Hal itu ternyata kemudian benar terjadi, terhadap sejumlah kejadian yang menyangkut PKS saat ini, banyak pihak kemudian menyebut PKS sebagai partai yang telah mencoreng sendiri islam yang (menurutnya) ia bawa. PKS disebut telah ‘menjual’ Islam untuk kepentingan politiknya. Inilah yang memantik kontra sejumlah kalangan.

PKS seringkali memahami sumber ajaran islam secara tekstual, inilah yang kemudian menjadikan arah pemahaman mereka semakin terombang-ambing. Sejumlah intelektual Islam Indonesia pun kerap mengingatkan PKS tentang prinsip dasar mereka, Yudi Latief (Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) bahkan menulis buku berjudul “Tuhan pun Tidak Partisan” ; sebagai antitesis terhadap prinsip dasar PKS.

Lalu ketika tsunami politik semakin memporak-porandakan PKS, muncul sebuah anekdot yang (bisa jadi) nyata terjadi di PKS ; partai ini awalnya bernama partai keadilan karena ingin menciptakan keadilan di negeri ini. Lalu kemudian mereka berpikir lagi, apa tujuan dari keadilan ini?, maka kemudian hadir jawaban bahwa keadilan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Maka berubahlah namanya kemudian menjadi PKS. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mensejahterakan rakyat?, dan muncul jawaban “maka sejahterakanlah diri sendiri terlebih dahulu”.

Inilah kemudian, PKS kebablasan dalam arus politik praktis dengan pemahaman Islam tekstualnya dan bertahan dalam prinsip ‘men(T)uhan’.

Tulisan ini dimuat di Media HMI

4 comments:

  1. Assalammu'alaykum Kak,Saya mau nanya,indikator dikatakan sebuah partai itu dikatakan sebagai partai Islam seperti apa ya? seperti yang kakak bilang tadi di tulisan sebelumnya bahwa banyak yang mengedepankan figur dalam berpolitik,kalo menurut saya begitu juga dengan partai ini,yang berisi nilai nilai Islam adalah para kader atau anggotanya saja,sementara dalam berpolitik seperti yang kita (lebih tepatnya saya) lihat selama ini lebih cenderung mirip dengan partai partai pada umumnya,maaf jika salah kak,tapi yg selama ini terlihat begitu :(
    Terima Kasih Kak

    ReplyDelete
  2. wassalam. terima kasih tanggapannya, untuk indikator baku sebuah partai islam tentu pasti akan sangat relatif, karena islam itu sendiri juga multi pemahaman, akarnya semua menjadi relatif, teori relatifitas. begitu pun tulisan di atas, meski mencoba bereferensi ke berbagai sumber/pemikiran, nilai dasar si penulis terhadap ide (pemahaman keislaman)-nya tentu berpengaruh. tulisan ini sebenarnya bertujuan untuk memicu diskusi atas berbagai pertanyaan, salah satunya pertanyaan yang diajukan di atas. karena itu makanya di judulnya pun ditambahkan tanda tanya dalam kurung (implisit).

    kalau dikaitkan dengan tulisan yang 'presidensialisasi partai', diskusinya jadi makin lebar. sederhananya sikap penulis adalah sejauh ini tidak sepakat dengan label 'partai islam', cukuplah islam menjadi nilai yang terinternalisasikan dalam kehidupan berpolitiknya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih penjelasannya Kak Ibnu,,saya belum begitu mengerti jadi nanya deh,,tulisan tulisan kakak lainnya sangat bagus meningkatkan dan memberi wawasan baru kak,lanjutkan kak! Izin lagi mau baca tulisan yang lainnya di blog ini :) #belajarnulis :D

      Delete
  3. sama2 kelly. ia gapapa, makasih ya. silahkan. keep writing ya :D

    ReplyDelete