Asean
University Students Environmental Forum adalah sebuah program edukasi seputar
konservasi lingkungan dan pemberdayaan nilai ekonominya. Program ini diadakan
oleh Perusahaan AEON 1% Club yang merupakan sebuah perusahaan retail
internasional dan telah berkembang di sejumlah negara di Asia. Program ini
diikuti oleh mahasiswa terpilih dari Jepang, Indonesia, Thailand, dan Vietnam.
Masing-masing negara mengirimkan 24 orang mahasiswanya.
Masing-masing
negara diwakili oleh perguruan tinggi terbaiknya. Dari Indonesia terdiri dari
UI dan Unpad, Vietnam diwakili University of Social Sciences and Humanities dan
University of Education, lalu Thailand ada Thamassat University dan
Chulalongkorn University, dan Jepang berasal dari beragam kampus, yaitu ;
Waseda University, Kobe University, Tohoku University, Kyushu University, Chiba
University, Nagoya University, Shiga University, Hokkaido University, Kyoto
University, dan Tokyo Institute of Technology.
Yang
unik dari program ini adalah terkait penamaannya, ketika undangan awalnya
datang ke UI, program ini bernama Asian Students Exchange Progam. Namun setelah
sampai di Jepang, di sejumlah atribut kegiatan ini tertulis nama ‘Asean
University Students Environmental Forum’. Yang menarik disini adalah
inkonsistensi penggunaan kata ‘Asian’ menjadi ‘Asean’. Hingga saat ini, hal ini
masih menjadi tanda tanya yang belum terpecahkan.
Program
ini terdiri dari sejumlah kegiatan, mulai dari kuliah umum, kunjungan ke LSM,
pusat studi, pemerintahan, kota kuno, museum sains, teknologi pengolahan air, konservasi
kebudayaan asli Jepang, diskusi kelompok, presentasi, hingga kunjungan ke Tokyo
Disney Land.
Tokyo dan Disney Land
Program
ini berlangsung di sejumlah kota di Jepang. Dimulai dari Tokyo, kegiatan
pembukaan dan dua hari pertama dari program ini dihabiskan di Tokyo. Tokyo yang
satu abad yang lalu adalah sebuah negeri yang masih kental dengan kebudayaan
asli Jepang, saat ini telah berubah menjadi sebuah kota megapolitan. Modernisasi
kota Tokyo telah berlangsung puluhan tahun dan berkembang begitu pesat.
Sejumlah pusat industri, bisnis, hiburan, dan sumber-sumber perekonomian
menjulang tinggi bersama para gedung pencakar langit Tokyo.
Di
antara sejumlah gedung-gedung megah Tokyo, terselip Tokyo Disney Land, salah
satu pusat hiburan terkemuka di dunia. Keberadaan Tokyo Disney Land ini di
Jepang menjadi sebuah fenomena menarik jika sandingkan dengan kondisi dunia
kartun Jepang yang cukup mendunia. Disini kartun Jepang seperti dicibirkan oleh
kekuatan kapital Walt Disney yang berhasil membuat Tokyo Disney Land yang cukup
terkenal seantero dunia.
LSM : Lembaga Serius Menangani
Dalam
kegiatan kunjungan ke lembaga swadaya masyarakat (LSM), LSM yang dikunjungi
adalah Asaza Foundation. LSM ini berfokus pada studi teori dan terapan dari
ilmu lingkungan yang mencakup sejumlah teknologi konservasi lingkungan hingga
manajemen lingkungan yang efektif. Dilihat dari kemasan luarnya, terkesan LSM
ini seperti perusahaan besar yang sudah memiliki sistem yang sudah bagus. Hal
ini mungkin dipengaruhi oleh paradigma yang sebagian besar berkembang di
Indonesia bahwa LSM cenderung kecil dan kurang berkembang dengan baik.
LSM
ini sangat berbeda dengan sebagian besar LSM di Indonesia. LSM ini memiliki
keseriusan yang sangat tinggi dalam mencapai visinya. Terlihat dari program-program
yang dilakukan seperti konservasi dan pemberdayaan hutan, sekolah lingkungan,
pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat seputar isu lingkungan, pengembangan
agrikultur ramah lingkungan, industri perikanan, dan sejumlah program kreatif
lainnya.
Program-program
yang dilakukan oleh LSM ini tidak hanya dilakukan sendiri, namun juga mengajak
bekerjasama sejumlah pemangku kebijakan seperti pemerintah, swasta, akademisi,
dan masyarakat. Maka dari itu mungkin LSM Asaza Foundation ini bisa diartikan
lebih dari lembaga swadaya masyarakat, tapi adalah Lembaga yang Serius
Menangani sejumlah permasalahan yang ada di kompetensi intinya.
Kyoto dan Shiga : Think Globally Act
Locally
Usai
dari Tokyo, kegiatan bertolak ke Kyoto menggunakan kereta tercepat di dunia,
Shinkansen. Jarak sejauh Jakarta-Semarang dari Tokyo ke Kyoto hanya ditempuh
dalam waktu tiga jam. Inilah hasil etos kerja keras dari para pemuda Jepang.
Jepang yang semakin maju dan semakin terbuka telah membawa sejumlah perubahan
terhadap berbagai aspek kehidupan mereka, tidak terkecuali persoalan keyakinan.
Shinto,
yang merupakan kepercayaan asli Jepang saat ini sudah hampir sirna. Kemudian
Budha yang juga memiliki banyak penganut di Jepang, dari tahun ke tahun
jumlahnya semakin menurun, begitu juga dengan kristen yang datang belakangan.
Tren yang meningkat adalah atteis dan agnostic. Perkembangan ilmu pengetahun
membuat eksistensi Tuhan bagi mereka semakin lemah dan pada akhirnya mereka
memilih untuk tidak beragama atau tidak menjalankan ritual-ritual ibadah
keagamaan.
Namun
ditengah tren di atas yang meningkat, penghormatan Jepang terhadap kebudayaan
asli mereka masih cukup tinggi. Kota Kyoto contohnya, yang dipertahankan
sebagai kota konservasi kebudayaan asli mereka dan juga kepercayaan lama
mereka. Sejumlah bangunan dengan arsitektur khas Jepang, rumah-rumah ibadah,
hingga ritual-ritual kebudayaan lama masih dijaga dengan sangat rapi dan
kemudian diberdayakan juga untuk potensi pariwisata.
Setelah
Kyoto, kota berikutnya yang dikunjungi adalah Shiga yang tidak jauh dari Kyoto.
Kota ini cukup tenang, kecil, dan damai. Di kota ini terdapat kawasan bernama Omihachiman,
ialah sebuah kota kuno yang menyimpan sejumlah situs sejarah dan masih sangat
terawat. Daerah ini bagaikan kampung madani yang begitu tenang dan tentram.
Dibalik rumah-rumah kuno tersebut, bersama kearifan lokal mereka terpadu
kemajuan teknologi dan keluasan ilmu pengetahuan yang mensejahterakan kehidupan
mereka.
Selanjutnya
di Shiga juga ada kunjungan ke Museum Lake Biwako. Museum ini sangat terawat
dan megah. Di dalam museum ini menceritakan tentang sejarah fisik dan sosial
budaya di Danau Biwako. Tidak sekedar museum, juga terdapat studi riset yang
dilakukan oleh museum ini untuk terus meningkatkan kualitas dan kuantitas isi
museum mereka.
Kyoto
dan Shiga, itulah dua kota yang telah berpikir global atas kebijakan-kebijakan
mereka, namun bertindak secara lokal demi tetap menjaga karakter asli mereka
dan menyejahterakan peradaban mereka.
5 Menit dan Japanese Western
Sepanjang
pelaksanaan semua kegiatan dalam program ini, ada sebuah pola disiplin yang
menarik dalam memandang waktu. Jika di Indonesia banyak berlaku toleransi waktu
keterlambatan selama lima belas menit lebih telat dari waktu sebenarnya, di
Jepang toleransi ini berlaku sebaliknya. Jika memiliki jadwal kegiatan dimulai
pukul 7.00, maka berarti sudah harus sampai di tempat kegiatan tersebut lima
menit lebih awal. Hal ini mencerminkan penghormatan yang tinggi oleh orang
Jepang terhadap pemanfaatan waktu.
Ada
dua jenis tipikal orang Jepang, yaitu Jepang asli dan Japanese Western. Jepang asli adalah mereka yang jarang berkunjung
ke luar negeri dan bersikap cenderung tertutup terhadap warga asing. Jepang
asli ini masih belum ter-globalisasi secara pola pikir, namun memiliki
nasionalisme tinggi. Lalu japanese western adalah mereka yang sering berkunjung
ke luar negeri untuk studi dan berbagai kegiatan. Mereka relatif lebih terbuka
dan open mind. Dalam program ini
mahasiswa Jepang yang terlibat adalah yang tipikal japanese western, semua
mereka telah pernah studi ke sejumlah negara maju lainnya.
Dua
hal di atas karakter disiplin waktu dan dua jenis tipikal warga Jepang di atas
menjadi salah satu kunci kemajuan Jepang. Dengan gaya disiplin yang sangat
tinggi terhadap waktu, orang Jepang dapat memaksimalkan setiap detik yang
mereka punya dengan sangat produktif. Dua jenis tipikal warga Jepang tadi
menjadi saling melengkapi satu sama lain. Ada yang bertugas menyerap ilmu ke
luar negeri dan kemudia mereka transfer ke dalam negeri, lalu memberdayakan
potensi Jepang asli yang memiliki nasionalisme tinggi tersebut untuk membangun
kemajuan negaranya.
No comments:
Post a Comment