Australia, adalah sebuah negara multikultural yang berbeda
dengan Indonesia, berbeda polanya. Di Indonesia multikultural-nya berangkat
dari perbedaan suku asli atau daerah-daerah yang ada di Indonesia. Sedangkan di
Australia, keragaman tersebut berasal dari berbagai suku bangsa di dunia yang
bermigrasi lalu kemudian tumbuh kembang membangun Australia. Mereka berasal
dari dominasi inggris, arab, persia, india, tionghoa, jepang, korea, melayu,
thailand, afrika, eropa, hingga amerika.
Berkah Heterogenitas
Heterogenitas yang tinggi antar berbagai suku bangsa
tersebut ternyata membawa berkah tersendiri bagi Australia. Sejumlah perbedaan
yang ada membuat mereka semakin kaya akan kebudayaan yang akhirnya melahirkan
sejumlah gagasan-gagasan yang memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) di Australia.
Kemajuan tersebut tentu tidak lepas dari peran serta
pendidikan berkualitas yang menjamah para warga negaranya. Di Australia
terdapat sejumlah universitas kelas dunia yang telah mencipta sejumlah
kontribusi dalam membangun dunia keilmuan. Sebut saja salah satunya, University
of Sydney yang berada di peringkat 50 besar dunia. Universitas ini memiliki
sistem tata kelola dan budaya riset yang cukup tinggi sehingga mampu
menghasilkan sejumlah pengetahuan baru serta juga peningkatan kapasitas
mahasiswanya.
Ada sebuah perbedaan konsep yang mendasar dalam metode
belajar di Australia dan di Indonesia secara umum. Di Indonesia, kita
disuguhkan dengan begitu banyak mata pelajaran atau mata kuliah yang harus
dipelajari dan menjadi syarat wajib kelulusan. Sehingganya arahnya pun menjadi
kabur, orientasi para pelajarnya pun menjadi memikirkan bagaimana cara untuk
bisa lulus atau lolos dari kewajiban tersebut. Di Australia, jumlah subjek
tersebut tidak sebanyak di Indonesia. Lebih sedikit dan fokus pada pengetahuan
tertentu. Sehingganya mereka dapat benar-benar menikmati pengetahuan tersebut
sebagai sebuah ilmu, bukan syarat kewajiban untuk lolos.
Selanjutnya, dalam metode pengajaran pun juga terlihat
perbedaan. Di Indonesia cenderung mengkaji atau mempelajari konsep-konsep
teoritis yang tidak faktual atau kajian-kajian lama tanpa pembahasan
relevansinya dengan studi kasus terkini. Sementara di Australia, mereka
mempelajari sebuah pengetahuan tidak berangkat dari teori terlebih dahulu,
namun bermula dari studi kasus yang aktual. Kemudian dari sana dikaji
relevansinya dengan teori-teori yang ada, lalu merumuskan sebuah kesimpulan
baru yang bisa juga berbentuk solusi.
Kualitas pendidikan yang baik menghasilkan manusia-manusia
yang tentu tidak kalah baik. Ada sejumlah karakteristik personal yang mudah
dijumpai di sebagian besar orang Australia, diantaranya : disiplin, respect to
system, time, people, work hard and play hard, gemar membaca, menulis, dan di
berbagai tempat umum hingga rumah-rumahnya terdapat banyak buku/bahan bacaan.
Hal ini menunjukkan tingginya tingkat konsumsi mereka terhadap pengetahuan.
Kemudian juga ada satu kebiasaan atau hobi sebagian besar
mereka yang dimaknai lebih dari sekedarnya. Adalah travelling, menjamah seluruh
penjuru dunia adalah cita-citanya. Salah satu kutipan yang ditemui di berbagai
rumah di Sydney, adalah “The World is a book, and those who do not travel read
only one page”.
Dengan sejumlah karakter positif tersebut, mereka akhirnya
mampu mencipta berbagai inovasi bagi pembangunan Australia. Dari bidang
teknologi informasi dan komunikasi, di berbagai tempat seperti fasilitas umum,
lembaga pendidikan, pemerintah, swasta, hingga rumah-rumah sebagian besar sudah
terhubung dengan koneksi internet. Di berbagai kendaraan, seperti bus umum,
mobil pribadi, hingga taksi sebagian besar sudah dilengkapi dengan GPS sebagai
navigator.
Dari bidang transportasi, moda transportasi umum sudah
disadari oleh penduduk sebagai fasilitas yang harus dioptimalkan penggunaannya
untuk mencegah kemacetan dan polusi terhadap lingkungan. Kemudian juga untuk
kemudahan akses memperoleh fasilitas transportasi umum yang terdiri dari bus,
train, dan ferry juga telah disediakan satu kartu yang bisa digunakan untuk
semua jenis moda tersebut.
Untuk mendapatkan lisensi mengemudi di Australia pun
tidaklah dengan mudah. Ada serangkaian proses panjang hingga bertahun yang
harus dilalui oleh mereka yang ingin berkendara. Hasil dari proses panjang ini
dapat terlihat dari rendahnya angka kecelakaan lalu lintas disana. Para
pengemudi terlihat lebih bijak dalam mengemudi, seperti contoh penghormatan
terhadap para pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan sangat tinggi.
Dari bidang konservasi hayati dan hewani, sejumlah wildlife
atau habitat asli kehidupan liar hewan dan tumbuhan di Australian masih terjaga
dengan utuh. Kesadaran akan pentingnya konservasi tersebut seakan telah
dipahami oleh semua warga negara.
Selanjutnya, terhadap setiap potensi alam yang dimiliki,
mereka sangat peka dan optimal dalam ekplorasi potensi tersebut. Salah satunya
adalah adanya pembangkit listrik tenaga salju yang terdapat di area snowy
mountain di Jindabyne, New South Wales.
Krisis Spiritual dan Nasionalisme
Tak ada gading yang tak retak, ungkapan tersebut juga
berlaku bagi Australia. Dibalik semua keunggulan yang telah diraih mereka,
tentu masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang menjadi tantangan bagi mereka dan
mesti diselesaikan. Adalah dua jenis krisis yang tengah melanda saat ini di
negeri kangguru ini, yaitu ; krisis spiritual dan nasionalisme.
Paham liberal yang juga turut berkembang di Australia
menjadi salah satu pendorong lahirnya dua krisis di atas. Menurut salah seorang
mahasiswa di Sydney University, “Ada dua jenis agama di Australia, yaitu
‘praktek’ dan ‘non-praktek”. Hal ini mencerminkan bagaimana semakin menurunnya
tingkat kepercayaan terhadap praktek-praktek atau ibadah keagamaan di Australia.
Kedepannya, hal ini akan menuju pada ketidakpercayaan terhadap konsep agama
atau Tuhan.
Sejumlah data mencatat bahwa angka bunuh diri di Australia
relatif tinggi. Kecendrungan penyebab dari kejadian ini diperkirakan adalah
krisis spiritual yang terjadi di negara tersebut. Ketika sejumlah hiburan fana
tidak lagi mampu menjadi obat bagi sejumlah permasalahan yang mereka hadapi,
akhirnya ketiadaan hubungan yang mereka buat dengan Tuhan membuat mereka
memilih jalan bunuh diri sebagai solusi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa
menjadi permasalahan krusial di negara ini.
Selanjutnya terkait krisis nasionalisme, hal ini diakibatkan
oleh tingginya tingkat heterogenitas suku bangsa di negara ini. Multikultural
antar bangsa yang terjadi, lemahnya sejarah pengikat kesatuan, dan
berkembangnya sikap apolitis di sejumlah masyarakat, menjadi penyebab menurunnya
kadar nasionalisme yang dimiliki oleh para warga Australia.
Anomali Belahan Selatan
Ya begitulah Australia, sebuah negara benua yang berada di
belahan bumi bagian selatan. Dalam studi pembanguan wilayah, berdasarkan pola
lokasi tingkat kemajuan suatu negara, negara maju cenderung berada di bumi
belahan utara dan negara berkembang berada di belahan bumi selatan. Australia
adalah salah satu anomali dari teori tersebut. Meskipun sejumlah potensi
pelemahan di masa mendatang akibat beberapa krisis semu di hari ini mengancam,
namun kemajuan peradaban yang mereka capai hari ini jauh lebih baik daripada
kondisi sebagian besar negara lainnya di belahan bumi selatan.
No comments:
Post a Comment