Awan mendung menyambut kedatangan kereta tua buangan mantan negara imperialis (sekarang sesungguhnya masih-hanya saja impilisit) itu di stasiun penuh derita. Kulihat wajah-wajah mereka yang sama dan membosankan namun dalam edisi yang baru menyusuri tepian stasiun dengan aroma kelelahan dalam kepuasan. Mudah-mudahan dugaanku benar. Dua puluh tujuh jam sebelumnya aku berjalan menuju stasiun keberangkatan menuju pusat eksekusi dengan perasaan gundah mencoba untuk optimis akan hasil yang tercipta esok hari.
Aku terus memikirkan dan merangkai diksi apa saja yang akan ku-untai nanti malam. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengintegrasikan kemampuan menyusun pidato dengan proses basa-basi (lebih tepat disebut kepedulian).
Sesampai di tujuan, bersama akumulasi rasa lelah selama perjalanan aku masih terus berlanjut dalam dua sisi ; berusaha keras mencairkan suasana dan memenuhi tuntutan pikiran. Hingga saatnya waktu eksekusi itupun dimulai aku masih bergulat bersama kedua sisi itu. Aku dan mereka awalnya tidak pernah saling mengenal hingga aku menginjakkan kaki di kampus semi-liberal yang dulu tidak pernah ada dalam kumpulan mimpiku. Bahkan sampai aku dan mereka sudah terlibat dalam suatu wadah pengabdian (sebagian orang menganggap hal ini kolot-tapi kuyakin mereka yang berkata seperti itu masih dalam proses pematangan), aku masih belum saling mengenal dengan mereka. Inilah kekhilafanku dalam wadah ini yang memicu munculnya lembaran ini.
Aku memutuskan untuk bergabung dalam wadah ini awalnya karena kegelisahanku atas sejumlah fakta yang kuharap fiksi yang tengah berkembang dan berpotensi merusak dan menghancurkan wadah ini. Disamping itu alasan lain yang mendorongku untuk hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan sejumlah para penguasa di negeri ini ; ambisi akan kekuasaan dan popularitas. Dalam usiaku yang berada dalam tahap proses, sejumlah pengaruh yang silih berganti memprovokasi kegalauanku memaksaku memiliki ambisi itu. Namun syukurlah Tuhan menyelamatkanku. Ambisi menyesatkan yang begitu besar diawal akhirnya tumbang ditengah perjalananku. Fakta yang kuharap fiksi itu ternyata berdampak jauh lebih buruk daripada yang kukira, tradisi yang berjalan selama ini mengisyaratkan titik kehancuran di suatu paralaks ambiguitas. Banyak urgensi yang harus diperjuangkan secara optimal, mengingat luasnya lautan potensi yang tersedia dan sangat membutuhkan respon yang cepat. Urgensi itu dianalogikan sebagai sebuah siklus dinamis yang dalam setiap periode tertentu terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia. Semangat ini diharapkan mampu diperjuangkan oleh wadah-wadah lain yang berada dalam koridor yang sama (amin).
Dengan berjuta gebrakan ide konstruktif (konon disebut kontribusi) sebagai hasil tanggapan atas urgensi-urgensi yang mengepung pikiranku aku bergerak cepat menyalurkan semua pengaruh itu untuk dapat terealisasikan secara optimal melalui mereka. Hari demi hari wilayah teritorial pemikiranku semakin terjajah oleh segala akselerasi semangat kontribusi itu. Namun budaya kerja perfeksionis yang telah merasuki karakter diriku semenjak dini itu membuatku melupakan suatu urgensi yang ternyata jauh lebih penting dari sejumlah urgensi diatas. Aku telah melupakan kondisi mereka, mengabaikan kesanggupan mereka, dan tidak mempedulikan sinyal kelelahan mereka mengikuti mimpi-mimpiku (untuk negeri ini). Maafkan aku teman..aku terlalu mencintai mimpi-mimpi perubahan itu untuk menjadi nyata, hingga lupa akan kenyataan untuk mencintaimu.
Sesungguhnya hatiku mengecam semua tradisi primitif yang menuhankan penguasa itu. Hal ini sangat melawan arus inovasi dan dinamisasi. Hal ini jugalah yang akhirnya merubah stigmaku untuk menjadikan wadah ini untuk lebih profesional dan meredam bahkan tanpa kusadari aku telah berupaya meniadakan azas kekeluargaan yang mengakari berdirinya wadah ini. Maafkan aku saudaraku..aku telah salah menginterpretasi hal ini..aku terlalu menjauhi budaya itu, hingga akhirnya aku membudayakan untuk menjauhimu.
Malam ini bersama mereka aku menyadari wadah ini merupakan sebuah kompleksitas media aktualisasi diri. Aku harus menemukan formula yang tepat untuk mengkombinasikan azas kekeluargaan dalam persamaan identitas dan azas profesional demi kinerja yang optimal dalam mencapai tujuan yang maksimal yang terangkum dalam mimpi perubahan itu. Sekilas hal ini terlihat sangat mustahil karena keduanya sangat bertolak-belakang dalam sejumlah pengalaman. Untuk bisa bersifat profesional maka biasanya kita harus mengesampingkan semua alasan kekeluargaan. Pertanyaannya adalah ‘mengapa aku memaksakan azas profesional dalam wadah yang berdiri atas azas kekeluargaan ini?’. Negeri ini bukanlah negeri maju dan aku sangat mengharapkan kontradiksinya segera tercipta. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan pergerakan yang dinamis dari segala pihak, hal inilah yang sedang aku usung ditengah kebobrokan sebagian besar birokrat di negeri ini yang sulit sekali untuk diharapkan. Dalam waktu yang terbatas aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyentuh perubahan itu. Dibutuhkan langkah taktis yang efektif untuk mencapai mimpi itu tanpa melupakan identitas kekeluargaan tadi. Penanaman azas profesional adalah salah satu jawabannya.
Aku masih belum menemukan formula itu hingga gelap malam diselimuti tawa canda, tangis, dan segala keluh-kesah mereka dalam kepingan makna yang mulai memberikan aku petunjuk akan jawabannya. Malam ini aku putuskan untuk menghentikan perjuangan berpikir, menyisakan tenaga untuk esok yang kuharap akan melengkapi petunjuk jawaban yang sudah mulai dapat kucerna.
Tuhan mendengar doaku, pagi ini kunci-kunci jawaban itu mulai terkuak. Sudah lebih dari setahun aku mengenal mereka, dan lebih dari lima bulan (seharusnya) aku dekat dengan mereka baru kali ini aku merasakan kebersamaan bersama mereka. Wadah ini bukan milikmu seorang wahai diriku, ada kamu, mereka, dan saudara-saudaramu yang mencintainya.
Sakato bakontribusi!
No comments:
Post a Comment