Biogas rumah di Bali |
Beberapa waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bahwa
menurunnya produksi energi fosil di Indonesia harus dilihat sebagai peluang
untuk mengembangkan sumber-sumber energi baru terbarukan (EBT). Indonesia termasuk
salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi terbesar di dunia,
mencapai 7 persen per tahun. Sementara itu, produksi minyak Indonesia terus
mengalami penurunan rata-rata 2,1 persen per tahun periode 1992-2013. Dan kini
laju penurunannya semakin tajam, sehingga mendorong pemerintah untuk mencari
solusi energi.
Dengan kata lain, pemerintah harus segera mempercepat
pembangunan dan mendukung investasi di sektor EBT. Misalnya, dengan memberikan
insentif menarik, dukungan regulasi yang berpihak pada investasi tersebut, dan
juga fasilitas fiskal memadai, mengingat nilai investasi sektor EBT sangat
besar. Saat ini Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan mencapai
176,01 Gigawatt. Angka itu terdiri dari energi bayu/angin sebesar 950 Megawatt,
tenaga surya 11 Gigawatt, tenaga air 75 Gigawatt, energi biomasa 32 Megawatt,
biofuel 32 Megawatt, energi laut 60 Gigawatt dan panas bumi 29 Gigawatt.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
memperkirakan realisasi investasi di sektor EBT pada 2016 akan melebihi target
US$ 1,37 miliar. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, meski terjadi perlambatan
perekonomian global dan beberapa hambatan, iklim investasi sektor energi baru
terbarukan di Indonesia tetap menarik. Sampai akhir Juni lalu, realisasi
investasi di sektor ini mencapai US$ 867 juta atau 63,5% dari target. Realisasi
investasi di sektor panas bumi tercatat sebesar US$ 56 juta atau 58,3% dari
target US$ 96 juta, bioenergi sebesar US$ 28,9 juta atau 93,2% dari target US$
31 juta dan aneka energi baru terbarukan lainnya hanya US$ 180 ribu atau 18%
dari target US$ 1 juta.
Pemerintah optimistis investasi sektor energi baru
terbarukan ini dapat digenjot pada semester kedua 2016 ini. Di Sumatra Barat,
sektor energi terbarukan menjadi incaran investor untuk menanamkan modalnya
dikarenakan potensi sektor energi daerah itu yang terbilang besar. Gubernur
setempat menyebutkan sejumlah perusahaan sudah menunjukkan minat untuk
berinvestasi di daerah itu dengan melakukan eksplorasi. Namun, ketergantungan
pada investor besar mungkin bukan solusi berkelanjutan bagi pengembangan EBT di
Indonesia.
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor potensial untuk
terhubung dengan EBT. Ada sejumlah
sumber pendanaan alternatif bagi EBT di sektor ini, diantaranya adalah kredit
mikro, pinjaman lunak, hibah dan subsidi, dan kombinasi antar berbagai sumber
tersebut melalui kerjasama masyarakat, swasta dan sektor publik. Sejumlah institusi kredit mikro dari
luar negeri pun sekarang mulai melirik untuk investasi membangun nexus energi-pertanian.
Intervensi energi terbarukan pada usaha pertanian dan
makanan termasuk soal pengenalan teknologi energi terbarukan atau
langkah-langkah efisiensi energi, yang dapat meningkatkan intensitas energi.
Setiap tahapan dalam rantai nilai pertanian memiliki tantangan yang berbeda
untuk melakukan efisiensi energi, efektifitas biaya dan meminimalisir
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Dengan pendekatan rantai nilai, hal
ini menjadi bukti bagaimana nilai dari produk makanan cenderung meningkat
dikarenakan proses dan inputnya membutuhkan konsumsi energi yang lebih.
Intervensi energi mempertimbangkan jarak dari sistem irigasi energi solar ke
pendinginan dan fasilitas penyimpanan dingin, dan juga dari penggunaan residu
untuk produksi energi ke energi panas bumi untuk pengolahan makanan.
Sebelum melakukan analisis cost-benefit ekonomi dan
keuangan, investasi harus disesuaikan ke dalam kerangka teknis, sosial, institusi
dan ekonomi, untuk mengetahui hambatan dan kendala yang akan dihadapi. Langkah
pertama adalah identifikasi dan menjelaskan skenario patokan dan skenario
investasi. Lalu langkah kedua yaitu memprediksi hasil investasi, termasuk modal
dan biaya operasi, serta keuntungan lain yang terukur.
Berikutnya, aliran bersih tambahan proyek harus ditentukan dari
membandingkan biaya dan keuntungan proyek dengan biaya dan keuntungan skenario
patokan. Komponen tersebut akan menghitung indikator profitabilitas keuangan
proyek. Selanjutnya
adalah mengkonversi harga pasar ke dalam harga bayangan, hal ini menghapus biaya seperti pajak dan subsidi, dan mengukur
eksternalitas positif dan negatif untuk menghitung arus kegiatan ekonomi. Langkah lain yang juga bisa melengkapi
adalah analisis sensitivitas untuk mengetahui resiko utama dan ketidakpastian
yang dapat mempengaruhi proyek yang diajukan.
Proyek energi bersih dibedakan antara sistem on-grid dan
off-grid. Sistem energi grid terikat dapat menggunakan grid sebagai cadangan
jika sumber energi terbarukan tidak tersedia untuk sementara. Selain itu, jika
ada feed-in tariff, pendapatan dari proyek energi dapat diperoleh dengan
memasok listrik ke grid.
Sistem off-grid adalah sistem energi desentralisasi yang
tidak terhubung pada grid nasional. Sistem ini memiliki potensi yang besar
khususnya bagi daerah terpencil, dan juga dapat memenuhi kebutuhan individu
rumah tangga atau seluruh warga. Sistem off-grid energi terbarukan yang banyak
ditemui adalah sistem solar rumah, biogas, pemanas air solar, tenaga angin
skala kecil dan pembangkit listrik mikro hidro. Pilihan lain adalah teknologi
gasifikasi untuk merubah biomassa menjadi listrik, panas dan biofuel. Bahan
baku bagi gasifikasi ini bisa menggunakan limbah pertanian seperti sekam padi.
Untuk kesan pertama profitabilitas, proyek harus menjumlahkan
semua faktor yang membentuk total pendapatan dan total biaya, dan membandingkan
hasilnya. Dengan menerapkan metode penganggaran modal, hasil yang lebih baik akan
dapat dicapai.
Dalam kasus biogas skala kecil, kelayakan ekonominya
bergantung pada ketersediaan material organik, jenis produk akhir dan
permintaan pasarnya. Pendapatan didapat dari penjualan produk akhir dan selisih
biaya dengan penggunaan bahan bakar sebelumnya. Investasi awal merupakan bagian
utama dari total biaya. Untuk solar dryer, profitabilitas bergantung utamanya
pada permintaan dan harga pasar untuk buah kering dan sayuran, serta jenis
pangan lainnya. Untuk biaya, investasi awal dan biaya tambahan selama operasi
harus dipertimbangkan.
Investasi EBT tidak hanya akan membantu melengkapi kebutuhan
energi Indonesia, namun juga akan membantu upaya Indonesia mewujudkan langkah
konkrit komitmen pemerintah terhadap Konferensi perubahan iklim (COP) 21 di
Paris lalu untuk melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim. Komitmen ini membutuhkan
peran banyak pihak, tak hanya pemerintah, namun juga non state actors, seperti pelaku
bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta akademisi dan peneliti.
Tulisan ini dipublish di Selasar
No comments:
Post a Comment