Kondisi yang membutuhkan pembangunan strategis |
Seiring dengan mendekatnya Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI
Jakarta 2017, perhatian publik yang digiring media terhadap topik ini pun
semakin meningkat. Tak Cuma partai politik (parpol), aliansi masyarakat sipil
beserta sejumlah organisasi pun turut serta meramaikan bahasan ini dengan
mengusung sejumlah calon. Hal ini semakin menjadi-jadi setelah Basuki Tjahja
Purnama (Ahok), calon incumbent, menetapkan untuk maju melalui jalur parpol.
Keputusan ini membuat sejumlah pihak yang tidak menginginkan Ahok sebagai
gubernur lagi, menjadi cemas dan langsung ribut memaksa calon lain yang tak
kalah kuat, salah satunya adalah Tri Rismaharini (Risma), Walikota Surabaya
saat ini yang berprestasi.
Sejumlah seruan dan bujukan untuk Risma menjadi calon
gubernur Jakarta sontak menggeliat dimana-mana. Mulai dari masyarakat sipil, warga Kelurahan Kalianyar, Jakarta Barat dan warga Jatinegara Ilir beberapa
waktu lalu menggelar deklarasi mendukung Risma menjadi calon gubernur (Cagub)
DKI. Alasan warga tersebut adalah karena ingin Jakarta dipimpin figur yang
lebih merakyat dan mengedepankan dialog. Kemudian disusul oleh pernyataan
sejumlah Alumni Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang juga
menyatakan Risma pantas didukung untuk maju menjadi Cagub DKI melawan Ahok.
Tak cuma itu, media massa pun turut berkonspirasi menggiring
berita seolah-olah Risma akan maju jadi Cagub DKI. Sebuah pidato Risma di
Surabaya yang menyatakan permintaan maaf akibat ia tidak menghadiri sebuah
acara di Surabaya, di-framing menjadi permintaan maaf untuk maju jadi Cagub
DKI. Tampaknya media pun sangat memanfaatkan topik ini untuk meningkatkan
popularitas portalnya.
Tak ayal hal ini membuat parpol pengusung pun menjadi
semakin mempertimbangkan untuk memboyong Risma ke Jakarta. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang awalnya hendak mengusung Ahok pun, tampaknya
mengkaji ulang keputusan ini. Beberapa waktu lalu PDIP membentuk koalisi besar
dengan sejumlah partai lain, Gerindra, Demokrat, PKB, PKS, PPP dan PAN. Semua
memberi usulan pasangan untuk Risma, Gerindra dan PKS ingin Sandiaga, PPP
mengajukan Yusuf Mansyur, Demokrat mempertimbangkan Anies Baswedan. Sejumlah
pihak menilai bahwa membawa Risma ke Jakarta akan mampu membuat Risma mengikuti
jejak Jokowi menuju kursi Presiden. Pola pikir ini semakin memperkuat daya
Jakarta sentris. Dimana Jakarta menjadi batu pijakan untuk kekuasaan tertinggi
dan terbesar di Indonesia. Jakarta menjadi daya tarik untuk optimalisasi
popularitas kepentingan, dari politik hingga bisnis.
Lalu apa kabar dengan pemerataan pembangunan di Indonesia? Pemerataan
hasil pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) 2015, 28,59 juta orang atau 11,22%
penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan
kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Jumlah
orang miskin terbanyak berada di Provinsi Risma, Jawa Timur sebanyak 4,78 juta
jiwa. Lalu di posisi kedua disusul Provinsi Jawa Tengah 4,58 juta jiwa,
kemudian Jawa Barat sebanyak 4,35 juta orang miskin. Peringkat keempat dan
kelima ditempati Provinsi Sumatera Utara 1,46 juta jiwa dan Lampung 1,14 juta
jiwa. Ini belum termasuk daerah Indonesia Timur yang kecil secara jumlah, namun
dengan kondisi lebih terabaikan.
Sementara itu, sejumlah program pembangunan di timur dan
ujung barat Indonesia digawangi oleh institusi dan lembaga donor asing. Hal ini
rentan bagi keutuhan bagi kedaulatan bangsa, lembaga-lembaga tersebut memiliki
power lebih besar dalam mempengaruhi arah pembangunan, dikarenakan kekuatan
capital. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) banyak yang ‘bisa dibeli’ oleh
power asing ini, ketika pemda hanya dihuni SDM bermental korup dan miskin
idealisme dan integritas.
Gini Index untuk pemerataan penghasilan Indonesia adalah
0,34, hal ini menunjukkan adanya ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar
di Indonesia. Gini index merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi
penghasilan. Gini Index untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia
mencapai 0,46, nilai ini menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah
yang cukup besar.
Disparitas pembangunan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai bagi Indonesia. Salah satu Program Jokowi adalah meningkatkan intensitas implementasi Program Tol Laut dengan perluasan cakupan daerah untuk mengurangi disparitas harga. Namun disparitas ini sayangnya mencakup berbagai sector, termasuk sumber daya manusia (SDM).
Disparitas pembangunan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai bagi Indonesia. Salah satu Program Jokowi adalah meningkatkan intensitas implementasi Program Tol Laut dengan perluasan cakupan daerah untuk mengurangi disparitas harga. Namun disparitas ini sayangnya mencakup berbagai sector, termasuk sumber daya manusia (SDM).
Pembangunan berkelanjutan konon sudah masuk dalam visi
pembangunan Indonesia 2030 dan juga Nawacita Jokowi. Douglas Broderick (United
Nations Resident Coordinator) menyebutkan bahwa beberapa tantangan Indonesia
dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) adalah masalah
kesenjangan sosial, good governance
dan generasi muda.
Untuk menjawab tantangan di atas, maka kita harus membiarkan
orang terbaik di daerah untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan di daerah. Meskipun
ada pihak yang menilai Risma sudah meletakkan fondasi pembangunan berkelanjutan
di Surabaya, namun potensi itu justru akan lebih bermanfaat untuk mengentaskan
kemiskinan di Jawa Timur, ketimbang Jakarta. Tak cuma Surabaya, Bantaeng, Sulawesi
Selatan, Bandung dan daerah-daerah lain yang punya kepala daerah berkualitas,
biarkan mereka menjadi contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia untuk
membantu pemerataan pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia bukan hanya
Jakarta, jangan seret semua potensi dan sumber daya ke Jakarta.
Kepala daerah mesti jadi teladan, ketika kepala daerah terbaik
melakukan urbanisasi ke Jakarta, maka penduduk pun punya justifikasi untuk
melakukan hal yang sama. Hal ini semakin menyesakkan Jakarta yang over
populasi. Sementara itu jumlah penduduk Jakarta saat ini mencapai 10 juta jiwa,
ditambah dengan yang bermukim di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dan setiap
hari commute ke Jakarta maka menjadi 28 juta jiwa. Kepadatan penduduk Jakarta
Pusat bahkan mencapai 18.926 per km2. Ketika tanah
Jakarta tak cukup lagi untuk warga yang ada, maka ini membuat Ahok semakin
punya justifikasi untuk melakukan reklamasi.
Warga Jakarta janganlah terlalu egois merampas semua SDM
daerah. Mari kembali mengingat substansi pembangunan berkelanjutan, prinsip
pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Termasuk kebutuhan akan SDM, kepala
daerah berkualitas di daerah sudah menjadi magnet untuk pengembangan kapasitas
sumber daya manusia di daerah. Biarkan ini menjadi energi positif di daerah.
Biarkan Risma di Surabaya, ini akan menjadi teladan bagi
kepala daerah lain untuk bertahan dan konsisten membangun daerah sebagai
fondasi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Cukup Jokowi menjadi pelajaran
bagi Batavia yang putus asa menjelang hari merdeka.
No comments:
Post a Comment