Thursday, February 19, 2015

Banjir Adalah Kita

Ilustrasi Spatial Behaviour

Jakarta Smart City, itulah slogan yang digaunkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu, dalam peluncuran aplikasi smart city-nya. Dan kini, smart city itu mengalami banjir, lagi. Seperti biasanya?

Untuk menjawabnya mari kita lihat beragam komentar dan sudut pandang yang hadir dari berbagai orang terkait banjir yang terjadi ini.

Sejumlah media sosial pun juga turut kebanjiran, banjir postingan dari para penggunanya terkait dengan Banjir Jakarta. Mulai dari sindiran tentang terjadinya banjir yang dikaitkan dengan kondisi politik hingga dengan mengubah foto banjir menjadi seperti film animasi.


Lalu juga, Jakarta dengan banjirnya diolok melalui sejumlah meme, foto yang ditambahkan dengan tulisan-tulisan bagaikan komik.

Diantaranya, mereka menyebutkan bahwa Jakarta sudah seperti Venice, kota pesisir di Italia yang dilalui banyak sungai. Tampak dalam meme ini seorang wanita di atas sebuah perahu evakuasi banjir dan menyebutkan bahwa dirinya tengah berada di Venice. Kemudian, ada lagi foto Banjir Jakarta yang ditambahkan dengan keberadaan ultraman dan dinosaurus di tengah-tengahnya.

Joko Widodo (Jokowi), Presiden RI, dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta pun tak ayal juga ikut jadi bulan-bulanan. Salah satu janji kampanye Jokowi dulu yang menyatakan Banjir Jakarta akan lebih mudah diatasi jika ia jadi presiden pun, sekarang jadi olokan. Bahkan Program Tol Laut Jokowi pun diplesetan menjadi Tol Jakarta yang menjadi laut, ini diambil dari Foto Banjir Tahun 2010.

Buat Ahok, gertakannya diakhir tahun lalu pada lurah dan camat di Jakarta yang gagal atasi banjir akan dipecat pun, juga diolok oleh para netizen, pengguna internet.

Kenapa begitu banyak olokan dan sindiran yang bertebaran di tengah Banjir Jakarta?. Mungkin ini memang banjir seperti biasanya, banjir tahunan. Banjir yang tak lagi meraih simpati apalagi empati dari orang-orang di sekitarnya. Bahkan sebuah meme terbaru hadir dengan tulisan, “Hallo Bos, daerah lo banjir ya?, Jakarta ya?. Salam, (dari) Warga Bekasi”. Sebuah sindiran keras atau sekaligus balas dendam dari Warga Bekasi yang sebelumnya juga menjadi bahan olokan di media sosial.

Banjir Jakarta, kini tampak semakin biasa. Aplikasi smartphone atau layanan website tentang informasi lalu lintas dan jalanan, sekarang menjadi langkah antisipasi menghindari kawasan banjir. Mitigasi Banjir belum berhasil, buktinya hingga Selasa (10/2) terdapat 16 titik lokasi banjir di Jakarta. Pusdalops BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) juga melaporkan pada Selasa (10/2), 12 pintu air di Jakarta, semua berstatus siaga banjir.

Sehingga, tak heran banjir pun terus kembali jadi bahan olokan warga, lelah mengolok dan menyalahkan pemerintah, akhirnya mereka pun juga mengolok yang lain untuk menghibur diri.

Dalam studi Behavioral Geography yang membahas tentang proses kognitif dalam reaksi manusia terhadap kondisi lingkungannya, kondisi yang terjadi saat Banjir di Jakarta menggambarkan tingginya tingkat individual pada warga Jakarta. Sebagian besar reaksi yang muncul adalah kecendrungan untuk menyalahkan, menyalahkan pemerintah, menyalahkan daerah hulu sungai yang dianggap sebagai pengirim banjir, dan menyalahkan banyak pihak lainnya.

Namun, tindakan untuk menyalahkan pada individu masing-masing yang juga memiliki sejumlah kebiasaan yang turut berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang terjadi di lingkungan sendiri pun, tak banyak dilakukan oleh Warga Jakarta. Human behavior, mempengaruhi terciptanya berbagai kondisi di lingkungannya, termasuk banjir. Ada hubungan yang kuat antara multidimensi masalah lingkungan yang terjadi dengan berbagai akumulasi dari proses setiap tindakan manusia.

Karakter masyarakat urban di Jakarta yang cukup reaktif, satir, dan viral, membuat permasalahan ini menjadi semakin buruk. Tindakan menyalahkan dan menyalahkan pihak lain dan lainnya, tanpa mengevaluasi kebiasaan diri sendiri yang sesungguhnya jadi bagian dari masalah pun, terus dilakukan dan disebar-luaskan melalui jaringan-jaringan media sosial. Maka tak ayal, Banjir Jakarta akan terus dan semakin memburuk, secara fisik maupun mental.

Berbagai tindakan kita, seperti berangkat kerja, selama di perjalanan, berbelanja, dan kegiatan-kegiatan lainnya, semua terintegrasi. Mari kita coba petakan setiap tindakan tersebut, dan periksa adakah setiap detailnya yang berakibat buruk bagi lingkungan kita. Dalam konteks sekarang, banjir adalah salah satu akibat buruknya.

Contoh tindakan yang paling sederhana, adalah kebiasaan membuang sampah dari Warga Jakarta yang tak kunjung membaik. Dengan mudah, kita bisa temui banyak jalanan yang kotor sampai dengan saluran air tersumbat pemicu banjir di Jakarta. Volume sampah di Jakarta pada 2013 berkisar antara 6000-6500 ton per hari, angka ini diprediksi masih akan terus meningkat hingga 8000 ton per harinya hingga 2018.

Lalu, contoh tindakan yang besar adalah keputusan para migran untuk datang ke Jakarta, hal ini memunculkan multiplier effect yang kompleks. Para migran ini terus mengajak kerabat lainnya untuk juga ikut merantau ke Jakarta, akhirnya menyebabkan Jakarta semakin sesak dan daya dukung lingkungan semakin merosot.

Sebagian besar kita banyak yang sudah merasa puas terhadap kebiasaan yang dimiliki. Padahal sejumlah persoalan masih sosial lingkungan masih berkeliaran di sekitar kita. Proses kognitif disini berarti memerlukan peningkatan.

Hal ini memang sangat mikro, namun inilah yang kemudian menjadi basis dari proses pembentukan lingkungan spasial kita. Ini tentang detail dari setiap pengambilan keputusan kita dalam bertindak sehari-hari, mulai dari hal yang kecil hingga perencanaan yang besar. Pastikan setiap keputusan yang kita ambil tidak hanya berdasar pertimbangan ekonomis, namun juga yang penting untuk dikaji adalah tentang ‘values’, bias-bias budaya, dan juga ‘habit’.

Mungkin sebagian pihak akan mengatakan kalau hal-hal semacam tersebut adalah variabel yang tidak terukur. Tapi itu keliru, setiap kebiasaan buruk kita dapat dihitung secara matematis hingga mengakibatkan sebuah bencana, bukan bencana alam lagi lebih tepatnya kita menyebutnya, namun bencana manusia, yang lebih menjadi penyebabnya.

Seperti kita yang mengolok-olok banjir, sebenarnya sedang mengolok-olok diri sendiri.

No comments:

Post a Comment