Ilustrasi Spatial Behaviour |
Jakarta Smart City, itulah slogan yang digaunkan Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu, dalam peluncuran aplikasi smart
city-nya. Dan kini, smart city itu mengalami banjir, lagi. Seperti biasanya?
Untuk menjawabnya mari kita lihat beragam komentar dan sudut
pandang yang hadir dari berbagai orang terkait banjir yang terjadi ini.
Sejumlah media sosial pun juga turut kebanjiran, banjir
postingan dari para penggunanya terkait dengan Banjir Jakarta. Mulai dari sindiran
tentang terjadinya banjir yang dikaitkan dengan kondisi politik hingga dengan
mengubah foto banjir menjadi seperti film animasi.
Lalu juga, Jakarta dengan banjirnya diolok melalui sejumlah
meme, foto yang ditambahkan dengan tulisan-tulisan bagaikan komik.
Diantaranya, mereka menyebutkan bahwa Jakarta sudah seperti
Venice, kota pesisir di Italia yang dilalui banyak sungai. Tampak dalam meme
ini seorang wanita di atas sebuah perahu evakuasi banjir dan menyebutkan bahwa
dirinya tengah berada di Venice. Kemudian, ada lagi foto Banjir Jakarta yang
ditambahkan dengan keberadaan ultraman
dan dinosaurus di tengah-tengahnya.
Joko Widodo (Jokowi), Presiden RI, dan Basuki Tjahja Purnama
(Ahok), Gubernur DKI Jakarta pun tak ayal juga ikut jadi bulan-bulanan. Salah
satu janji kampanye Jokowi dulu yang menyatakan Banjir Jakarta akan lebih mudah
diatasi jika ia jadi presiden pun, sekarang jadi olokan. Bahkan Program Tol
Laut Jokowi pun diplesetan menjadi Tol Jakarta yang menjadi laut, ini diambil
dari Foto Banjir Tahun 2010.
Buat Ahok, gertakannya diakhir tahun lalu pada lurah dan
camat di Jakarta yang gagal atasi banjir akan dipecat pun, juga diolok oleh
para netizen, pengguna internet.
Kenapa begitu banyak olokan dan sindiran yang bertebaran di
tengah Banjir Jakarta?. Mungkin ini memang banjir seperti biasanya, banjir
tahunan. Banjir yang tak lagi meraih simpati apalagi empati dari orang-orang di
sekitarnya. Bahkan sebuah meme terbaru hadir dengan tulisan, “Hallo Bos, daerah
lo banjir ya?, Jakarta ya?. Salam, (dari) Warga Bekasi”. Sebuah sindiran keras
atau sekaligus balas dendam dari Warga Bekasi yang sebelumnya juga menjadi
bahan olokan di media sosial.
Banjir Jakarta, kini tampak semakin biasa. Aplikasi
smartphone atau layanan website tentang informasi lalu lintas dan jalanan, sekarang
menjadi langkah antisipasi menghindari kawasan banjir. Mitigasi Banjir belum
berhasil, buktinya hingga Selasa (10/2) terdapat 16 titik lokasi banjir di
Jakarta. Pusdalops BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) juga melaporkan
pada Selasa (10/2), 12 pintu air di Jakarta, semua berstatus siaga banjir.
Sehingga, tak heran banjir pun terus kembali jadi bahan
olokan warga, lelah mengolok dan menyalahkan pemerintah, akhirnya mereka pun
juga mengolok yang lain untuk menghibur diri.
Dalam studi Behavioral
Geography yang membahas tentang proses kognitif dalam reaksi manusia
terhadap kondisi lingkungannya, kondisi
yang terjadi saat Banjir di Jakarta menggambarkan tingginya tingkat individual
pada warga Jakarta. Sebagian besar reaksi yang muncul adalah kecendrungan untuk
menyalahkan, menyalahkan pemerintah, menyalahkan daerah hulu sungai yang
dianggap sebagai pengirim banjir, dan menyalahkan banyak pihak lainnya.
Namun, tindakan untuk menyalahkan pada individu
masing-masing yang juga memiliki sejumlah kebiasaan yang turut berperan aktif
dalam menciptakan kondisi yang terjadi di lingkungan sendiri pun, tak banyak
dilakukan oleh Warga Jakarta. Human
behavior, mempengaruhi terciptanya berbagai kondisi di lingkungannya,
termasuk banjir. Ada hubungan yang kuat antara multidimensi masalah lingkungan
yang terjadi dengan berbagai akumulasi dari proses setiap tindakan manusia.
Karakter masyarakat urban di Jakarta yang cukup reaktif,
satir, dan viral, membuat permasalahan ini menjadi semakin buruk. Tindakan menyalahkan
dan menyalahkan pihak lain dan lainnya, tanpa mengevaluasi kebiasaan diri
sendiri yang sesungguhnya jadi bagian dari masalah pun, terus dilakukan dan
disebar-luaskan melalui jaringan-jaringan media sosial. Maka tak ayal, Banjir
Jakarta akan terus dan semakin memburuk, secara fisik maupun mental.
Berbagai tindakan kita, seperti berangkat kerja, selama di
perjalanan, berbelanja, dan kegiatan-kegiatan lainnya, semua terintegrasi. Mari
kita coba petakan setiap tindakan tersebut, dan periksa adakah setiap detailnya
yang berakibat buruk bagi lingkungan kita. Dalam konteks sekarang, banjir adalah
salah satu akibat buruknya.
Contoh tindakan yang paling sederhana, adalah kebiasaan
membuang sampah dari Warga Jakarta yang tak kunjung membaik. Dengan mudah, kita
bisa temui banyak jalanan yang kotor sampai dengan saluran air tersumbat pemicu
banjir di Jakarta. Volume sampah di Jakarta pada 2013 berkisar antara 6000-6500
ton per hari, angka ini diprediksi masih akan terus meningkat hingga 8000 ton
per harinya hingga 2018.
Lalu, contoh tindakan yang besar adalah keputusan para
migran untuk datang ke Jakarta, hal ini memunculkan multiplier effect yang kompleks. Para migran ini terus mengajak
kerabat lainnya untuk juga ikut merantau ke Jakarta, akhirnya menyebabkan
Jakarta semakin sesak dan daya dukung lingkungan semakin merosot.
Sebagian besar kita banyak yang sudah merasa puas terhadap
kebiasaan yang dimiliki. Padahal sejumlah persoalan masih sosial lingkungan
masih berkeliaran di sekitar kita. Proses kognitif disini berarti memerlukan
peningkatan.
Hal ini memang sangat mikro, namun inilah yang kemudian
menjadi basis dari proses pembentukan lingkungan spasial kita. Ini tentang
detail dari setiap pengambilan keputusan kita dalam bertindak sehari-hari,
mulai dari hal yang kecil hingga perencanaan yang besar. Pastikan setiap
keputusan yang kita ambil tidak hanya berdasar pertimbangan ekonomis, namun
juga yang penting untuk dikaji adalah tentang ‘values’, bias-bias budaya, dan
juga ‘habit’.
Mungkin sebagian pihak akan mengatakan kalau hal-hal semacam
tersebut adalah variabel yang tidak terukur. Tapi itu keliru, setiap kebiasaan
buruk kita dapat dihitung secara matematis hingga mengakibatkan sebuah bencana,
bukan bencana alam lagi lebih tepatnya kita menyebutnya, namun bencana manusia,
yang lebih menjadi penyebabnya.
Seperti kita yang mengolok-olok banjir, sebenarnya sedang
mengolok-olok diri sendiri.
Tulisan ini dimuat di Selasar 10 Februari 2015 dan Republika 14 Februari 2015
No comments:
Post a Comment