Istana Pagaruyuang di Batusangka, Sumbar ( |
“Indak
ado kojo cari kojo, diagiah kojo beko mancibia” (gak ada kerjaan trus nyari kerjaan, dikasih kerjaan malah mencibir),
inilah sebuah komentar dari seorang warga yang kontra terhadap tulisan di media
yang mendukung gagasan mewujudkan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM).
Memang, gagasan ini menuai pro-kontra dari
sejumlah kalangan.
Gagasan mewujudkan DIM kembali menguak ke
permukaan. Adalah Mochtar Naim(Budayawan Minangkabau) yang menulis ulang idenya
pasca pilpres 2014 lalu. Tulisan tersebut pun kemudian kembali dibahas di
berbagai forum. Sebelumnya, Mochtar sudah sering menyuarakan ide ini di
tulisan-tulisannya sebelumnya.
Gagasan DIM kembali mucul karena dipicu oleh
UU tentang desa yang disahkan DPR RI di akhir Tahun 2013. UU tersebut akan mengganti
sistem nagari di Sumatera Barat (Sumbar) yang punya fungsi lebih dari sekedar
administratif, kembali pada bentuk desa.
Menurut Mochtar Naim, hal ini mematikan sistem
sosial budaya minangkabau. Desa berbeda dengan Nagari. Nagari mempunyai empat
fungsi utama, yaitu ; sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan terendah
; keamanan dan pengamanan ; ekonomi ; adat, agama, dan sosial budaya. Tidak
semua fungsi tersebut dimiliki oleh desa seperti yang diatur dalam UU Desa.
Terkait hal di atas pun, Mochtar mencoba
mencari solusinya. “Pasal 18B UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui
satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa..”. Melalui ini, maka
waktunya rakyat Sumbar untuk mengajukan kepada pemerintah pusat agar Sumbar
dengan Budaya Matrilineal Minangkabau-nya yang berdasar pada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah (ABS SBK)” (Adat berlandasakan Syari’ah, Syari’ah berlandaskan
Alquran), dinyatakan sebagai Daerah Istimewa”, tulis Mochtar dalam artikelnya.
Wacana DIM pun sebenarnya telah lama
diapungkan sejak dari Tahun 1980-1990. Seorang Budayawan Minangkabau juga,
Yulfian Azrial yang turut berperan di dalamnya. Dalam sebuah wawancara dengan
media lokal di Sumbar pada April 2014 lalu, Yulfian mengatakan, “..bangsa kita
semakin terpuruk dan kehilangan jati diri..karena itu pentingnya kita membangun
kembali social power. Ini terbangun
bila kita mampu menumbuhkan kembali mutual
trust antara kita. Karena itu, masyarakat harus kembali pada jati dirinya.”
“Kita belajar dari sejarah, lihat Mahatma
Gandhi dengan Swadesi-nya dan Jepang dengan Restorasi Meiji-nya”, tambah
Yulfian untuk menyakinkan bahwa pentingnya untuk kembali pada jati diri asli
seperti halnya niat membentuk DIM. “Mewujudkan DIM dengan nagari-nagari sesuai
tatanan aslinya berupa ABS SBK yang diwarisi secara turun temurun, akan lebih
optimal menyangga kedaulatan NKRI. Namun saya tak ingin perjuangan ini hanya
sebatas mengganti nama dengan tambahan kata ‘istimewa’-nya. Masyarakat Bali,
telah lama menjadi daerah istimewa meski tanpa label kata ‘istimewa’-nya.”,
jawab Yulfian ketika ditanya kenapa ia tak mau ikut serta memperjuangkan DIM ke
Jakarta.
“Perjuangan untuk mewujudkan DIM bukanlah di
Jakarta, tapi disini (Sumbar), di setiap nagari kita yang ada. Kita harus
berupaya dahulu menjadikan kembali nagari kita sesuai dengan tatanan aslinya.
Tidak harus seluruhnya, cukup beberapa untuk membuktikan bahwa tatanan itu
masih ada. Tantangan itu sekarang ada di sejumlah kepala daerah dan Anggota DPRD
yang tidak memperjuangkan hal tersebut. Padahal tidak ada satu pun UU yang
menghambat, malah justru mendukung, seperti UU No 22 dan UU No 32 tentang
Pemerintahan Daerah”, lanjut Yulfian.
Yang menarik di atas adalah, Yulfian tidak
menyinggung tentang UU Desa, seperti yang diresahkan oleh Mochtar Naim.
Dua tahun sebelumnya. 7 Juni 2012, seorang warga
Sumbar lain menulis artikel opini di Media Lokal Sumbar, berjudul “Daerah
Otonomi Khusus Sumatera Barat”. Ia memandang ini sebagai langkah awal menuju
DIM.
Si penulis menyatakan ada beberapa
keistimewaan yang dimiliki Sumbar sehingga ia pantas untuk menjadi daerah
istimewa. Dimulai dari keistimewaan sejarah, sejumlah pahlawan nasional yang
berjasa besar hingga pernahnya Sumbar menyelamatkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) melalui Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI). Berikutnya ialah keistimewaan budaya di
bidang sosial kemasyarakatan, sama seperti yang kemudian disuarakan Mochtar
Naim.
Dengan tiga keistimewaan di atas maka Sumbar
tak kalah pantas dibanding Aceh, Papua, dan Yogyakarta yang telah menjadi
Daerah Istimewa dan Otonomi Khusus.
Tak lama berselang, enam bulan setelahnya. 17
Desember 2012, seorang warga lainnya menulis di akunnya di sebuah media warga,
sebuah tulisan berjudul “Perjuangkan DIM”.
Ia menulis karena dipicu oleh Rancangan
Undang-Undang (RUU) Desa yang ketika itu masih dalam proses pengajuan dari
pemerintah ke DPR RI. Rancangan ini pun ditolah oleh Lembaga Kerapatan Adat
Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat (Sumbar). Alasan yang dikemukakan oleh
Ketua LKAAM, M Sayuti ketika itu, sama dengan dilontarkan Mochtar Naim di atas.
Uraian di atas menggambarkan pasang surut
wacana tentang DIM yang tak kunjung menuai hasil. Sejumlah kalangan menilai
hangat kembalinya isu DIM saat ini juga didorong oleh kekalahan ‘suara’ Sumbar
pada pilpres lalu, dimana 78%-nya memilih Prabowo. Ketika masih panas isu
pilpres pun, pada 23 Juli 2014, muncul petisi di change.org untuk meminta
dukungan untuk pendirian DIM. Setelahnya pun, sejumlah tulisan di blog pribadi,
media warga, hingga jadi pembahasan di media lokal pun latah menyuarakan DIM.
Tak tinggal diam, Gubernur Sumbar, Irwan
Prayitno pun merespon wacana ini, “kita akan usulkan kepada pemerintah pusat
untuk menjadikan Sumbar menjadi DIM, karena pada dasarnya nagari bersifat
istimewa pada dua kata kunci, yaitu ; nagari mempunyai hak asal usul dan
susunan asli”, terang Gubernur di Acara LKAAM Sumbar.
Menyambut pernyataan di atas, Mochtar Naim pun
langsung bergerak, “kita memerlukan persetujuan, tinggal menunggu dari para
pimpinan DPRD”, ujar Mochtar Naim beberapa waktu lalu di sebuah mailing list Perantau
Minangkabau.
Ditengah langkah progresif yang tengah
digencarkan Mochtar Naim di atas, komentar kontra pun juga tak berhenti
bermunculan. Salah satunya berkata, “ini tidak jelas, tidak ada untungnya bagi
rakyat banyak. Jangan sampai ini hanya untuk menguntungkan para elit yang
sedikit”.
Untung atau rugi, dan siapa yang kemudian
berhak atas itu, mari terus ikuti pasang surut wacana ini.
No comments:
Post a Comment