Saturday, January 19, 2013

Geliat Anak Daerah untuk Bangsa



Anak daerah, begitulah sebutan bagi para mahasiswa asal luar kota tempat kampus mereka berada. Sebutan ini merupakan simplifikasi dari istilah awalnya mahasiswa daerah. Penggunaan kata ‘daerah’ disini diakibatkan oleh adanya pemaknaan terhadap pemahaman daerah pusat dan daerah sekitarnya. Daerah pusat kemudian populer dianggap sebagai daerah perkotaan dan daerah sekitarnya dianggap sebagai pedesaan yang kemudian lebih akrab disebut sebagai ‘daerah’. Sebagai contoh, para mahasiswa asal luar Jakarta yang berkuliah di Jakarta akan disebut sebagai anak daerah.

Anak daerah adalah para pembelajar tangguh yang berjuang untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Ketimpangan Persebaran Pendidikan Tinggi di Indonesia

Kemunculan para anak daerah dalam khazanah dunia pendidikan di Indonesia tentu memiliki penyebab layaknya hukum aksi-reaksi. Penyebab awalnya bermula dari kesalahan strategi pembangunan di zaman orde baru. Jawanisasi dan sentralisasi yang dilakukan berdampak terhadap tidak meratanya pembangunan di Indonesia.

Kesalahan ini akhirnya juga menyebabkan gagalnya pemerintah dalam upaya pemerataan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Alhasil, persebaran kuantitas dan juga kualitas perguruan tinggi (PT) di Indonesia sangat tidak merata dari sabang hingga merauke.

Data Dikti tahun 2010 tentang persebaran kuantitas PT di Indonesia menunjukkan bahwa dari 3098 PT di Indonesia, 1504 atau hampir 50 %-nya berada di Pulau Jawa. Jumlah tersebut dominan di  Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Kemudian juga, dari segi kualitas ketimpangan juga berbanding lurus dengan yang terjadi pada persebaran kuantitas di atas. Berdasar sejumlah ranking universitas yang dibuat oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa rata-rata sejumlah PT di Jawa memiliki peringkat lebih tinggi dibanding PT di luar Jawa.

Selanjutnya, kondisi ketimpangan persebaran kuantitas dan kualitas PT di atas tentu juga berbanding lurus terhadap persebaran jumlah mahasiswa.

Menurut Menteri Pendidikan M. Nuh pada tahun 2011 jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai 4,8 juta orang dan lebih dari 50% dari mereka terpusat di Pulau Jawa.

Semua ketimpangan di atas akhirnya membuat kualitas dan juga kuantitas pendidikan tinggi di Pulau Jawa menjadi lebih tinggi.

Ketimpangan ini sudah terlalu berlarut, sehingga sulit untuk diratakan. Pendidikan tinggi di Pulau Jawa semakin membaik dengan akselerasi perkembangan yang semakin cepat dan pendidikan tinggi di daerah berupaya untuk mengejar namun dengan akselerasi yang lebih lambat. Hal ini tentu membuat jurang ketimpangan semakin melebar. Popularitas pendidikan tinggi yang lebih baik melambung jauh, dan yang tidak lebih baik perlahan meredup.

Bagi para siswa sekolah menengah atas (SMA)/sederajat yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi, tentu persoalan ketimpangan di atas belum terlalu menjadi perhatian bagi mereka. Sebagian besar mereka hanya berpikir bagaimana cara mendapatkan pendidikan tinggi yang ideal bagi mereka. Hasil tempaan di sebagian besar sekolah mereka mengarahkan untuk memilih pendidikan tinggi yang lebih baik. Alhasil mereka pun berlomba-lomba untuk mendapatkan hal tersebut.

Maka akhirnya tidak heran jika setiap tahunnya fakta menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa di Pulau Jawa terus bertambah.

Kecendrungan Merantau

Kondisi di atas kemudian juga didukung oleh budaya merantau yang dianut sejumlah suku di Indonesia. Merantau adalah kebudayaan meninggalkan kampung halaman dan pergi ke luar daerah mereka untuk menuntut ilmu atau mencari kehidupan yang lebih baik.

Menurut sejumlah sumber, beberapa suku dengan budaya merantau terkuat di Indonesia adalah Batak, Bugis, dan Minangkabau.

Budaya tersebut akhirnya turut mendukung sejumlah anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan di luar daerah mereka.

Selain itu, kemajuan akses transportasi dan komunikasi yang terjadi juga semakin membuat deras laju merantau yang terjadi. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang terjadi membuat anak mana pun dari pelosok Indonesia bisa berkuliah di pendidikan tinggi terbaik di negeri ini.

Dalam studi demografi laju merantau ini dipahami sebagai salah satu bentuk migrasi yang terjadi. Laju migrasi mereka yang meningkat setiap tahunnya membuat jumlah mereka terus bertambah.

Organisasi Mahasiswa Daerah

“Mangan ga mangan yang penting ngumpul (Makan ga Makan, yang penting ngumpul)”, ungkapan tersebut sering digunakan oleh banyak Orang Jawa dalam menggambarkan kebiasaan mereka yang suka berkumpul atau nongkrong. Kebiasaan ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh Orang-orang Jawa, sejumlah suku lain pun di Indonesia juga akrab dengan kebiasaan ini. Hal ini terlihat dari keberadaan sejumlah perkumpulan mahasiswa daerah di sejumlah PT di Indonesia.

Hasil survey yang dilakukan oleh Ikatan Mahasiswa Bogor pada tahun 2007 menunjukkan jumlah organisasi mahasiswa daerah di Indonesia mencapai ribuan. Bahkan beberapa diantara mereka memiliki aliansi antar kampus yang mempertemukan organisasi mahasiswa dari suatu daerah yang berasal dari berbagai kampus. Fokus kegiatan organisasi mahasiswa daerah ini cukup beragam, mulai dari bidang pendidikan, sosial kemasyarkatan, hingga seni budaya.

Dari sejumlah organisasi mahasiswa daerah yang terdata di atas, sebagian besar berada di perguruan tinggi negeri (PTN) terbaik di Pulau Jawa, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah mada (UGM), dan Institut Negeri Bandung (ITB). Hal ini tentu disebabkan oleh popularitas PTN tersebut yang tersebar di seantero negeri sehingga memanggil sejumlah putra terbaik daerah untuk bergabung bersama mereka.

UI sebagai kampus yang menyandang nama negara memiliki 53.. organisasi mahasiswa daerah dari Aceh hingga Papua. Jumlah ini berdasar pada data dari Paguyuban Nusantara UI yang merupakan aliansi dari organisasi-organisasi mahasiswa daerah tersebut. Di UI, organisasi mahasiswa daerah biasa disebut dengan istilah ‘paguyuban daerah’. Hingga saat ini, status mereka adalah organ ekstra kampus karena masih belum dianggap resmi oleh UI.

Dari 53 paguyuban daerah yang ada, sebagian besarnya berasal dari Pulau Jawa. Ada perbedaan mendasar dari paguyuban daerah dari Pulau Jawa dengan luar Jawa. Sebagian besar yang berasal dari Pulau Jawa membuat paguyuban dengan skala per kota/kabupaten, sedangkan yang di luar Jawa dengan skala per provinsi. Hal ini disebabkan oleh jumlah mahasiswa asli Jawa yang lebih banyak dan aroma kesatuan per kota yang lebih kuat dibanding kesatuan dalam tingkat provinsi.

Salah satu paguyuban daerah di UI yang tertua adalah Ikatan Mahasiswa Minang (Imami) UI. Imami UI juga telah membuktikan keberhasilan kontribusi mereka membangun bangsa dengan fokus di bidang pendidikan. Salah satunya melalui kegiatan “Kampus Goes to Kampuang (KGTK)” yang dimulai dari tahun 2003. KGTK ini berawal dari keinginan mereka untuk memberikan kontribusi untuk daerah asal mereka. Sehingganya muncullah di tahun tersebut KGTK pertama yang terdiri dari sejumlah kegiatan, yaitu ; roadshow pencerdasan pendidikan, try out SNMPTN, dan Bedah Kampus UI. KGTK dilakukan di Bulan Januari ketika libur semester ganjil.

Kegiatan ini kemudian terus dilanjutkan setiap tahunnya hingga sekarang oleh penerus Imami UI. Jenis kegiatannya pun juga turut mengalami perkembangan, hingga meliputi workshop potensi bencana, studi islam dan adat, Minangkabau Culture Festival, lomba fotografi, esay, dan kaligrafi, dan sejumlah kegiatan lainnya. Tahun 2013 ini KGTK menginjak usia 1 dekade dan merayakan KGTK ke-10 nya dengan sejumlah kegiatan yang lebih menggebrak dibanding sebelum-sebelumnya. Salah satu inovasi baru kegiatan KGTK 10 adalah adanya kegiatan Imami Mengajar yang mengadaptasi dari Gerakan Indonesia Mengajar...

Dampak dari penyelenggaraan KGTK ini setiap tahunnya menciptakan dampak yang cukup drastis. Jumlah mahasiswa asal Sumatera Barat di UI pun mengalami peningkatan pesat mencapai 20% setiap tahunnya. Saat ini terdapat lebih dari 700 orang anggota dari Imami UI. Kesuksesan ini pun alhasil memicu keinginan paguyuban daerah lainnya untuk turut meningkatkan kontribusi mereka, terutama di bidang pendidikan.

Lain halnya dengan sejumlah paguyuban daerah di UI, di ITB sejumlah organisasi mahasiswa daerah disini lebih fokus di bidang seni budaya dan status mereka adalah sebagai organ intra kampus yang diakui legal formal sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM).

Kegiatan sejumlah UKM ini sangat aktif dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan daerah mereka masing-masing. Bahkan beberapa diantara mereka sudah mencapai level internasional dalam promosi kebudayaan tersebut.

Selanjutnya di UGM yang merupakan kota pelajar dimana heterogenitas daerah asal mahasiswanya lebih tinggi, jumlah organisasi mahasiswa daerah disini tidak kalah banyak dengan di UI dan ITB. Namun ada satu keunikan yang berbeda dengan di UI dan ITB yang ditemui di UGM. Jika di ITB dan UI sedikit ditemui organisasi mahasiswa daerah dari daerah timur Indonesia, maka di UGM-lah bisa ditemukan mereka.

Kegiatan sejumlah organisasi mahasiswa daerah di UGM tidak jauh berbeda dengan kegiatan sejumlah paguyuban daerah di UI, yakni di bidang pendidikan.

Begitulah kontribusi sejumlah organisasi mahasiswa daerah yang ada di beberapa kampus terbaik di Indonesia. Setiap tahunnya kontribusi mereka terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas.

(De)Migrasi

Dibalik kecemerlangan kesuksesan kontribusi sejumlah organisasi mahasiswa daerah di atas, ada sebuah fenomena lain yang berpotensi merugikan daerah asal para mahasiswa tersebut. Sebagian besar gerakan yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa daerah ini berasal dari kampus-kampus besar di Pulau Jawa dan gerakan tersebut cenderung semakin mengajak para junior mereka di daerah untuk ikut serta menyusul mereka untuk bermigrasi. Hal inilah yang pada akhirnya semakin memusatkan persebaran mahasiswa semakin terpusat di Pulau Jawa.

Sebagian besar mereka yang bermigrasi adalah mereka yang dengan kemampuan akademik relatif lebih baik daripada yang tidak bermigrasi. Sehingganya terjadilah fenomena brain drain dalam skala provinsi di Indonesia. Dimana sumber daya manusia (SDM) berkualitas dari luar Jawa terhisap ke Pulau Jawa.

Setelah selesai studi dan mencari pengalaman bekerja, sebagian besar mereka tidak banyak yang kembali lagi ke daerah masing-masing untuk mengabdi membangun daerahnya.

Hal ini dibuktikan dari angka migrasi netto yang negatif di beberapa provinsi. Migrasi netto berasal dari pengurangan angka migrasi masuk dengan migrasi keluar, sehingga terlihat berapa perubahan jumlah penduduk yang terjadi. Beberapa provinsi yang memiliki etnik dengan kebudayan merantau tinggi menunjukkan angka migrasi netto yang negatif tersebut, antara lain  Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.

Hal ini pun menjadi tugas baru yang harus disadari oleh sejumlah kalangan, terutama para organisasi mahasiswa daerah tersebut dan pemerintah daerah asal mereka masing-masing.

Bagi para organisasi mahasiswa daerah, mereka harus mulai memikirkan dan mempersiapkan kewajiban mereka untuk bagaimana mendorong para SDM berkualitas dari daerah mereka untuk bisa kembali lagi ke daerah mengaplikasikan ilmu yang telah didapat serta mengabdikan diri membangun daerah tersebut.

Banyak cara untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah. Namun untuk merubah siklus kemiskinan yang menjadi momok di Indonesia menjadi sebuah siklus kemakmuran, diperlukan strategi pembangunan yang tepat sasaran. Ada tiga unsur dalam siklus kemiskinan, yaitu ; pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan. Untuk memperbaiki siklus tersebut, maka kita tidak harus menyentuh semuanya, cukup dengan fokus kepada salah satu unsur dari ketiga tersebut. Maka kita akan dapat memutar roda siklus tersebut sehingga kemiskinan dapat berubah menjadi kemakmuran.

Dalam konteks organisasi mahasiswa daerah yang sebelumnya beberapa diantaranya telah terbiasa dengan gerakan pencerdasan pendidikan di daerah mereka. Maka unsur pendidikan dapat menjadi sebuah unsur yang bisa menjadi target sasaran perbaikan dalam membangun daerah. Membangun bidang pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang. Dengan menciptakan pemerataan kuantitas dan kualitas pendidikan di daerah masing-masing, maka diharapkan dapat mengurangi angka migrasi serta brain drain di masa mendatang. Sehingganya terciptalah SDM-SDM berkualitas yang merata di setiap daerah di Indonesia. Merekalah yang akan mentransformasi siklus kemiskinan saat ini menjadi siklus kemakmuran di masa mendatang.

Karena fondasi Indonesia ada di daerah-daerah..

Esai ini menjadi finalis dalam Gema Lomba Karya Esai Nasional tahun 2012 BEM UNDIKSHA Bali dan dibukukan dalam Buku "Merawat Indonesia untuk Kepemimpinan Alternatif", 2012.

Peretas Batas

(Versi Lengkap)

 “A Nation in Making”
Begitulah pendapat salah satu intelektual legendaris bangsa, Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur, tentang keadaan bangsa kita saat ini. Pendapat tersebut tercantum dalam bukunya, “Indonesia Kita”.

Cak Nur mengakui bahwa fondasi pemikiran bangunan negara-bangsa (nation-state) yang bernama Indonesia ini telah diletakkan dengan kokoh oleh para pendiri bangsa. Sejarah nasionalisme di bumi nusantara yang sudah dimulai semenjak Zaman Majapahit, kemudian lahirnya nasionalisme modern Indonesia, serta munculnya konsep negara-bangsa dan hubungan antara konsep tersebut dengan nasionalisme Indonesia, semua menjadi sebuah dinamika proses pematangan Indonesia kita.

Namun dalam proses tersebut tentu kita tidak lepas dari tantangan krisis multidimensional yang kian kompleks. Oleh karena itu, Cak Nur menyerukan kepada para pemuda Indonesia untuk meneguhkan kembali komitmen kebangsaan dan kenegaraannya demi menjaga keutuhan berbangsa serta mengoptimalkan dinamika proses yang terjadi.

Banyak cara untuk meneguhkan komitmen tersebut. Menjadi seorang negarawan adalah salah satunya.

Negarawan (Muda)

Negarawan, sebuah istilah jumawa yang sering dibicarakan, namun hingga kini di republik ini belum ada satu pun pengertian tentang negarawan yang disepakati bersama. Bahkan UU yang didalamnya termuat istilah negarawan tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian negarawan. UU No 24 Tahun 2003 tentang MK dalam Pasal 15 huruf C mensyaratkan bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, namun dalam bab penjelasannya hanya tercantum kalimat “cukup jelas”. Istilah negarawan yang memerlukan penjelasan, ternyata tidak dijelaskan.

The American Heritage® Dictionary of the English Language mendefinisikan bahwa negarawan adalah “a man who is a respected leader in a given field”. Sementara Georges Pompidou menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa.

Seirama dengan di atas, Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa negaranya.

Begitu juga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun Depdiknas dan diterbitkan Balai Pustaka (2005), istilah negarawan diartikan sebagai seorang ahli kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewajiban.

Tafsir yang hampir sama ditemukan pada Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim (1995). Negarawan adalah pakar yang menjalankan pemerintahan atau negara; pakar di bidang kenegaraan. Bisa pula berarti seorang pemimpin politik yang menciptakan kebijakan negara secara taat asas dengan suatu pandangan ke depan (hukumonline.com, 2008).

Lebih luas lagi, dalam ensiklopedi bahasa Inggris dikemukakan definisi negarawan merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) pada satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional.

Secara umum, definisi negarawan menurut kebanyakan literatur merupakan para penguasa atau orang-orang yang memerintah suatu negara. Julukan negarawan hanya pantas diberikan kepada kepala negara, perdana menteri, dan posisi pemerintahan lainnya. Bahkan, para ahli tata negara membagi dua golongan warga negara yaitu negarawan dan orang biasa (Zallum, 2004). Setiap orang yang memegang kekuasaan dalam tampuk pemerintahan disebut negarawan, tanpa melihat track record atau rapor dari pejabat tersebut.

Pemahaman di atas bertentangan dengan definisi yang dinyatakan oleh Indra J. Piliang (IJP) dan Dr Andi Irawan. Menurut Dr. Andi Irawan dalam Koran Tempo 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibanding kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial ekonomi, budaya dan politiknya. Dr. Andi Irawan mencoba mengambil konsep negarawan sebagai wisdom leader and people. Dengan demikian Dr. Andi Irawan juga menyatakan secara implisit bahwa rakyat pun dapat menjadi negarawan.

Pendapat Dr. Andi Irawan juga secara tidak langsung sesuai dengan pandangan IJP. Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta ini juga menginginkan rakyat diberi kesempatan menjadi negarawan (Kompas, 20 Agustus 2002). Dapat disimpulkan bahwa baik Dr. Andi Irawan maupun IJP mengartikan negarawan dalam makna luas, hingga rakyat pun dapat menjadi negarawan.

Penguasa sebuah negara bisa saja seorang negarawan, namun bisa juga bukan. Sebaliknya, seorang biasa dapat menjadi seorang negarawan, meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Bisa jadi seorang petani di sawah, seorang karyawan di pabrik, seorang pedagang di pasar, atau seorang guru di sekolah, adalah seseorang yang bermental negarawan (Zallum, 2004).

Dari begitu banyak definisi di atas, jika diringkas maka bisa disimpulkan bahwa negarawan adalah pemimpin politik kreatif yang memperjuangkan kepentingan positif bangsa. Tidak mesti dalam wujud yang besar, pemuda pun bisa menjadi negarawan, negarawan muda.

Menurut Ketua Pembina Forum Rektor Indonesia Prof Eko Budihardjo, saat ini diperlukan negarawan muda untuk mengabdi kepada negara sehingga masa baktinya lebih panjang. Pemimpin muda akan lebih memiliki gagasan yang cemerlang dan mudah untuk diajak bicara. Selain itu, mereka yang muda akan lebih terbuka dalam berkomunikasi, misalnya dengan mengikuti perkembangan teknologi.

Beberapa contoh negarawan muda yang dimiliki Indonesia saat ini adalah seperti Joko Widodo dan Anies Baswedan. Joko Widodo, Walikota muda Solo dua periode berturut-turut ini dengan kepercayaan warga lebih dari 90%, berhasil mengubah wajah Solo dengan Good Governance-nya, serta sekarang juga kemudian dipilih warga Jakarta untuk menjadi Gubernurnya. Anies Baswedan dengan gerakan Indonesia Mengajarnya berhasil memimpin sejumlah pemuda luar biasa bangsa ini untuk membuat perubahan dengan mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Terciptanya para negarawan muda tersebut tentu tidak lepas dari fase mahasiswa sebagai awal mulanya. Fase ini perlu menjadi perhatian penting untuk dapat mengoptimalkan penciptaan negarawan muda tersebut. Tan Malaka menyatakan bahwa "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda".

Maka selanjutnya pertanyaannya adalah, bagaimana cara mencipta negarawan muda dari sosok mahasiswa?.

Ketika Mahasiswa Berdemokrasi

Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan" - Soe Hok Gie

Begitulah kutipan dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang dapat kita sebut juga sebagai salah seorang negarawan muda. Dalam kutipan tersebut Gie menegaskan sikapnya yang ketika itu digoyang oleh banyak godaan agar dia menghentikan upayanya menyuarakan kebenaran. Dalam buku yang sama Gie juga menggambarkan bagaimana beberapa orang rekan mahasiswanya akhirnya juga tunduk pada godaan tersebut dan menyerah dalam perjuangan menyuarakan kebenaran.

Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa, mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Jargon-jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan kurang ampuh. Buktinya sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang terbukti akhirnya berada di bawah komando kekuatan yang lebih besar berwujud partai politik (parpol).

Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.

Namun harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan tersebut berbentuk underbow yang menyatakan independen, namun sejumlah studi telah membuktikan bahwa mereka memang benar terkait dengan parpol. Nahdatul Ulama yang dulu sempat menjadi parpol dekat dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Kemudian HMI dekat dengan Golkar.

Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang PKS) yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil terbentuklah sejumlah kelompok-kelompok idealogis mahasiswa yang secara tidak langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan semakin erat dan kelompok-kelompok tersebut itu pun semakin berkembang menjadi ladang kaderisasi parpol terkait.

Akhirnya yang terjadi justru persaingan antar kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang cerdas pun perlahan meredup dan sirna.

Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar “Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata”.

Setiap kelompok mahasiswa di atas memiliki arogansi masing-masing. Seringkali mereka berbenturan kepentingan dan bersifat resisten terhadap kelompok lain. Sampai dalam kondisi terparah, justifikasi kepentingan kelompok masing-masing mengalahkan kepentingan bangsa. Banyak akhirnya gerakan yang dilakukan lebih bertujuan untuk meraih simpati publik demi popularitas kelompok masing-masing. Tujuan utama demi kepentingan bangsa pun menjadi kabur.

Begitulah disorientasi gerakan yang telah terjadi di mahasiswa hingga saat ini. Tidak berguna jika sekarang kita mencari siapa yang bersalah menyebabkan kondisi ini. Ini juga bukan salah demokrasi.

Kita merindukan kembalinya karakter-karakter mahasiswa-mahasiswa seperti Gie. Yang seharusnya kita lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana memperbaiki kondisi ini sehingga kita kembali mampu mencipta negarawan-negarawan muda pejuang kepentingan positif bangsa.

Peretas Batas

Terhadap kondisi perpecahan gerakan mahasiswa yang terjadi, akhirnya mahasiswa lain yang berada diluar kelompok dominan di atas, secara umum terbagi dalam tiga jenis sikap.

Yang pertama mencoba membuat kelompok-kelompok baru tandingan yang bersifat hampir sama dengan kelompok-kelompok dominan yang telah ada. Mereka lahir dari semangat emosional yang relatif salah, yakni ingin mengalahkan kelompok dominan yang ada. Bukan lahir untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, melainkan juga demi kepentingan kelompok sendiri.

Yang kedua adalah mereka yang memilih tidak berafiliasi dengan kelompok mana pun. Kelompok ini tidak menyukai atau membenci keberadaan kelompok-kelompok dominan yang bersifat politis tersebut. Pada akhirnya membuat kelompok ini bersikap apolitis, partisipasi politiknya cenderung rendah dan mengarah pada ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa.

Lalu yang terakhir adalah mereka yang sering disebut oportunis, tidak berafiliasi secara ideologi identitas perjuangan dengan satu pun kelompok yang ada, namun bergabung dengan semua kelompok untuk mendapatkan lebih banyak ilmu dan bersilaturahmi dengan setiap kelompok yang ada.

Sikap ketiga, dimilikioleh orang-orang yang sulit dideteksi keberadaaannya. Dalam pandangan kelompok dominan, mereka dianggap oportunis. Di kelompok apolitis, mereka dapat membaur sehingga tidak jarang mampu menurunkan sifat apolitis kelompok tersebut.

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mencoba mempelajari dan memahami kelebihan dan kekurangan setiap kelompok yang ada. Mereka cair dan terlibat dalam sejumlah kegiatan setiap kelompok serta mencoba menetralisir kepentingan kelompok dengan menitikberatkan pada kepentingan bersama bangsa.

Peretas batas, inilah sebutan untuk mereka. Orang-orang yang tidak terikat pada kepentingan masing-masing kelompok dan tidak juga bersikap resisten terhadap keberadaan kelompok-kelompok tersebut. Mereka justru berupaya  membuka jalan komunikasi kerjasama antar kelompok. Dengan ini diharapkan setiap kelompok dapat lebih terbuka dan kembali pada tujuan utama membangun bangsa.

Para peretas batas meyakini bahwa setiap mahasiswa dan kelompok yang ada memiliki potensi yang berbeda-beda. Setiap potensi dipercaya memiliki kebermanfaatan. Setiap kebermanfaatan itulah yang dicoba untuk dipadukan menjadi sebuah kekuatan sumber daya membangun peradaban.

Sosok mahasiswa seperti inilah yang berpotensi untuk menjadi seorang negarawan muda. Para pemimpin politik kreatif yang berintegritas. Ialah pilar-pilar kokoh pembangun masa depan bangsa.

Adapun terkait persetubuhan dengan parpol yang terlanjur terjadi, hal tersebut hanya dianggap sebagai seni berdemokrasi. Bukan untuk sampai pada fase terlarut dan terlena dengan kepentingan politiknya. Tugas menyuarakan aspirasi rakyat tetap dipegang teguh. Hal tersebut adalah tanggung jawab moral seorang intelektual.

Parpol cukup sebagai alat mencapai tugas tersebut. Tidak untuk menjadi buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol kekuasaan. Prinsip yang dikedepankan adalah berjuang untuk kebenaran, bukan untuk pembenaran.

Menyerap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Lalu diolah dengan kekayaan ilmu pengetahuan sehingga mampu menciptakan karya nyata yang optimal. Itulah seorang mahasiswa negarawan (muda).

Merekalah yang akan membantah Bennedict Anderson yang menyatakan bahwa “Indonesia is imagined community” dan bersatu dalam semangat Tan Malaka, bahwa "Dalam tiap tiap macam perjuangan inisiatif mempunyai nilai besar".

Cocoa Schools as The Solution of Poverty and Future Investment in Luwu Utara


Poverty still become an anomaly in Indonesia which has wealth of natural resources. This happen in Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan. The number of poor in Lutra reach 16,3% of total population (BPS, 2011). It make Lutra become the fourth highest poverty rate in Sulawesi Selatan.

Otherwise, the potential of cocoa in Lutra is one of the largest suppliers of cocoa in Indonesia which is the second largest cocoa producer in the world. Cocoa production of Lutra reached 33900 tons and used about 10% land in Lutra (BPS, 2010).

This anomaly happen because quality restrictiveness of human resources. Most of cocoa management is still limited in upstream industry. All Indonesia’s cocoa production targeted export markets (80% seeds and 20% half-finished-Disperindag, 2010).

In Regional Planning of Lutra until 2015, the poverty rate will be reduced 15 percent. Optimalization of cocoa potential is answer to achieve that planning.

Based on method of analysis descrptive,  establishment of Cocoa Schools in Lutra is best optimalization. This concept have been applied in Ciwidey, Bandung, Jawa Barat in Islamic School of Agribusiness Al Ittifaq.

9,4% of population in Lutra don’t attend school (BPS, 2010). Poverty is the reason. But they also can be solution for poverty. They can be schooled in cocoa schools. They don’t need to pay school fees. They just need to come and learn about entrepreneurship ; the cocoa management from upstream to downstream industry.In future, this schools can be solution of poverty and Future Investment in Lutra.

Keywords : Cocoa, Poverty, Lutra, Schools

This abstract is submitted in Konferensi Internasional Pelajar Indonesia (KIPI) 2012, Brisbane

Wednesday, October 31, 2012

Gerakan Mahasiswa : Berani atau Nekat ?



“Keberanian harus di atas pengetahuan” ??

Begitulah kutipan dari pernyataan salah seorang aktifis mahasiswa, yang kemudian juga turut di-amin­-kan oleh sejumlah aktifis mahasiswa lainnya di sebuah forum mahasiswa. Mereka menyetujui bahwa sikap berani adalah yang terpenting dimiliki seorang perwakilan mahasiswa, atau istilah lainnya disebut tukang gertak, dan soal pengetahuan, itu masalah nanti.

Refleksi dari kutipan di atas, jika ditarik hubungkan dengan sejumlah permasalahan pergerakan mahasiswa di Indonesia saat ini, seolah merajut benang merah akar penyebab permasahan tersebut. Mari perlahan, kita coba rajut dengan keterbukaan berfikir dan keikhlasan belajar.

Keberanian atau Nekat ?
Ada sejumlah definisi tentang ‘keberanian’. Julius A Cartage menyatakan bahwa "Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa". Kemudian Dawson Peter Amstrong berujar “Berani bukanlah siap menghunus pedang, tetapi siap memasukkan pedang ke sarungnya". Lalu, Aristotle menyatakan bahwa, “The conquering of fear is the beginning of wisdom”.

Keberanian, haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran. Keberanian bukan berarti asal maju tanpa menghitung risiko, tapi keberanian adalah semua tindakan strategis yang telah terhitung secara akurat sebelum melangkah ke tindakan yang lebih jauh.

Keberanian tidak sama dengan nekat atau asal maju, yang tanpa memahami dan mengetahui permasalahan secara utuh, tapi keberanian ialah sebuah sikap atau karakter yang didukung oleh pengetahuan yang mumpuni. Bila keberanian bermakna nekat atau asal berani, maka sesungguhnya itu adalah kebutaan dalam memaknai keberanian secara benar dan tepat. Keberanian harus memiliki landasan, manfaat, tujuan, dan perencanaan yang matang. Kemudian, sejatinya keberanian diikuti dengan keinginan untuk terus belajar dan mencari kebenaran, bukan pembenaran.

Kembali pada studi kasus mahasiswa di atas, apa yang dinyatakan dalam kutipannya adalah lebih kepada nekat, bukan keberanian. Karena disana ada pemisahan antara keberanian dan pengetahuan.
Jika kita coba menelaah pergerakan mahasiswa hari ini, maka belum banyak kita temukan pergerakan yang berbasis keberanian sebagaimana pemahaman sesungguhnya di atas. Kata ‘pergerakan’ masih dimaknai oleh sebagian besar mahasiswa, dekat dengan aksi demonstrasi atau aksi-aksi sensasional yang bersifat perlawanan vertikal. Hal ini sepertinya masih dipengaruhi oleh euforia aksi senior mereka saat reformasi 1998.

Banyak yang berpendapat bahwa pergerakan dengan pemahaman dan pendekatan lama tersebut sekarang sudah tidak lagi relevan. Apalagi, modal yang digunakan adalah nekat, maka itu hampir sama dengan bunuh diri. Lalu bagaimana pemahaman dan pendekatan seharusnya yang relevan dengan kondisi kekinian saat ini ?.

Pengetahuan : Modal Dasar
Gordon (1994 : 50) mendefinisikan pengetahuan (knowledge) sebagai dasar kebenaran atau fakta yang harus diketahui dan diterapkan dalam pekerjaan. Selanjutnya menurut Nadler (1986 : .62),  pengetahuan adalah proses belajar manusia mengenai kebenaran atau jalan yang benar, tujuannya untuk mengetahui apa yang harus diketahui untuk dilakukan. 

Merujuk kepada beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pengetahuan disini menjadi sebuah modal dasar dalam setiap tindakan. Begitu juga halnya dengan sebuah keberanian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa keberanian sesungguhnya harus berlandaskan modal pengetahuan yang kontekstual dengan tindakan yang akan dilakukan.

Saat ini tengah berkembang di berbagai belahan dunia, sejumlah gerakan berbasis pengetahuan. Melingkupi berbagai sistem, mulai dari ekonomi, inovasi teknologi, pembangunan, dan sejumlah sistem lainnya, semua berbasis pengetahuan. Dari basis inilah tumbuh keberanian dan kepercayaan diri dari sebuah gerakan.
Begitu juga dengan pergerakan mahasiswa, modal pengetahuan seharusnya menjadi basis atau modal utama.

Pergerakan seharusnya dimaknai secara luas, mulai dari aksi sosial, kewirausahaan, pendidikan, seni budaya, dan berbagai jenis aksi lainnya yang bertujuan positif dan dilakukan dengan metode-metode yang juga positif, inilah seharusnya integritas pergerakan mahasiswa dengan ciri intelektual yang tidak hanya menjadi menara gading. Namun juga mengakar menyentuh rakyat dengan hasil olahan mereka terhadap kompleksnya ilmu pengetahuan.

Sebagian kelompok mahasiswa saat ini telah melakukan dan berupaya memaksimalkan pemahaman dan pendekatan berbasis pengetahuan tersebut. Hanya saja mereka masih sebagian kecil dan sebagian besarnya masih bermodal jumlah massa dan nekat.

Lalu bagaimana dengan sebagian besar mereka yang masih belum berbasis pengetahuan tersebut ?. Apa yang menjadi hambatan bagi mereka ditengah arus perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Iptek) saat ini ?.

Bahaya Laten Konservatif
“Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”-Tan Malaka
Begitulah himbauan bagi para manusia Indonesia dari seorang Tan Malaka, pemikir terbaik bangsa yang pertama kali menulis konsep tentang Republik Indonesia dan berhasil menghidupkan akal sehat orang timur melalui karya fenomenalnya : Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog).

Himbauan di atas sangat tepat bagi kelompok mahasiswa yang bersikap konservatif. Konservatif adalah sebuah sikap resisten atau ketertutupan terhadap hal-hal baru. Sikap ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah, karena salah satu tujuannya adalah menjaga identitas atau karakter asli dari keyakinan yang positif. Namun sikap ini menjadi bodoh ketika dilakukan secara berlebihan. Sehingga memunculkan benteng terhadap gagasan-gagasan baru yang sesungguhnya benar.

Hal ini akhirnya membuat mereka terkungkung dalam kesempitan cara pandang, sementara di luar benteng mereka ilmu pengetahuan terus berkembang. Doktrin kebenaran bagi mereka seolah kaku, statis, dan tidak dinamis. Sifat kritis yang lahir, tumbuh secara tidak seimbang. Hanya mengkritik keluar, namun jarang menggugat ke dalam ; apa yang telah diyakini selama ini. Alhasil kedangkalan pemaknaan terhadap urgensi pengetahuan pun membuat mereka bergerak dengan mengabaikan modal dasar ; pengetahuan.

Penyebab munculnya sikap konservatif ini tentu beralasan. Munculnya sejumlah gerakan yang berupaya menyebarkan paham pemikiran dan ideologi mereka di Indonesia adalah salah satu alasannya. Mahasiswa sebagai generasi masa depan tentu disini menjadi sasaran strategis. Hal ini kemudian dilakukan melalu berbagai metode, sehingga akhirnya berhasil mencuci otak para mahasiswa dan membunuh daya kritis mereka melalui indoktrinasi.

Indoktrinasi yang berlangsung secara terus menerus membuat mereka semakin kerdil. Mereka terkurung dalam kesempitan doktrin, merasa menjadi yang paling benar dan yang lain adalah salah. Yang salah dianggap sebagai musuh dan tidak bisa dipercaya. Kelebihan pengetahuan dan keunggulan lainnya yang dimiliki oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi mereka. Sehingganya, jalan apapun kemudian dihalalkan untuk memusnahkan ancaman-ancaman yang membahayakan tersebut, demi memuluskan jalan meraih kekuasaan politik. Mereka menjadi buta, bodoh, pecundang, dan tanpa integritas.

Inilah bahaya laten dari paham konservatif yang berkembang dan menjadi hambatan dari berkembangnya gerakan mahasiswa yang berbasis pengetahuan.

Konsisten Belajar : Memupuk Keberanian
Gerakan mahasiswa yang ideal untuk kondisi kekinian zaman adalah, sebuah gerakan yang berani karena berbasis ilmu pengetahuan yang dinamis. Bukan sebuah gerakan nekat dan konservatif yang kuno, klasik, dan tidak berkembang serta tidak relevan dengan kebutuhan zaman.

Sikap konservatif yang merebak ini memang cukup dilematis. Di satu sisi hal ini sebagai pertahanan terhadap nilai-nilai yang dianggap benar, di sisi lain hambatan untuk maju dan berkembang. Kompleks memang, karena terkait dengan relatifitas asumsi kebenaran, konspirasi perang pemikiran, dan benturan serta distorsi budaya yang terjadi antara keyakinan dan kepercayaan.

Namun tentu dengan terus menerus belajar memperluas pengetahuan, maka kita seharusnya mampu menarik garis batas dimana kita harus bersikap konservatif dan dimana tidak bersikap demikian.

Kata ‘konsisten’ pun dalam konteks ini harus dipahami dengan benar. Konsisten bukan berarti statis dan bertahan dengan prinsip lama secara terus-menerus. Namun konsisten seharusnya diterapkan dalam upaya belajar memperluas pengetahuan secara terus menerus. Sehingganya, ketika kita menemukan hal baru yang tidak relevan dengan prinsip lama kita dan dirasa lebih benar, maka bukan sebuah kesalahan jika kita merubah prinsip lama tersebut dan beralih ke hal yang baru.

Konsistensi untuk terus belajar, hal inilah yang semestinya ditanamkan dalam setiap roh pergerakan mahasiswa saat ini. Bukan mengedepankan emosi brutal tanpa intelektual. Konsistensi belajar tersebutlah yang akan terus memperluas wawasan pengetahuan mereka, sehingga akhirnya mampu bersikap berani yang ideal. Karena tantangan masa depan kita adalah kompetisi intelektual, ide, gagasan, dan inovasi. Semua hal tersebut berbasis kepada ilmu pengetahuan.


Tulisan ini dimuat di Suara Mahasiswa 17/10/2012
http://suaramahasiswa.com/?ForceFlash=true#/blog/KOLOM-Gerakan-Mahasiswa-Berani-atau-Nekat-.html
Dibukukan dalam Buku "Bunga Rampai Gerakan Mahasiswa, 2012"
Meraih Peringkat 4 dalam Lomba Esai Nasional Polgov Days UGM 2012
http://polgov.16mb.com/pengumuman-lomba-essay/