Sunday, April 15, 2012

CSR Organisasi Mahasiswa : Subsidi dari Mahasiswa



Lindungi rakyat kecil!

Seruan ini bergema hampir di seluruh penjuru negeri ini ketika isu kenaikan BBM bersubsidi tengah panas beberapa waktu yang lalu. Seruan ini diteriakkan oleh berbagai kalangan, mulai dari kepala daerah, lembaga swadaya masyarakat, buruh, hingga mahasiswa. Suara terbanyak yang menyerukan hal ini terutama datang dari mahasiswa, sang agen perubahan.

Apakah kenyataannya mahasiswa memang sungguh ingin melindungi rakyat kecil ?. Menurut data DIKTI tahun 2011 ada 4,8 juta orang total mahasiswa di Indonesia. Dari sebanyak itu berapa persenkah dari mereka yang memang menginginkan hal itu ?. Lalu juga apakah mereka yang ikut aksi demonstrasi dan berorasi ingin melindungi rakyat kecil itu dalam kesehariannya benar telah merealisasikan orasi mereka tersebut?. Memang belum ada pembuktian yang valid untuk hal ini. Tapi yang pasti dalam kenyataannya kita masih sering menemukan tindakan dan gaya hidup mahasiswa yang bertentangan dengan apa yang mereka orasikan.

Di lain sisi, sebagian mahasiswa juga telah melakukan aksi nyata melindungi rakyat kecil tersebut. Banyak jenis kegiatan mahasiswa berupa pengabdian masyarakat yang turun langsung ke lapangan memberikan berbagai jenis bantuan, mulai dari material, penyuluhan, pengobatan, dan jenis bantuan lainnya. Namun jenis kegiatan seperti ini masih belum terlalu banyak. Hanya organisasi mahasiswa seperti lembaga eksekutif mahasiswa, kelompok studi, organisasi keagamaan, dan beberapa organisasi lainnya saja yang telah melakukan kegiatan sejenis ini.

Kegiatan pengabdian masyarakat oleh mahasiswa merupakan sebuah kontribusi positif yang berdampak langsung terhadap masyarakat. Hal ini bisa disebut sebagai suatu bentuk subsidi dari mahasiswa untuk masyarakat. Jika hal ini dapat dioptimalkan pelaksanaannya, maka ini berpotensi besar dapat membantu kesejahteraan masyarakat. Optimalisasi pelaksanaanya dapat dilakukan melalui organisasi mahasiswa. 

Setiap organisasi mahasiswa diwajibkan memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan pengabdian masyarakat. Bentuk kegiatannya nanti disesuaikan dengan jenis organisasi tersebut. Konsep ini mirip dengan konsep corporate social responsibility (CSR) pada perusahaan. Disini bisa kita sebut CSR organisasi mahasiswa.

Menurut data DIKTI tahun 2010 ada 3070 perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi tersebut menyebar di seluruh provinsi di Indonesia. Setiap perguruan tinggi memiliki jumlah organisasi mahasiswa yang beragam. Salah satu contoh, Universitas Indonesia memiliki lebih dari 100 organisasi mahasiswa. Jika diperkirakan jumlah organisasi mahasiswa di Indonesia mencapai puluhan ribu hingga ratusan ribu.

Jika semua organisasi mahasiswa di Indonesia dapat menjalankan konsep CSR tersebut, maka hal ini akan menjadi subsidi yang sangat besar, merata, dan bersih dari mahasiswa untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini jauh lebih konkrit dinyatakan sebagai seruan ‘lindungi rakyat kecil’.

Ketimpangan Distribusi BBM


Beragam suara pro-kontra terkait isu kenaikan BBM menggema di sepanjang nusantara. Mulai dari barat hingga timur Indonesia. Namun di antara semua itu, ada sebuah suara menarik muncul dari tanah borneo, Kalimantan.

“Kami masyarakat Kalimantan setuju kenaikan harga BBM. Harga Rp 6500/liter pun tak jadi masalah, yang penting adalah POM bensin jangan kosong”. Hal ini diungkapkan langsung oleh masyarakat di Malinau, Kalimantan Timur. Mereka sudah akrab dengan kondisi POM bensin yang kosong berminggu-minggu dan di sekitarnya terdapat begitu banyak penjual BBM eceran. Para penjual eceran ini menjual BBM dengan harga sekitar Rp 6000-10000/liter, melambung di atas harga aslinya. Kondisi ini tentu semakin menyusahkan kehidupan masyarakat disana disamping harga barang-barang kebutuhan yang harganya lebih mahal dibanding di Pulau Jawa akibat faktor jarak distribusi.

Kelangkaan BBM ternyata tidak hanya terjadi di Kalimantan. Kondisi yang sama juga ditemui di daerah lain di luar Pulau Jawa terutama di Indonesia bagian timur. Kelangkaan ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama kebijakan distribusi BBM yang timpang. Pulau Jawa selalu menjadi prioritas utama dalam distribusi BBM dan hal ini berpengaruh terhadap pasokan BBM yang ada di luar Jawa. Kedua, masih terkait dengan alasan pertama. Kondisi minimnya pasokan di luar Jawa ini kadang justru juga dimanfaatkan oleh beberapa oknum di daerah tersebut untuk melakukan penimbunan dan menjual kembali dengan harga yang lebih mahal.

Saat ini seiring rencana kenaikan BBM. Harga BBM yang dijual eceran di Malinau, Kalimantan Timur makin melonjak, Premium di harga Rp 8000/liter dan Pertamax Rp 12000/liter. POM bensin disana juga sudah tiga minggu mengalami kekosongan. Jika ditelaah sekilas, memang yang menjadi titik berat dari permasalahan ini adalah soal distribusi. Namun seiring rencana kenaikan BBM di Bulan April depan, tentu permasalahan distribusi ini menjadi permasalahan penting yang juga harus diselesaikan.

Ketika BBM resmi naik nanti di Bulan April, maka harga BBM di daerah-daerah yang mengalami kelangkaan tersebut tentu akan ikut naik menjadi lebih mahal lagi. Selain itu juga bisa jadi kelangkaan pun menjadi semakin parah. Kemudian terkait beberapa bantuan yang dijanjikan pemerintah seperti BLSM, subsidi transportasi umum, dan beasiswa untuk anak-anak dari keluarga miskin. Bantuan-bantuan ini pun kemungkinan besar akan membutuhkan waktu lama untuk menyentuh daerah di luar Jawa, terutama Kalimantan dan Indonesia bagian timur. Hal ini bisa berdampak besar terhadap kesulitan ekonomi yang akan terjadi di daerah tersebut.

Maka dari itu, sebelum pemerintah mengetok palu meresmikan kenaikan harga BBM di Bulan April nanti, pemerintah harus memperhatikan masalah distribusi yang tidak merata ini. Kebijakan dalam distribusi BBM ini harus diperbaiki. Jangan sampai hal ini memicu konflik antar wilayah.

KONSEP CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM KEGIATAN KEMAHASISWAAN SEBAGAI SOLUSI PEMBERANTASAN BIBIT KORUPSI DI KAMPUS


Korupsi memang persoalan yang kompleks, apalagi ketika masalah tersebut sudah mengakar seperti di Indonesia. Persoalan korupsi yang terjadi di mahasiswa merupakan suatu bukti kegagalan dari sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter yang belum terurus. Kebiasaan mark up anggaran kegiatan dalam pengajuan proposal kegiatan sudah menjadi sangat lazim di mahasiswa dengan alasan jaga-jaga anggaran.
Kebiasaan yang katanya buat jaga-jaga tersebut lama kelamaan berubah menjadi suatu yang memang disengaja untuk mendapatkan dana yang akhirnya disalahgunakan. Hal ini merupakan suatu bibit korupsi yang berpotensi sangat merusan masa depan bangsa. Jika baru berhadapan dengan dana yang dalam jumlah kecil saja mereka sudah berlaku demikian, bagaimana nanti jika berhadapan dengan dana yang jauh lebih besar. Ini harus diperbaiki dari sekarang. Mark up anggaran harus diatur ketentuannya.
Bagaimana cara mengatur ketentuan mark up anggaran. Mahasiswa boleh me-mark up anggaran kegiatan yang dirancangnya dalam suatu pengajuan proposal kegiatan dengan tujuan memang untuk mengantisipasi kekurangan dana atau salah prediksi anggaran. Namun hal yang harus diatur disini adalah bagaimana jika dana tersebut ternyata melebihi dari kebutuhan acara maka harus ada ketentuan baru yang berlaku.
Maka adalah konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang akrab dilakukan oleh perusahaan dalam bentuk pengabdian masyarakat. Hal yang sama dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam setiap kegiatannya. Setiap kegiatan mahasiswa yang mengalami surplus atau kelebihan dana dari anggaran yang diajukan di proposal berkewajiban untuk menunaikan program CSR yang sudah dirancang juga sebelumnya di dalam proposal kegiatan yang diajukan.
Jenis kegiatan dari CSR-nya tentu disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut. CSR yang ideal adalah yang paling dekat dengan jenis kegiatan yang dilakukan oleh sang pemberi CSR. Jika dalam konteks mahasiswa, selain CSR bisa diberikan kepada objek yang terkait dengan jenis kegiatan mahasiswa tersebut, CSR juga bisa diberikan kepada lingkungan sekitar kampus dengan porsi dan bentuk yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Friday, April 6, 2012

The Raid : 'Kesuksesan' Film ‘Indonesia’ (?)



The Raid, beberapa minggu belakangan ini bioskop seluruh tanah air dipenuhi huru hara massa yang menyerbu film ini. Film lanjutan dari film ‘Merantau’ ini kembali ‘sukses’, bahkan melebih film pertamanya. Film yang bergenre laga ini telah mendulang beragam penghargaan bergengsi di kancah perfilman Internasional. Dalam "The Cadillac People's Choice Award" untuk kategori Midnight Madness dalam ajang Toronto Internasional Film Festival 2011 (TIIF) yang ke-36. Kemudian di Festival Film Sundance 2012 film ini menjadi salah satu dari sebelas film seluruh dunia yang terpilih sebagai kategori "Spotlight" karya yang paling disukai panitia Sundance. Hal ini dinilai oleh banyak kalangan di tanah air sebagai ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.

Usai menonton film ini, jika kita mencoba menelaah sedikit lebih berbeda dan berani maka akan muncul beberapa pertanyaan. Apakah benar ini dikatakan sebagai sebuah kesuksesan film Indonesia?. Jika ia, maka kesuksesan seperti apakah yang dimaksud?. Lalu apakah benar ini adalah sebuah film ‘Indonesia’?.

The Raid, Film hasil besutan sutradara asing Gareth Huw Evans ini memang telah meraih berbagai penghargaan internasional. Kata kuncinya disini adalah ‘penghargaan internasional’. Sebuah penghargaan yang tentu penilaiannya telah melewati beberapa tahapan yang cukup ‘ketat’. Yang menjadi perhatian disini adalah para juri yang mengawal tahapan tersebut dan indikator penilaian yang digunakan.

Kiblat industri perfilman di dunia tidak bisa dielakkan bahwa dunia barat adalah empunya karena faktor sejarah. Juri yang terlibat dalam penghargaan-penghargaan internasional seperti di atas, sebagian besar bahkan mungkin semuanya adalah yang berasal dari negeri empunya tersebut. Sekalipun ada beberapa yang mungkin berasal dari Asia, tapi tetap saja penilaian kembali bergantung kepada indikator penilaian yang telah ‘dipaksa’ untuk disepakati. Indikator penilaian kualitas suatu film disini ya kembali berkiblat pada hal-hal yang sudah dianggap baik menurut dunia barat.

Singkat kata, jika suatu film berhasil meraih penghargaan internasional berarti film tersebut telah berhasil memenuhi indikator penilaian kualitas film yang ‘baik’ sesuai standar para ‘juri’-nya. Hal inilah yang telah diraih oleh film The Raid.

Film The Raid telah berhasil memenuhi semua indikator ‘baik’ menurut dunia internasional (baca : barat). Dimulai dari ide cerita, film ini pertama jelas dibesut oleh sutradara asing Gareth Huw Evans yang memaksa mempelajari Indonesia secara prematur dalam penggarapan filmnya. Ide dan alur cerita film ini pasti kita rasa sangat akrab dengan banyak film asing, sebut saja salah satunya film prancis ‘Banliue 13’. Setting, pengambilan gambar, adegan, trik, dan banyak hal lainnya sangat sukses menjiplak predikat ‘baik’ menurut dunia internasional (barat).

Selanjutnya, penggarapan skoring musik film The Raid ini dirilis di wilayah Amerika Utara, Amerika Latin dan Spanyol. Hal ini melibatkan musisi papan atas Mike Shinoda, salah satu personil Linkin Park dan Joseph Trapanese seorang komposer berbakat yang menggarap film Walt Disney Tron:Legacy (2010). Ya, film ini sangat ‘barat’.

Sebagian besar orang Indonesia yang telah menonton film ini biasa berkata “filmnya keren banget”. Label film ‘keren’ itu memang telah terpatri dalam mindset sebagian besar orang Indonesia bahwa adalah film yang mirip film ‘barat’. Karena memang selama ini industri film kita telah ikut terjajah juga bersamaan dengan serbuan ‘ulah barat’ lainnya.

Pembelaanya, apakah memang sama sekali tidak ada ciri Indonesia di film ini?. Ya masih ada, sedikit diselipkan melalui beberapa adegan kebodohan. Beberapa humor disisipkan di film ini ditengah aksi-aksi laga yang berlangsung. Humor tersebut berangkat dari perilaku-perilaku bodoh beberapa pemeran dalam film ini. Seperti respon spontan yang konyol, kalimat dialog yang lugu, dan pemilihan sikap untuk lebih menyukai bertarung dengan tangan kosong dibanding senjata serta mengabaikan efisiensi tempo konflik dalam cerita tersebut. Itulah wajah Indonesia yang ditampilkan dalam film ini.

Belum ada nilai-nilai ke-Indonesiaan yang membanggakan yang ditampilkan dalam film tersebut. Kesuksesan film ini adalah karena sukses menjiplak ‘gaya barat’. Maka dari itu film ini belum bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia. Karena seharusnya disini ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’ adalah ketika film tersebut telah berhasil membawa ‘wajah Indonesia’ yang sesungguhnya menjadi diakui oleh dunia.
Film The Raid bukan berarti gagal. Film Indonesia masih terus belajar mencari gaya dan identitasnya sendiri. The raid adalah salah satu langkah dan proses menuju hal tersebut. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari film ini, terutama bagi kru-kru filmnya yang banyak bekerja sama dengan asing dan tentu juga bagi seluruh insan kreatif perfilman Indonesia.

Semoga film ini menjadi tonggak belajar untuk terus berkarya menciptakan film-film yang utuh ‘Indonesia’ dan sanggup mendefinisikan arti dari ‘kesuksesan’ film ‘Indonesia’.

Tulisan ini bukan tulisan konservatif yang takut akan dunia barat. Kita harus akui bahwa memang kita bisa belajar banyak hal dari mereka. Tapi bukan berarti semua dijiplak demi meraih prestasi yang sesungguhnya besar kemungkinan hal ini adalah konspirasi penjajahan era baru. Ketika satu film Indonesia sukses meraih penghargaan internasional, maka film-film lain pun akan berpatokan kepada film ini. Secara latah, film-film lain mengikuti jejak film ini. Alhasil semua film semakin akan mengikuti standar ‘barat’. Maka punahlah nilai-nilai ke-Indonesiaan.

Jangan sampai hal tersebut terjadi. Indonesia masih memiliki identitas dan standar ‘baik’ sendiri. Film ‘Indonesia’ harus mampu membuktikan hal ini.

Dialektika ini terbuka untuk didiskusikan. :D