Bola itu pun terhenti, di tengah genangan atau mungkin lebih
bisa disebut kubangan air di pinggir lapangan. Hujan berhari-hari membuat
lapangan tua itu hampir menyerupai kolam ikan, rupa-nya lebih didominasi
c-air-an dibanding re-rumput sakit yang kedinginan.
Para pemain timnas mulai tampak kelelahan, nafasnya
tersengal, darah di otak pun sepertinya tak mengalir normal lagi ; mereka mulai
kehabisan akal. Sementara papan skor menunjukkan mereka masih tertinggal,
tekanan mendera.
Sebelumnya, berbagai atraksi fenomenal terjadi di lapangan
ini. Sejumlah pemain hebat timnas dengan skill
individu yang luar biasa menggiring bola dengan brilian melewati sejumlah
pemain lawan sendirian. Sendirian, mereka bermain sendiri, kurang bekerjasama
satu sama lain. Sebagian besar mereka masing-masing bergantian mencoba membawa dan
melesakkan bola sendiri ke gawang lawan untuk mencetak gol. Tapi sayang, tak
satu pun gol mereka ciptakan dan timnas pun di gerbang kekalahan.
Dalam pertandingan kali ini, wasit menggunakan cara berbeda,
ia menutup papan waktu sehingga tak seorang pun tahu kapan waktu permainan akan
berakhir. Setiap wajah yang mendukung timnas pun terlihat cemas, gundah, dan
bahkan ada yang sudah pasrah dan memilih pulang ; merasa tiada harapan untuk
menang.
Dan kita, sekarang ada di salah satu pinggir tribun penonton
mencoba untuk me-lobi wasit untuk menghentikan waktu agar kita bisa
menyelamatkan timnas dari kekalahan. Wasit menimbang-nimbang dan
akhirnya..menerima permohonan kita.
Saatnya kita meng-analisis, kenapa timnas kalah?. Diawali
dari susahnya antar para pemain bekerja sama satu sama lain, sehingga kekuatan mereka
pun tidak terpadu. Kemudian, fungsi kapten dalam tim pun tidak berjalan dengan
baik. Kapten kurang didengar, selain karena ia kurang bijak juga karena para individu
bermain sendiri untuk memperlihatkan pada penonton bahwa ia layak jadi kapten.
Lalu, kenapa individu pemain cenderung bermain sendiri?.
Apakah latar belakang mereka memberikan pengaruh?. Para pemain ini berasal dari
ragam daerah, sebagian memiliki klub dan sebagian lagi tidak. Hal ini tentu
memberi pengaruh, bagi mereka yang dibina dengan baik di klub mestinya memahami
konsep bekerja dalam tim ; teamwork.
Namun jika kita telisik lagi, sepertinya mereka kurang dibina dengan baik di
klub atau bisa juga klub tersebut tidak memiliki sistem pembinaan yang baik.
Jika kondisi di klub seperti itu, maka apalagi yang tidak
punya klub?. Memang ini juga belum jaminan bahwa mereka yang tanpa klub akan
lebih buruk, namun setidaknya mereka mungkin kurang pengetahuan mengenai
sedikit ilmu yang ada diajarkan dalam sebuah klub.
Berikutnya, sebagian mereka yang bergabung dengan timnas memiliki
niat yang kurang tepat dalam bergabung. Yaitu untuk menjadi kapten di timnas.
Mestinya niat mereka adalah ingin membawa timnas untuk menang dalam
pertandingan. Lalu kenapa niat mereka melenceng?.
Lagi-lagi, faktor klub disini menjadi salah satu faktor.
Delegitimasi Parpol
Bola adalah kebijakan, lapangan adalah sistem birokrasi, dan
kubangan adalah kekacauan sistem. Hujan adalah bencana dan ragam permasalahan,
yang bisa menjadi perusak atau bisa juga menjadi berkah ; menjadi pelajaran
jika bijak mengambil hikmah.
Timnas bisa jadi sebuah negara, provinsi, ataupun kota. Para
pemain di dalamnya tentu ialah para pemangku kebijakan, yang tertinggi tentu adalah
kepala-nya ; seorang kapten. Lalu kekalahan adalah ketertinggalan dan keterbelakangan.
Wasit adalah Tuhan dan klub merupakan partai politik.
Penggalan di atas bukan tentang Indonesia U-19 yang baru saja
juara Piala AFF, tapi tentang sebuah analogi dari fenomena politik yang terjadi
di Indonesia hari ini. Para pemain yang bermain individual adalah cerminan banyak
tokoh atau mereka yang (merasa) berkapasitas, lebih memilih untuk bekerja
sendiri-sendiri dibanding saling bekerja sama satu sama lain. Hal ini
dibuktikan beberapa fakta baru-baru ini. Pertama, Konvensi calon presiden dari
Partai Demokrat yang diikuti oleh sebelas orang yang merasa layak jadi
presiden.
Berikutnya, adalah empat pilkada di Tahun 2013 ini yang tercatat
sebagai pilkada paling ‘ramai’. Ter-ramai adalah Kabupaten Mimika, Papua,
sebelas pasang calon. Lalu sisanya masing-masing sepuluh pasang calon, adalah
Pilkada Padang, Makassar, dan Garut.
Lebih menarik lagi, dalam pilkada yang ‘ramai’ ini menguap
banyak pasangan calon independen atau jalur perseorangan. Mimika dengan jumlah
5 pasangan, Padang 6 pasangan, dan Makassar serta Garut masing-masing 4
pasangan. Dalam penggalan di atas hal ini digambarkan dari asal sejumlah pemain
timnas yang tidak memiliki klub.
Lalu bagi mereka yang memiliki klub digambarkan bahwa klub tersebut
kurang membina dengan baik. Hal ini menjelaskan tentang buruknya sistem dalam sejumlah
parpol. Terjadinya presidensialisasi partai dimana kebijakan partai hanya
bergantung pada satu figur. Jika ditarik akar penyebabnya, maka ialah karena
kurangnya proses institusionalisasi yang terjadi pada partai-partai tersebut.
Inilah alasan akhirnya muncul banyak calon independen.
Delegitimasi parpol, inilah yang kembali terjadi hari ini. Sejarah
menunjukkan, hal ini yang terjadi pada dua era sebelumnya telah menjebloskan
Indonesia ke sistem pemerintahan otoriter. Gerakan ini akan memundurkan kembali
arah demokratisasi. Apa yang terjadi ini bukan saja dapat memperpanjang masa
transisi dari sistem otoriter ke demokrasi, tetapi justru mempersulit
pencapaian konsolidasi demokrasi, apalagi menuju ke demokrasi yang matang.
Pesta demokrasi di 2014 sudah di depan mata. Delegitimasi
parpol mengajarkan masyarakat untuk semakin apolitis. Kita butuh berbenah..
Wasit pun kembali menjalankan waktu. Kita yang di pinggiran
tribun terus mencoba membantu mereka dengan teriakan-teriakan yang mungkin
terdengar membisik bagi mereka.
Meski begitu, kita senantiasa berteriak menyemangati. Kita
bukanlah kelompok yang cemas, gundah dan hanya bisa diam, apalagi yang pasrah
dan memilih pulang. Kita bertahan disini, mengharapkan sebuah permainan cantik
yang membahagiakan, tak peduli meskipun diakhir nanti timnas tetap kalah ; kita
selalu berdoa dan tetap menjadi penonton yang menang.
No comments:
Post a Comment