Mendekati Tahun 2014, kecamuk politik di Indonesia semakin
kusut. Semua perilaku semakin mendekat pada pragmatisme elektoral, dan menjauh
dari substansi berpolitik seharusnya. Saat ini kembali terangkat fenomena
presidensialisasi partai yang membuat kepemimpinan ideal di alam demokrasi Indonesia
sangat bertumpu pada figur dan terus meninggalkan khitah partai politik (parpol)
yang seharusnya menjadi instrumen utama. Tema ini diulas oleh Hanta Yuda
(Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute) pada Sabtu (27/07) lalu dalam Metro
Highlights di Metro TV.
Hanta membenarkan bahwa saat ini memang terjadi fenomena ‘Figur
Politik vs Partai Politik’. “Parpol harusnya sebagai instrumen utama dalam
demokrasi, namun kenyataannya justru figur yang malah semakin kuat. Dalam istilah
lain fenomena ini bisa juga disebut ‘Presidensialisasi Partai vs Institusionalisasi
Partai’. Presidensialisasi partai adalah dimana (citra) kualitas parpol hanya
dikendalikan oleh seorang figur dan institusionalisasi partai ialah bagaimana
seharusnya kualitas sebuah partai berangkat dari kapasitas sistemnya yang lahir
dari ide bersama para anggotanya”.
“Kecendrungan memilih publik masih pada karakter figur,
belum pada karakter partai yang mencakup visi, misi, dan ideologinya. Figur menjadi
magnet elektoral bagi partai. Contohnya adalah pada Pemilu 2004, raihan suara
yang diperoleh SBY jauh di atas raihan Partai Demokrat. Pada tingkat Pilkada,
hal ini terjadi di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Tengah dimana Jokowi dan Ganjar
yang hanya didukung oleh minim mesin partai mampu mengalahkan calon lainnya
yang didukung oleh koalisi banyak partai”, jelas Hanta.
Hanta menekankan bahwa parpol terlihat semakin mencampurkan
kekuatan figur dengan kepartai-annya, padahal seharusnya yang mesti dperkuat
adalah kapasitas kolektif partai. Semua pemilihan unsur dalam trias politika ;
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, terkait dengan parpol, maka dari itu fenomena
ini mesti dikendalikan. Parpol harus segera direvitalisasi.
“Ada beberapa penyebab kenapa figur lebih dipercaya daripada
parpol. Saat ini masa depan parpol sangat bergantung pada usia politik figur. Ada
empat hal setidaknya yang menjadi penyebabnya. Pertama adalah relasi ideologi yang
semakin jauh antara parpol dengan publik. Parpol hanya datang ke publik ketika
menjelang pemilu, sehingga publik kesulitan mengenal kapasitas utuh dari parpol
tersebut”.
“Kedua, warna ideologi partai yang semakin kabur dikarenakan
semua parpol hanya berfokus pada perebutan ceruk suara. Ketiga yaitu fenomena presidensialisasi
partai yang dijelaskan di atas. Parpol terjebak pada figuritas. Terakhir, citra
partai yang semakin tergerus. Contohnya publik lebih bangga disebut sebagai Relawan
Jokowi daripada sebagai Relawan PDI P. Budaya politik Indonesia masih menyukai
kharisma dan hal ini hanya bisa melekat pada figur, belum pada parpol”.
Kontestasi Capres
2014
Ditanya terkait bagaimana prediksi untuk kontestasi capres
di 2014, Hanta menyatakan bahwa hal ini akan masih sangat bergantung pada
figur. Dengan indikator kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas,
diperkitakan capres hanya akan muncul dari 3 jalur. Pertama dari para pelaku
presidensialisasi partai yakni para petinggi partai seperti Aburizal Bakrie, Megawati,
Hatta, dan Prabowo. Kedua dari figur berelektabilitas tinggi seperti Jokowi dan
terakhir dari para pemilik kapital tinggi.
“Tantangan masa depan demokrasi kita adalah bagaimana
memperkuat posisi parpol, muai dari perilaku kader, infrastruktur, hingga
sistemnya. Hal ini diharapkan mampu menciptakan mekanisme-mekanisme yang lebih
pada demokratisasi sistem, bukan figur. Parpol adalah instrumen utama dalam
demokrasi, tidak bisa dibayangkan mekanisme demokrasi tanpa parpol, maka dari
itu agenda penting ke depan adalah penguatan kapasitas parpol”, tutup Hanta.
No comments:
Post a Comment