Tuesday, August 16, 2011

Sudahi Perih Ini : Nyanyian untuk Kaum Kapitalis



Kajian Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan di Indonesia

Renungan 66 Tahun “Kemerdekaan?”

Apa yang harus
Ku lakukan lagi bila kau tak lagi tau diri
Karena aku hanya negara berkembang
Yang tak kau anggap
Aku tlah coba untuk memahamimu
Tapi kau tak peduli
Cukup sudah Kau mengurasi alamku lagi
Serpihan perih ini
Akan membawa mati
Aku mencoba
Membagikan segala yang telah aku punya
Namun semuanya hanya sia-sia percuma
Aku tlah coba untuk bernegosiasi
Tapi kau mengingkari
Sampai kapan Bisa membuatmu mengerti
Membuat aku bermakna
Di hatimu di matamu..wahai kaum kapitalis


Kutipan lagu di atas merupakan gubahan dari lagu dari Grup Band D’Massiv yang diubah untuk menunjukkan suara hati amanah konstitusi bangsa kita yang menginginkan kembali sumber daya alam dan kekayaan yang kita miliki untuk kembali ke pangkuan kita. Selama ini sumber daya alam dan kekayaan yang kita miliki begitu banyak keuntungannya hanya dirasakan oleh kaum kapitalis ; korporasi asing dan para oknum yang durhaka terhadap ibu pertiwi. Mungin lagu di atas bisa kita jadikan nyanyian kedua setelah Indonesia Raya nanti ketika merayakan hari lahir republik kita.

Tepat tanggal 17 Agustus 2011 ini negeri kita genap berusia 66 tahun. Hal itu berarti bahwa Indonesia kita telah meraih kemerdekaannya semenjak 66 tahun yang lalu. Namun sejatinya, bangsa kita belum meraih kebebasan dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Selama puluhan tahun, Indonesia kita terjebak dalam sistem pertambangan kapitalis dan mengabaikan amanat konstitusi. Melalui kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia kita telah lepas kendali dalam pengelolaan sumber daya pertambangan yang dimilikinya.

Semua kita pasti sepakat bahwasanya negara kita adalah pemilik sumber daya alam yang begitu kaya. Namun hanya saja pada saat mengelolanya negara kita telah berbuat khilaf yang menyebabkan kita sangat dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing yang dengan leluasa melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah menguasai, mengeksploitasi, dan menguras sumber daya tersebut dengan target produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.

Namun, betapa sangat disayangkan bangsa kita bergeming. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan justru mendukung penguasaan sumber daya oleh asing. Sebut saja, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal memberi jalan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk menguasai dan menjajah perekonomian kita, termasuk penguasaan sumber daya pertambangan kita. Atau seperti pada kasus penambangan di hutan lindung yang semula dilarang, seperti tercantum dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah kita dibolehkan kembali dengan menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004 sehingganya penambangan di hutan lindung itu pun kembali berlanjut.

Amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945 telah dengan begitu lantang menyuarakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam negara harus diperuntukkan bagi rakyat dan tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara (minerba), dan serta pengelolaan sumber daya air.

Fakta-Fakta Penjajahan Kapitalis


Kasus kekalahan Pertamina di Blok Gas Semai V, Ekploitasi Blok Natuna D-Alpha, Penggelembungan Cost Recovery oleh Chevron Pacific Indonesia, Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitong, dan berbagai fakta dan data lain akan dipaparkan disini untuk menyadarkan kita bagaimana permasalahan pertambangan sumber daya alam di bangsa kita yang begitu memprihatinkan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan kontemplasi bagi pemerintah kita dan pemimpin bangsa kita untuk selanjutnya mengambil langkah dan kebijakan strategis dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut.

Fakta saat ini yang semakin memburuk yaitu cadangan sumber daya alam kita kian menipis, sementara korporasi swasta dan asing terus mengurasnya. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan pemerintah, DPR, dan semua kalangan dapat memperhitungkan kerugian negara yang semakin besar jika tidak segera melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam adalah hal mendesak yang harus segera dilakukan pemerintah.

Kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus segera diperbaiki. Dalam kasus Blok Semai V misalnya, pemerintah seharusnya menunujukkan keberpihakannya kepada Pertamina. Jika pemerintah konsisten terhadap amanat konstitusi, maka pemerintah seharusnya membatalkan penyerahan ekploitasi migas kepada Blok Semai V kepada Hess dan kemudian menyerahkannya kepada Pertamina. Pemerintah seharusnya bersungguh-sungguh mementingkan optimalisasi pendapatan negara dan berkomitmen menjaga ketahanan energi nasional.

Contoh permasalahan berikutnya yaitu masalah Blok Natuna D-Alpha. Seharusnya pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis, termasuk untuk menetapkan calon mitra Pertamina dalam mengelola sumber daya alam tersebut. Pertamina sebagai BUMN di bidang migas harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai operator dalam ekploitasi Blok Natuna D-Alpha. Pemerintah perlu mengoptimalkan peranan tim koordinasi pengelolaan Blok Natuna D-Alpha yang diketuai oleh Mantan Wakil Direktur Pertamina Iin Arifin Takhyan.

Beranjak ke gugusan kepulauan Nusa Tenggara, permasalahan Tambang emas batu hijau di Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu Newmont juga menuai kontroversi. Putusan arbitrase sebenarnya membuka peluang bagi negara untuk segera memiliki saham NNT melalui BUMN dan BUMD. Pasalnya, arbitrase telah memerintahkan agar NNT segera menjalankan kewajiban divestasi dalam tempo 180 hari setelah keputusan sidang arbitrase. Sayangnya, tekad untuk menguasai saham-saham pertambangan tersebut pupus setelah adanya putusan pemerintah dengan dukungan DPR yang telah menunjuk Pemda NTB sebagai pemimpin dalam pembelian saham NNT.

Proses divestasi dalam kontrak karya merupakan langkah terencana untuk mewujudkan kedaulatan bangsa melalui pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki. Namun tujuan divestasi akan gagal terlaksana jika saham yang didivestasi tidak sepenuhnya dikuasai negara atau daerah karena di-“kerjasamakan” dengan pihak swasta atau asing. Dalam kasus tambang emas batu hijau, gagasan besar agar negara dapat menguasai kembali saham-saham pertambangan yang strategis justru dihambat oleh para oknum pejabat dan pengusaha di negeri ini.

Padahal pemerintah pusat dan daerah melalui BUMN dan BUMD seharusnya dapat bersinergi dalam penguasaan saham divestasi NNT, mengingat penguasaan saham mayoritas NNT akan membuka kesempatan penguasaan saham tambang oleh negara maupun daerah. Kerjasama ini juga diyakini akan meningkatkan nilai keuntungan bagi negara dan daerah pada akhirnya memberikan nilai manfaat secara maksimal bagi kepentingan pembangunan nasional.

Jika kita beralih pada kasus PSC PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), kita dapat merekomendasikan kepada pemerintah melalui BP Migas bahwa seharusnya negara segera mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang berlangsug di PSC. BP Migas perlu memperkuat pengawasan dan pengendalian serta evaluasi atas kegiatan kontraktor migas. Tujuannya adalah untuk menjaga kepentingan negara dalam merancang dan melaksanakan sistem pengendalian yang lebih baik secara konsisten. BP Migas juga perlu mengkaji ulang kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan PT CPI yang telah dan akan berpotensi merugikan negara di waktu yang akan datang.

Sejalan dengan hal diatas, penggelembungan cost recovery dan berbagai praktik korupsi oleh CPI sudah demikian terang benderang untuk segera diusut, karena memang sudah merupakan temuan hasil audit BPK. Disamping CPI, oknum-oknum lain termasuk pejabat negara yang mempunyai hubungan kerja dengan CPI dalam menjalankan konspirasi ini juga sudah sangat mendesak untuk dituntut. Mereka antara lain berada di Pertamina-BPPKA, MCTN, NN, dsb. Kita meminta KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk menyidik mereka yang telah melakukan penyelewengan yang berpotensi merugikan negara sekitar Rp 14,44 triliun.

Terkait Blok Tangguh, sudah sepatutnya pemerintah melakukan renegosiasi kontrak dengan mengajukan opsi-opsi yang menguntungkan Indonesia. Sebaliknya, pemerintah harus tegas menolak klausul-klausul kontrak yang justru merugikan. Salah satu klausul dalam kontrak tangguh yang harus dinegosiasi kembali adalah formulasi penentuan harga gas tangguh yang sebelumnya dipatok secara flat pada harga US$ 3,38 per mmbtu. Pemerintah harus mengajukan formula baru penjualan gas tangguh yang disesuaikan dengan fluktuasi harga minyak dunia.

Sebagai negara bermartabat tentunya Indonesia sangat menghargai asas pada pacta sunt servanda yang menegaskan kewajiban para pihak untuk menghormati dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakati. Namun sebagai negara yang berdaulat, tentunya kita juga harus mengedepankan kepentingan nasional dan memegang azas keadilan. Jangan sampai sebuah kontrak yang telah disepakati keberadaannya justru menganggu ketertiban umum salah satu negara.

Bangsa kita seharusnya dapat menentukan nasibnya sendiri dan memiliki kebebasan untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber daya alamnya. Oleh karena itu, jika dalam pengelolaan sumber daya kita mengundang negara lain atau pun korporasi asing, maka kerjasama yang dikembangkan haruslah kerjasama yang saling menguntungkan.

Jadi, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan seharusnya membawa keuntungan bagi bangsa ini selaku pemilik sumber daya alam. Demikian juga halnya dengan kebijakan DMO pada eksplotasi migas Blok Cepu. Pemerintah perlu meninjau ulang pemberian izin penangguhan pelaksanaan DMO holiday pada saat puncak produksi kepada operator Blok Cepu ; Exxon Mobil. Jangan sampai akibat adanya tekanan dari kontraktor asing, negara dan rakyat menderita kerugian besar seperti dalam kasus tersebut.

Beberapa kasus pertambangan umum lainnya yaitu kasus Inco dan Freeport yang telah banyak menciderai hak asasi manusia, menambah angka kemiskinan, dan serta memperuncing kesenjangan sosial. Dalam kasus Freeport di Papua, hal ini juga mengarah pada disintegrasi bangsa. Suku-suku anak dalam pun terusik eksistensinya dengan kehadiran korporasi asing yang menjarah tempat tinggal mereka. Hutan lindung dan lingkungan juga menjadi wadah limbah pertambangan. Kasus pertambangan umum seperti Inco dan Freeport telah memunculkan bahaya sosial yang laten dan mendasar.

Pada dasarnya, Indonesia kita sangat dirugikan oleh kontrak karya yang dibuat bersama korporasi asing. Oleh karena itu dalam kasus Freeport dan Inco, kita merekomendasikan agar Indonesia kita mengupayakan renegosiasi kontrak karya. Hal ini merupakan salah satu jalan untuk mencapai perbaikan nasib bangsa kita. Bangsa kita berpeluang memperoleh penghasilan lebih besar dari sumber daya pertambangan yang dimilikinya. Itu sangat pasti.

Saat ini telah banyak kontrak pertambangan di tanah air yang keberadaannya sudah tidak sesuai dengan dinamika politik dan iklim investasi. Akibatnya, keberadaaan kontrak-kontrak tersebut justru merugikan kepentingan nasional. Sayangnya, pemerintah justru seringkali tampak ragu untuk merenegosiasi kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan tersebut.

Pemerintah sering beralasan bahwa kita harus menghormati azas pacta sun servanda yang menegaskan dan mematuhi sebuah perjanjian yang telah disepakati. Namun di sisi lain, pemerintah sering kali lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa sebuah perjanjian tidak boleh mengganggu kepentingan nasional dan ketertiban umum suatu negara. Kadang-kadang sejumlah pejabat negara berperilaku seperti orang yang kalah sebelum bertanding atau bersikap malas untuk berjuang secara optimal untuk renegosiasi kontrak.

Kita Bukan Bangsa Pelayan

Kedaulatan ekonomi, politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, serta pendidikan harus sepenuhnya berada di tangan bangsa kita sendiri. Sebuah bangsa memang harus membuka diri dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain, hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam pergaulan antar bangsa dan negara di era globalisasi ini. Akan tetapi, semua itu harus dilakukan dalam kesetaraan, kesederajatan, kesejajaran, dan dibangun atas dasar saling menguntungkan. Bangsa kita tidak boleh lagi sekadar menjadi bangsa pelayan yang melayani kepentigan-kepentingan korporasi-korporasi besar yang bertindak sebagai majikan.

Beberapa proses divestasi perusahaan tambang asing seringkali hanya menguntungkan kelompok-kelompok usaha yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, seperti yang sedang berlangsung pada saham NNT. Dengan kekuatan lobinya, kelompok ini mudah meyakinkan dan mengajak pejabat negara, di pusat dan daerah untuk “bekerjasama” guna mencapai tujuan pribadinya. Sungguh ironis jika pemerintah masih saja mengulangi kesalahan yang terjadi dalam proses divestasi Freeport, Inco, KPC, atau Blok Cepu yang semuanya telah menguntungkan A Latif, Bakrie atau Bob Hasan. Pemerintah harus mengakhiri perilaku KKN ini.

Renegosiasi Kontrak : Harga Mati

Kita tentu berharap pemerintah dapat segera bertindak dalam mengatasi permasalahan pengelolaan pertambangan yang mendesak ini. Pemerintah harus segera kembali mempelajari dan menelaah seluruh kontrak kerja sama (KKS) atau pun kontrak production sharing (KPS) di bidang migas, serta kontrak karya (KK) di bidang non migas secara jujur dan rasional serta bemartabat. Renegosiasi terhadap semua KKS/KPS dan KK yang jelas-jelas merugikan kepentingan bangsa kita serta mengancam keberlanjutan sumber daya alam kita harus segera dilakukan.

Konsep pembangunan berkelanjutan pun harus dikedepankan dengan memelihara kelestarian lingkungan kita. Maka pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan-kegiatan korporasi asing yang terlihat nyata merusak lingkungan selama menambang sumber daya alam kita. Perusakan lingkungan yang dilakukan korporasi asing merupakan utang lingkungan. Seluruh pajak, royalti, dan pembagian keuntungan yang diperoleh Indonesia kita melalui korporasi asing niscaya tidak akan cukup untuk membangun kembali lingkungan yang telah rusak total. Maka penanganan kasus ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan pemerintah.

Dengan demikian, kepemimpinan baru diharapkan dapat segera mengkampanyekan pentingnya menancapkan kembali tekad kemandirian nasional. Seluruh elemen bangsa kita harus disadarkan bahwa bangsa Indonesia kita adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Setelah merdeka lebih dari enam dasawarsa, bangsa kita harus mampu mandiri mengurus diri sendiri dan sumber daya alam yang dimiliki secara holistik dan bermartabat. Tulisan ini diharapkan dapat berfungsi untuk memulai dengan langkah pertama guna mewujudkan tekad kemandirian bangsa di bidang pengelolaan sumber daya alam.

Mahasiswa, sebagai insan berpendidikan yang selama ini seharusnya peduli terhadap hal ini harus mampu menentukan sikap detik ini usai mengetahui fakta ini. Apapun disiplin ilmunya hal ini tetap merupakan suatu yang vital dalam mewujudkan kemandirian bangsa. Segeralah selesaikan studi anda, bekali diri secara optimal, dan segera masuk ke dalam sistem tersebut untuk dapat merubahnya secara maksimal.

Fakta hari ini adalah dobrakan sistem dari luar berupa aksi propaganda media massa dan turun jalan maupun bentukan dobrakan dari luar lainnya telah terbukti tidak mampu berbuat banyak untuk dapat menyelesaikan masalah ini. Maka dari itu mendobrak sistem dari dalam, mengubah kebijakan, dan menjaga konsistensi anti kapitalis adalah solusi yang paling ideal untuk saat ini untuk mewujudkan kemandirian bangsa kita dalam pengelolaan sumber daya alam kita.

“Saintis (ilmuwan) Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini. Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara.” (Tan Malaka)

Sumber Referensi
Batubara, Marwan. 2009. Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menuju Negara Berdaulat. Jakarta: KPK-N.
Chord d'Masiv Sudahi Perih Ini, Author : ChordFrenzy.com

Tulisan ini diikutsertakan dalam Olimpiade Ilmiah Mahasiswa UI 2011

No comments:

Post a Comment