Rabu, 30 September 2009. Hari itu tidak ada pertanda aneh yang atau pun semacam isyarat asing yang menyelimutiku. Sampai akhirnya ketika magrib menjelang aku beranjak dari perpustakaan kampus kuning itu aku terhenti sejenak ketika melewati bagian registrasi. Sebuah televisi tua yang bertengger di atas sebuah lemari menyiarkan liputan berita tentang kepanikan yang terjadi di Kota Padang Sumatera Barat. Ya beberapa jam yang lalu sekitar pukul empat sore telah terjadi gempa bumi berskala 7,9 skala richter yang mengguncang Kota Padang dan Pariaman di Sumatera Barat.
Hanya baru itu sepenggal berita yang kudapatkan dari liputan berita di televisi tadi. Dadaku pun bergemuruh, segudang kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti pikiranku saat itu. Tiga hari yang lalu aku baru saja meninggalkan kota itu melanjutkan mimpi-mimpi perubahanku. Namun hari ini aku mendengar berita kehancuran kota kelahiranku itu. Orang-orang tercinta yang kumiliki menetap di kota itu. Kedua orang tuaku, adik kandungku, sahabat-sahabat terbaikku, dan sejuta kenanganku telah larut bersama kota itu.
Aku pun melanjutkan perjalanan dari perpustakaan itu menuju halte bus kampus untuk segera pulang ke asrama tempatku menetap. Sepanjang perjalanan pikiranku pun diselimuti berbagai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada mereka : orang-orang tercintaku. Aku pun mencoba menghubungi mereka melalui handphone, namun ternyata gempa bumi tersebut telah merusak koneksi operator banyak provider sehingga aku pun belum dapat menghubungi mereka.
Aku tidak menyerah, aku mencoba menghubungi kakakku yang berada di Batam. Ternyata ia telah berhasil menghubungi orang tuaku melalui salah satu provider handphone yang koneksinya masih baik. Alhamdulillah ternyata mereka semua dalam keadaan selamat, hanya saja kondisi rumahku dihiasi berbagai retakan cukup parah di berbagai sisi. Pikiranku pun sedikit mulai tenang sambil terus berharap dampak dari bencana yang terjadi tidak terlalu parah.
Di atas bus kampus yang aku naiki beberapa orang mulai terdengar membicarakan gempa bumi yang terjadi. Berbagai berita simpang siur terus menyebar di bus itu. Aku masih tetap diam mencoba mengumpulkan informasi dari mereka. Sesampai di asrama aku pun langsung menghampiri kamar teman-temanku yang berasal dari satu daerah. Ternyata mereka telah berkumpul di salah satu kamar dan sedang sibuk mencoba menghubungi keluarga masing-masing. Suasana kamar itu diliputi kecemasan dan ketakutan, ini tergambar dari raut wajah mereka yang biasanya riang dan ceria kali ini sangat bertolak belakang.
Kami pun memulai perbincangan dengan bertukar informasi tentang kondisi terakhir yang diketahui tentang kota kelahiran kami itu. Usai itu aku bertolak ke kamarku dan mengukir perasaanku dalam tulisan.
Peradaban yang menawan..
Kehidupan yang mapan..
Nyawa-nyawa yang merasa aman..
Jiwa-jiwa yang terkubur oleh kesombongan..
Raga-raga yang tersesat dalam khayalan..
Tersentak
Terhenyak..
Oleh tarian gerak..
Hitungan detik yang berdetak..
Peradaban luluh lantak..
Kehidupan terkoyak..
Nyawa-nyawa terserak..
Raga-raga bersorak..
Teriakan ketakutan..
Suara kecemasan..
Jeritan..tangisan..
Terakumulasi sejalan dengan..
Konstruksi yang takluk..
Fondasi yang ambruk..
Arsitektur yang terpuruk..
Serta..puing yang remuk..
Menuai fakta terburuk..
Jasad terbentang tersurat..
Nafas lenyap tersirat..
Darah merambat..
Perlahan bereaksi..menjadi..mayat..
Nurani tersayat..
Semua seakan tidak berharga..
Ratusan..bahkan ribuan..melayang percuma..
Jutaan..bahkan miliaran..rupiah sirna..
Tiada lagi yang menawan..
Habis sudah kemapanan..
Terkikis rasa aman..
Tamatlah kesombongan..
Berakhir juga khayalan..
Hanya dalam sesaat masa..sekejap mata..
Azab atau peringatan…
Mari kita renungkan…
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI)
No comments:
Post a Comment