Wednesday, February 6, 2013

1st Inter-Civilization Dialogue on Youth Volunteerism






1st Inter-Civilization Dialogue on Youth Volunteerism merupakan sebuah konferensi aktifis pemuda dunia yang bergerak di bidang sosial. Tahun 2012 adalah tahun kedua penyelenggaraan kegiatan ini yang melibatkan berbagai negara di dunia seperti Thailand, Nepal, India, Australia, Vietnam, Fhilipina, Brunei, Jepang, Indonesia, dll. Terdapat lebih dari 200 orang pendaftar dan saya termasuk satu dari 40 orang yang aktifis pemuda yang akhirnya lolos sebagai peserta. Saya ditemani oleh beberapa orang teman Indonesia lainnya dari UGM, UNIBRAW, UIN, dan AKAMIGAS.
Tema tahun ini adalah How Youth can be a catalyst of change in the promotion of peace and in the attainment of 8 United Nations Millennium Development Goals (MDG’s)”. Saya sendiri memilih poin MDG’s yang “Achieve Universal Primary Education” sebagai fokus diskusi dan pemaparan ide.
Konferensi ini terselenggara atas kerjasama berbagai lembaga, diantaranya adalah United Nations Alliance for Peace Volunteerism(UNAPVO) sebagai partner utama, Asosiasi Volunteer Philippines sebagai panitia teknis, dan UNESCO Young Professionals Club Philippines sebagai pendukung kegiatan.
Konferensi ini bertujuan untuk mengidentifkasi dan mengumpulkan berbagai gagasan yang dimiliki oleh aktifis pemuda dari berbagai organisasi di dunia untuk terlibat dalam penyelesaian permasalahan global yang hingga kini masih dialami oleh jutaan orang di dunia yang pada kegiatan tahun ini difokuskan pada isu MDG’s. Konferensi ini diadakan selama tiga hari di Great Eastern Hotel Makati City, Manila Philippines (25-27 Mei 2012).
Dompet Dhuafa sebagai sebuah lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat telah memberikan bantuan pembiayaan bagi saya dalam 1st Inter-Civilization Dialogue on Youth Volunteerism dalam rangka memberikan dukungan terhadap pengembangan diri saya sebagai penerima manfaat di Beasiswa Aktivis Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa. Bantuan ini juga kembali menguatkan kontribusi Dompet Dhuafa tehadap usaha pengentasan kemiskinan. Berikut adalah laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh saya sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada pemberi bantuan.

Konten Kegiatan
Saya berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 25 Mei 2012 pukul 00.55 WIB menggunakan maskapai penerbangan Philippines Airlines. Selama sekitar 4 jam saya menghabiskan waktu di perjalanan. Saya tiba di Manila pada sekitar pukul 4.45 waktu setempat. Dari Ninoy Aquino International Airport, saya gagal menemui panitia penjemput karena ada sedikit kesulitan teknis komunikasi. Akhirnya saya langsung menuju hotel tempat konferensi menggunakan taksi bandara. Pembukaan kegiatan dimulai pada hari tersebut pada pukul 13.00. Saya berhasil sampai di sana satu jam sebelum acara dimulai.
Acara pertama di pembukaan dimulai dengan Cultural Performance   dan Roll Call of Participants. Dalam kesempatan tersebut saya mewakili delegasi Indonesia untuk memberikan sambutan singkat. Selanjutnya dilanjutkan dengan Welcome Address dari Josephine Barbi M. Balilia (President UNAPVO).
Setelah pembukaan kegiatan , dilanjutkan dengan Lecture dari UNESCO Young Professionals dengan judul "Peace with Volunteerism Activity" dari Atty. Pearl Fatima Evardone,(Adviser). Kemudian setelah itu, disambung oleh Lecture on UN MDG Goal 8 dari Ms. Rachel  Giacchero (Ethiopia,  World Peace Initiative Foundation on the Peace Revolution project in Pathum Thani, Thailand).
Presentasi terakhir pada hari itu adalah tentang “Peace with Kids” dari Ms. Rosan Aliya Agbon, (Kids for Peace Foundation, Inc). Usai presentasi tersebut kegiatan dilanjutkan dengan ”Peace Cafe” dimana disana antar peserta diberikan kesempatan untuk lebih saling mengenal satu sama lain.
Keesokan harinya acara berlanjut masih di tempat yang sama, Great Eastern Hotel. Dimulai sejak pukul 8 pagi dengan Lecture on UN MDG Goal 7 yaitu Ensure Environmental Sustainability dari Ms. Noemi M. Pamintuan-Jara, Co-founder,  Kolisko Waldorf School. Waldorf School merupakan sebuah gerakan sekolah cinta lingkungan yang sudah tersebar di beberapa negara di dunia, salah satunya yaitu di Philippines. Setelah itu, dilanjutkan dengan Lecture on Peace Enhancement Project dari Ms. Franceline Jimenez, UNESCO Youth Peace Ambassador.
Usai presentasi, kegiatan dilanjutkan dengan Focus Grup Discussion yang membahas isu per poin MDG’s. Saya bergabung dengan kelompok sesuai dengan poin MDG’s yang saya pilih sebelumnya yaitu “Achieve Universal Primary Education”. Disana kita berdiskusi tentang kondisi kekinian yang terjadi di negara masing-masing seputar poin isu tersebut. Dalam kelompok saya ketika itu terdapat delegasi yang berasal dari Philippines, India, Australia, dan Vietnam. Dari hasil diskusi tersebut kita merumuskan apa saja permasalahan yang ada dan bagaimana solusi terhadap permasalahan tersebut.
            Diskusi berlangsung hingga waktu makan siang. Usai makan siang kegiatan dilanjutkan dengan Lecture on UN MDG 1 and 2: Eradicate Poverty and Hunger and Achieve Primary Education, "Peace with Education and Poverty Alleviation": dari Ms. Leica Burley, Head of Year 10, dari Australia. Delegasi ini telah 22 tahun menjadi guru di Australia dan ia bercerita tentang bagaimana menjadi guru yang menginspirasi.
            Kemudian, selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan presentasi dari tiap-tiap kelompok per pon MDG’s untuk memaparkan hasil diskusi kelompoknya. Saya bersama kelompok saya merumuskan beberapa permasalahan pendidikan terkait isu MDG’s yang kita bahas. Untuk Indonesia, disana saya memaparkan bagaimana permasalahan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang belum mampu terealiasi dengan tepat sasaran.
            Solusi yang saya tawarkan ketika itu yang pertama adalah advokasi pemberantasan korupsi di bidang pendidikan. Kemudian langkah kedua yaitu melalui pergerakan sosial. Disana saya memperkenalkan konsep zakat yang diterapkan Dompet Dhuafa sebagai langkah fundraising yang efektif. Potensi zakat yang besar berpeluang menjawab kebutuhan pendidikan dasar di Indonesia.
            Setiap kelompok per poin MDG’s memaparkan tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait masing-masing isu di negara tiap delegasi dan mereka juga merekomondasikan berbagai solusi terkait permasalahan tersebut. Banyak ide-ide menarik muncul dari mereka dan dapat menjadi saran yang bisa diadopsi untuk menjawab permasalahan di tanah air.
            Selanjutnya, setelah semua kelompok presentasi, kegiatan dilanjutkan dengan Lecture on Peace with Health: United Nations Millennium Development Goal , Goal 6: Combat HIV/AIDS,malaria, and other diseases: oleh Ms. Dina Kusumaningsih dari Indonesia. Ia adalah mahasiswa Sosiologi UI yang aktif melakukan penelitian terkait isu ini. ia menjelaskan disana tentang salah satu penelitiannya yang membandingkan perbedaan sikap orang miskin dan orang kaya terhadap kesehatan.
            Malam harinya, kegiatannya adalah Cultural Night dimana tiap negara menampilkan pertunjukan kebudayaannya. Sebelumnya diberikan waktu untuk persiapan. Beberapa delegasi dari Indonesia telah menyiapkan pertunjukkan ini dengan membawa pakaian-pakaian daerah dari daerah mereka masing-masing. Ada yang dari Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Sumatera Selatan. Lalu ada juga yang membawa perlengkapan bela diri tionghoa. Kemudian yang wanita menyiapkan tarian tradisional dari Sumatera Barat.
            Sementara saya sendiri hanya membawa sebuah baju batik dan kumpulan audio visual digital seputar Indonesia serta ide-ide kreatif memadu pagelaran seni. Saya pun mencoba mengkombinasikan kepingan-kepingan kebudayaan Indonesia yang telah dibawa oleh para delegasi Indonesia tersebut. Dengan menganalisa potensi-potensi yang mereka punya saya berhasil meramu sebuah alur yang brilian.
            Dimulai dengan iringan musik instrumental kecak Bali yang menampilkan seni bela diri tionghoa oleh mahasiswa HI UGM yang sekaligus menjadi narrator dalam pertunjukan tersebut. Usai penampilan solonya, dilanjutkan dengan pemutaran video pariwisata Indonesia dalam tajuk Ultimate in Diversity. Video ini memukau perhatian para delegasi dengan berjuta kekayaan budaya dan alam yang dimiliki Indonesia. Setelah video, bersama iringan musik Elfa Singer ditampilkan baju-baju daerah di Indonesia.
            Belum berhenti mengagumi kekayaan-kekayaan Indonesia sebelumnya, para penonton dibuat terkagum kembali dengan penampilan berikutnya dari Tari Pasambahan asal Sumatera Barat yang dibawakan oleh delegasi Indonesia yang wanita. Usai tari ini, kemudian semua delegasi Indonesia bergabung menggetarkan panggung acara malam itu bersama Lagu Gebyar-Gebyar ciptaan Gombloh yang menebar semangat nasionalisme yang tinggi kala itu.
            Penampilan pertama di malam Cultural Night itu berhasil menyihir para penonton dan membuat para penampil-penampil berikutnya berada di bawah tekanan karena harus dibandingkan dengan penampilan pertama Indonesia yang wonderful. Penampilan-penampilan selanjutnya pun berlalu dengan warna-warna masing-masing. Pada akhir acara semua penampil pun tampil bersama menyatu dalam ikatan perdamaian global. Malam itu berakhir dengan indah, dimana perdamaian dunia terasa begitu harmonis.
             Hari berikutnya adalah hari terakhir. Kegiatannya adalah Community Immersion. Kegiatan tersebut bekerja sama dengan NGO ANCOP, sebuah NGO yang membantu para penduduk miskin dalam bentuk pemberian rumah dan sekolah bagi para anak-anak miskin. Pagi itu usai mendapat penjelasan singkat tentang profil ANCOP, kita memulai perjalanan menuju sebuah kawasan binaan ANCOP di Las Pinas, satu jam dari Makati City.
            Di Las Pinas, kita menemui sebuah rumah susun hasil buatan ANCOP. Dahulunya warga disana hidup di pemukiman kumuh dan rusak, lalu ANCOP pun mengubahnya menjadi seperti rumah susun. Usai dari sana, kita melanjutkan ke daerah lain yang tidak jauh dari sana dimana sedang berlangsung proses pembangunan rumah susun ANCOP. Disana kita turut serta membantu proses teknis pembangunan seperti penggalian lobang fondasi bangunan, mengangkat pasir, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk lebih dekat dengan warga miskin disana.
            Selanjutnya, kami pun kembali ke hotel dan menjalani kegiatan penutupan. Maka berakhirlah semua rangkaian kegiatan tersebut. Banyak inspirasi yang saya temui disana, bagaimana setiap aktifis memiliki kreatifitasnya masing-masing dalam membuat gerakan perubahan sosial di negaranya masing-masing, dan mereka juga tidak hanya memikirkan perdamaian di negaranya saja, namun juga untuk perdamaian dunia.

Geografi UI Go International!


                Menghadapi era globalisasi yang penuh akselerasi Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI) sebagai salah satu pusat studi Geografi terbaik di Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas keilmuannya. Berbagai langkah pun ditempuh oleh Geografi UI, beberapa diantaranya yaitu menjalin kerjasama dengan berbagai universitas di luar negeri dan aktif mengikuti berbagai kegiatan internasional. Universiti Malaya (UM) dan Sydney University merupakan dua universitas yang baru saja mengadakan kegiatan bersama Geografi UI.

Student Exchange  bersama Universiti Malaya

                Berawal dari kerjasama yang diadakan setahun yang lalu tepatnya yaitu pada bulan Juli 2010 dimana sekelompok mahasiswa dari Jabatan Geografi Universiti Malaya menjalani Program Student Exchange  di UI. Sehingganya pada tahun ini pada bulan Juni-Juli lalu juga diadakan Program Student Exchange balasan, dimana enam belas orang mahasiswa Geografi UI berada di Universiti Malaya. Program yang merupakan rintisan untuk menjadi sebuah model student exchange yang ideal ini diikuti oleh mahasiswa Geografi UI angkatan 2008 dan 2009 yang lulus seleksi dari Departemen.

                Selama sekitar sebulan disana program yang dijalani oleh para mahasiswa yaitu berupa kuliah rutin, kuliah umum, kuliah lapang, pengenalan kampus, kota, negara, dan sistem budaya disana. Dalam kuliah rutin dan kuliah lapang disana materi yang diberikan adalah seputar Climate Change and Society Urban Tourism, Banjir, Geografi Pertanian, dan Pengantar Geografi. Sedangkan dalam pengenalan kampus, kota, dan negara secara umum para mahasiswa diperkenalkan dengan berbagai objek dan sistem yang ada di kampus UM, Negeri Kuala Lumpur, Selangor, dan pusat pemerintahan Malaysia yakni Kota Putra Jaya.

                Selain program-program di atas para mahasiswa ini juga mendapat kesempatan berinteraksi secara langsung dengan berbagai mahasiswa dari sejumlah belahan dunia yaitu ; Cina, Taiwan, Korea, Iran, Amerika Tengah, Chad, Somalia, dan lain lain. Hal ini diakibatkan karena para mahasiswa ini menetap di Kolej (asrama) ke sepuluh yang memang diperuntukkan bagi para mahasiswa internasional dan ketika itu di masa liburan semester genap di UM memang digencarkan berbagai program student exchange dengan banyak kampus di dunia.

International Conference on Population Dynamism : Issues and Challenges Ahead.

                International Conference on Population Dynamism : Issues and Challenges Ahead merupakan sebuah konferensi internasional yang diadakan oleh Jabatan Geografi UM. Konferensi tersebut berlangsung dari hari Senin (11/07) sampai hari Rabu (13/07). Acara ini digelar di Dataran Siswa Fakulti Sastera dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Konferensi ini mengundang sejumlah delegasi dari berbagai belahan dunia dan salah satunya tentu dari Geografi UI.

                Adalah Ibu Dra. Widyawati MSP yang akrab disapa Bu Wid sebagai ketua rombongan tim delegasi dari UI dalam konferensi tersebut. Bu Wid datang bersama dua orang mahasiswa program magister Geografi UI. Dalam konferensi tersebut delegasi UI mempresentasikan seputar dinamika populasi di Indonesia. Kemudian Bu Wid juga tampil sebagai moderator tamu dalam konferensi tersebut. Para mahasiswa Geografi UI yang masih berada di UM ketika itu pun juga berkesempatan mengikuti sebagian rangkaian acara konferensi.

                Satu hal yang tak kalah hebohnya ketika mereka mengikuti konferensi tersebut adalah ketika bagian opening reception yang juga sekaligus bersama closing ceremony mereka yang akan kembali ke Indonesia pada Selasa (12/07). Ketika itu mereka diminta untuk menampilkan sebuah pertunjukan seni sebagai gala perpisahan. Dengan persiapan yang minim dan penuh tantangan akhirnya para mahasiswa ini sukses mempersiapkan sebuah pertunjukkan yang mengagumkan. Hal ini dibuktikan dengan tepuk tangan dan pujian dari banyak hadirin yang menonton pertunjukkan mereka yang betajuk “wonderful Indonesia ; sebuah pertunjukan seni kolaborasi kontemporer”.

                Pertunjukkan tersebut menghadirkan sebuah konsep perjalanan budaya dari barat hingga timur Indonesia. Diawali dengan penampilan tari kontemporer Sumatera Barat yang diberi nama Tari Tak Tong Tong yang merefleksikan karakter wanita Minangkabau yang lembut, tegar, dan elegan. Usai itu dilanjutkan dengan sihir Tari Gambyong yang membawa para penonton ke dalam suasana keraton yang damai dan tentram. Kemudian setelah itu para penonton dibawa ke timur Indonesia untuk menikmati eksotisme Tarian Sadjojo. Penampilan itu ditutup dengan lagu “Berkibarlah Bendera Negeriku” bersama kibaran merah putih yang mempesona para penonton.

Return Field School 2011, University of Sydney, Australia

                Pada bulan Agustus 2011 sejumlah mahasiswa University of Sydney mengundang mahasiswa Geografi UI untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan Return Field School. Adapun peserta yang dapat mengikuti kegiatan Return Field School sebanyak tujuh orang mahasiswa geografi angkatan 2008 yakni Nadya, Emir, Vasanthi, Adityo, Salira, dan Riangga. Kegiatan Return Field School merupakan tindak lanjut setelah program Field School di Ciwidey, Bandung pada bulan Januari 2011 lalu. Kegiatan Field School melibatkan sejumlah mahasiswa dan dosen dari Department of Geoscience, University of  Sydney dan Departemen Geografi Universitas Indonesia.

                Kegiatan Return Field School dilakukan untuk dapat memberitahukan informasi dan pandangan mengenai budaya dan kehidupan di Sydney, Australia. Selama disana mahasiswa peserta kegiatan tinggal bersama keluarga mahasiswa di Sydney. Ada berbagai kegiatan yang terdapat dalam program ini, diantaranya adalah ikut berpartisipasi dalam beberapa kegiatan pembelajaran mahasiswa geoscinece di University of Sydney, termasuk kegiatan perkuliahan dan kelompok diskusi. Selain itu juga terdapat berbagai kegiatan kebudayaan yang bertujuan untuk mengetahui kebudayaan masyarakat di Sydney. Kegiatan itu antara lain adalah kunjungan di sekitar Sydney ; berkunjung ke wilayah perbelanjaan, Paddys Market, Sydney Observatory, Botanical Garden, Darling Harbour, Auburn, Northbridge, La paraose, Ashfield, dan lokasi-lokasi lainnya.

                Selain di Sydney, para peserta juga berkunjung ke ibukota negara Australia, yakni Canberra. Sebagai sebuah kota, Canberra adalah memang sebuah kota yang direncanakan sebagai pusat pemerintahan Australia. Tujuan utama ke Canberra adalah untuk dapat berkunjung ke Parliament House dimana di lokasi tersebut kami sempat mengadakan diskusi dengan salah seorang senator dengan topic mengenai AusAID.

Geografi UI Menghadiri Konferensi di Denver, Colorado, USA

                Kompetisi OpenStreetMap (OSM) telah berakhir! Nama-nama pemenang pun telah diumumkan. Selamat untuk Dimas Raharjo (Universitas Indonesia), Irwan Abdul Rohman (Institut Teknologi Bandung), Irwan Maryon (Universitas Andalas), Andriya Gunartono (Universitas Gunadarma), dan Bakhtiar Arif Mujianto (Universitas Gunadarma), kelima pemenang ini berkesempatan untuk berkunjung ke Denver, Colorado, USA dalam rangka menghadiri konferensi tahunan OpenStreetMap State of the Map (SotM) dan juga Free Open Source Software for Geospatial (FOSS4G) yang diselenggarakan oleh OSGeo .

                SotM berlangsung di Kampus Auraria, Universitas Colorado, Denver pada 9-11 September 2011. Dari 7 mahasiswa yang berkesempatan datang ke conference ini, 4 diantaranya tidak dapat hadir pada State of the Map karena masalah visa. Namun 4 mahasiswa tersebut akhirnya dapat menghadiri konferensi FOOS4G.

                Konferensi State of the Map dibuka oleh perwakilan dari Universitas Colorado kemudian keynote oleh Richard Weait, Be a Mapper! (slide presentasi dapat dilihat di http://weait.com/sotm11-keynote/keynote-sotm2011.html). Setelah itu sesi umum yang berlangsung hingga coffee break menampilkan beberapa speaker yang pada umumnya menjelaskan tips dan trik bagaimana membuat sebuah produk software yang menggunakan data dari OpenStreetMap. Mulai dari menambahkan nilai produk oleh Coleman McCormick (presentasi dapat dilihat di http://www.ustream.tv/recorded/17163302), penjelasan konsep landmark oleh Stephen Winter, dan juga OpenStreetMap untuk entrepreneur oleh William A. Rutledge (presentasi dapat dilihat di http://www.ustream.tv/recorded/17164297). Setelah sesi umum, kemudian konferensi berlangsung di dua tempat sesuai dengan topik dan tema yang berbeda-beda. Setelah acara konferensi selesai, peserta diajak untuk menyaksikan pertandingan baseball antara tim tuan rumah Rockies melawan Cincinnati di stadion Coors Field.

Tulisan ini diterbitkan di Magma, Media Resmi Himpunan Mahasiswa Geografi UI 2011

Monday, February 4, 2013

Saatnya Bicara Solusi!


sumber : http://iqramahbaraputra.files.wordpress.com/2011/11/solusi2.jpg

“Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”

Begitulah sayup-sayup suara dalam sebuah diskusi antar mahasiswa di salah satu kampus perguruan tinggi terbaik di negeri ini. Kemudian tidak jauh dari lokasi tersebut, di ruang-ruang kuliah, nada yang sama juga menggebu-gebu disuarakan oleh para dosen berusia setengah baya yang tidak mau dibantah. Lalu bergeser cukup jauh dari kampus tersebut, di sebuah sekolah elit yang juga konon terbaik, sejumlah siswa dan guru juga terjebak dalam irama diskusi yang sejenis.

Itulah potret suasana pembelajaran yang terjadi di ibukota, pusat segala pusat peradaban negeri ini, tak terkecuali pendidikan. Bagaimana dengan potret di daerah ?. Ketika tokoh-tokoh ibukota di atas berkunjung ke daerah dan ia bercerita dengan metode diskusi atau belajar yang ia lakukan di ibukota, sontak kepolosan dan keluguan anak-anak daerah itu pun terkagum-kagum mendengarkan penjelasannya. Jadilah metode diskusi atau belajar dengan cara tersebut menjadi tersohor dimana-mana tempat di negeri ini. Lebih lanjut, dalam perkembangannya kemudian orang-orang mampu berbicara “Menurut ahli A, B, C, dan bla bla..”, lalu dianggap keren dan pinter.

Sementara hampir semua orang setuju dengan definisi pinter dan keren di atas, di setiap jengkal vertikal maupun horizontal ruang negeri ini tersumpal jutaan masalah yang nyaris diterima dengan pasrah oleh manusia-manusianya. Seminar-seminar, forum-forum diskusi dengan tumpukan kertas-kertas makalah menggudang di institusi-institusi pendidikan di negeri ini. Ada yang bilang bahkan Indonesia adalah negara dengan jumlah seminar terbanyak di dunia. Sementara itu, jutaan masalah tadi masih menggenang di permukaan, dan bahkan sebagian tenggelam melekat di dasar keputus-asaan.

Apa yang salah dengan semua ini ?. Semakin banyak orang belajar, semakin banyak masalah yang muncul dan tak tertuntaskan. Kenapa kedua hal yang seharusnya berkorelasi positif ini, justru malah memunculkan dampak sebaliknya ?.

Kiblat Sains Kita (?)

Sebagian besar paradigma yang berkembang di Indonesia saat ini adalah menganggap bahwa seseorang dengan kemampuan retorika bagus dan dapat menjelaskan berbagai teori, adalah orang hebat. Padahal jika kita melihat ke peradaban yang lebih maju di sejumlah negara maju, orang dengan tipikal seperti di atas jika hanya sampai pada tahap itu, belumlah hebat.

Di Indonesia, orang-orang yang mengaku hebat dengan berbagai teori yang dihafalnya sesungguhnya agak konyol. Mengingat bahwa sebagian besar teori-teori ilmu pengetahuan yang berkembang di Indonesia adalah diserap dari negara-negara barat. Teori-teori tersebut tentu dibuat berdasarkan riset-riset yang dilakukan di sana menggunakan studi kasus yang terjadi di sana. Perbedaan karakteristik fisik maupun sosial di setiap-setiap wilayah tentu berpengaruh terhadap hasil riset yang dilakukan. Apalagi tingkat perbedaan karakteristik di negara-negara barat dengan timur cukup signifikan. Singkatnya, teori yang dihasilkan dari ilmuwan-ilmuwan di negara barat tidak semuanya relevan diterapkan di negara-negara timur, termasuk Indonesia.

Apa yang sedang terjadi di Indonesia dan banyak negara timur lainnya saat ini sesungguhnya adalah sesuatu yang ambigu. Di satu sisi para ilmuwan timur, tengah bergiat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang mau tidak mau harus bersumber dari referensi barat, dikarenakan ilmu pengetahuan diklaim berkembang lebih dahulu di negara-negara barat. Sehingganya referensi terbanyak pun datang dari negara-negara barat.

Di lain sisi, ketika mempelajari tentu para ilmuwan timur ini dipengaruhi oleh apa yang ia baca. Dikarenakan tidak banyak bahan pembanding dan juga tersugesti oleh kemajuan peradaban barat, sehingganya gelar kebenaran pun jatuh pada referensi barat yang ia pelajari tersebut. Padahal terkadang ada beberapa studi kasus khusus di negaranya yang sebenarnya tidak bisa dipahami dengan teori barat yang ia pahami tersebut. Alhasil jadinya, ia malah memaksakan studi kasus di negaranya tersebut mengikut dengan teori barat yang ia yakini.

Seharusnya, yang dilakukan oleh ilmuwan timur tersebut adalah menguji teori tersebut dengan studi kasus di negaranya dengan daya analisis netral objektif. Sehingganya jika teori tersebut tidak relevan, ia mampu mencipta teori baru yang relevan dengan studi kasus di negaranya. Hal inilah yang bisa menjadi titik tolak kemajuan ilmu pengetahuan di negara-negara timur.

Memang ilmu pengetahuan lebih berkembang di barat terlebih dahulu, namun bukan berarti para ilmuwan timur turut mengikuti atau terhanyut dalam arus tersebut. Sangat sering para ilmuwan timur mengalami kesalahan dalam melakukan penyesuaian teori. Seperti contoh di atas, sering kali yang dipaksa menyesuaikan adalah kondisi di negaranya sehingga harus mengikut teori tersebut. Padahal yang harusnya disesuaikan adalah teori tersebut yang harus mengikut kondisi di negaranya.

Kondisi yang dimaksud disini tentu adalah hal yang positif yang bersifat sebagai karakter dari peradaban di negara tersebut. Salah seorang ilmuwan di Asia Timur dalam pernyataannya pernah berujar bahwa Asia sudah saatnya harus punya kiblat sains sendiri, tidak lagi berkiblat pada sains barat.

Pernyataan di atas seirama dengan seruan Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka “Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian bisa belajar dari orang barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru mereka. Jadilah murid-murid dari timur yang cerdas”.

Analisa Komparatif

Dalam dasawarsa terakhir, banyak perubahan baru, atau bahkan hal baru terkait sistem pendidikan di Indonesia, terutama pasca Reformasi. Sudah banyak terjadi perubahan kurikulum pendidikan di berbagi tingkat, baik tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

Ada kurikulum tahun 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), serta untuk metode pembelajarannya, ada SCL (Student Center Learning), dan segera katanya akan ada STARS (Student, Teacher, Aestetic, Rulers Sharing). Semua punya tujuan sama: agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari kurikulum tersebut diharapkan agar peserta ajar aktif dalam proses belajar, mencari tahu ilmu pengetahuan, dan pengajar sebagai pembimbing.

Masih jauh panggang dari api, untuk saat ini ungkapan tersebutlah yang mencerminkan kondisi harapan di atas. Sebagian besar pengajar masih mengajar dengan skema pengajar-oriented. Pengajar bicara panjang lebar, tapi peserta ajar cuma didiamkan saja, hanya disuruh mendengarkan, dan seringkali membuat  mereka mengantuk. Bahkan di perguruan tinggi terbaik di negeri ini pun, tidak sedikit dosen yang masih terjebak dalam zona nyaman metode tersebut.

Kondisi yang lebih parah adalah sebagian besar para pengajar di Indonesia melakukan discouragement, “menelan” peserta ajarnya dalam proses belajar. Studi kasus dalam sidang skripsi di perguruan tinggi, ketika seorang promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Banyak para dosen penguji yang sangat tidak manusiawi. Discoragement yang mereka lakukan membuat kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata akhirnya pun ditemukan juga menguji dengan cara menekan.

Sangat berbeda jika kita melihat ke Amerika Serikat (AS), filosofi mendidik di sana bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju, Encouragement!. Dalam ujian program doktor di AS, suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menerangkan seterang-terangnya sehingga mahasiswanya makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Para pengajar disana tidak hanya pintar secara akademis, melainkan karakternya juga sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Tidak jauh berbeda dengan di AS, sistem pengajaran di Belanda bersifat menghargai pendapat dan keyakinan individu merupakan landasan negaranya yang mampu memperkokoh akar masyarakat mereka, yang dikenal dengan keragaman dan masyarakat pluralistiknya. Ini juga merupakan landasan utama dari metode pengajaran yang diberlakukan di perguruan tinggi di Belanda.

Gaya pengajaran di Belanda sangat interaktif dan berpusat pada peserta belajar itu sendiri, memberikan perhatian dan kebebasan lebih bagi mahasiswa untuk mengembangkan pendapat dan kreativitas dalam menerapkan ilmu yang dipelajari. Interaksi di ruang kelas sangat dihargai. Mahasiswa dituntut untuk menelaah pengetahuan yang mereka terima dan mengembangkan serta mengekspresikan pendapat mereka. Mahasiswa tidak boleh pasif, namun harus terus bertanya dan berpikir kritis terhadap apa yang dikatakan pengajar atau sesama mahasiswa.

Hal yang lebih menarik lagi ditemukan di Finlandia yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia. Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Kuncinya terletak pada kualitas guru. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis.

Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Adanya terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan, dan mengakibatkan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan.

Pendidikan, Pembangunan, dan Perekonomian

Ada sebuah kesamaan karakter yang ditemukan pada gaya pendidikan di negara-negara barat. Perkembangan ilmu filsafat dan ilmu sosial yang sangat pesat membuat mereka begitu memahami filosofi pendidikan. Sehingganya dasar dari setiap sistem atau metode yang digunakan sangat berakar dari nilai-nilai universal yang konstruktif.

Lain halnya dengan dengan negara-negara di Asia Timur yang saat ini juga tengah mengalami kemajuan pesat. Jika di barat filsafat dan ilmu sosial begitu mengakar, di Jepang berfokus pembangunannya di bidang teknologi. Sehingga sistem pendidikannya pun mengikut kepada hal tersebut. Alhasil pendidikan di bidang sains terapan seperti teknologi sangat berkembang di negara ini.

Tidak mau kalah dengan Jepang sebagai negeri jirannya, Korea saat ini gencar menyebarkan korean wave-nya di berbagai penjuru dunia. Korean wave adalah sebuah image tersendiri yang dibuat oleh Korea melalui industri kreatifnya, seperti musik dan film. Berkembang pesatnya korean wave ini pun memicu pendidikan-pendidikan di bidang ini menjadi melesat menjamur.

Belajar dari sistem pendidikan di berbagai negara di belahan dunia, tampak sebuah benang merah antara pendidikan, pembangunan, dan perekonomian. Di negara-negara barat yang telah berstatus negara maju, hampir seluruh bidang ilmu berkembang dengan baik dikarenakan sistem pendidikan yang juga baik. Hal ini akhirnya berbanding lurus dengan tingkat pembangunan dan perekonomiannya. Hal yang sama pun terjadi di Jepang dan Korea yang memiliki fokus masing-masing. Pembangunan perekonomian yang terjadi berbasis kepada ilmu pengetahuan yang telah berkembang dikarenakan sistem pendidikan yang berkualitas.

Kemajuan yang dicapai oleh negara-negara di atas diraih akibat adanya kesadaran mereka akan pentingnya sumbangsih pengetahuan terhadap pembangunan perekonomian. Antara arah pembangunan, pendidikan, dan perekonomian, satu sama lainnya berkorelasi. Dimulai dengan penentuan arah pembangunan negara, kemudian diturunkan menjadi langkah-langkah mencapainya melalui bidang perekonomian, dan selanjutnya sistem pendidikan dirancang untuk melancarkan strategi mencapai arah tersebut.

Lalu selanjutnya,bagaimana kondisi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ?. Pembangunan perekonomian yang terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia masih berbasis kepada resource atau sumber daya alam dan kuantitas sumber daya manusia. Tingkat pengetahuan rata-rata yang masih rendah menyebabkan sumber daya yang ada belum mampu dikembangkan secara optimal menjadi nilai ekonomi yang maksimal.

Basis sumber daya, inilah yang harus ditransformasikan oleh negara-negara berkembang menjadi basis ilmu pengetahuan untuk dapat mendongkrak pembangunan perekonomian. Untuk dapat melakukan transformasi ini tentu adalah sebuah proses komprehensif, kuncinya ada di sistem pendidikan.

Pendidikan Karakter : Problem Based Learning

Salah satu metode belajar yang banyak dikembangkan di negara-negara maju saat ini adalah metode Problem Based Learning (PBL). Metode ini saat ini juga tengah giat dikembangkan di Indonesia. Metode ini menekankan nilai-nilai ide, kebebasan berpikir, inovasi, dan problem solving

Ada beberapa definisi dan intepretasi terhadap PBL. Duch (1995) menyatakan bahwa PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerjasama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber pembelajaran.

Menurut Nurhadi (2004: 100) “pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran”. Pengertian pembelajaran berbasis masalah adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran.

PBL pertama kali diperkenalkan oleh Faculty of Health Sciences of McMaster University di Kanada pada tahun 1966. Yang menjadi ciri khas dari pelaksanaan PBL di mcmaster adalah filosofi pendidikan yang berorientasi pada masyarakat, terfokus pada manusia, melalui pendekatan antar cabang ilmu pengetahuan dan belajar berdasar masalah.

Kemudian pada tahun 1976, Maastricht Faculty of Medicine di Belanda menyusul sebagai institusi pendidikan kedokteran kedua yang mengadopsi PBL. Kekhasan pelaksanaan PBL di Maastrich terletak pada konsep tes kemajuan (progress test) dan pengenalan keterampilan medik sejak awal dimulainya program pendidikan. Dalam perkembangannya, PBL telah diadopsi baik secara keseluruhan atau sebagian oleh banyak fakultas kedokteran di dunia.

Dalam pendidikan konvensional, mahasiswa lebih banyak menerima pengetahuan dari perkuliahan dan literatur yang diberikan oleh dosen. Mereka diharuskan mempelajari beragam cabang ilmu kedokteran dan menghapal begitu banyak informasi. Setelah lulus dan menjadi profesional, mereka dihadapkan pada banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dari pengetahuan yang mereka dapat selama kuliah. Sistem pendidikan konvensional cenderung membentuk mahasiswa sebagai pembelajar pasif. Mahasiswa tidak dibiasakan berpikir kritis dalam mengidentifikasi masalah, serta aktif dalam mencari cara penyelesainnya.

Dalam PBL, siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya.

Proses belajar PBL dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberi tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif.

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya.
Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.
Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya.
Di akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik mambangun bagi kolega.

Salah satu negara yang telah menerima pengakuan internasional untuk sistem pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah (Problem Based Learning) adalah Belanda. Negara ini melatih mahasiswa untuk menganalisa dan memecahkan permasalahan dengan menggunakan penekanan pada pembelajaran mandiri dan disiplin. Semua program pendidikan tinggi Belanda berfokus pada karya tulis, bekerja sama kelompok untuk menganalisa dan menyelesaikan permasalahan spesifik, memberikan kesempatan kerja praktek melalui kerja magang dan melakukan penelitian di laboratorium.

Pada akhirnya PBL bisa  menjadi salah satu aplikasi dari pendidikan karakter. Karakter solutif, itulah yang ditanamkan dalam PBL.

Saatnya Bicara Solusi!

Metode PBL inilah yang harus dikembangkan secara intensif dan menyeluruh di Indonesia. Kurangi kajian teoritis yang tidak pernah menggunakan studi kasus. Perhatikan relevansi teori. Mari ubah pola pikir klasik yang menganggap bahwa orang hebat adalah yang hafal dan tahu banyak teori. Orang hebat adalah orang yang mampu mentransformasikan segala ilmu atau teori yang ia punya menjadi sebuah jalan keluar atau solusi dari permasalahan kekinian.

Saat ini juga tengah gencar digalakkan pendidikan karakter di Indonesia. Namun belum ada sebuah panduan yang jelas untuk konsep ini. PBL bisa hadir sebagai jawabannya. Karakter yang harus dibangun seharusnya adalah karakter solutif. Ini sesuai dengan nilai-nilai di PBL. Indonesia telah muak dengan media-media yan setiap hari menyebarkan jutaan berita-berita masalah di negeri ini yang menumbuhkan pesimisme. Saatnya melahirkan optimisme dengan menghadirkan solusi-solusi konkrit atas berbagai permasalahan tersebut. PBL mampu mendukung proses ini.

Selanjutnya, dalam jangka panjang PBL sangat efektif dalam pengembangan keilmuan. Melalui PBL dapat diuji teori-teori lama yang terkadang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian zaman atau pun tidak relevan dengan kondisi wilayah tertentu. Sehingganya dapat dilahirkan teori-teori baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi wilayah tertentu tersebut. Ini terkait dengan kiblat sains yang diungkapkan di atas, melalui PBL kita bisa mencipta kiblat sains kita sendiri, menjadi superior, bukan terus meng-inferior.

Metode PBL ini bisa diterapkan di semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi. Untuk menerapkan hal ini tentu para generasi pengajar tua juga mesti mempelajari metode ini dan terus belajar mengikuti perkembangan ilmu pengetahuannya. Karena sering kali perubahan sistem di Indonesia terhambat gara-gara generasi tua yang masih ortodoks. Bertahan pada prinsip-prinsip lama yang mereka anut dan konservatif terhadap gagasan baru.

Jangan sampai kita harus memilih opsi ‘Potong Generasi’ untuk permasalahan ini. Marilah kepada siapapun yang peduli terhadap masa depan  negeri ini dan menginginkan perbaikan peradaban, tua muda kaya miskin, saatnya bicara solusi terhadap segala permasalahan yang ada. Jangan cuma dan terus mengeluh sehingga akhirnya pasrah terhadap keadaan. Semua punya solusi, semua punya jawaban. Melalui metode PBL, akan lahir generasi problem solver di negeri ini untuk menghentikan para problem maker.

Memang untuk solusi atas sistem pendidikan di Indonesia adalah hal yang kompleks. Karena menyangkut berbagai hal. Dibutuhkan perbaikan yang menyeluruh, mulai dari sistem yang rumit, kurikulum, tenaga pengajar, fasilitas, dan lain lain. Namun setidaknya untuk saat ini, jika PBL mampu diterapkan secara maksimal di semua institusi pendidikan, maka kita akan menyaksikan optimisme semua anak neger i ini bersorak ”saatnya bicara solusi!”.



Pustaka

Boud, D & Feletti, Grahamme I. 1997. The Challenge of Problem Based Learning (2nd Edition). London : Designs and Potents Act.

Chanlin, Lih Juan & Kung Chi Chan. 2007. Integrating Inter-Disciplinary Experts For Supporting Problem-Based Learning. London. 44(2) pg 211

Ho, Fui Fong & Hong Kwen Boo. 2007. Cooperative Learning: Exploring Its Effectiveness In The Physic Classroom. Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching. 8(2)(7) p 1

Duch, Barbara J & Grob, Susan E, & Allen, Deborah E. 2001. The Power  Of Problem based Learning. Virginia USA : Stylus Publishing.

http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd

http://forum.orisinil.com/index.php?topic=3964.0

http://inspirasibelajar.wordpress.com/2011/02/27/kurikulum-dan-metode-pembelajaran-pendidikan-di-indonesia/

http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=710&b=I&v=1&j=I&id=8

http://www.nesoindonesia.or.id/indonesian-students/informasi-dalam-bahasa/sistem-pendidikan-belanda/sistem-pengajaran-di-belanda


Esai ini meraih Juara 1 dalam Kompetisi Esai KSM EP UI 2012 dan dibukukan dalam Buku "Solusi Dunia Pendidikan Indonesia"