“Animo anak-anak SMA disini terhadap kuliah
sangat kecil. Tidak lebih dari 30% siswa SMA yang melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Bagi mereka dunia kerja jauh lebih menarik ketika selepas
tamat dari SMA. Potensi perkebunan sawit yang luas itu sangat menggoda mereka”,
begitulah curhat yang disampaikan kepada saya oleh seorang pejabat di Kantor
Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Inilah sebuah potret
kecil bagaimana pola pikir yang berkembang di sebagian siswa SMA di Indonesia
hari ini.
Tahun 2011 IPM Indonesia mengalami kenaikan
satu peringkat dari 125 menjadi 124 dari 187 negara. Meski IPM Indonesia meningkat dibanding tahun lalu, namun
Indonesia masih berada di bawah lima negara ASEAN lainnya yaitu Singapura,
Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. IPM merupakan ukuran rangkuman untuk
menilai kemajuan jangka panjang melalui tiga dimensi dasar pembangunan manusia.
Ketiga dimensi itu yakni ekspektasi tingkat hidup saat kelahiran yang merupakan
indikator dari kesehatan dan harapan hidup. Kemudian kemampuan baca tulis orang
dewasa yang menunjukan tingkat pengetahuan dan pendidikan. Terakhir yakni tingkat kehidupan yang layak
diukur dari pertumbuhan domestik produk per kapita.
Ketiga dimensi
di atas semuanya tidak lepas dari faktor pendidikan yang mengembangkan
manusianya. Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia mulai dari
pendidikan dasar hingga tinggi adalah sistem doktrin. Metode pengajaran yang
diberikan tidak mendidik siswa untuk berpikir kritis. Hal ini membuat Bob
Sadino menyatakan bahwa wajah pendidikan formal di Indonesia adalah sebagai penghambat kemerdekaan
seseorang dalam mengembangkan kepribadian, karir, dan usaha atau bisnis.
Sistem doktrin tidak hanya melahirkan manusia pragmatis. Menurut
Rhenald Kasali sekolah di Indonesia juga akrab dengan kebiasaan mengancam,
menekan, dan menakut-nakuti. Hal ini tentu merupakan salah satu akibat dari doktrin
yang menular. Kebiasaan tersebut akhirnya menghambat anak didik untuk maju.
Minim sekali apresiasi yang sebenarnya mampu membangun karakter optimis yang diberikan
oleh para guru atau dosen di negeri ini terhadap anak didiknya. Mereka selalu
menilai anak didiknya berdasarkan ilmu mereka yang telah jauh di depan.
Potret kecil
yang digambarkan di Pasaman di atas adalah salah satu contoh kompleksitas
akibat dari sistem pendidikan doktrin di Indonesia. Pada akhirnya sistem ini
melahirkan manusia-manusia pragmatis, kapitalis, dan tidak berkarakter cerdas.
Manusia-manusia inilah yang hari ini banyak bertebaran di Indonesia sehingganya
berjuta permasalahan tak kunjung usai menjerat negeri ini.
Pendidikan
karakter, hal inilah yang tengah digalakkan sekarang oleh berbagai kalangan
untuk mengakhiri sistem doktrin. Mari kita turut membantu menanamkan karakter yang baik, karakter
yang lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat
adalah anugerah. Karakter yang baik adalah sebaliknya, tidak dianugerahkan namun
kita harus membangunnya perlahan, dengan pikiran, pilihan, keberanian dan usaha
yang keras (John Luther). Hal ini seharusnya tidak saja diaplikasikan di
pendidikan formal namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga harus
dimulai sejak dini. Mari lahirkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter cerdas
secara holistik.
No comments:
Post a Comment