Hasil Sensus Penduduk (SP ) 2010 menunjukkan bahwa pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih belum optimal.
Persentase penduduk 7-15 tahun yang belum
atau tidak sekolah sebesar 2,51 persen dan yang tidak sekolah lagi sebesar 6,04
persen. Lalu persentase penduduk 5 tahun ke atas berpendidikan minimal tamat
SMP/Sederajat sebesar 40,93 persen. Kemudian Angka Melek Huruf (AMH) penduduk
berusia 15 tahun ke atas sebesar 92,37 persen. Ini berarti setiap 100 penduduk
usia 15 tahun ke atas ada 8 orang yang buta huruf.
Variabel pendidikan yang ditamatkan dan AMH
merupakan indikator untuk melihat kualitas SDM berdasarkan pendidikan. Data
dari variabel di atas menunjukkan kualitas SDM Indonesia masih rendah.
Data-data di atas tentunya sangat ironis,
mengingat Indonesia sebenarnya telah memastikan adanya jaminan pemenuhan hak
dasar (basic right) atas pendidikan
bagi warga negaranya. Jaminan itu secara tegas tercantum dalam Undang-Undang Dasar
1945 pada BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28C, dan Pasal 31
BAB XIII mengenai Pendidikan dan Kebudayaan.
Adapun Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi,
“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, serta ayat (2)-nya
mengatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Demikian
juga dengan cita-cita luhur bangsa yang dituangkan ke dalam rumusan mukadimah
UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya NKRI yaitu untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
Pemerintah ternyata belum mampu memenuhi
amanah konstitusi. Hal ini pun diperparah dengan adanya fenomena brain drain di Indonesia. Fenomena
migrasinya para tenaga terdidik dan terlatih atau tenaga ahli.
Menurut Konferensi OECD-CEPII di Paris tahun
2008 angka brain drain Indonesia
mencapai 5%. Meskipun ini masih tergolong level rendah dalam klasifikasi
menurut Docquier and Marfouk, namun untuk jumlah 237 juta jiwa penduduk
Indonesia angka ini menjadi sangat besar.
Masa depan SDM di Indonesia pun semakin
suram. Tenaga ahli Indonesia kini sebagian besar berada di luar negeri. Maka
pertanyaannya adalah “Haruskah para tenaga ahli tersebut kita minta untuk
segera kembali ke tanah air guna mengatasi berbagai permasalahan di atas?”.
Fenomena ini disebut dengan reversed
brain drain.
Kedilematisan selalu menyelimuti para tenaga
ahli Indonesia di luar negeri. Beberapa kondisi di dalam negeri menjadi alasan
bagi mereka untuk tetap menetap di luar negeri. Ketiadaan fasilitas dan dana
untuk riset; kurangnya jaminan sosial ; kurangnya prospek berkarir; konsep
senioritas yang kaku, lemahnya institusi, panjangnya birokrasi; hingga
pendiskreditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing dengan
Indonesia walaupun keahliannya sama.
Ketika pola pikir di atas masih tertanam pada
tenaga ahli Indonesia di luar negeri, maka reversed
brain drain tidak akan pernah terjadi. Saatnya mengubah pola pikir bagi
para tenaga ahli Indonesia di luar negeri tersebut. Mari jadikan berbagai
alasan tersebut sebagai dorongan untuk pulang dan membenahi Indonesia. Memang
harus bersakit-bersakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian. Mari rela
berkorban demi kebangkitan peradaban bangsa.
No comments:
Post a Comment