Tuesday, August 9, 2011
embrio kisah..
untaian spekulasi menuai embrio kisah..
mencapai titik awal kopulasi makna…
meskipun hutan opini perlahan tajam menggelapkan titian takdir..
cahaya itu lebih intensif menjerat..
fiksi Tuhan tlah menunggu..
Padang Kota Tercinta..Padang Kota Terlunta..
Rabu, 30 September 2009. Hari itu tidak ada pertanda aneh yang atau pun semacam isyarat asing yang menyelimutiku. Sampai akhirnya ketika magrib menjelang aku beranjak dari perpustakaan kampus kuning itu aku terhenti sejenak ketika melewati bagian registrasi. Sebuah televisi tua yang bertengger di atas sebuah lemari menyiarkan liputan berita tentang kepanikan yang terjadi di Kota Padang Sumatera Barat. Ya beberapa jam yang lalu sekitar pukul empat sore telah terjadi gempa bumi berskala 7,9 skala richter yang mengguncang Kota Padang dan Pariaman di Sumatera Barat.
Hanya baru itu sepenggal berita yang kudapatkan dari liputan berita di televisi tadi. Dadaku pun bergemuruh, segudang kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti pikiranku saat itu. Tiga hari yang lalu aku baru saja meninggalkan kota itu melanjutkan mimpi-mimpi perubahanku. Namun hari ini aku mendengar berita kehancuran kota kelahiranku itu. Orang-orang tercinta yang kumiliki menetap di kota itu. Kedua orang tuaku, adik kandungku, sahabat-sahabat terbaikku, dan sejuta kenanganku telah larut bersama kota itu.
Aku pun melanjutkan perjalanan dari perpustakaan itu menuju halte bus kampus untuk segera pulang ke asrama tempatku menetap. Sepanjang perjalanan pikiranku pun diselimuti berbagai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada mereka : orang-orang tercintaku. Aku pun mencoba menghubungi mereka melalui handphone, namun ternyata gempa bumi tersebut telah merusak koneksi operator banyak provider sehingga aku pun belum dapat menghubungi mereka.
Aku tidak menyerah, aku mencoba menghubungi kakakku yang berada di Batam. Ternyata ia telah berhasil menghubungi orang tuaku melalui salah satu provider handphone yang koneksinya masih baik. Alhamdulillah ternyata mereka semua dalam keadaan selamat, hanya saja kondisi rumahku dihiasi berbagai retakan cukup parah di berbagai sisi. Pikiranku pun sedikit mulai tenang sambil terus berharap dampak dari bencana yang terjadi tidak terlalu parah.
Di atas bus kampus yang aku naiki beberapa orang mulai terdengar membicarakan gempa bumi yang terjadi. Berbagai berita simpang siur terus menyebar di bus itu. Aku masih tetap diam mencoba mengumpulkan informasi dari mereka. Sesampai di asrama aku pun langsung menghampiri kamar teman-temanku yang berasal dari satu daerah. Ternyata mereka telah berkumpul di salah satu kamar dan sedang sibuk mencoba menghubungi keluarga masing-masing. Suasana kamar itu diliputi kecemasan dan ketakutan, ini tergambar dari raut wajah mereka yang biasanya riang dan ceria kali ini sangat bertolak belakang.
Kami pun memulai perbincangan dengan bertukar informasi tentang kondisi terakhir yang diketahui tentang kota kelahiran kami itu. Usai itu aku bertolak ke kamarku dan mengukir perasaanku dalam tulisan.
Peradaban yang menawan..
Kehidupan yang mapan..
Nyawa-nyawa yang merasa aman..
Jiwa-jiwa yang terkubur oleh kesombongan..
Raga-raga yang tersesat dalam khayalan..
Tersentak
Terhenyak..
Oleh tarian gerak..
Hitungan detik yang berdetak..
Peradaban luluh lantak..
Kehidupan terkoyak..
Nyawa-nyawa terserak..
Raga-raga bersorak..
Teriakan ketakutan..
Suara kecemasan..
Jeritan..tangisan..
Terakumulasi sejalan dengan..
Konstruksi yang takluk..
Fondasi yang ambruk..
Arsitektur yang terpuruk..
Serta..puing yang remuk..
Menuai fakta terburuk..
Jasad terbentang tersurat..
Nafas lenyap tersirat..
Darah merambat..
Perlahan bereaksi..menjadi..mayat..
Nurani tersayat..
Semua seakan tidak berharga..
Ratusan..bahkan ribuan..melayang percuma..
Jutaan..bahkan miliaran..rupiah sirna..
Tiada lagi yang menawan..
Habis sudah kemapanan..
Terkikis rasa aman..
Tamatlah kesombongan..
Berakhir juga khayalan..
Hanya dalam sesaat masa..sekejap mata..
Azab atau peringatan…
Mari kita renungkan…
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI)
Hanya baru itu sepenggal berita yang kudapatkan dari liputan berita di televisi tadi. Dadaku pun bergemuruh, segudang kecemasan dan kekhawatiran menyelimuti pikiranku saat itu. Tiga hari yang lalu aku baru saja meninggalkan kota itu melanjutkan mimpi-mimpi perubahanku. Namun hari ini aku mendengar berita kehancuran kota kelahiranku itu. Orang-orang tercinta yang kumiliki menetap di kota itu. Kedua orang tuaku, adik kandungku, sahabat-sahabat terbaikku, dan sejuta kenanganku telah larut bersama kota itu.
Aku pun melanjutkan perjalanan dari perpustakaan itu menuju halte bus kampus untuk segera pulang ke asrama tempatku menetap. Sepanjang perjalanan pikiranku pun diselimuti berbagai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada mereka : orang-orang tercintaku. Aku pun mencoba menghubungi mereka melalui handphone, namun ternyata gempa bumi tersebut telah merusak koneksi operator banyak provider sehingga aku pun belum dapat menghubungi mereka.
Aku tidak menyerah, aku mencoba menghubungi kakakku yang berada di Batam. Ternyata ia telah berhasil menghubungi orang tuaku melalui salah satu provider handphone yang koneksinya masih baik. Alhamdulillah ternyata mereka semua dalam keadaan selamat, hanya saja kondisi rumahku dihiasi berbagai retakan cukup parah di berbagai sisi. Pikiranku pun sedikit mulai tenang sambil terus berharap dampak dari bencana yang terjadi tidak terlalu parah.
Di atas bus kampus yang aku naiki beberapa orang mulai terdengar membicarakan gempa bumi yang terjadi. Berbagai berita simpang siur terus menyebar di bus itu. Aku masih tetap diam mencoba mengumpulkan informasi dari mereka. Sesampai di asrama aku pun langsung menghampiri kamar teman-temanku yang berasal dari satu daerah. Ternyata mereka telah berkumpul di salah satu kamar dan sedang sibuk mencoba menghubungi keluarga masing-masing. Suasana kamar itu diliputi kecemasan dan ketakutan, ini tergambar dari raut wajah mereka yang biasanya riang dan ceria kali ini sangat bertolak belakang.
Kami pun memulai perbincangan dengan bertukar informasi tentang kondisi terakhir yang diketahui tentang kota kelahiran kami itu. Usai itu aku bertolak ke kamarku dan mengukir perasaanku dalam tulisan.
Peradaban yang menawan..
Kehidupan yang mapan..
Nyawa-nyawa yang merasa aman..
Jiwa-jiwa yang terkubur oleh kesombongan..
Raga-raga yang tersesat dalam khayalan..
Tersentak
Terhenyak..
Oleh tarian gerak..
Hitungan detik yang berdetak..
Peradaban luluh lantak..
Kehidupan terkoyak..
Nyawa-nyawa terserak..
Raga-raga bersorak..
Teriakan ketakutan..
Suara kecemasan..
Jeritan..tangisan..
Terakumulasi sejalan dengan..
Konstruksi yang takluk..
Fondasi yang ambruk..
Arsitektur yang terpuruk..
Serta..puing yang remuk..
Menuai fakta terburuk..
Jasad terbentang tersurat..
Nafas lenyap tersirat..
Darah merambat..
Perlahan bereaksi..menjadi..mayat..
Nurani tersayat..
Semua seakan tidak berharga..
Ratusan..bahkan ribuan..melayang percuma..
Jutaan..bahkan miliaran..rupiah sirna..
Tiada lagi yang menawan..
Habis sudah kemapanan..
Terkikis rasa aman..
Tamatlah kesombongan..
Berakhir juga khayalan..
Hanya dalam sesaat masa..sekejap mata..
Azab atau peringatan…
Mari kita renungkan…
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI)
Pelangi Merah Putih
Merah putih..Titian masa silam menuai cipta dalam rasa beriring karsa..
Akumulasi tetesan ide menguap menaklukkan kebuntuan asa..
Menyatu padu dalam satu daya upaya..
Demi konstruksi cinta untuk bangsa..
Merah putih..Menatap nanar wahana peradaban..
Menyusun sakral rentetan tradisi adopsi kebiasaan..
Membangun vital radar emulsi pemikiran..
Melingkupi teguh kejayaan maupun jeritan kelaparan..
Merah putih..kombinasi simbolis dari pengabdian..
Terikat lepas dalam denyutan kebersamaan..
Terangkum luas dalam fakta perbedaan..
Variatif aneka linear pertidaksamaan…
Begitu mewarnai asupan makna multidimensi negeri perjuangan..
Merah putih..bukan hanya merah dan putih..
Jingga..kuning..hijau..nila..biru..ungu..etalase jernih..
Akumulasi tetesan ide menguap menaklukkan kebuntuan asa..
Menyatu padu dalam satu daya upaya..
Demi konstruksi cinta untuk bangsa..
Merah putih..Menatap nanar wahana peradaban..
Menyusun sakral rentetan tradisi adopsi kebiasaan..
Membangun vital radar emulsi pemikiran..
Melingkupi teguh kejayaan maupun jeritan kelaparan..
Merah putih..kombinasi simbolis dari pengabdian..
Terikat lepas dalam denyutan kebersamaan..
Terangkum luas dalam fakta perbedaan..
Variatif aneka linear pertidaksamaan…
Begitu mewarnai asupan makna multidimensi negeri perjuangan..
Merah putih..bukan hanya merah dan putih..
Jingga..kuning..hijau..nila..biru..ungu..etalase jernih..
Depok, 10 November 2010 : Catatan Singkat ‘Team Buiding’ BPH IMAMI UI 2010-2011
Awan mendung menyambut kedatangan kereta tua buangan mantan negara imperialis (sekarang sesungguhnya masih-hanya saja impilisit) itu di stasiun penuh derita. Kulihat wajah-wajah mereka yang sama dan membosankan namun dalam edisi yang baru menyusuri tepian stasiun dengan aroma kelelahan dalam kepuasan. Mudah-mudahan dugaanku benar. Dua puluh tujuh jam sebelumnya aku berjalan menuju stasiun keberangkatan menuju pusat eksekusi dengan perasaan gundah mencoba untuk optimis akan hasil yang tercipta esok hari.
Aku terus memikirkan dan merangkai diksi apa saja yang akan ku-untai nanti malam. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengintegrasikan kemampuan menyusun pidato dengan proses basa-basi (lebih tepat disebut kepedulian).
Sesampai di tujuan, bersama akumulasi rasa lelah selama perjalanan aku masih terus berlanjut dalam dua sisi ; berusaha keras mencairkan suasana dan memenuhi tuntutan pikiran. Hingga saatnya waktu eksekusi itupun dimulai aku masih bergulat bersama kedua sisi itu. Aku dan mereka awalnya tidak pernah saling mengenal hingga aku menginjakkan kaki di kampus semi-liberal yang dulu tidak pernah ada dalam kumpulan mimpiku. Bahkan sampai aku dan mereka sudah terlibat dalam suatu wadah pengabdian (sebagian orang menganggap hal ini kolot-tapi kuyakin mereka yang berkata seperti itu masih dalam proses pematangan), aku masih belum saling mengenal dengan mereka. Inilah kekhilafanku dalam wadah ini yang memicu munculnya lembaran ini.
Aku memutuskan untuk bergabung dalam wadah ini awalnya karena kegelisahanku atas sejumlah fakta yang kuharap fiksi yang tengah berkembang dan berpotensi merusak dan menghancurkan wadah ini. Disamping itu alasan lain yang mendorongku untuk hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan sejumlah para penguasa di negeri ini ; ambisi akan kekuasaan dan popularitas. Dalam usiaku yang berada dalam tahap proses, sejumlah pengaruh yang silih berganti memprovokasi kegalauanku memaksaku memiliki ambisi itu. Namun syukurlah Tuhan menyelamatkanku. Ambisi menyesatkan yang begitu besar diawal akhirnya tumbang ditengah perjalananku. Fakta yang kuharap fiksi itu ternyata berdampak jauh lebih buruk daripada yang kukira, tradisi yang berjalan selama ini mengisyaratkan titik kehancuran di suatu paralaks ambiguitas. Banyak urgensi yang harus diperjuangkan secara optimal, mengingat luasnya lautan potensi yang tersedia dan sangat membutuhkan respon yang cepat. Urgensi itu dianalogikan sebagai sebuah siklus dinamis yang dalam setiap periode tertentu terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia. Semangat ini diharapkan mampu diperjuangkan oleh wadah-wadah lain yang berada dalam koridor yang sama (amin).
Dengan berjuta gebrakan ide konstruktif (konon disebut kontribusi) sebagai hasil tanggapan atas urgensi-urgensi yang mengepung pikiranku aku bergerak cepat menyalurkan semua pengaruh itu untuk dapat terealisasikan secara optimal melalui mereka. Hari demi hari wilayah teritorial pemikiranku semakin terjajah oleh segala akselerasi semangat kontribusi itu. Namun budaya kerja perfeksionis yang telah merasuki karakter diriku semenjak dini itu membuatku melupakan suatu urgensi yang ternyata jauh lebih penting dari sejumlah urgensi diatas. Aku telah melupakan kondisi mereka, mengabaikan kesanggupan mereka, dan tidak mempedulikan sinyal kelelahan mereka mengikuti mimpi-mimpiku (untuk negeri ini). Maafkan aku teman..aku terlalu mencintai mimpi-mimpi perubahan itu untuk menjadi nyata, hingga lupa akan kenyataan untuk mencintaimu.
Sesungguhnya hatiku mengecam semua tradisi primitif yang menuhankan penguasa itu. Hal ini sangat melawan arus inovasi dan dinamisasi. Hal ini jugalah yang akhirnya merubah stigmaku untuk menjadikan wadah ini untuk lebih profesional dan meredam bahkan tanpa kusadari aku telah berupaya meniadakan azas kekeluargaan yang mengakari berdirinya wadah ini. Maafkan aku saudaraku..aku telah salah menginterpretasi hal ini..aku terlalu menjauhi budaya itu, hingga akhirnya aku membudayakan untuk menjauhimu.
Malam ini bersama mereka aku menyadari wadah ini merupakan sebuah kompleksitas media aktualisasi diri. Aku harus menemukan formula yang tepat untuk mengkombinasikan azas kekeluargaan dalam persamaan identitas dan azas profesional demi kinerja yang optimal dalam mencapai tujuan yang maksimal yang terangkum dalam mimpi perubahan itu. Sekilas hal ini terlihat sangat mustahil karena keduanya sangat bertolak-belakang dalam sejumlah pengalaman. Untuk bisa bersifat profesional maka biasanya kita harus mengesampingkan semua alasan kekeluargaan. Pertanyaannya adalah ‘mengapa aku memaksakan azas profesional dalam wadah yang berdiri atas azas kekeluargaan ini?’. Negeri ini bukanlah negeri maju dan aku sangat mengharapkan kontradiksinya segera tercipta. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan pergerakan yang dinamis dari segala pihak, hal inilah yang sedang aku usung ditengah kebobrokan sebagian besar birokrat di negeri ini yang sulit sekali untuk diharapkan. Dalam waktu yang terbatas aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyentuh perubahan itu. Dibutuhkan langkah taktis yang efektif untuk mencapai mimpi itu tanpa melupakan identitas kekeluargaan tadi. Penanaman azas profesional adalah salah satu jawabannya.
Aku masih belum menemukan formula itu hingga gelap malam diselimuti tawa canda, tangis, dan segala keluh-kesah mereka dalam kepingan makna yang mulai memberikan aku petunjuk akan jawabannya. Malam ini aku putuskan untuk menghentikan perjuangan berpikir, menyisakan tenaga untuk esok yang kuharap akan melengkapi petunjuk jawaban yang sudah mulai dapat kucerna.
Tuhan mendengar doaku, pagi ini kunci-kunci jawaban itu mulai terkuak. Sudah lebih dari setahun aku mengenal mereka, dan lebih dari lima bulan (seharusnya) aku dekat dengan mereka baru kali ini aku merasakan kebersamaan bersama mereka. Wadah ini bukan milikmu seorang wahai diriku, ada kamu, mereka, dan saudara-saudaramu yang mencintainya.
Sakato bakontribusi!
Aku terus memikirkan dan merangkai diksi apa saja yang akan ku-untai nanti malam. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengintegrasikan kemampuan menyusun pidato dengan proses basa-basi (lebih tepat disebut kepedulian).
Sesampai di tujuan, bersama akumulasi rasa lelah selama perjalanan aku masih terus berlanjut dalam dua sisi ; berusaha keras mencairkan suasana dan memenuhi tuntutan pikiran. Hingga saatnya waktu eksekusi itupun dimulai aku masih bergulat bersama kedua sisi itu. Aku dan mereka awalnya tidak pernah saling mengenal hingga aku menginjakkan kaki di kampus semi-liberal yang dulu tidak pernah ada dalam kumpulan mimpiku. Bahkan sampai aku dan mereka sudah terlibat dalam suatu wadah pengabdian (sebagian orang menganggap hal ini kolot-tapi kuyakin mereka yang berkata seperti itu masih dalam proses pematangan), aku masih belum saling mengenal dengan mereka. Inilah kekhilafanku dalam wadah ini yang memicu munculnya lembaran ini.
Aku memutuskan untuk bergabung dalam wadah ini awalnya karena kegelisahanku atas sejumlah fakta yang kuharap fiksi yang tengah berkembang dan berpotensi merusak dan menghancurkan wadah ini. Disamping itu alasan lain yang mendorongku untuk hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan sejumlah para penguasa di negeri ini ; ambisi akan kekuasaan dan popularitas. Dalam usiaku yang berada dalam tahap proses, sejumlah pengaruh yang silih berganti memprovokasi kegalauanku memaksaku memiliki ambisi itu. Namun syukurlah Tuhan menyelamatkanku. Ambisi menyesatkan yang begitu besar diawal akhirnya tumbang ditengah perjalananku. Fakta yang kuharap fiksi itu ternyata berdampak jauh lebih buruk daripada yang kukira, tradisi yang berjalan selama ini mengisyaratkan titik kehancuran di suatu paralaks ambiguitas. Banyak urgensi yang harus diperjuangkan secara optimal, mengingat luasnya lautan potensi yang tersedia dan sangat membutuhkan respon yang cepat. Urgensi itu dianalogikan sebagai sebuah siklus dinamis yang dalam setiap periode tertentu terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia. Semangat ini diharapkan mampu diperjuangkan oleh wadah-wadah lain yang berada dalam koridor yang sama (amin).
Dengan berjuta gebrakan ide konstruktif (konon disebut kontribusi) sebagai hasil tanggapan atas urgensi-urgensi yang mengepung pikiranku aku bergerak cepat menyalurkan semua pengaruh itu untuk dapat terealisasikan secara optimal melalui mereka. Hari demi hari wilayah teritorial pemikiranku semakin terjajah oleh segala akselerasi semangat kontribusi itu. Namun budaya kerja perfeksionis yang telah merasuki karakter diriku semenjak dini itu membuatku melupakan suatu urgensi yang ternyata jauh lebih penting dari sejumlah urgensi diatas. Aku telah melupakan kondisi mereka, mengabaikan kesanggupan mereka, dan tidak mempedulikan sinyal kelelahan mereka mengikuti mimpi-mimpiku (untuk negeri ini). Maafkan aku teman..aku terlalu mencintai mimpi-mimpi perubahan itu untuk menjadi nyata, hingga lupa akan kenyataan untuk mencintaimu.
Sesungguhnya hatiku mengecam semua tradisi primitif yang menuhankan penguasa itu. Hal ini sangat melawan arus inovasi dan dinamisasi. Hal ini jugalah yang akhirnya merubah stigmaku untuk menjadikan wadah ini untuk lebih profesional dan meredam bahkan tanpa kusadari aku telah berupaya meniadakan azas kekeluargaan yang mengakari berdirinya wadah ini. Maafkan aku saudaraku..aku telah salah menginterpretasi hal ini..aku terlalu menjauhi budaya itu, hingga akhirnya aku membudayakan untuk menjauhimu.
Malam ini bersama mereka aku menyadari wadah ini merupakan sebuah kompleksitas media aktualisasi diri. Aku harus menemukan formula yang tepat untuk mengkombinasikan azas kekeluargaan dalam persamaan identitas dan azas profesional demi kinerja yang optimal dalam mencapai tujuan yang maksimal yang terangkum dalam mimpi perubahan itu. Sekilas hal ini terlihat sangat mustahil karena keduanya sangat bertolak-belakang dalam sejumlah pengalaman. Untuk bisa bersifat profesional maka biasanya kita harus mengesampingkan semua alasan kekeluargaan. Pertanyaannya adalah ‘mengapa aku memaksakan azas profesional dalam wadah yang berdiri atas azas kekeluargaan ini?’. Negeri ini bukanlah negeri maju dan aku sangat mengharapkan kontradiksinya segera tercipta. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan pergerakan yang dinamis dari segala pihak, hal inilah yang sedang aku usung ditengah kebobrokan sebagian besar birokrat di negeri ini yang sulit sekali untuk diharapkan. Dalam waktu yang terbatas aku tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyentuh perubahan itu. Dibutuhkan langkah taktis yang efektif untuk mencapai mimpi itu tanpa melupakan identitas kekeluargaan tadi. Penanaman azas profesional adalah salah satu jawabannya.
Aku masih belum menemukan formula itu hingga gelap malam diselimuti tawa canda, tangis, dan segala keluh-kesah mereka dalam kepingan makna yang mulai memberikan aku petunjuk akan jawabannya. Malam ini aku putuskan untuk menghentikan perjuangan berpikir, menyisakan tenaga untuk esok yang kuharap akan melengkapi petunjuk jawaban yang sudah mulai dapat kucerna.
Tuhan mendengar doaku, pagi ini kunci-kunci jawaban itu mulai terkuak. Sudah lebih dari setahun aku mengenal mereka, dan lebih dari lima bulan (seharusnya) aku dekat dengan mereka baru kali ini aku merasakan kebersamaan bersama mereka. Wadah ini bukan milikmu seorang wahai diriku, ada kamu, mereka, dan saudara-saudaramu yang mencintainya.
Sakato bakontribusi!
Subscribe to:
Posts (Atom)