Matinya kedaulatan rakyat, begitulah tajuk di sebuah media
untuk membangunkan kesadaran rakyat.
Hari-hari pasca Sidang Paripurna DPR menyita perhatian pada
keputusan kontroversial yang menetapkan bahwa pilkada akan kembali dipilih oleh
DPRD, seperti masa orde baru. Akumulasinya menyasar pada Partai Demokrat dan
SBY. Pilihan Fraksi Demokrat yang memutuskan untuk walk out pada sidang tersebut, ditenggarai menjadi penyebab
lolosnya usulan pilkada oleh DPRD dari Koalisi Merah Putih. SBY pun terduga
menjadi aktor utama dari sandiwara politik ini. Hal ini dikarenakan adanya
pernyataan kecewa SBY usai sidang berlangsung dan pernyataan dari Ruhut
Sitompul (Anggota Fraksi Demokrat) yang menyebutkan Fraksi Demokrat
meninggalkan sidang setelah terima SMS dari SBY.
Meskipun ada nama lain yang diduga menjadi aktor utama juga,
namun kemungkinan ini diperkirakan sangat kecil. Mengingat SBY adalah seorang
tokoh kunci di Partai Demokrat. Dari tinjauan politik, memang keputusan ini
sangat simalakama bagi Demokrat. Namun apa yang telah terjadi sekarang,
menancapkan bekas kuat di ingatan publik. SBY meninggalkan warisan terburuk
bagi rakyat.
Di media sosial, hashtag #shameonyouSBY menjadi trending
topic. Ini menunjukkan kekecewaan besar rakyat terhadap SBY. Salah satunya
menyebut SBY sebagai Bapak Anti Demokrasi Indonesia. Seperti yang kita tahu,
pilkada langsung ditetapkan pada awal masa pemerintahan SBY, dan kini pun
dicabut diakhir masa pemerintahannya. Ini seakan seperti hadiah yang dipinjamkan
pada rakyat hanya demi kelanggengan kuasa politik penguasa.
Ketika semua perhatian dan amarah tertumpah pada SBY dan
Demokrat. Ini seakan menjadi pertanda bahwa rakyat menaruh harapan besar pada
SBY dan Demokrat yang mestinya mampu menyelamatkan kedaulatan rakyat melalui
pilkada langsung. Voting akan dimenangkan oleh usulan pilkada langsung jika
Demokrat mendukung usulan ini, karena fraksi mereka adalah jumlah terbesar di
parlemen.
Sisi lain, ini juga memperlihatkan bahwa rakyat sudah sangat
antipati terhadap Koalisi Merah Putih sebagai pengusul pilkada oleh DPRD yang
membunuh kedaulatan rakyat. Politik bagi koalisi ini, menjadi semakin amis,
pesing, lebih dari busuk.
Dengan beraninya, Ical menyebut “keberhasilan Koalisi Merah
Putih meloloskan usulan pilkada oleh DPRD adalah berkat dukungan rakyat”. Lain
kesempatan, salah satu anggota DPR dari Fraksi Golkar pada sebuah kegiatan
kepemudaan, memasukkan bahasan yang mengkampanyekan pilkada oleh DPRD. Ia
berujar, “dulu kita terlanjur bodoh untuk menggunakan sistem pilkada langsung,
sekarang kita kembali pada sistem lama demi kebaikan rakyat”.
Rakyat mana?. Rakyat bagi mereka pun menjadi semakin
hipokrit. Sebuah kepalsuan yang telanjang.
Memang, kedua pilihan jenis pilkada tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Tapi mari kita lihat kondisi di lapangan saat ini.
Kondisi yang memprihatinkan dari para anggota DPR. 48 orang anggota DPR yang
akan dilantik terjerat kasus korupsi. Rakyat juga melihat langsung rusuhnya
sidang paripurna yang berlangsung kemaren. Lalu apakah prestasi para anggota
DPR tersebut sehingga mereka menganggap mereka cukup representatif untuk
memilih kepala daerah ?
Jumlah suara golput dalam pemilu legislatif sangat tinggi.
Ditambah lagi, sebagian suara juga hanya memilih partai, bukan memilih calon
secara langsung. Ini bukti-bukti lemahnya legitimasi mereka sebagai wakil
rakyat. Apalagi kalau melihat sejumlah penghamburan uang mereka dari sejumlah
perjalanan luar negeri berkedok studi bandingnya, hingga fasilitas mewah di
sekitar mereka.
inikah yang akan dipercayai rakyat untuk memilih kepala
daerahnya nanti?
Dan yang lebih utama lagi, agenda ini berangkat dari nafsu
politik yang haus kekuasaan. Adalah Koalisi Merah Putih yang ingin mengamankan
peluang agar para kader partai mereka tetap bisa menguasai daerah-daerah.
Niat untuk menjadi kekuatan penyeimbang adalah baik, namun
birahi oligarki yang berlandaskan kepentingan kelompok akan mengacaukan
dinamika politik dan pembangunan Indonesia ke depan. Yang akan terjadi adalah
para elit disibukkan dengan perebutan kuasa, program pembangunan terbengkalai,
dan rakyat pun menjadi semakin kehilangan kepercayaan pada aktor politik dan
permainannya.
Untuk para dalang di Koalisi Merah Putih, agar kembali pada
akal sehat dan hati nurani. Kendalikan nafsu buas berpolitik. Buka mata batin,
dan mari dukung kematangan politik Indonesia secara berwibawa.
Wahai para dalang, terlalu hina Merah Putih dijadikan
sebagai nama koalisi anda, jika jalan yang ditempuh begitu jalang. Cukup,
jadikan merah putih sebagai kedok. Anda melecehkan rakyat terlampau banyak,
dengan semua yang telah terjadi. Mulai dari tipu daya black campaign, hingga mengira rakyat tak layak untuk memilih
kepala daerahnya sendiri.
Bagi Rakyat, jangan diam. Saat ini sudah gencar gerakan yang
mendukung Judicial Review UU Pilkada
ke MK. Mulai dari Asosiasi kepala daerah se-Indonesia, sejumlah LSM, komunitas,
pemuda, mahasiswa, dan gerakan relawan sudah bergerak. Saatnya rapatkan
barisan.
Para pendiri bangsa kita mungkin tak kuasa menahan haru
amarah jika melihat kusutnya pertarungan politik yang terjadi saat ini. Beberapa
orang pemuda menangis melihat putusan Sidang Paripurna yang terjadi, jalan
perubahan semakin berat dan banyak rintang. Karena Bung Hatta pun benar, “nanti
kau akan melawan bangsa sendiri”.
Kedaulatan rakyat belum mati. Jika ada pendapat, langsung
atau tidak langsung akan sama saja, maka anda salah besar. Lihatlah betapa
banyak perubahan yang terjadi dari terpilihnya kepala daerah seperti ; Risma,
Ridwan Kamil, Ahok, hingga Jokowi bisa jadi presiden pun, juga berkat pilkada
langsung. Adapun kekurangannya, untuk dilengkapi bersama, bukan berarti
melangkah mundur ke pilkada oleh DPRD.
No comments:
Post a Comment