Hiruk pikuk obrolan soal prediksi siapa yang akan menduduki
kursi panas kabinet Jokowi JK, telah menuai banyak asumsi berkembang, baik di
tataran elit maupun masyarakat umum. Sejumlah janji kampanye Jokowi JK mulai
diragukan.
Dimulai dari soal wacana kabinet ramping yang dulu
dijanjikan Jokowi JK. Jokowi pernah menyatakan bahwa akan ada sekitar 20-an
menteri saja ketika kampanyenya. Namun sekarang ternyata rilis terakhir
mengatakan bahwa akan ada 34 kementrian, yang 16-nya akan diisi figur
profesional dari partai politik (parpol), sementara 18 lain diduduki figur
menteri dari kalangan profesional murni. Tim Jokowi kemudian berdalih bahwa
jumlah ini ideal serta sesuai dengan UU Kementrian Negara.
Lalu tentang koalisi tanpa syarat. Pengamat politik dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro meminta kepada presiden
terpilih, Joko Widodo untuk membuktikan janjinya saat kampanye dengan
menyatakan akan memberlakukan koalisi tanpa syarat dan tak melakukan praktik
transaksional politik. Menurut Siti, dengan komposisi kabinet yang disebutkan
Jokowi, 16 kursi menteri untuk parpol, tidak menggambarkan seperti yang ia
janjikan.
Berikutnya, Jokowi JK juga pernah membanggakan koalisi
ramping mereka ketika kampanye. Mereka menyatakan bahwa ini akan ideal untuk
berjalannya pemerintah nantinya, dimana tidak akan terlalu banyak kepentingan
politik yang mesti dipertimbangkan. Namun di Rakernas PDI P lalu mengundang PAN
dan PPP untuk hadir, sehingga semakin menguatkan wacana yang menguat sebelumnya
tentang kemungkinan dua partai tersebut akan merapat ke koalisi Jokowi JK. Bahkan
ada lagi pernyataan terakhir Jokowi yang seakan memberi jalan bagi demokrat
untuk juga turut bergabung. Maka jika itu semua jadi, koalisi pun tak akan
ramping lagi.
Terkait fakta-fakta di atas, para pendukung Prabowo beserta
koalisinya pun menjadi semakin menjadikan hal tersebut sebagai bulan-bulanan
serangan mereka. Muncul di media sosial sebuah gerakan yang menyindir salam dua
jari Jokowi JK dulu, ialah Gerakan Nasional Salam Gigit Jari.
Gerakan ini membuat sejumlah poster yang mengutip sejumlah
kontra sikap dari janji-janji kampanye Jokowi JK. Diantaranya, mereka mengutip
pernyataan JK pada 9 Juni, “Di koalisi kami tidak ada janji-janji beri delapan
kursi menteri pada partai koalisi. Hanya keikhlasan yang mendasari kita semua”.
Dan nada berbeda di 17 September lalu, “16 kursi menteri untuk parpol ini
syarat koalisi. Tidak bisa semua murni profesional. Itu realitas politik kita”.
Kejadian di atas pun tak ayal membuat terjadinya penurunan
ekspektasi dari para pendukung Jokowi JK pada pilpres lalu.
Dari kondisi tersebut, apakah menunjukkan bahwa berarti
Jokowi JK tidak realistis dalam berpolitik ?. Apakah Jokowi gagal dengan
politik optimisnya dengan mengira politik nasional sama dengan eskalasi politik
ketika ia jadi walikota atau gubernur ?.
Sebelum menjawab itu, kita coba bandingkan terlebih dahulu
dengan apa yang terjadi dengan Koalisi Merah Putih sebagai lawan politik Jokowi
JK.
Sangat berbeda, koalisi merah putih sangat realistis dalam
politiknya. Koalisi gemuk yang dimulai dari masa kampanye menjadi pilihan
mereka agar mampu membuat kekuatan besar. Harapannya dulu, itu akan mampu
memenangkan mereka di pilpres. Lalu, syarat koalisi pun bahkan dinyatakan secara
berani. Salah satunya yaitu Prabowo berjanji Ical akan dijadikan menteri utama
jika nanti ia terpilih.
Kampanye berlalu dan sementara suara dihitung. Koalisi ini
tidak diam saja. Mereka sembunyi-sembunyi memanfaatkan perhatian publik yang
tersita pilpres, mereka pun meng-gol-kan UU MD3, yang menguatkan kekuasaan
mereka di legislatif. Salah satunya mereka membuat pimpinan DPR tidak harus
dari partai pemenang pemilu, PDI P. Alhasil, ini pun semakin melemahkan
kekuatan Jokowi JK di legislatif.
Suara pun selesai dihitung, koalisi ini kalah dan mereka
terus menggugat ke MK meski dengan kemungkinan ditolak sangat besar. Untuk
bagian ini memang koalisi merah putih kurang realistis. MK menolak gugatan,
mereka pun lanjut ke celah lain, yaitu RUU Pilkada. Koalisi ini mencoba mencari
peluang untuk bisa meloloskan pilkada tidak langsung melalui DPRD, untuk bisa
melengkapi keberhasilan mereka di legislatif. Agar tetap besar kemungkinan
kader partai-partai mereka bisa menduduki posisi kepala daerah, karena jumlah mayoritas
mereka di dewan.
Jauh sebelumnya, mengenai strategi kampanye, pengemasan
prabowo yang cukup elegan dan konsistensi serangan black campaign dari koalisi merah putih yang berhasil menaikkan
elektabilitas Prabowo hingga sekitar 20% dalam empat bulan. Itu semua juga
bentuk politik realistis yang dijalankan oleh koalisi merah putih, meskipun di
sisi lain itu semua juga menunjukkan nafsu buas politik mereka. Tak heran,
karena di koalisi tersebut ada sejumlah politisi senior berpengalaman semacam
Akbar Tanjung dan Amien Rais.
Momentum RUU Pilkada dan menjelang pengumuman kabinet
sekarang, menjadi sebuat pertemuan titik equilibrium antara politik realistis
koalisi merah putih dengan politik optimis Jokowi JK. Sejumlah partai di
koalisi merah putih mulai tergoda untuk keluar dari koalisi, dan Jokowi JK pun
juga tergoda untuk melanggar sejumlah janji kampanyenya seperti di atas.
Kedua belah pihak akan sama-sama berkemungkinan untuk menjadi untung atau buntung. Jokowi JK berada
pada posisi terjepit dan terpaksa, karena kekuatan koalisi mereka lemah di
legislatif yang berpotensi menyulitkan jalannya program eksekutif, sehingga
untuk mengantisipasi itu mereka butuh PAN dan PPP untuk memperkuat barisan.
Dengan ini mereka akan untung di masa depan dan buntung untuk sekarang karena
mengingkari janji kampanye.
Jika PAN dan PPP gagal bergabung ke Jokowi JK, maka koalisi
merah putih akan untung dan mungkin usulan pilkada tidak langsung oleh DPRD
akan gol di paripurna. Buntungnya, partai-partai dalam koalisi tersebut akan
minim pos pemasukan dan bersiap menerima hadangan rakyat yang mayoritas
mendukung pilkada langsung.
Inilah jalan berat bagi ide pembaharuan oleh Jokowi JK. Mengubah
realitas politik gaya lama menjadi tradisi baru ternyata tak mudah. Dan jika
Jokowi adalah ‘kita’, maka inikah realitas politik ‘kita’ ?.
Tulisan ini dimuat di Media Selasar
Tulisan ini dimuat di Media Selasar
No comments:
Post a Comment