Sunday, September 7, 2014

Stigma Racun


“BBM langka, mungkin Jokowi dendam pada kita karena suaranya kecil disini. Baru awal saja sudah begini, apalagi nanti, kita akan sengsara. Rasakan saja oleh rakyat itu, yang memilih Jokowi, kita akan celaka dipimpin oleh dia”.

Begitulah kutipan dari percakapan beberapa orang penumpang di sebuah transportasi umum di Sumatera Barat (Sumbar), Provinsi yang memenangkan Prabowo-Hatta dengan persentase tertinggi. Tak hanya itu, di antrian panjang pemburu BBM di SPBU, warung-warung kopi, dan berbagai tempat lain di Provinsi itu, terdengar juga nada-nada seirama ; menyudutkan Jokowi, dalam merespon berbagai kondisi yang terjadi di sekitar mereka.

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana pernyataan tersebut sangat kering informasi. Mereka menyalahkan Jokowi terkait masalah kelangkaan BBM, padahal pada waktu tersebut Presiden Indonesia masih SBY. Sinisme terhadap pemerintah terpilih yang menjadi obrolan dari warung kopi hingga restoran elit para kelas menengah ke atas. Bahkan seorang siswa sekolah menengah di Sumbar sampai membuat pernyataan, “saya tidak rela foto dia (Jokowi) dipajang di depan kelas kita”, ucapnya pada teman sekelasnya.


Inilah efek dari black campaign yang mengganas pada pilpres lalu dan kini mengakar menjadi kebencian permanen pada sosok Jokowi oleh masyarakat tersebut. Lebih jauh, bahkan mereka bisa disebut juga telah men-delegetimasi suara rakyat, dari kalimat terakhir pada kutipan di atas, “rasakan saja oleh rakyat itu, yang memilih Jokowi, kita akan celaka..”.

Kesuksesan strategi black campaign sebagai beberapa amunisi tim sukses (timses) Prabowo Hatta ternyata memang benar adanya. Timses Prabowo-Hatta terus membombardir lawannya dengan amunisi tersebut secara konsisten dan masif selama beberapa bulan. Sedangkan timses Jokowi-JK hanya sibuk menampik serangan tersebut. Analisis Burhanudin Muhtadi, pimpinan lembaga survei Indikator Politik Indonesia, menyatakan bahwa Prabowo berhasil mendulang kenaikan elektabilitas yang drastis dari sekitar 20% di Februari hingga mencapai sekitar 40%-an di Juli, dan faktor terbesar yang mempengaruhi hal ini adalah serangan black campaign.

Hasil akhirnya, didapatlah kemudian beberapa provinsi yang kemudian memenangkan Prabowo ; Aceh (54%), Nusa Tenggara Barat (71%), Sumbar (76%), Sumatera Selatan (51%), Kalimantan Selatan (51%), Gorontalo (63%), Riau (51%), Jawa Barat (59%), Banten (57%), dan Maluku Utara (54%).

Ada beberapa karakteristik khas dari provinsi-provinsi tersebut yang ditemukan sebagai sebuah pola yang saling terkait. Pertama, mayoritas provinsi tersebut adalah provinsi berpenduduk mayoritas Islam. Kedua, mayoritas partai politik (parpol) penguasa di provinsi-provinsi tersebut adalah yang tergabung dalam koalisi merah putih Prabowo-Hatta. Ketiga, yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari provinsi-provinsi tersebut. Sebagian besar provinsi tersebut, nilai IPM-nya berada di bawah rata-rata IPM Indonesia.

IPM, secara garis besar mengambil ukuran dari kualitas pendidikan, kesehatan, dan kondisi ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan berkaitan dengan daya serap informasi dari masyarakat tersebut terhadap isu-isu yang berkembang selama pilpres. Black campaign menjadi sangat berdampak pada masyarakat dengan kualitas pendidikan relatif rendah, dimana daya serap informasi mereka lemah, mudah terhasut, dan kurang kritis.

Hal di atas kemudian berpengaruh pada karakteristik pertama, konten dari black campaign yang sebagian besar tentang isu agama, tepat sasaran pada masyarakat mayoritas muslim dengan taraf pemahaman islam relatif konservatif. Sebagian besar provinsi di atas, jika ditarik garis sejarahnya terhadap penerimaan mereka terhadap ajaran Islam, adalah termasuk mayoritas muslim konservatif.

Bersambut pada karakteristik yang kedua, kondisi sosio historis dari masyarakat di ataslah yang kemudian membuat mayoritas parpol islam di Koalisi Merah-Putih berhasil meraih tampuk kekuasaan disana. Dan mesin partai merekalah yang nyatanya paling masif bergerak di wilayah tersebut. Hal ini terbukti dari kemenangan disana, didukung oleh berbagai posisi strategis seperti para kepala daerah disana yang menggunakan kekuasaanya.

Ketiga karakteristik di atas sesungguhnya juga membantu menjawab pertanyaan sebuah opini di koran lokal di Sumbar yang mempertanyakan apakah terjadi defisit kognitif pada masyarakat Sumbar. Sumbar yang terkenal banyak melahirkan intelektual kritis, kemudian ternyata memakan black campaign paling rakus, dibuktikan oleh kemenangan tertinggi Prabowo disana. Aceh pun sebagai negeri serambi mekkah ber-Perda Syariah terkental pun terkalahkan oleh Sumbar.

Tak hanya Sumbar, sembilan provinsi lain pun mungkin turut mengalami. Opini yang berkembang disana hingga kini terhadap berbagai isu, pada akhirnya tak pernah bisa objektif, bahkan tujuh puluh juta suara rakyat Indonesia yang memenangkan Jokowi pun ikut disalahkan. Stigma negatif terus meracun, ini berpotensi berdampak buruk bagi perkembangan persepsi publik di daerah tersebut.

Nawacita Ketiga
Hal ini mesti ditindak-lanjuti jadi salah satu pekerjaan rumah (PR) terdekat bagi Jokowi setelah pelantikan nanti. Juga penting untuk memberi perhatian khusus bagi daerah-daerah di atas. Tiga karakteristik khas di atas mungkin cukup jadi pertimbangan dalam mengambil keputusan politik dan pembangunan disana.

Buktikan dan tepis semua black campaign yang kini telah melekat pada mereka sebagai stereotip dengan program nyata di daerah tersebut secara langsung. Ini juga akan membantu memulihkan persepsi masyarakat setempat terhadap figur Jokowi. Jangan sekedar membalas kebaikan daerah-daerah yang telah memenangkannya, karena ini juga berpotensi menimbulkan gejolak baru, kecemburuan sosial.

Memang akan banyak sekali hal yang akan harus diselesaikan presiden terpilih nanti. Mulai dari agenda nasional, internasional, sampai dengan keperluan daerah-daerah. Dalam konteks ini, hal di atas akan menjadi bagian dari keperluan daerah-daerah, yang juga menjadi agenda ketiga Jokowi dalam nawacita-nya, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Satu sisi, tentang kebijakan pembangunan memang harus objektif, menyesuaikan dengan prioritas nasional. Namun sisi lain, persepsi negatif terhadap presiden terpilih yang berkembang di daerah kemenangan Prabowo berpotensi buruk merusak keutuhan hidup bangsa dan juga mengganggu ritme program pembangunan. Sehingganya, ini pun mestinya perlu menjadi salah satu pertimbangan bagi pemerintahan terpilih.

Tulisan ini dimuat di Media Online Selasar.com pada 12 September 2014

No comments:

Post a Comment