“BBM langka, mungkin
Jokowi dendam pada kita karena suaranya kecil disini. Baru awal saja sudah
begini, apalagi nanti, kita akan sengsara. Rasakan saja oleh rakyat itu, yang
memilih Jokowi, kita akan celaka dipimpin oleh dia”.
Begitulah kutipan dari percakapan beberapa orang penumpang
di sebuah transportasi umum di Sumatera Barat (Sumbar), Provinsi yang
memenangkan Prabowo-Hatta dengan persentase tertinggi. Tak hanya itu, di
antrian panjang pemburu BBM di SPBU, warung-warung kopi, dan berbagai tempat
lain di Provinsi itu, terdengar juga nada-nada seirama ; menyudutkan Jokowi, dalam
merespon berbagai kondisi yang terjadi di sekitar mereka.
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana pernyataan tersebut
sangat kering informasi. Mereka menyalahkan Jokowi terkait masalah kelangkaan
BBM, padahal pada waktu tersebut Presiden Indonesia masih SBY. Sinisme terhadap
pemerintah terpilih yang menjadi obrolan dari warung kopi hingga restoran elit
para kelas menengah ke atas. Bahkan seorang siswa sekolah menengah di Sumbar
sampai membuat pernyataan, “saya tidak rela foto dia (Jokowi) dipajang di depan
kelas kita”, ucapnya pada teman sekelasnya.
Inilah efek dari black
campaign yang mengganas pada pilpres lalu dan kini mengakar menjadi
kebencian permanen pada sosok Jokowi oleh masyarakat tersebut. Lebih jauh,
bahkan mereka bisa disebut juga telah men-delegetimasi suara rakyat, dari
kalimat terakhir pada kutipan di atas, “rasakan
saja oleh rakyat itu, yang memilih Jokowi, kita akan celaka..”.
Kesuksesan strategi black
campaign sebagai beberapa amunisi tim sukses (timses) Prabowo Hatta
ternyata memang benar adanya. Timses Prabowo-Hatta terus membombardir lawannya
dengan amunisi tersebut secara konsisten dan masif selama beberapa bulan.
Sedangkan timses Jokowi-JK hanya sibuk menampik serangan tersebut. Analisis
Burhanudin Muhtadi, pimpinan lembaga survei Indikator Politik Indonesia, menyatakan
bahwa Prabowo berhasil mendulang kenaikan elektabilitas yang drastis dari
sekitar 20% di Februari hingga mencapai sekitar 40%-an di Juli, dan faktor
terbesar yang mempengaruhi hal ini adalah serangan black campaign.
Hasil akhirnya, didapatlah kemudian beberapa provinsi yang kemudian
memenangkan Prabowo ; Aceh (54%), Nusa Tenggara Barat (71%), Sumbar (76%),
Sumatera Selatan (51%), Kalimantan Selatan (51%), Gorontalo (63%), Riau (51%),
Jawa Barat (59%), Banten (57%), dan Maluku Utara (54%).
Ada beberapa karakteristik khas dari provinsi-provinsi
tersebut yang ditemukan sebagai sebuah pola yang saling terkait. Pertama,
mayoritas provinsi tersebut adalah provinsi berpenduduk mayoritas Islam. Kedua,
mayoritas partai politik (parpol) penguasa di provinsi-provinsi tersebut adalah
yang tergabung dalam koalisi merah putih Prabowo-Hatta. Ketiga, yakni Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dari provinsi-provinsi tersebut. Sebagian besar
provinsi tersebut, nilai IPM-nya berada di bawah rata-rata IPM Indonesia.
IPM, secara garis besar mengambil ukuran dari kualitas pendidikan,
kesehatan, dan kondisi ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks ini, kualitas
pendidikan berkaitan dengan daya serap informasi dari masyarakat tersebut
terhadap isu-isu yang berkembang selama pilpres. Black campaign menjadi sangat berdampak pada masyarakat dengan
kualitas pendidikan relatif rendah, dimana daya serap informasi mereka lemah,
mudah terhasut, dan kurang kritis.
Hal di atas kemudian berpengaruh pada karakteristik pertama,
konten dari black campaign yang
sebagian besar tentang isu agama, tepat sasaran pada masyarakat mayoritas muslim
dengan taraf pemahaman islam relatif konservatif. Sebagian besar provinsi di
atas, jika ditarik garis sejarahnya terhadap penerimaan mereka terhadap ajaran
Islam, adalah termasuk mayoritas muslim konservatif.
Bersambut pada karakteristik yang kedua, kondisi sosio
historis dari masyarakat di ataslah yang kemudian membuat mayoritas parpol
islam di Koalisi Merah-Putih berhasil meraih tampuk kekuasaan disana. Dan mesin
partai merekalah yang nyatanya paling masif bergerak di wilayah tersebut. Hal
ini terbukti dari kemenangan disana, didukung oleh berbagai posisi strategis
seperti para kepala daerah disana yang menggunakan kekuasaanya.
Ketiga karakteristik di atas sesungguhnya juga membantu
menjawab pertanyaan sebuah opini di koran lokal di Sumbar yang mempertanyakan
apakah terjadi defisit kognitif pada masyarakat Sumbar. Sumbar yang terkenal
banyak melahirkan intelektual kritis, kemudian ternyata memakan black campaign paling rakus, dibuktikan
oleh kemenangan tertinggi Prabowo disana. Aceh pun sebagai negeri serambi
mekkah ber-Perda Syariah terkental pun terkalahkan oleh Sumbar.
Tak hanya Sumbar, sembilan provinsi lain pun mungkin turut
mengalami. Opini yang berkembang disana hingga kini terhadap berbagai isu, pada
akhirnya tak pernah bisa objektif, bahkan tujuh puluh juta suara rakyat Indonesia
yang memenangkan Jokowi pun ikut disalahkan. Stigma negatif terus meracun, ini
berpotensi berdampak buruk bagi perkembangan persepsi publik di daerah
tersebut.
Nawacita Ketiga
Hal ini mesti ditindak-lanjuti jadi salah satu pekerjaan
rumah (PR) terdekat bagi Jokowi setelah pelantikan nanti. Juga penting untuk
memberi perhatian khusus bagi daerah-daerah di atas. Tiga karakteristik khas di
atas mungkin cukup jadi pertimbangan dalam mengambil keputusan politik dan
pembangunan disana.
Buktikan dan tepis semua black
campaign yang kini telah melekat pada mereka sebagai stereotip dengan
program nyata di daerah tersebut secara langsung. Ini juga akan membantu
memulihkan persepsi masyarakat setempat terhadap figur Jokowi. Jangan sekedar
membalas kebaikan daerah-daerah yang telah memenangkannya, karena ini juga
berpotensi menimbulkan gejolak baru, kecemburuan sosial.
Memang akan banyak sekali hal yang akan harus diselesaikan
presiden terpilih nanti. Mulai dari agenda nasional, internasional, sampai
dengan keperluan daerah-daerah. Dalam konteks ini, hal di atas akan menjadi
bagian dari keperluan daerah-daerah, yang juga menjadi agenda ketiga Jokowi
dalam nawacita-nya, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Satu sisi, tentang kebijakan pembangunan memang harus
objektif, menyesuaikan dengan prioritas nasional. Namun sisi lain, persepsi
negatif terhadap presiden terpilih yang berkembang di daerah kemenangan Prabowo
berpotensi buruk merusak keutuhan hidup bangsa dan juga mengganggu ritme
program pembangunan. Sehingganya, ini pun mestinya perlu menjadi salah satu
pertimbangan bagi pemerintahan terpilih.
Tulisan ini dimuat di Media Online Selasar.com pada 12 September 2014
Tulisan ini dimuat di Media Online Selasar.com pada 12 September 2014
No comments:
Post a Comment